DAERAH
Mengapa Anies Keluarkan Pergub Baru Reklamasi?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (06/07). Kok ada reklamasi baru? Bukannya Anies menentang reklamasi? Bahkan menghentikan reklamasi yang menjadi salah satu janji politiknya? Mengapa sekarang justru keluarin Pergub untuk reklamasi? Publik pun ramai menanggapi keluarnya Pergub tentang reklamasi tersebut. Publik tentu saja mempertanyakan kebijakan Anies yang tidak lagi konsisten dengan janji-janji kampanye. Sebab waktu kampanye, Anies berjanji menentang reklamasi, jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat bahkan telah siap untuk menggelar demo. Sebab Anies dianggap nggak lagi konsisten. Tidak seiya sekata antara janji kampanye dengan kebijakan di lapangan. Janjinya menentang. Eh, setelah terpilih malah melakukan rekalamasi. Keluarlah Pergub tentang reklamasi di Ancol. Cerita awalnya begini. Pada tahun 2009, ada keputusan untuk mengeruk 5 waduk dan 13 sungai di Jakarta. Kenapa harus dikeruk? Alasannya untuk mengurangi banjir di Jakarta. Sudah sebelas tahun kegiatan tersebut berjalan. Kemana saja tanah hasil kerukan 5 waduk dan 13 sungai tersebut dibuang? Ternyata ke pantai utara Jakarta. Tepatnya di wilayah Ancol Timur dan Ancol Barat. Menempel langsung dengan area yang dikelola oleh Taman Impian Jaya Ancol. Saat ini, kurang lebih ada 20 hektare "Tanah Timbul" di Ancol Timur. Itu hasil dari pembuangan lumpur sungai yang sudah bertahan-tahun dikeruk. Dari pada tanah lumpur itu bercecer kemana-mana, dan justru merusak ekosistem laut secara masif, maka perlu ada penertiban. Tentu harus dengan mempertimbangkan hasil kajian dampak dan manfaatnya. Setelah dilakukan kajian. Diantaranya yang terkait dengan penanggulangan dampak banjir, pemanasan global, pengambilan material perluasan kawasan, prasarana dasar, dampak lingkungan dan sejenisnya, maka diputuskan untuk memanfaatkan timbunan lumpur yang sudah ada itu. Dimanfaatkan sebagai lokasi perluasan Taman Impian Jaya Ancol. Jika semula "Tanah Timbul" yang sudah mencapai 20 hektare itu dibiarkan begitu saja. Padahal tenah itu akan terus bertambah seiring dengan proses terus-menerus pembuangan hasil kerukan lumpur di 5 danau dan 13 sungai sebagai pengendalian banjir di Jakarta. Maka akan jauh lebih teratur, rapi dan bermanfaat jika ditertibkan. Cara menertibkannya dengan merapikan tumpukan "Tanah Timbul" tersebut menjadi daratan yang rapi. Yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan maupun wisata. Untuk melakukan penertiban ini, tentu perlu legalitas. Untuk itu, ditertibkanlah Pergub untuk mengelolanya. Penetapan lokasi ini berpegang pada PKS antara Pemprov DKI Jakarta dan PT. Pembangunan Jaya Ancol pada tahun 2009 untuk perluasan lahan Ancol Timur seluas 120 hektare. Ingat, suah dari tahun 2009. Sudah sejak sebelas tahun yang lalu. Akan digunakan untuk apa saja? Salah satunya adalah untuk lahan museum Rasulullah. Yang peletakan batu pertamanya sudah dilakukan di bulan Februari lalu. Jadi, perluasan Taman Impian Jaya Ancol ini terkait dengan pengendalian banjir di Jakarta. Bukan asal reklamasi. Reklamasi ini sifatnya lebih menertibkan, merapikan, memanfaatkan dan memberi dasar hukum. Ada tidaknya perluasan Ancol, pembuangan lumpur hasil kerukan 5 waduk dan 13 sungai di Jakarta, akan terus berjalan dan memadati laut sebelah Timur dan Barat Ancol. Tahun demi tahun. Jika "Tanah Timbul" tak dirapikan, maka akan terjadi reklamasi alami tanpa memberi manfaat apapun, kecuali hanya mengganggu ekosistem. Juga akan menggangu pemandangan mata para nelayah dan kenyamanan wisatawan. Jadi, kalau ada yang berimajinasi bahwa penertiban "Tanah Timbul" yang nempel dengan pesisir Timur dan Barat Ancol ini sama dengan reklamasi 13 pulau yang dihentikan gubernur DKI, ya itu sih lebay saja. Mari buka dan lihat data baik-baik. Supaya lebih detil dan lengkap. Biar tak masuk dalam barisan salah paham. