Ujian Kapolri Baru, Koreksi Narasi Komnas HAM yang “Identik” dengan Polri
by Mochamad Toha
Surabaya FNN - BISA dipastikan, Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang kini menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri yang namanya diajukan Presiden Joko Widodo ke Komisi lll DPR, Rabu (13/1/2021) ini untuk diproses mengikuti fit and propper test.
Dari 5 calon Kapolri pengganti Jenderal Polisi Idham Azis yang akan pensiun 30 Januari ini yang diserahkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Presiden Jokowi akhirnya menunjuk Komjen Listyo untuk mengikuti uji kelayakan di Komisi III DPR.
Penunjukan Komjen Listyo sebagai Kapolri, memang sudah diprediksi sebelumnya, karena kedekatan (chemistry) antara Listyo pribadi dengan Presiden Jokowi.
Pria kelahiran Ambon, Maluku, 5 Mei 1969, itu adalah pati lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1991. Selama ini, Listyo Sigit dikenal dekat dengan Presiden Jokowi. Kedekatan itu diperkuat saat ia bertugas sebagai ajudan Presiden pada 2014-2016.
Kedekatan Listyo Sigit dan Jokowi terbangun dalam peristiwa yang mengguncang Solo pada September 2011, yakni bom bunuh diri di halaman Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton. Bom itu meledak hanya berselang lima bulan setelah ia dilantik menjadi Kapolres Solo.
Peristiwa bom itu cukup memukul karena tiga hari kemudian, Solo mesti menjadi tuan rumah Asian Parliamentary Assembly atau Majelis Parlemen Asia. Pada saat yang sama, Walikota Jokowi sedang gencar mempromosikan Solo sebagai destinasi wisata.
Sigit lalu meyakinkan bahwa Solo aman. Dia bergerak mengamankan acara internasional itu dengan memulihkan kepercayaan wisatawan, dan juga pendatang.
Listyo Sigit resmi dilantik menjadi Kepala Bareskrim Polri pada Senin, 16 Desember 2019. Dia mengisi kursi lowong setelah pejabat sebelumnya, Idham Azis dilantik menjadi Kapolri. Sebagai pejabat Bareskrim baru, jenderal bintang tiga itu mematok target kerja.
Utamanya mengevaluasi reserse dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Selama berkarier, Listyo Sigit pernah beberapa kali menduduki jabatan strategis di Polri.
Lulusan S2 Universitas Indonesia dengan tesis penanganan konflik etnis di Kalijodo Jakarta itu pernah menjabat Kapolres Pati (2009) dan tahun selanjutnya menjadi Kepala Kepolisian Resor Sukoharjo (2010). Setelah itu, dia menduduki posisi Wakapoltabes Semarang, dan pernah menjadi Kapolres Solo.
Pada 2012, Jokowi yang diusung oleh PDIP maju sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menang dalam Pilkada tersebut, Listyo Sigit juga ikut pindah ke Ibu Kota Negara di Jakarta dengan menjabat Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri.
Pada 2013, Listyo Sigit dipercaya menjadi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara (2013), namun pada 2014 setelah Jokowi menjadi Presiden, ia kembali ke Jakarta untuk mengemban tugas menjadi ajudannya pada 20 Oktober 2014 hingga 5 Oktober 2016.
Selanjutnya ia mendapat promosi jabatan sebagai Kapolda Banten dan menyandang pangkat Brigjen. Listyo Sigit memimpin Polda Banten selama 2 tahun, yakni 5 Oktober 2016 hingga 13 Agustus 2018.
Selepas menjabat Kapolda Banten, ia menjadi salah satu anggota polisi yang mendapatkan promosi jabatan di lingkungan Mabes Polri, menjadi Kadiv Propam menggantikan Irjen Martuani Sormin, yang ditugaskan sebagai Kapolda Papua.
Setelah kosong selama 35 hari sejak ditinggalkan Idham Azis, melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/3229/XII/KEP/2019 pada 6 Desember 2019, diterangkan Kadiv Propam Polri Irjen Polisi Listyo Sigit Prabowo menjadi Kabareskrim Polri.
Selama menjabat Kabareskrim Polri banyak kasus besar yang berhasil dibongkar bersama anak buahnya. Kasus yang menonjol adalah penangkapan buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra di Malaysia.
Penangkapan Djoko Tjandra dipimpin langsung oleh Komjen Listyo sekaligus membuka tabir sejumlah pihak yang terlibat. Dari lima tersangka, 2 di antaranya anggota polisi yakni Brigen Pol Prasedjo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonarparte.
Kasus menonjol lainnya adalah kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyidik Bareskrim telah menetapkan 8 orang sebagai tersangka.
Mereka adalah tukang di Kejaksaan Agung berinisial, T, H, S, dan K. Pekerja lain yang mengerjakan wallpaper berinisial IS, mandor berinisial UAM, vendor maupun PT ARM inisial R dan PPK inisial NH.
