Skandal Program Sosial Bank Indonesia (CSR) dan Komisi XI DPR: Tindak Pidana Korupsi?

Oleh: Anthony Budiawan  Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya: termasuk DPR. Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka melaksanakan tugasnya.

Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur, terdiri dari seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan empat sampai tujuh orang Deputi Gubernur.

Sebagai lembaga independen, Bank Indonesia harus bebas dari politik. Karena itu, Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak boleh menjadi pengurus atau anggota partai politik, untuk menjaga Bank Indonesia dari intervensi partai politik dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Setelah reformasi 1998, Bank Indonesia ditugasi hanya untuk satu tujuan, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, seperti tertuang di Pasal 7 UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas: a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, c) mengatur dan mengawasi Bank.

Selain tujuan dan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia tidak mempunyai tugas lain, termasuk tugas untuk melaksanakan Program Sosial Bank Indonesia, atau CSR.

Karena itu, penggunaan dana Bank Indonesia untuk CSR melanggar UU No 23/1999 tentang BI, karena di luar tugas dan wewenang Bank Indonesia yang diberikan UU.

Karena itu, penggunaan dana BI untuk CSR, yang diberikan kepada anggota Komisi XI DPR, untuk aktivitas di daerah pemilihan (Dapil) anggota DPR tersebut, jelas melanggar UU tentang BI, dan masuk kategori penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan negara, dan masuk tindak pidana korupsi.

Pemberian dana CSR BI kepada anggota Komisi XI DPR, yang menjadi mitra kerja Bank Indonesia, masuk kategori suap. Karena pemberian dana CSR BI tersebut bersifat diskriminatif, hanya untuk anggota Komisi XI DPR, sehingga membuat fungsi pengawasan Komisi XI terhadap Bank Indonesia menjadi bias dan tidak efektif. 

Di samping itu, dana CSR BI untuk membiayai aktivitas anggota DPR di Dapil juga masuk kategori dana politik, sehingga melanggar independensi Bank Indonesia yang mewajibkan semua pejabat Bank Indonesia tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik dalam bentuk apapun.

Sebelumnya, tahun 2010, DPR pernah mengusulkan agar pemerintah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp15 miliar kepada setiap anggota DPR, untuk Program Percepatan Pembangunan di Daerah Pemilihan, atau dikenal dengan Dana Aspirasi.

Usulan tersebut ditolak Presiden SBY ketika itu, dengan alasan, Dana Aspirasi dianggap menyamakan kewenangan eksekutif dan legislatif, sehingga melanggar konstitusi.

SBY menyarankan, DPR sebaiknya fokus pada fungsi konstitusinya sebagai pengawas pemerintah, bukan bertindak seperti eksekutif, dengan membuat program pembangunan di Dapil.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150624103959-32-62028/sby-dulu-sebagai-presiden-saya-tolak-jatah-anggaran-buat-dpr

Dana Aspirasi, atau Constituency Development Fund (CDF), secara substansi bisa masuk kategori money politics. Karena digunakan untuk mendapatkan dukungan politik dari konstituennya di daerah pemilihan, untuk memenangkan pemilu selanjutnya.

Oleh karena itu, Dana CSR BI yang diberikan kepada anggota Komisi XI DPR untuk aktivitas di Dapil pada prinsipnya sama dengan Dana Aspirasi.

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) nampaknya sudah mencium aroma tidak sedap seputar dana CSR BI, yang diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR. KPK akhirnya menggeledah kantor Bank Indonesia, termasuk ruang kerja Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada 16 Desember 2024.

Setelah penggeledahan, KPK mengumumkan ada dua tersangka, yang kemudian diralat dengan alasan yang sangat tidak profesional. KPK mengatakan dua orang tersangka yang disebut sebelumnya bukan tersangka kasus dana CSR BI, tetapi kasus korupsi lain. Dalam hal ini, KPK terindikasi telah membohongi publik, dan melindungi koruptor.

Tidak lama kemudian, KPK memeriksa dua orang saksi dari Komisi XI DPR, Satori dan Heri Gunawan. Satori mengaku, bahwa yang bersangkutan memang menerima dana CSR BI, digunakan untuk aktivitas di Dapil. Satori juga mengatakan, bukan hanya dirinya saja yang menerima dana CSR BI, tetapi seluruh anggota Komisi XI DPR.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241227202534-12-1181650/satori-usai-diperiksa-kpk-semua-anggota-komisi-xi-dapat-csr-bi

Pengakuan Satori menunjukkan fakta tidak terbantahkan, telah terjadi penyelewengan dana CSR BI, untuk kepentingan politik, merugikan keuangan negara dan masuk delik tindak pidana korupsi.

Untuk itu, masyarakat menuntut, KPK wajib melaksanakan tugasnya secara profesional, menegakkan hukum seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.

—- 000 —-

188

Related Post