Tragedi Ade Armando, dan Kerja Buzzer Setengah-setengah
Oleh Ady Amar - Kolumnis
ENTAH malam sebelum peristiwa itu terjadi, Ade Armando sebenarnya mimpi apa. Kemarin, Senin (11 April) sore hari. Sekitar pukul 16.00. Peristiwa itu terjadi. Peristiwa dahsyat yang dialami dosen Ilmu Komunikasi, Fisip UI, dan pegiat media sosial.
Dalam hitungan menit, peristiwa menghajar Ade Armando (selanjutnya disebut AA) menyebar ke pelosok bumi. Tidak saja scope Indonesia. Dunia saat ini terasa kecil, dan bisa ditempuh dalam hitungan menit bahkan detik, pesan yang disebar menyeruak kebelahan dunia.
Maka, berita tidak selayaknya saat Aksi Demonstrasi Mahasiswa, yang diawaki BEM SI, itu menyita perhatian publik. Tidak saja para mahasiswa yang hadir di sana, tapi juga mereka yang simpati pada isu tuntutan mahasiswa. Maka, semua unsur dalam masyarakat hadir di sana. Tidak ketinggalan Emak-emak militan, yang pusing mengatur uang belanja, karena hampir semua kebutuhan primer naik mencekik. Maka, gerakan mahasiswa dengan isu yang digulirkan itu mendapat kesesuaian dengan apa yang dirasakan publik luas.
Demonstrasi di mana pun yang melibatkan banyak orang, ribuan bahkan puluhan ribu, pastilah ada kelompok yang punya agenda lain dengan mencoba bermain di air keruh. Biasa disebut juga dengan penumpang gelap. Punya misi mengacaukan gerakan dari tujuan yang digagas semula. Agar dari gerakan simpati menjadi antipati. Orang menyebut ini kerja "intelijen". (Sengaja diberi tanda kutip pada kata intelijen, agar tidak bias makna seolah itu digerakkan lembaga intelijen resmi/BIN). Kerja "intelijen" dengan misi khusus itu mestinya tugas Kepolisian untuk membongkarnya, jika benar ingin mencari tahu aktor penggerak penganiayaan pada AA.
Pada awal kejadian AA diperlakukan dengan brutal dan keluar dari norma kepatutan, itu bisa jadi mayoritas khususnya massa yang pernah tersakiti khususnya umat Islam, senang dengan perlakuan atasnya. Narasi yang muncul, misal rasain lho, sesuai dengan apa yang diperbuatnya, dibayar kontan sesuai dengan sumpahnya, Alhamdulillah... dan seterusnya. Sepertinya, semua merasa puas atas upaya penghakiman itu.
Foto-foto dan bahkan video sadistis perlakuan terhadap AA menyebar ke ruang publik. Bahkan fotonya tertelungkup di aspal tanpa baju dan hanya menyisakan celana dalam warna hitam, itu tersebar luas. Wajah AA yang babak belur dengan wajah dan kepala mengucur darah, jalan tertatih-tatih dengan pengawalan polisi itu menyebar dengan angle pengambilan sudut gambar berbeda menyebar lewat WhatsApp khususnya. Semua merasa terpuaskan, lalu berlomba-lomba mengabarkan pada yang lain.
Ada kepuasan massa atas tragedi itu. AA memang menyimpan bara kemarahan umat yang belum terselesaikan--yang muncul pada saat ia sebenarnya, sebagaimana pengakuannya--memonitor gerakan mahasiswa. Menurutnya, ia sepakat dengan tuntutan mahasiswa, utamanya menolak Jokowi 3 Periode atau penundaan pemilu. AA konsen pada demokratisasi, yang tidak boleh dicederai.
Tapi AA lupa, bahwa di lapangan ia lebih dikenal sebagai buzzer penista agama, yang kebal hukum. Banyak kasus hukumnya yang dilaporkan, bahkan sejak 2017 ia tersangka pada satu kasus, dan sampai sekarang kasusnya mandek di Kepolisian. Sebagai buzzer ia punya semacam privilage untuk tidak disentuh. Sikap jumawa merasa kuat. Maka ia aktif memproduksi ujaran kebencian yang nyerempet penghinaan atas agama (Islam).
AA lupa dan merasa kuat juga di alam nyata, bukan alam maya (medsos). AA tidak memahami psikologi massa, yang melihatnya sebagai penista agama. Munculnya ia di hadapan para demonstran heterogen, yang dengan kepentingannya masing-masing, memunculkan kejadian mengerikan bahkan sadistis itu. Lalu, yang jadi sasaran melakukan perbuatan menghakimi sendiri itu umat Islam.
Gaung bahwa pelakunya itu kelompok intoleran, radikal, dan bahkan kadrun (julukan para buzzerRp pada kelompok yang aktif mengkritisi rezim). Tampak Denny Siregar, Abu Janda dan lainnya mengambil kesempatan menyudutkan kelompok Islam, yang disebutnya intoleran ada di belakang perlakuan menghajar AA dengan sadistis itu.
Denny Siregar dan Abu Janda muncul dengan "menantang-nantang" massa yang disebutnya kaum intoleran/kadrun, yang cuma beraninya menghajar AA dengan cara beramai-ramai. BuzzerRp semacamnya itu memang cuma dibekali narasi menghantam pihak yang mengkritisi rezim, entah itu tokoh, pemimpin partai politik, pengamat politik, ulama. Pokoknya siapa saja yang mengkritisi rezim, muncul pembelaan mereka dengan narasi gonggongan tidak berkelas.
AA tentu beda dengan buzzerRp yang tanpa nalar itu. AA masih punya daya kritis pada hal-hal tertentu, khususnya yang berkaitan dengan demokratisasi dan hak asasi manusia. AA masih bisa bersikap lempeng soal-soal itu. AA tidak bisa "dijinakkan" sejinak-jinaknya. AA menjadi tampak serba tanggung, yang bisa dihantam kiri-kanan pada waktunya.
Dan, kejadian kemarin itu, pastilah bisa ditarik sebagai sebuah analisa, siapa sebenarnya yang bermain di situ. Bermain menggebuki AA sampai babak belur. Tentu paling mudah adalah menyudutkan kelompok yang dinarasikan buzzerRp sebagai kaum intoleran/radikal/kadrun. Padahal analisa lain bisa diambil, misal bahwa AA sudah dianggap melenceng dari khittah buzzer, yang harus terus menggonggong sambil membuang nalar ke tong sampah. Maka, menyudahi "kontrak kerja" dengan AA sudah waktunya diputus. Dan itu dengan dihajar babak belur sebagai sinyal pada yang lain agar tidak bermain-main dengan kerjanya.
Semua analisa bisa dibuat atas peristiwa yang menimpa AA. Berharap AA tersadar dan mengambil ibrah dari kejadian yang menimpanya, bahwa jangan bermain-main dengan sesuatu yang beraroma keyakinan/keimanan. Apalagi dipakai bahan candaan. Bagus jika ia jadikan itu peringatan dari Tuhan untuk introspeksi diri. Dan satu lagi, sebaiknya bekerjalah pada tempat yang sesuai dengan nalar yang masih bisa dipakai dengan sempurna. Jangan setengah-setengah. Itu bisa mengakibatkan peristiwa tidak mengenakkan, sebagainana yang dialaminya... Wallahu a'lam (*)