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Amarah Risma: Akibat Lemah Koordinasi dengan Pemprov!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Amarah Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang videonya viral di berbagai media, Jum’at, 29 Mei 2010, itu seharusnya tak perlu ditampakkan di muka umum. Dia bisa saja cari tempat lain, aman dari sorotan dan rekaman kamera wartawan. Sebab, kemarahan terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim itu bisa disalah-artikan warga. Terutama warga Surabaya yang die hard pada Risma. Apalagi, tudingan Risma itu ditujukan kepada GTPP Covid-19 Jatim yang berada di bawah kendali Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Hal ini juga bisa memancing reaksi Khofifah. Risma berbicara dengan nada keras. Risma mengamuk karena dua mobil PCR bantuan dari BNPB untuk Surabaya justru diserobot Gugus Tugas (Gugas) Covid-19 Jatim dan dialihkan ke daerah lain. Dalam video berdurasi 52 detik itu, Risma tampak sedang duduk menelpon seseorang dari dalam sebuah tenda, Jumat 29 Mei 2020. Mengenakan rompi hitam dan kaos merah dan berjilbab merah, Risma duduk dan dikelilingi beberapa anak buahnya. Melansir Vivanews.co.id, Jumat (29 Mei 2020 | 16:47 WIB), Risma terlihat betul-betul marah dengan pengalihan dua mobil BNPB untuk warga Surabaya yang dialihkan ke daerah lain itu. Tidak jelas dengan siapa ia berbicara di telepon genggam. Mengetahui bahwa 2 mobil PCR permintaannya diserobot Gugas Covid-19 Jatim, Risma pun melaporkan langsung pada Kepala BNPB Doni Monardo, pihak yang dimintai bantuan secara langsung oleh Risma. “Dapat sms, dapat WA-nya pak Joni, Kohar. Kalau itu untuk Surabaya. Opo opoan (Apa-apaan) gitu lo pak, kalau mau boikot jangan gitu pak caranya,” ungkap Risma dengan nada emosional dalam percakapan di telepon genggam itu. “Saya akan ngomong ini ke semua orang. Pak, saya ndak terima lo pak. Betul saya ndak terima pak. Saya dibilang ndak bisa kerja. Siapa yang ndak bisa kerja sekarang,” kata Risma berang. Yang sangat menarik perhatian tentunya saat Risma juga dengan lantang menyebut dua nama petinggi PDIP yang kini menjabat di pemerintahan, pusat yakni Puan Maharani (Ketua DPR-RI) dan Pramono Anung (Sekretaris Kabinet). “Kalau mau ngawur nyerobot gitu. Siapa yang ndak bisa kerja. Boleh dicek ke Pak Pramono Anung. Boleh ditanya ke Mbak Puan,” tegas Risma. Kepada wartawan, Risma membeberkan bukti chatting dirinya dengan Kepala BNPB Doni Monardo soal permintaan bantuan mobil PCR secara khusus untuk warga Surabaya. “Teman-teman lihat sendiri kan, ini bukti permohonan saya dengan pak Doni, jadi ini saya sendiri yang memohon kepada beliau. Kasihan pasien-pasien yang sudah menunggu,” kata Risma. Koordinator Bidang Pencegahan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Febria Rachmanita atau Fenny menjelaskan, sebetulnya pada Kamis kemarin, 28 Mei 2020, Surabaya sudah akan dibantu mobil laboratorium itu. Awalnya disebut akan langsung dipergunakan untuk pasien yang menjalani karantina di Asrama Haji Surabaya di Sukolilo dan Dupak Masigit yang di situ ada warga Krembangan Selatan. “Jadi, bantuan dari BNPB itu dua unit mobil laboratorium dan sudah kami tentukan titik-titiknya selama mobil itu berada lima hari di Kota Surabaya. Masing-masing titik itu kami siapkan 200 orang untuk dilakukan tes swab,” ungkapnya. Menurut Fenny, mereka itu yang belum dites swab dan waktunya swab ulang, “supaya cepat selesai penanganannya,” katanya kepada