Trump, AIPAC, Israel dan Negara Palestina Merdeka

Oleh Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti

AMERIKA adalah strong Alliance Israel. Selama 75 tahun terkahir, secara terbuka mendukung pendudukan, perampasan tanah dan etnich cleansing di Palestina. 

Banyak pihak mencemaskan keterpilihan Trump. Karakternya lebih arogan, lebih buas dibanding Presiden Biden. Akankah Trump mendatangkan bencana yang lebih besar dibandingkan apa yg sudah dilakukan Biden sejak 7 Oktober 2023 lalu?

Sama seperti Biden, Saat menjabat Presiden AS pada periode 2017-2021, Trump menonjolkan dirinya sebagai pemimpin pro Israel. Namun strategi dan bentuk dukungan keduanya terhadap kependudukan Israel di Palestina sangat berbeda. 

Biden pro terhadap 'two state sollution'. Masih memberi kesempatan bagi kemerdekaan Palestina meskipun dengan kepemilikan wilayah yang tidak proporsinoal dan pemerintahan baru yang nantinya tetap berada di bawah kendali Amerika-Israel. 

Sementara Trump, pada periode 2017-2021, sama sekali tidak menginginkan berdirinya negara Palestina merdeka dengan batasan wilayah tertentu. 

Trump dengan ngototnya, mendorong dan mendukung Netanyahu pindahkan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem secara resmi pada Mei 2018 lalu. Trump pasang badan menghadapi badai kritikan global atas ambisi tersebut dengan mendeklarasikan pemindahan kedutaan besar Amerika untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. 

Ambisi pemindahan Ibu Kota Israel dan kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Israel bukanlah gagasan pribadi Trump. Melainkan bersumber dari perintah patron kebijakan politik luar negeri Amerika. 

Pada 1995, Kongres Amerika mengesahkan Undang-undang tentang 'Jerusalem Embassy Act'. Isi berbicara soal cita-cita dan kewajiban setiap pemimipin Amerika memindahkan kedutaan Amerika ke Yerusalem dan menetapkan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. 

UU Jerusalem Embassy Act Amerika, lahir berdasarkan rekayasa dan tekanan kelompok Yahudi berkebangsaan Amerika yg tergabung dalam AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). 

Dalam porses pengesahannya, AIPAC melancarkan lobi secara masif hingga sukses mempengaruhi mayoritas suara di dua partai: Demokrat dan Republik. 

Pada akhirnya, RUU tersebut disahkan dengan suara hampir bulat di kedua kamar Kongres: 93 suara mendukung dan 5 menentang di Senat, dan 374 suara mendukung dan 37 menentang di Dewan Perwakilan Rakyat. 

UU ini menjadi pintu masuk lobi resmi dan tekanan AIPAC kepada setiap presiden terpilih Amerika untuk mengesahkan kebijakan politik luar negeri dalam rangka mendukung pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem. 

AIPAC didirikan pada 1951 oleh sejumlah tokoh Yahudi kebangsaan Amerika. Beberapa di antaranya, Isaac Ike Oren, Eddie Goldberg dan Rockeffeler. 

Sampai hari ini, dengan kekuatan dan kendali atas kekayaan keuangan global, AIPAC menjadi salah satu kelompok lobi pro-Israel yang paling berpengaruh di AS, dengan fokus pada advokasi kebijakan luar negeri yang mendukung Israel di Kongres dan Pemerintah AS. 

AIPAC berperan signifikan dalam mengendalikan konstalasi politik Amerika termasuk dalam mengendalikan pemilihan presiden. Para anggota serta pendukungnya terdiri dari konglomerat terkaya dunia, politisi, pejabat, dan aktivis yg secara aktif berpartisipasi dalam mendukung kebijakan luar negeri AS yang pro-Israel. 

Mereka mengendalikan kebijakan partai Demokrat dan Republik di Amerika. Kontestasi pilpres Amerika hanyalah seremonial. Siapapun yang terpilih, peran AIPAC mendominasi. 

Dalam kasus pertarungan pilpres Amerika 2024 ini, mayoritas pemodal AIPAC berdiri di belakang Trump, mulai dari para pendukung dan anggotanya. 

Di antaranya, Elon Musk dengan dukungan US$ 26,5 triliun, Larry Ellison US$ 9,9 triliun, Warrent Buffent US$ 7,6 triliun, Jeff Bezos US$ 7,1 triliun, Larry Page US$ 5,5 triliun, Sergey Brin US$ 5,2 triliun, Steve Ballmer US$ 2,8 triliun, Bill Gates US$ 1,8 triliun, Mark Zuckerberg US$ 1,9 miliar dan Bernard Arnault US$ 2,9 triliun. 