Kasus besar lainnya yang dibongkar jajaran Bareskrim adalah mengungkap narkoba jenis sabu sebanyak 1,2 ton, 35.000 butir pil ekstasi dan 410 Kg ganja selama kurun waktu Mei-Juni 2020.
Barang bukti tersebut disita dari jaringan Iran-Timur Tengah yang ditangkap di dua lokasi berbeda, yakni Serang, Banten, dan Sukabumi, Jawa Barat. Dari hasil penangkapan itu, Tim Satgas Merah Putih berhasil mengamankan 7 orang tersangka.
Kasus lain yang menjadi perhatian publik adalah membantu menangkap Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan BNI 46 senilai Rp1,7 triliun. Penangkapan ini dipimpin langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.
Dalam beberapa kesempatan Komjen Listyo menegaskan bahwa penuntasan berbagai kasus merupakan bentuk komitmen, transparansi di tubuh Polri. Terutama kasus Djoko Tjandra yang melibatkan 2 anggota polisi berpangkat Brigadir Jenderal.
“Bareskrim Polri terus melakukan pembenahan internal untuk lebih profesional dan produktif dalam penanganan penegakan hukum di Indonesia,” ungkap Komjen Listyo.
Tugas Berat
Sebagai pejabat yang ikut menangani kasus penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab yang kini sedang berproses, Listyo Sigit bakal diuji dengan tugas berat. Yakni, membangun kembali trust rakyat kepada institusi Polri yang selama ini mulai pudar.
Simpang-siur narasi pejabat Polri seperti Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran terkait kasus penembakan 6 laskar FPI di KM 50 hingga KM 51 Tol Jakarta-Cikampek pada Minggu malam, 6 Desember 2020, hingga Senin dini hari, 7 Desember 2020, harus dibuka kembali.
Hasil akhir investigasi Komnas HAM memang nyaris sama narasinya dengan tim Bareskrim Polri: “Insiden bentrok antara polisi dengan anggota FPI hingga terjadi tembak-menembak!” Sepertinya Komnas HAM lebih percaya pada versi Polisi ketimbang FPI.
Hasil penyelidikan Komnas HAM terkait “insiden bentrok” antara polisi dengan anggota FPI menyatakan telah terjadi pelanggaran oleh pihak kepolisian. Hal ini terkait penembakan oleh polisi terhadap empat anggota FPI.
Komnas HAM menyebut kasus ini sebagai “Peristiwa Kerawang”. Terkait peristiwa KM 50, terdapat 4 orang masih hidup dalam penguasaan resmi petugas negara yang kemudian ditemukan tewas, maka peristiwa tersebut bentuk peristiwa pelanggaran HAM.
Begitu kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (8/1/2021).
“Penembakan sekaligus 4 orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuh korban jiwa mengindikasikan ada tindakan unlawful killing terhadap laskar FPI,” ujar Choirul Anam.
Komnas HAM merekomendasikan peristiwa tewasnya 4 laskar FPI dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana. Komnas HAM juga merekom pengusutan itu lebih lanjut dugaan kepemilikan senjata api yang diduga digunakan pihak FPI.
Sejak peristiwa terjadi, Komnas HAM melakukan peninjauan langsung ke lokasi peristiwa, Kerawang, pada 8 Desember 2020. Komnas HAM bekerja sesuai mandat Komnas HAM Pasal 89 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sejak Senin, 7 Desember 2020.
Dalam peninjauan itu, pihaknya menemukan beberapa benda yang diduga sebagai bagian peristiwa tersebut. Beberapa diantaranya tujuh buah proyektil, tiga buah slongsong, bagian peluru, pecahan mobil, dan benda lain dari bagian mobil seperti baut.
Komnas HAM juga meminta keterangan terhadap sejumlah pihak, antara lain kepolisian, siber, inafis, dan petugas kepolisian yang bertugas, hingga pengurus FPI.
Komnas HAM juga mendalami bukti-bukti 9.942 video dan 137 ribu foto yang berkaitan dengan insiden tersebut. Bukti itu dijadikan tahap finalisasi laporan akhir Tim Penyelidik Komnas HAM sebelum mengumumkan hasil rekomendasi akhir.
Selain itu, Komnas HAM juga melakukan pengecekan terhadap barang bukti, termasuk mobil yang dipakai saat bentrok polisi-FPI itu terjadi. Komnas HAM juga melakukan rekonstruksi insiden bentrok ini di kantor mereka secara tertutup dengan menghadirkan anggota Polri.
Namun, nyatanya sebagian kalangan masyarakat tidak percaya dengan narasi Komnas HAM yang nyaris sama dengan Polisi. Kapolri Baru harus berani menyidik ulang!
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id