wartawan. Siapa yang bilang kalau 2 mobil dari BNPB itu yang mengajukan Pemkot Surabaya? Konon, mobil PCR itu realisasi pada, Rabu, 27 Mei 2020 atas pengajuan Pemprov Jatim pada Senin, 11 Mei 2020. Pemprov Jatim memang sedang memutar kerja dua unit Mobil mesin PCR dari Pemerintah Pusat melalui BNPB ke sejumlah daerah. Satu unit mobil mesin PCR bernopol B 7190 TDB dari BNPB, itu diserahterimakan BNPB pada Gugus Kuratif Covid-19 ke Pemprov Jatim di halaman Rumah Sakit Lapangan Covid-19 Pemprov Jatim, Jl. Indrapura No. 17 Surabaya, Rabu (27/5/2020) siang. Sedangkan, satu unit mobil mesin PCR lainnya diterima Kamis (28/5/2020). Usai diserah- terimakan, dua unit Mobil Mesin PCR tersebut langsung dioperasionalkan di Asrama Haji Surabaya serta RSUD Sidoarjo. Dan mobil mesin PCR juga akan difungsikan sebagai mobile laboratorium untuk daerah-daerah yang membutuhkan di Jatim. Surabaya dan Sidoarjo mendapat layanan pertama. Kemudian, kedua mobil itu akan melayani masyarakat Lamongan dan Tulungagung. Gubernur Khofifah menyampaikan terima kasihnya kepada BNPB yang terus mendukung Jatim untuk melakukan percepatan-percepatan dalam penanganan Covid-19. “Alhamdulilah, kami kembali mendapat bantuan dari BNPB, berupa dua unit mobil mesin PCR. Bantuan ini penting, karena saat ini kebutuhan mesin PCR test untuk swab memang yang paling dibutuhkan karena validitasnya paling tinggi,” ujar Khofifah, seperti dilansir Duta.co, Kamis (29/5/2020). Menurut politisi PAN Mila Machmudah Djamhari, kemarahan Risma itu justru menunjukkan arogansi dia yang tidak tunduk pada birokrasi. Sah-sah saja bila dia berkomunikasi langsung dengan BNPB atau pun Presiden. “Tetapi untuk koordinasi tetap ada aturannya. Sudah seharusnya Risma berkoordinasi dengan Gubernur terkait kebutuhan penanganan kasus Covid-19 di Surabaya. Bila Risma langsung koordinasi dengan Pusat mana Provinsi mengetahui rencana kerja Surabaya,” tegasnya. Kota dan Kabupaten lain selalu berkoordinasi sehingga Provinsi mengetahui kebutuhan dan rencana kerja mereka. “Salah besar bila Risma menuduh Provinsi memboikot kerja Risma karena Surabaya tidak berkoordinasi dengan Provinsi,” tegas Mila. “Risma tidak berhenti playing victim. Arogansi dia, ketidakpatuhan dia berkoordinasi dengan Pemprov sudah menyebabkan berkembang pesat penularan covid-19 di Surabaya,” lanjutnya. Mila mencontohkan, Malang Raya dengan kasus awal yang kurang lebih sama dengan Surabaya, ternyata berhasil mengendalikan perkembangan kasus Covid-19. “Bahwa benar kasus di Surabaya cukup tinggi karena banyak dilakukan test. Tapi yang perlu diingat, salah satu penyebab dilakukan ribuan test di Kota Surabaya karena kegagalan Risma mengendalikan kasus di PT HM Sampoerna yang dirahasiakannya,” ungkap Mila. Menurut Mila, salah besar melihat 2 emak itu sebagai sebuah persaingan. Ini hanya masalah ada yang tidak mau diatur. Khofifah sudah menjadi Menteri ketika Risma masih kepala Seksi di Pemkot Surabaya. Khofifah memiliki massa lebih besar dari Risma. Khofifah menjabat Ketua Umum Muslimat se-Indonesia. Khofifah pun bukan hanya memiliki back up politik yang cukup kuat tetapi juga back up ulama. “Secara kapasitas dan kredibilitas Khofifah juga tidak diragukan. Kemampuan komunikasi dan pengendalian emosi sudah sangat jelas Khofifah juaranya,” ungkap Mila. Menurutnya, Risma sepertinya memang bakal sering ribut gara-gara mispersepsi. Ternyata, mobil PCR dari Badan Intelijen Negara (BIN) itu bukan diberikan pada Pemkot Surabaya, teapi BIN yang menyelenggarakan kegiata tes Covid-19. “Jadi kelar giat mobil akan dibawa kembali oleh BIN. Rencananya BIN akan melakukan tes Covid-19 massal selama 4 hari di Surabaya,” ungkap Mila. Giat BIN ini bukan hanya