UU ITE Memang "Bangsat"

by A. Sofiyanto

Jakarta, FNN - Tampaknya, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa dijadikan alat ‘tukar guling’ dari penjara yang isinya tahanan kriminal berubah menjadi tahanan oposan pengeritik rezim serta kalangan warga terseret pasal karet pencemaran nama baik dan atau ujaran kebencian. Menkumham telah membebaskan puluhan ribu tahanan penjara yang mayoritas pelaku kriminal, malah sekarang penjara banyak terisi ‘korban’ tersangka pasal karet UU ITE. Apa sengaja penjara dikosongkan untuk diisi oleh tahanan lawan-lawan politik rezim penguasa? Ramai pula di medsos yang mempertanyakan ulama dikriminalisasi dan ditahan di penjara.

UU ITE dimulai era Presiden Megawati, disahkan era Presiden SBY, sekarang jadi ‘momok’ di era Presiden Jokowi. Seperti dilansir CNN Indonesia, Senin (26/2/2021), keberadaan UU No. 19/2016 tentang perubahan atas UU No. 11/2008 tentang ITE kembali jadi sorotan publik. Apalagi, pasal kaset UU ITE dibuat senjata untuk saling lapor sesama rakyat sehingga banyak "korban" dipenjara.

Dilansir dari situs resmi Kominfo, penjajakan penyusunan UU ITE dimulai di era Presiden Megawati, tepatnya pada 2003. Kala itu, dua buah RUU yakni Tindak Pidana Teknologi Informasi dan e-Commerce alias perdagangan elektronik dijadikan satu naskah RUU dan diserahkan ke DPR. Pembahasan UU ITE dibahas pada 2005 hingga 2007, dan disahkan era Presiden SBY pada 2008. UU ITE yang pada era SBY digunakan untuk memantau transaksi keuangan elektornik, kini. lebih banyak untuk menyeret lawan-lawan politik dan atau warga yang dianggap menyuarakan ujaran kebencian.

Bagian UU ITE yang kerap menjadi masalah di tengah masyarakat ialah di bagian kedua. Bagian yang tertuang di pasal 27 hingga 29 ini terus menjadi perdebatan, dianggap bersifat karet, dan disebut menjadi alat membungkam kritik yang dilayangkan ke pemerintahan Jokowi. Yang paling rawan menyeret seseorang dilaporkan ke polisi untuk dipenjara adalah pasal karet UU ITE pasal 28 ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Salah satu tokoh yang disebut dibungkam dengan UU ITE ialah musikus Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani dalam kasus 'Banser Idiot'. Dhani divonis penjara selama 1 tahun 6 bulan. Terakhir, Maaher dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian melalui media sosial kepada Habib Luthfi. Sebelumnya, Gus Nur (pengeritik keras rezim) ditetapkan menjadi tersangka ujaran kebencian kepada NU. Refly Harun menjadi pihak yang turut diperiksa oleh Bareskrim. Dengan sedikit-sedikit lapor polisi, sekarang muncul kaos bertuliskan sindiran “Tersinggung lalu melaporkan adalah budaya bangs akita yang terbaru”.

Pesidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Din Syamsuddin menilai UU ITE telah disalahgunakan oleh pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Din menilai UU tersebut awalnya dirancang oleh Presiden SBY untuk memantau transaksi keuangan elektronik yang bertujuan memberantas korupsi, namun kini UU ITE dipakai untuk menangkap aktivis serta menjerat ‘pengeritik’ di medsos. Din melihat berjalannya penerapan UU ITE saat ini telah salah kaprah. Sebab, penerapannya sudah melenceng dari tujuan awal saat dirancang untuk mengatasi kasus korupsi.

Aturan itu, lanjut Din, sudah membawa banyak korban yang dijadikan tersangka dan ditangkap oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian kerap kali menjadikan UU itu sebagai dasar untuk menangkap seseorang, Aktivis KAMI seperti Syahganda, Jumhur Hidayat hingga Anton Permana telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dengan dugaan menghasut kericuhan selama demo menolak Omnibus Law UU Ciptaker. UU ITE di era Presiden SBY dijadikan sebagai peralatan untuk menangkap penyelundupan transaksi keuangan secara elektronik, namun kini di era Presiden Jokowi dibuat untuk memborgol oposan para pengeritik? Muncullah headline di Harian Terbit: “UU ITE Berbahaya, Warga dan Tokoh Kritis Ditangkapi”.

