Sri Mulyani antara Korupsi Bail Out FPJP Century dan Kenaikan Anggaran Pertahanan untuk Danai Pilpres
Oleh Faisal Sallatalohy | Pemerhati Ekonomi dan Politik
Sri Mulyani menjadi saksi mata serta terlibat langsung dalam kesepakatan kenaikan anggaran pertahanan untuk tahun anggaran 2024 yg dilakukan secara tertutup antara Jokowi dan Prabowo di Istana Bogor pada November 2023 lalu.
Sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani bertanggung jawab atas kenaikan anggaran pertahanan sekitar US$ 5 miliar atau Rp 77 dengan menggunakan mekanisme refokusing dan realokasi APBN.
Kenaikan anggaran kementrian yg dipimpin prabowo ini sangat janggal dan sulit dipertanggungjawabkan. Pertama, kenaikan anggaran ini, dilakukan sebulan setelah APBN disahkan bersama DPR pada 16 September 2023. Secara prosedural memang tidak bermasalah. Tapi secara moral tentu saja bermasalah.
Dikarenakan kenaikan anggaran dilakukan secara dadakan, tertutup, tidak melibatkan DPR dan tanpa diawali riset. Tiba-tiba anggaran dinaikan oleh Jokowi dan Prabowo tanpa diketahui apa dasar pertimbangan dan kelayakannya.
Kedua, kenaikan anggaran tidak sesuai kebutuhan belanja sebagaimana yg sudah disepakati dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri-Jangka Menengah tahun 2020-2024 sebesar US$ 20,75 miliar. Dengan adanya kenaikan, maka postur penarikan utang meningkat jadi US$ 25,75 miliar.
Kenaikan anggaran fantastis di luar perencanaan kebutuhan yg sudah ditetapkan, tanpa direvisi terlebih dahulu adalah langkah manipulatif yg cenderung koruptif. Kenaikan anggaran pastinya harus dibarengi dengan proses revisi untuk menaikan jumlah kebutuhan agar setara dan bisa dipertanggungjawabkan.
Ketiga, sulit untuk mengukur efektifitas kenaikan anggaran jumbo Rp 77 triliun untuk mengejar kenaikan Minimum Esential Force (MEF) sesuai target 100% di tahun 2024.
Empat tahun memimpin, dengan model kenaikan anggaran serta penarikan pinjaman luar negeri yg meningkat, Prabowo gagal menaikan indeks MEF pertahanan. Sebaliknya malah turun dan selalu gagal mencapai target.
Data kementrian pertahanan mencatat, Selama periode 2015-2018, rata-rata capaian MEF meningkat ke level 75,54% dan berhasil melampaui target 75,54.
Namun ketika Prabowo memimpin pada 2019, capaian MEF justru turun menjadi 63,19% dari target 68,90%. Padahal di periode ini terjadi peningkatan anggaran pertahanan yg tinggi. Di 2020, kembali turun menjadi 62,41% dari target 72%.
Sementara capaian MEF 2021-2022 sampai hari ini belum dipublis oleh kemenhan. Hal ini dikarenakan ada perubahan penilaian MEF sementara dasar hukumnya belum diterbitkan.
Artinya, selama 2 tahun (2021-2022), kemenhan melakukan penilaian terhadap MEF tanpa punya payung hukum. Tentu saja, tanpa payung, apapun bisa dilakukan, subjektif, manipulatif dan prosesnya sesuai selera menteri pertahanan. Penilaian atas penggunaan anggaran mau dilakukan dengan cara apapun, terserah menteri pertahanan.
Tapi mau disembunyikan serapat apapun, akhirnya terbongkar juga. Lantaran didesak Ganjar dan Anies pada debat capres terakhir, akhirnya Prabowo mengakui sendiri. MEF 2021-2022, memang rendah, tidak mencapai target karena dihambat gelombang Covid.
Pengakuan ini sekaligus menjawab kelanjutan penurunan capaian MEF di tahun 2023 kemarin. Hanya mencapai 65,49%. Jauh dari target 79%.
