Terbuai Kemunafikan Demokrasi
Survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 baru-baru ini menemukan, 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Studi ini harus direspon dengan baik.
Oleh Tamsil Linrung
Jakarta, (FNN) - ADA banyak kemunafikan yang memompa denyut demokrasi di negeri ini. Hipokrasi itu membuai. Salah satunya berdetak pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu).
Di hilir, rakyat dihipnotis seolah bebas dan berdaulat memilih pemimpin. Tetapi di hulu, daulat dan kebebasan itu dipasung secara konstitusional melalui aturan bernama Presidential Threshold (PT) alias ambang batas pencalonan presiden.
Tak perlu mengulang-ulang mudharat PT yang lebih dominan ketimbang manfaatnya. Tentang hal ini, analisisnya telah banyak berserakan di media massa. Pun, sejarah telah memberi alarm.
Setelah PT diangkat ke level 20 persen, pelaksanaan Pilpres 2014 dan 2019 terbukti hanya sanggup melahirkan dua pasang kandidat. Rakyat tidak punya pilihan lain. Terpaksa berikhtiar memilih satu dari dua pasang kandidat yang disuguhkan.
Politik Kongsi harus pula diantisipasi. Dalam sebuah tulisan berjudul "UU Pemilu: Menakar Politik Kongsi," saya memaparkan potensi fenomena ini. Intinya, rekonsiliasi elitis Prabowo-Sandi dengan Jokowi-Ma'ruf Amin, meski dipandang baik, namun dapat mengilhami lahirnya cara-cara buruk berpolitik di masa yang akan datang.
Berkongsi dalam politik adalah lumrah. Namun, menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendesain hanya dua pasang kandidat Capres-Cawapres, bisa benar-benar berlawanan, bisa pula seolah-olah berseteru.
PT membuka peluang menuju dua kemungkinan itu. Terlebih ketika oligarki terendus semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur badut politik pada dua kubu bersebelahan. Siapa pun yang terpilih, pada akhirnya tetap menguntungkan sang cukong. Syukur-syukur, keuntungan itu bisa dibuat berlipat dengan mengondisikan semua kandidat dalam satu pemerintahan yang sama, kelak.
***
Sebagai upaya menjaga muruah kedaulatan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terpanggil bergerak. Dalam beberapa pekan terakhir, Pimpinan DPD RI dan sejumlah Anggota DPD turun gunung. Menggalang dukungan masyarakat, pemda, pihak kampus, dan sejumlah stakeholders (pemangku kepentingan) bangsa lainnya.
Langkah itu dipandang perlu karena belum terlihat greget, baik dari DPR maupun eksekutif untuk lebih serius membahas dan menakar PT secara rasional. Bila Presiden Joko Widodo berkomitmen pada demokrasi, seharusnya ada inisiatif eksekutif review sekaligus lobi-lobi politik. Kita menunggu political will presiden. Pun demikian dengan partai atau fraksi di DPR.
Ketimbang menunggu hal yang tidak pasti, DPD bergegas. Hanya beberapa pekan, telah empat provinsi yang disambangi Ketua dan sejumlah Anggota DPD RI. Safari politik ini bermula di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, lalu berlanjut di Tarakan, Kalimantan Utara; Makassar, Sulawesi Selatan; dan DIY Yogyakarka.
Melalui Focus Group Discussion (FGD) dan sejumlah kegiatan lain di daerah tersebut, terbaca keinginan rakyat untuk disajikan kandidat pemimpin nasional yang beragam dan proporsional dari sisi jumlah pasangan calon, sehingga mereka dapat pula berkontemplasi dalam menetapkan pilihan.
Dulu, kalau seorang pemilih tidak senang dengan pasangan A, maka aternatifnya hanya dua, yakni golput atau terpaksa menjatuhkan pilihan pada kandidat pasangan B. Golput tentu tidak sehat bagi demokrasi. Sementara menjatuhkan pilihan pada kandidat B hanya karena tidak menyenangi kandidat A, juga bukan langkah yang sepenuhnya tepat.
Rakyat tidak ingin dikekang dan dibuai demokrasi pura-pura lagi. Mereka ingin disajikan beberapa opsi sehingga nalar politiknya juga berkembang. Oleh karena itu, DPD berpendapat PT sebaiknya 0 (nol) persen saja, sehingga semua partai dapat mengusulkan calon presiden. Semakin banyak kandidat yang muncul, semakin besar peluang menghasilkan pemimpin berkualitas.
Bagi DPD, salah satu langkah konstitusional yang bisa ditempuh adalah Amandemen Kelima UUD 1945. Pertimbangannya, pertama, karena amandemen pertama hingga keempat masih menyisakan frasa kalimat dan norma yang memungkinkan lahirnya UU yang merugikan bangsa. Lahirnya UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur soal PT, misalnya.
Kedua, amandemen kelima membuka langkah penguatan DPD guna menyeimbangkan dua kamar dalam sistem bikameral secara proporsional. Kita tahu, kewenangan DPD di bidang legislasi yang hanya sebatas mengusulkan dan membahas, tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Atau dalam bidang pengawasan, DPD hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.
Ketiga, amandemen kelima membuka peluang kemungkinan memulihkan hak konstitusional DPD RI mengajukan pasangan Capres-Cawapres. Disebut memulihkan karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, ketiadaan hak DPD mengajukan kandidat Capres-Cawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi.
Dulu, sebelum amandemen ketiga UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon.
DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan utusan daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dikebiri. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres.
Lagipula, DPD istimewa dalam hal legitimasi. Bila utusan daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui Pemilihan umum (pemilu) secara langsung oleh rakyat. Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif non-partisan yang memiliki akar legitimasi kuat, sehingga hak DPD untuk mengajukan calon presiden dan wakil adalah rasional.
Berbeda dengan DPD RI, DPR RI tentu sebagai unsur partai sudah terwakili dalam usulan partainya, sehingga tidak perlu ada pembenturan dan kekhawatiran akan keharusan adanya juga calon tersendiri dari unsur DPR RI. Bahkan, menjadi pembenaran rasional ketika masyarakat merindukan kandidat di luar pilihan partai, salah satu pilihannya adalah calon usulan DPD RI, atau dari keterwakilan unsur non partisan.
Survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 baru-baru ini menemukan, 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Studi ini harus direspon dengan baik.
Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat. Maka penguatan lembaga DPD secara tidak langsung adalah penguatan kedaulatan rakyat. **
Penulis adalah anggota DPD RI.