Kini, tiba-tiba Presiden Jokowi menyatakan akan merevisi UU ITE karena menangkap kegelisahan publik yang menilai UU ITE tak memberikan rasa keadilan. "Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/2).

Publik pun dibuat kaget bak disambar geledek. Sebab, pihak rezim penguasa justeru yang sering menggunakan UU ITE untuk membungkam kelompok kritis/oposan terhadap kekuasaan. Publik pun menerka, apakah pernyataan presiden Jokowi itu serius atau basa-basi, apa sekadar untuk test the water? Yakni, memancing reaksi publik sebelum mengeluarkan kebijakan/keputusan. Seperti Kementerian Agama akan dihapus, kolom "Agama" KTP akan dihapus, lantas muncul isu larangan jilbab di BUMN serta tak boleh berjenggot dan celana cingkrang, dan dugaan test the water lainnya. Meski demikian, kalau langkah Presiden ternyata serius dilaksanakan merevisi UU ITE karena pasal karet, maka patut kita apresiasi.

Vokalis Rocky Gerung dengan skeptis menduga rencana merevisi UU ITE hanya tes ombak dan angin surga. Lagipula, selama ini sudah banyak janji rezim yang tidak diwujudkan. Namun sebaliknya, ada dugaan bahwa pemerintah memang sengaja mau merevisi UU ITE bersamaan dengan pemeriksaan buzzer pemerintah Abu Janda oleh polisi. Benarkah revisi UU ITE tersebut merupakan operasi untuk menyelamatkan Abu Janda dkk.? Wallahu a‘lam bi as-shawab.

Dilansir situs Kompas, Selasa (16/2/2021), Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengungkapkan ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE. "Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum," tulis Damar dalam sebuah kicauan. Salah satu pasal bermasalah yang dimaksud masih terkait dengan pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini disebut dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah. Pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana netizen yang melayangkan kritik lewat dunia maya.

Menindaklanjuti Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo usai Rapim TNI-Polri, menyatakan akan selektif dalam penerapan UU ITE untuk menghindari adanya saling lapor menggunakan pasal-pasal karet UU tersebut serta anggapan kriminalisasi gunakan UU ITE. Mudah-mudahan Kapolri benar-benar sadar bahwa banyak korban terkait hal remeh remeh dijerat pasal karet UU ITE. Jika antar rakyat saling lapor diteruskan, maka kerja polisi akan disibukkan dengan menangani calon tersangka berdasar UU ITE. Polri dengan anggaran nomor 3 terbesar, dibikin sibuk ngurusi warga saling lapor terkait masalah ecek-ecek dan abal-abal ketimbang menyeret kasus-kasus korupsi dan perkara yang jauh lebih penting lainnya.

Sebenarnya, usul revisi RUU ITE dari masyakarat sudah disampaikan pada tahun 2015, namun tidak direspon (dicuekin) oleh pemerintah. Yakni, Catatan dan Usulan Masyarakat Sipil atas RUU Perubahan UU ITE versi 16 April 2015, dimana pemerintah bisa membuka lagi filenya. Di situ antara lain, mengulas tindak pidana pasal 27, 28 dan 29 UU ITE.

Pasal karet UU ITE memang amat sangat mengancam sekali terhadap kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Sebab, pencemaran nama baik dan ujaran kebencian hanyalah berdasarkan perasaan subyektif menurut si pelapor. Bisa-bisa koruptor yang tersinggung karena diungkap kasus korupsi nya, dia pun lapor polisi.

Dalam pilpres 2019 lalu, calon presiden Prabowo pun saat di.masa kampanye pernah berjanji akan mencabut UU ITE jika terpilih menjadi presiden. Saat itu, dalam diskusi di media centre pasangan capres-cawapres 02, pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis setengah berkelakar mengatakan, “Kalau saya jadi presiden, rugi mencabut UU ITE karena bisa saya jadikan saja untuk memenjarakan lawan-lawan politik saya.”

Ternyata, dampak UU ITE berpotensi mengekang oposisi di negara demokrasi, maka sudah selayaknya UU ITE harus dihapus, minimal lenyapkan pasal-pasal karetnya. UU ITE telah menjadi ‘barang’ sesat dari penggunaan awalnya untuk memantau transaksi keuangan elektornik, kini digunakan untuk lebih banyak untuk menyeret lawan-lawan politik dan atau warga yang dianggap melakukan pencemaran nama baik/ujaran kebencian. UU ITE memang ‘bangsat’ alias barang sesat. (*)

Penulis adalah Wartawan Senior.

721

Related Post