Sistem Proporsional Tertutup Dikhawatirkan Menguatkan Karakteristik Otoritarian
Jakarta, FNN - Pakar Hukum Tata Negara Prof Denny Indrayana mengkhawatirkan apabila pengujian materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 terkait sistem proporsional tertutup dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK), maka bisa kembali menguatkan karakteristik otoritarian Orde Baru (Orba).
"Sistem proporsional tertutup bagi saya adalah pilihan strategi pemenangan di Pemilu 2024," kata Prof Denny Indrayana dalam sebuah webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Menurut Prof Denny, partai-partai yang mengusung atau mendukung sistem proporsional tertutup bukan bertujuan untuk membangun sistem pemilu, melainkan lebih kepada hitung-hitungan matematis potensi mendapatkan kursi lebih banyak melalui mekanisme tersebut.
"Ini bukan membangun sistem, tetapi hanya jangka pendek karena dirasa lebih menguntungkan maka itulah yang didorong," ujar mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.
Oleh karena itu, ia berpandangan sistem proporsional tertutup yang saat ini sudah sampai di meja hakim konstitusi tidak tepat apabila diterapkan atau dikabulkan. Apalagi, sistem proporsional tertutup tidak bisa menguatkan relasi antara pemilih dengan anggota parlemen pilihannya.
Dalam paparannya, Denny berpandangan sebetulnya MK juga tidak boleh masuk ke ranah menentukan sistem pemilu yang tidak ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, hal itu menjadi kewenangan pembuat undang-undang (eksekutif dan legislatif).
Artinya, Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diberi keleluasaan untuk menentukan atau memilih sistem pemilu yang akan diterapkan.
"Jadi tidak bisa MK mengambil peran legislasi itu dari Presiden dan DPR," katanya pula.
Sistem proporsional tertutup yang disinggung Denny merujuk pada perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan enam orang pemohon, yaitu Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Para pemohon mengajukan permohonan ke MK untuk menguji Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.(ida/ANTARA)