Titik Nol
Bagai terserang penyakit kronis lagi akut pada bangsa ini. Seiring itu pula, upaya penyembuhan sulit dilakukan. Hanya ada keluhan dan gerutu yang tak berkesudahan. Begitupun rasa sakit dan penderitaan yang mendera, menjangkiti pada tiap orang lalu menular secara massal.
Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
HANYA ada pilihan sulit, bertahan hidup atau tidak sama sekali. Sulit untuk berpikir dan bertindak secara kolektif kebangsaan. Paling mudah diraih dan masuk akal adalah mengurus diri sendiri, keluarga atau golongannya. Jadilah negeri ini dipenuhi peradaban zombie, saling membunuh untuk menyelamatkan nyawa masing-masing. Sendiri-sendiri atau berkelompok mencari mangsa, kemudian mulai melirik di dalam lingkungannya sendiri, saat diluar tak ada lagi makanan yang bisa disajikan.
Rasanya semakin sulit untuk menemukan hal-hal baik dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya ada dan dipertontonkan secara telanjang berupa nilai-nilai yang tidak ideal. Situasi yang kompleks yang dipenuhi distorsi, semakin nyata mewujud pemerintahan dan negara gagal. Mirisnya, Apa yang terlanjur salah dan mengalami kerusakan parah, bukanlah sesuatu yang mudah diperbaiki dan dikembalikan seperti semula.
Setelah porak-poranda kehidupan rakyat karena keblingernya pemerintah dalam mengelola republik. Kehancuran negeri bahkan mungkin bisa terjadi jauh lebih mengerikan dari akibat gunung meletus, gempa bumi dan sunami yang parsial. Sebabnya kerusakan oleh kedzoliman dan pelbagai bentuk penindasan dari perilaku kekuasaan itu, menimbulkan luka yang membekas. Lebih dari sekedar akibat fisik, disorientasi sosial yang berkesinambungan telah menyerang mental dan psikis rakyat. Mendorong munculnya sikap skeptis dan apriori terhadap negara. Rakyat tak peduli lagi negeri ini maju atau terbelakang sekalipun. Keprihatinan dan keterpurukan sebuah bangsa yang membutuhkan ongkos sosial yang sangat mahal.
Indonesia telah memasuki fase kesempurnaan kejahatan insitusi negara. Kemiskinan dan kebangkrutan juga disintegrasi mengintai negeri. Kemakmuran dan keadilan menjadi alergi berkepanjangan. Demi uang dan jabatan, kekuasaan tega menumpahkan darah dan memutus rantai persaudaraan. Nyawa rakyat tak lebih mahal dari harga sebatang rokok. UUD 1945, Panca Sila dan UUD 1945 tak lagi terhormat dan lebih mulia dari sekedar investasi berujung penumpukan modal dan kapital.
Spiritualitas kebudayaan bangsa hanya mampu melahirkan agama sebagai status sosial, bukan penghambaan kepada Sang Pencipta. Agama cenderung telah dijadikan perangkat kemewahan hidup dan pesta pora sekaligus alat memutilasi keberadaban serta mengobarkan peperangan. Bangsa ini terlanjur dalam dilumuri kejahatan kemanusiaan berkedok negara.
Menunggu kesempurnaan entah pada kehancuran atau kebangkitan. Tak terhindarkan dan opsi apapun yang dipilih, bangsa ini berada pada titik nol. (*)