Tidak Mudah Menjadikan Anies Presiden
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik
APA yang kurang di dalam diri Anies Baswedan untuk jabatan presiden? Tidak ada. Kecuali bagi orang-orang yang mendasari sikap mereka pada prinsip “pokoknya Anies tak boleh menjadi presiden”.
Anies menyanggupi semua kriteria berat untuk posisi RI-1. Kapabilitas (kecakapan)? Kapasitas (kemampuan)? Integritas (nama baik)? Personalitas (kepribadian)?
Semua ini sudah diuraikan banyak penulis sebagai testimoni. Diakui oleh puluhan lembaga penilai lewat “appraisal” mereka. Baik lembaga dalam negeri maupun lembaga internasional. Deretan pengakuan itu tertulis di atas lembaran penghargaan, terukir di berbagai plakat, piala, dan prasasti mini, serta diucapkan secara terbuka di banyak acara apresiasi untuk gubernur/pemimpin kota besar.
Tidak usahlah kita jelaskan lagi tentang bagaimana Anies memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan di atas. Cukuplah diingat bahwa selama 4.5 tahun ini, Anies meraih puluhan, atau mungkin ratusan, penghargaan. Bermacam-macam sudut penilaian. Termasuklah perbaikan drastis dalam sistem transportasi Jakarta, pembenahan trotoar untuk pejalan kaki, pembenahan dan pembinaan pedagang kaki lima, pengelolaan keuangan, persaingan usaha, dlsb.
Ada lagi layanan digital administrasi di semua sektor, pembangunan fasilitas umum dan olahraga, perumahan untuk warga tak mampu, perbaikan kawasan kumuh, hingga bantuan penuh untuk anak-anak difabel (fisik tak sempurna). Ini semua dikerjakan oleh Anies tanpa publikasi. Dan memang bukan publikasi yang menjadi tujuan.
Itulah prestasi Anies. Sebagian kecil saja yang bisa dituliskan di sini. Banyak lagi yang tak diketahui publik, khususnya media massa.
Berdasarkan tumpukan prestasi itulah kemudian orang-orang dari seluruh pelosok Indonesia merasa Anies sangat pantas, bahkan lebih dari pantas, untuk memimpin bangsa dan negara ini. Tak berlebihan kalau disimpulkan bahwa rakyat menginginkan Anies duduk sebagai presiden.
Fakta-fakta di lapangan (i.e. ketika Anies berinteraksi dan bertatap muka dengan masyarakat) membenarkan kesimpulan yang berbasis observasi itu. Silakan saja eksplorasi rekaman video yang tersedia di berbagai aplikasi umum maupun aplikasi terbatas (grup).
Begitu juga pengukuran yang dilakukan secara ilmiah dan metodologis. Ini, misalnya, tampak dari berbagai hasil survei. Elektabilitas dan popularitas Anies terus mendaki. Semua ini dipicu oleh data, persepsi, dan keyakinan publik tentang kemampuan gubernur Jakarta itu.
Mengamati semua ini, maka pikiran jernih dan perasaan yang jujur akan menyatu dalam kesimpulan yang telah disebut di atas tadi. Bahwa Anies wajar menjadi presiden dan dia akan menjadi sumber solusi untuk krisis jamak dimensi yang sedang melanda Indonesia.
Tetapi, sayangnya, ada rombongan manusia berakal dan berkepintaran yang tak rela Anies menjadi presiden. Rombongan ini tidak besar tetapi sangat kuat. Mereka memusuhi Anies tanpa logika dan dialektika.
Mereka terdiri dari orang-orang yang banyak aneka. Mereka bisa jadi dari kalangan intelektual yang cacat pikiran, bisa juga dari gerombolan pembenci Anies tanpa alasan, termasuklah buzzer murahan. Atau bisa pula dari kalangan pemodal dan pengusaha besar yang memiliki kekayaan triliun yang berbilang ratusan.
Merekalah yang selama ini, terkhusus dua pilpres terdahulu, mengatur siapa yang harus menjadi presiden. Mereka pula yang memberikan warna kental dalam pembuatan legislasi. Kepada merekalah kekuasaan berpihak dan bertanya tentang apa yang harus dilakukan.
Mereka paham siapa Anies dan apa yang akan diakukannya di kursi presiden. Rombongan yang minus logika dan minus dialektika itu siap menjegal. Banyak yang bisa mereka lakukan. Proses demokrasi dengan aturan-aturannya menjadi tak penting bagi mereka. Dan tak akan menghalangi keinginan mereka.
Jadi, Anies memiliki semuanya untuk kemajuan Indonesia. Tapi, tidak mudah menjadikan beliau sebagai presiden. Ini bukanlah bayangan pesimistis. Hanya notifikasi agar semua orang bersiap-siap menghadapi situasi yang sangat getir.[]
Medan, 23 April 2022