Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Cuma12 Orang, Ajaib
Jakarta, FNN -- Keluarnya Keppres No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TPPHAM) atau "Keppres Minta Maaf ke PKI" mendapat penolakan masyarakat. Anehnya presiden justru mengeluarkan Inpres No.2 tahun 2023 sebagai pedoman Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.
Panglima TNI periode 2015-2017 Jend TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo menilai Keppres ini terlalu dipaksakan dan penuh keajaiban. Gatot mengaku sejak 26 Agustus 2022 dirinya sudah merenungkan Keppres ini.
"Sekarang ditindaklanjuti dengan Inpres No. 2/2023. Ini sungguh ajaib," kata Gatot, Kamis 13 April 2023 di Sekretariat KAMI di Jakarta.
Gatot menganggap Keppres itu tak ada urgensinya karena persoalan PKI sesungguhnya sudah selesai. Apalagi proses pembentukan tim yang tidak transparan, di mana seharusnya melibatkan DPR untuk membentuk Tim Adhoc.
"UU No. 26 tahun 2000 kalau berkaitan dengan pernyataan HAM berat apabila kejadiannya terjadi sebelum di undang-undangkan, maka dengan cara pengandilan Adhoc, ini sengaja tidak dimasukan dalam landasan biar bisa dengan bebas menyatakan ham berat," tegasnya.
"Tim ini jumlahnya hanya 12 orang, waktunya 126 hari tetapi harus mengungkap latar belakang, sebab akibat, faktor pemicunya, identifikasi korban, dan dampak yang di timbulkan. Dari 26 Agustus smpai 31 Desember 2022. Laporan ini menghasilkan 12 Peristiwa pelanggaran HAM berat dari tahun 1965-1966 sampai dengan tahun 2003 sesuai pernyataan presiden, ini sangat aneh bin ajaib," kata Gatot heran.
Gatot meyakini Keppres itu arahnya ABRI (TNI dan Polri) karena sampelnya tahun 1965-66. Sementara sejarah mencatat bahwa dalam peristiwa 1965 seluruh pimpinan TNI dihabisi PKI. Kemudian menurut pidato presiden pengakuan dan penyesalanan presiden tersebut memberi kesan dan pesan bahwa pelakunya adalah pihak dari ABRI (TNI dan Polri) sebalagai 'alat negara,' dan korbannya adalah PKI. Pembenaran itu didasari oleh logika bahwa terdapat penyalahgunaan kekuatan bersenjata dari TNI dan Polri terhadap PKI sebagai pihak yang lemah dan korban. Ini logika abuse of power.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, secara prosedural Tim yang dibentuk dalam Keppres tersebut sudah batal demi hukum sebab tidak jelas obyeknya, siapa pelaku siapa korban. Refly menyarakan Keppres berikut turunannya itu dibatalkan saja.
“Batalkan Keppres ini dan semua produk turunannya. Datang ke PTUN batalkan Keppres 17/2022. Atau pakai tekanan politik,” ujarnya dalam diskusi publik di Sekretariat KAMI Jakarta, Kamis (13/04/2023).
Keppres No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TPPHAM). TPPHAM sebagaimana dimaksut dalam Pasal 1 mempunyai tugas, melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian Non-Yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2020 dan merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya.
Ekonom Ichsanuddin Noorsy mengingatkan bahwa temuan Komnas HAM Juni 2012 bukan alat bukti hukum. Validitas dan akurasinya tidak bisa menguji atas temuan Komnas HAM. Noorsy juga mempertanyakan apakah Tim PPHAM memiliki kapasitas seperti syarat badan resolusi konflik? Lalu tindakan 12 pelanggaran itu memakai konstitusi yang mana?
Kemudian Mulyadi, dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia menduga ada dua skenario dalam kasuss PKI ini, pertama pelunasan janji terhadap pendukung Pemilu sebelumnya. Politik elektronik yang terjadi di bawah tangan, pasar gelap kekuasaan. Kedua sebagai cipta kondisi untuk 2024.
“Ini harus dibawa ke DPR. Ini lebih berbahaya dari UU Pencucian uang. Ini soal nasib bangsa. Kenapa harus menunjuk 12 orang, yang sesungguhnya Komnas HAM punya anggota sendiri. DPR harus panggil mereka. Siapa mereka. Yang disasar kok hanya peristiwa 1965. Itu bukan pelanggaran HAM, itu konflik politik, maka resolusi politik. Sebelum anda katakan korban harus nyatakan pelakunya dulu. Komunisme mainannya darah dan dendam,” paparnya.
Menanggapi apa yang disampaikan oleh Bapak Gatot tadi, sejarawan Anhar Gonggong mengatakan bahwa sepanjang 77 tahun bangsa Indonesia membuat aturan, tapi pada saat yang sama melanggar aturan.
“Yang kita sepakati bersama adalah Pancasila. Itu saja yang dijalankan. Kalau kita selalu bertengkar, kapan selesainya? Tidak ada negara yang maju ketika para pemimpinnya bertengkar terus. Peristiwa 65 adalah yang paling sensitif. Apa yang disampaikan Gatot kalau terjadi, republik bisa hilang. Mudah-mudahan gak terjadi,” tegasnya.
Sementara Rum Aly jurnalis 66 menegaskan bahwa dari sisi hukum Keppres itu batal demi hukum karena tidak berdasar pada kebenaran. Rum Aly menyarankan penyelesaian secara sosiologis.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Inpres ini merupakan implementasi dari Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Presiden juga menerbitkan Kepres No. 4 tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, menimbulkan keresahan bagi banyak pihak. (far).