Masalahnya, Kegagalan Prabowo meningkatkan kepasitas MEF selama 4 tahun memimpin, terjadi ditengah kenaikan anggaran pertahanan yg cukup tinggi.
Kementerian Keuangan mencatat, Pada tahun 2018–2021, realisasi anggaran fungsi pertahanan secara nominal mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,6%, dari Rp106,83 triliun menjadi Rp125,79 triliun.
Anggaran kembali dinaikan menjadi Rp 133,3 triliun di 2022. Lagi-lagi meningkat menjadi Rp134,3 triliun pada 2023 kemarin.
Jika ditotalkan, secara akumulatif, Prabowo telah menghabiskan Rp 692,92 triliun sepanjang 2019-2023. Dari jumlah itu, Rp 380 triliun khusus untuk belanja alustista. Tapi apa yg dihasilkan ? Indikator MEF justru turun dan selalu gagal mencapai target. Ini harus diusut !!
Masalahnya, kenaikan anggaran belanja kementrian pertahanan, mayoritasnya, dipenuhi dari pinjaman luar negeri. Eksesnya, utang luar negeri kemenhan pada periode tersebut meningkat tajam.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, Utang kementrian Pertahanan naik dari US$ 1,75 miliar di 2018 menjadi US$ 4,35 miliar pada 2019. Meningkat lagi jadi US$ 4,41 miliar pada 2020. Dua tahun berikutnya meningkat jadi US$ 5,96 miliar di 2022. Kembali meningkat tajam menjadi US$ 7,13 miliar per kuartal III/2023.
Namun apa yg dihasilkan kementrian peetahanan dari kenaikan anggaran tiap tahun diikuti utang yg menggunung?
Indikator kinerja pertahanan, rontok semua. Bukan hanya gagal mencapai target MEF, Sejumlah data pertahanan dan sistem kemanan jungkir balik semua!
Mulai dari global peace index (GPI) yg jatuh dari peringkat 41 pada 2014 ke peringkat 53 dari 163 negara dunia (Institute for Economics and Peace, 2023l).
Selain itu, global militarisation index (GMI) juga turun peringkat 95 di tahun 2019 ke peringkat 124 di 2023 (Bonn International Centre for Conflict Studies, 2023).
Lebih menyakitkan lagi bagi rakyat, Andi Widjayanto mengungkapkan, total alustista yg datang di sepanjang era Jokowi, 87% justru merupakan hasil belanja dengan menggunakan anggaran menteri sebelumnya, Ryamizad.
Sementara yg didatangkan dari hasil belanja menggunakan anggaran Prabowo hanya 13% dari total 100% alustista yg didatangkan.
Pertanyaannya, apakah dana Rp 363 triliun hanya mampu mendatangkan 13% dari total belanja alustista selama 4 tahun memimpin?
Sungguh indikasi penggunaan anggaran yg sangat koruptif!
Masalahnya adalah selama ini pertahanan merupakan sektor tertutup, jauh dari transparansi dan akuntabilitas khususnya terkait dengan penggunaan anggaran. Aparat penegak hukum lain, terutama KPK, tidak bisa masuk untuk mengusut dugaan penyimpangan atau korupsi di dalam sektor ini. Sehingga setiap dugaan penyimpangan anggaran khususnya terkait belanja alutsista sulit dibongkar karena alasan dan dalih rahasia negara.
Bagaimanpun juga Hal ini perlu diusut. bukan saja Prabowo dan Jokowi yg bertanggungjawab, melainkan juga Sri Mulyani. Sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani wajib dimintai pertanggungjawaban. Kenapa Sri Mulyani terus menyepakati kenaikan anggaran jumbo dan penarikan pinjaman luar negeri ugal-ugalan di kementrian Pertahanan dengan hasil kinerja yg gagal dan model penggunaan anggaran yg cenderung koruptif?
Bukannya mengevaluasi dan menahan, pada Nobember 2023 lalu, Sri Mulyani turut terlibat dalam pembicaraan tertutup bersama Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor untuk kembali menyepakati kenaikan anggaran pertahanan secara dadakan.