rapid test saja, tapi juga PCR dengan menggunakan peralatan dari Korea Selatan yang paling lama 2,5 jam hasilnya sudah diketahui. Jadi, yang test tidak perlu harus menunggu di hotel 3 hari. Sehari juga kelar. Pelibatan BIN dalam penanganan Covid-19 ini dinilai Mila bagus. Jadi yang terkonfirmasi positif akan dilakukan contact tracing pada yang bersangkutan. Perselisihan antara Risma dengan Khofifah ini tidak akan melahirkan pemenang. Yang terjadi justru bakal melahirkan tumpukan pasien Covid-19 di Surabaya. Risma dan Khofifah jangan larut berselisih. Karena itulah yang diharapkan para petualang politik. Mereka sukses mengadu-domba kedua Srikandi Jatim tersebut. Penulis Wartawan Senior
Lindungi Warga DKI, Anies Pasang Badan
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (31/05). Ekonomi dunia collaps. Termasuk Indonesia. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi kondisi ini juga dirasakan oleh semua daerah. Pajak sebagai andalan pendapatan, turun sangat drastis. Wisata, restoran, tambang, properti, dan hampir semua bisnis ambruk. Otomatis, nggak ada pembayaran pajak. Anggaran negara jebol. Begitu juga anggaran daerah. Covid-19 memporakporandakan semuanya. Tak terkecuali DKI. APBD yang semalu Rp. 87,9 triliun, tekor menjadi hanya tingga Rp. 47,2 triliun. Gara-gara corona. Minimnya pemasukan, berakibat Gubernur DKI tagih Dana Bagi Hasil (DBH) ke Kementerian Keuangan. Sudah seharusnya begitu. Namanya juga hutang, mesti ditagih. Apalagi, DKI lagi butuh. Untuk KJP. Untuk bansos. Untuk atasi covid-19. Untuk selamatkan nyawa dan dampak ekonomi warga DKI. Menteri keuangan berkelit. Sejumlah menteri ikutan jadi tim penyerang. Nama BPK diseret-seret. Tak terima dilibatkan dalam DBH DKI, BPK berteriak. Ape urusannya sama gue? Kira-kira seperti itu kalau pinjam bahasa gaul betawi. Akhirnya, dibayar separo. Penagihan sukses. Sisanya? Nanti dicicil. Maklum, negara dalam keadaan susah. Harus saling memahami. Mau nyicil aja muter kesana kemari. Gerutu warga DKI. Hus, sabar. Nggak usah dilanjutin komennya. Sudah susah bayar utang, nggak usah dikasih komen macem-macem. Kasihan. Jangan tambah beban orang yang lagi sulit. Do’ain aja. Ini aja sudah lumayan. Mau nyicil. Ada i'tikat baik. Niat bayar hutang. Anies lega, meski harus terima bullyan dulu sebelum dibayar. Selama itu dilakukan demi rakyat, bullyan serasa lezat. Saatnya kencangkan sabuk anggaran. Pangkas pengeluaran yang tidak terlalu mendesak. Sortir sana-sini, prioritaskan kegiatan yang urgent. Tentu, kebutuhan untuk rakyat harus paling utama. Ini prinsip yang selama ini jadi pegangan gubernur DKI. Mengatasi covid-19, baik untuk anggaran kesehatan, maupun untuk tangani dampak ekonominya, butuh dana cukup besar. Yang jadi persoalan sesungguhnya bukan berapa besar kebutuhannya. Tapi persoalannya justru pada minimnya pemasukan. Pajak jauh merosot. Di DKI, pendapatan pajak yang semula Rp.50,17 triliun, turun jadi Rp. 22,5 triliun. Tinggal 45 persen saja. Sebab, dunia usaha sekarat. Tapi, lagi-lagi, demi selamatkan nyawa rakyat, demi ketahanan ekonomi rakyat, tak ada alasan untuk tidak melindungi rakyat. Baik ketahanan pangannya, terutama nyawanya. Meski anggaran terbatas, tak ada pegawai honorer DKI yang di-PHK. Sebanyak 120.000 pegawai PJLP dipertahankan. Ini tanggung jawab pemprov DKI untuk tetap membuka lapangan kerja. Dana bansos yang semula 188 M, dinaikkan jadi 5 T. Dengan penduduk paling sedikit di pulau Jawa, dibanding Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, tapi anggaran DKI paling besar. Belum ditambah operasi Baznas DKI yang membantu program bantuan sosial dengan anggaran ratusan miliar. Hingga satu waktu, sampailah Anies pada satu