Meskipun tidak semuanya keturunan Yahudi berkeangsaan Amerika, tapi seluruhnya sejauh ini, baik secara terbuka maupun di balik layar, terlibat aktif sebagai pendukung dan anggota AIPAC yang turut melobi dan memanfaatkan kebijakan politik luar negeri Amerika mendukung arogansi Israel di Timur Tengah, terutama di  Palestina. 

Para pemodal pro Israel itulah yang akan menjadi barometer utama kendalikan kebijakan politik luar negeri Trump di Timur Tengah, terutama di Palestina. 

Para pemodal pro Israel tersebut, memiliki visi yang sama dengan pendukung utama  Partai Republik yang menjadi kendaraan Trump menangkan Pilpres. 

Pendukung utama partai Republik adalah pendukung garis keras pro Israel dari kalangan Evangelikal Kristen. Kelompok ini memiliki pandangan religius yang mendukung keberadaan Israel sebagai bagian dari keyakinan mereka tentang nubuat alkitabiah. 

Hal itulah yang mendasari latar belakang haluan Ideologi konservatif yang diadopsi Partai Republik. Dalam kebijakan luar negerinya, Republik mengadopsi sikap pro-Israel sebagai sekutu penting di Timur Tengah. 

Menjalin kerjasama yang kuat dengan Israel sangat penting untuk menjembatani kepentingan nasional Amerika di Timur Tengah,  baik dalam hal stabilitas kawasan maupun sebagai penangkal terhadap pengaruh negara-negara seperti Iran, Rusia dan Cina. 

Di masa awal Trump 2017-2021, Partai Republik selalu konsisten sahkan kebijakan luar negeri yang tegas untuk mendukung Israel berlaku arogan terhadap Palestina. Termasuk langkah-langkah seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem. 

Bukan cuma itu saja, Trump di bawah kendali ideologi konservatif partai Republik, menjalankan skenario untuk memutus harapan warga Palestina memperoleh kemerdekaan, menyeret Palestina ke dalam proses isolasi yang makin dalam. 

Hal itu diwujudkan lewat gagasan Trump soal "Judeo-Christian values" (nilai-nilai Yudaisme-Kristen) yang dijadikan sebagai dasar bagi pendekatan sosial dan kebijakan politik tertentu. 

Gagasan ini berujung pada lahirnya Skema Abraham Accords. Skema Amerika mendesak negara-negara Arab Timur Tengah Normalisasi Diplomasi dengan Israel, jadikan Israel sebagai imam yang menjalankan misi imperalisme masa depan Amerika di Timur Tengah, termasuk di Palestina. 

Semua negara Arab yang sudah masuk Abraham Accords diberikan berbagai kompensasi dengan syarat wajib jadikan Israel sebagai mitra stratgis di kawasan. Kebijakan ini membuat negara-negara Arab berlpas diri dari perjuangan kemerdekaan Palestina. Memutus paksa harapan palestina wujudkan kemerdekaan secepatnya. 

Terpentingnya, Trump di bawah perintah Jerusalem Embassy Act 1995 Amerika, dihadapkan pada Esther Policy.  Kebijakan yang intinya menganggap siapa pun yang mendukung ataupun terafiliasi mendukung kemerdekaan Palestina atau Hamas akan dianggap teroris dan pendukung teroris. 

Yerusalem adalah harapan besar warga Palestina di masa depan. Wilayah itu, dicita-citakan sebagai ibu kota Palestina ketika merdeka. Siapapun yg berfikir, mendukung dan menjalankan cita-cita tersebut akan dinilai sebagai teroris yang harus dilenyapkan. 

Sesuai amanat konstitusi Amerika 1995, Yerusalem wajib dijadikan sebagai ibu kota Israel. Ini masuk dalam salah satu perintah ideologi konservatif partai Demorkat. Apakah Trump akan mengupayakannya ? Waktu akan menjawab. 

Saya teringat dengan kalimat Trump saat berpidato pada malam puncak pertemuan AIPAC Maret lalu. Di hadapan para Yahudi Amerika, sembari memuji dukungan masa lalunya terhadap Israel, Trump menyebut: 

"Ancaman kehancuran total, itulah yang sedang kalian bicarakan dan kalian hadapi, ingat bahwa kalian hanya memiliki pelindung besar dalam diri saya. Anda tidak memiliki pelindung di pihak lain,"

149

Related Post