Apa yg menjadi dasar kenaikan anggaran tersebut ? Tidak ada yg tau selain mereka bertiga. Pastinya kenaikan anggaran ini sulit dirasionalkan. Empat tahun memimpin, dengan model kenaikan anggaran tajam, prabowo sulit mencapai taeget MEF. Apalagi ini yg hanya tersisah 7 bulan masa jabatan. Mustahil Prabowo mampu menaikan pencapaian MEF dari 65% menjadi 100%. Disparitas kesenjangannya terlalu jauh. Secara matematis butuh waktu 2 periode kepemimpinan.
Kenyataan ini menunjukan ada yg tidak wajar. Ada udang di balik batu. Boleh jadi, Prabowo, Jokowi dan Sri Mulyani sedang bersekongkol, sengaja menaikan anggaran pertahanan untuk diselewengkan ke salah alamat. Bantu mendanai money politik menangkan Prabowo-Gibran di pilpres 2024.
Keterlibatan Sri Mulyani dalam hal ini, nyaris sama dengan keterlibatannya dalam penggelapan dana Bailout dan FPJP Bank Century senilai Rp 6,8 triliun untuk mendanai kemenangan SBY-Budiono pada pilpres 2009 lalu.
Sebagai menteri keuangan era itu, Sri Mulynai dan Budiono (Gubernur BI) merekayasa status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik hingga waiib diselamatkan.
Semua unsur penyelamatan Century dimanipulasi. Mulai dari rekayasa Obligasi BLBI menjadi berbunga dan perjual belikan, rekayasa jumlah DPK, rekayasa tempo transfer DPK menjadi 8 bukan, hingga rekayasa pembayaran jumlah DPK per akun nasabah.
Hasilnya dana bailout dan FPJP Century hilang. Menguap sebagai modal pemenangan Pilpres SBY-Budioyono 2009. Berdasarkan kesaksian skretaris panitia pemilihan cawapres 2009, Mayjend Kurdi Mushropa menyatakan, diantara 9 daftar nama Cawapres, tidak ada nama Budiono. Namun last minute, namanya dimunculkan, sering dengan hilangnya dana talangan Century.
Namun dalam kasus ini, Budiono dan Sri Mulyani terselmatkan hingga hari ini. Kekuasaan justru menumbalkan 3 manusia di jajaran direksi BI yg hanya mengikuti perintah Budiono, Sri Mulyani dan SBY. Diantaranya Budi Rochadi, Siti Fajriyah dan Budi Mulya.
Namun belakangan, Sri Mulyani akhirnya mengundurkan diri lantaran tidak mampu menghadapi tekanan politik dan hukum yg menuntut agar dirinya diadili. Di saat yg sama, SBY tidak mampu menjamin perlindungan terhadap dirinya. Pada Mei 2010, seluruh farksi dalam gelaran rapat paripurnah, meminta farksi demokrat mendesak Presiden SBY untuk memberhentikan Sri Mulyani sebagai pihak yg bertanggungjawab atas kasus Century.
Akhirnya Sri Mulyani memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan menteri keuangan dan meminta perlindungan kepada Bank Dunia dengan bayaran sebagai agen para bandar global untuk mempengaruhi kebijakan politik-ekonomi Indonesia lewat kedudukannya sebagai eksekutif Bank Dunia.
Boleh jadi hal ini juga sedang menimpa Sri Mulyani saat ini yg sedang diterpa isu pengunduran diri. Entah hoax atau bukan, tidak penting. Pastinya, Sri Mulyani juga pastinya cemas. Di tengah kenaikan anggaran pertahanan yg tertutup dan koruptif, Sri Mulyani juga pasti khawatir dengan statusnya sebagai menteri keuangan yg bertanggungjawab atas polemik tersebut.
Bagaimana jika Prabowo dan Jokowi kalah ? Siapa yg akan menjamin perlindungan kepadanya?