titik dilematis. Ada dana Rp. 2 tiliun. Ini mau dialokasikan untuk bansos bagi 1,2 juta warga prasejahtera, atau untuk "Tunjangan Kinerja Daerah" (TKD) pegawai DKI. Sangat dilematis. Pegawai tentu ingin TKD-nya dibayar penuh. Kalau kepotong, bini bisa ngamuk. Terutama bini simpanan. Emang ada? Kalau ada, lu juga nggak bakal tahu. Namanya juga simpanan. Anak-anak rentan protes, karena uang jajannya berkurang. Rencana beli ini-itu bisa batal. Potong "TKD" pegawai, berpotensi melahirkan kekecewaan. Semangat kerja bisa kendor. Tapi, mosok sih mau korbankan warga DKI dengan memotong anggaran bansos untuk 1,2 juta warga prasejahtera? Bagaimana menurut para pegawai? Kalau bisa, "TKD" jangan dipotong. Kalau dipotong, ya jangan banyak-banyak. Artinya, pegawai merekomendasikan potong juga jatah untuk bansos. Bagi-bagilah... katanya. Hadapi rekomendasi ini, Anies tersenyum. Lalu dengan lirih gubernur DKI ini bicara: "diantara kedua pihak yaitu pegawai dan 1,2 juta warga prasejahtera, mana yang lebih membutuhkan? Pegawai? Atau 1,2 juta warga prasejahtera itu?" Para pegawai, terutama elit strukturalnya, terdiam. "ini soal moral", lanjut Anies. Suara lirih Anies rupanya menyentuh hati anak buahnya. Akhirnya, pegawai pun sepakat untuk diberikan hanya 50 persen TKD-nya. Dan 1,2 juta warga prasejahtera DKI terima bansos. "Utuh" . Tidak ada pemotongan. Ini hanya soal kepekaan, social morality dan seni bagaimana memimpin. Menghargai dan tetap mengedepankan dialog. Meski dengan anak buah. Dan rakyat, terutama penerima bansos, harus memberikan apresiasi kepada seluruh pegawai Pemprov DKI. Mereka rela dipotong 50 persen TKD-nya untuk bansos. Ternyata, bukan hanya dokter dan tenaga medis yang layak disebut pahlawan di masa pandemi covid-19 saat ini. Tapi, gelar pahlawan pantas juga disematkan kepada para pegawai Pemprov DKI. Kalian TOP. Pakai huruf kapital semua. Meski dipotong 50 persen, TKD pegawai DKI masih tergolong besar. Kira-kira, sama besarnya dengan take homepay pegawai kementerian yang tidak dipotong. Emang nggak dipotong? Jangan nyindir ah. Tidak hanya soal bagaimana mengamankan bansos. Anies juga keluarkan Pergub No 47 terkait kebijakan PSBB. Mewajibkan kepada siapapun yang keluar masuk DKI untuk mengurus SIKM. Diantaranya rapid test. Untuk apa? Memastikan bahwa warga DKI yang selama ini "stay at home" tidak tertular oleh hilir mudik para pemudik. Anies tak ingin khianati warga DKI yang 60 persen mengkarantina diri di rumah. Tak ingin khianati warga yang nahan diri untuk tidak shalat jumatan, dan mengosongkan tempat ibadah untuk sementara waktu. Tidak mau khianati pedagang Tanah Abang, Tamrin City, dan pemilik mall yang tutup. Karena itu, siapapun tanpa kecuali, masuk Jakarta harus ada SIKM. Lalu lalang di Jakarta harus pakai masker. Kalau gak? Denda 250 ribu. Kurang tegas? Untuk tegas, nggak perlu gebrak meja atau caci maki bro. Lebay! Sayang mulut! Anies juga hadapi berbagai tekanan yang memintanya untuk buka mall, tempat wisata dan sarana bisnis lainnya. Tolak! Sebab, data para ahli menyimpulkan bahwa wabah belum berakhir. Bahaya! Nyawa warga DKI itu yang utama. Meski ekonomi tetap penting. Nah, untuk hadapi situasi dilematis, bahkan genting, perlu seorang pemimpin yang tidak saja bijak dan lurus, tapi berani pasang badan demi rakyatnya. Anies telah menunjukkan itu. Hasil survei, 80, 70 persen warga DKI puas dengan kinerja Anies. Beruntunglah warga DKI. Dan kebetulan, saya bukan warga DKI. Apa urusannya? Hehe Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Gubernur Anies Nggak Tegas?
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (01/05). Beberapa hari lalu, ada keributan di Thamrin City. Antara pedagang pemilik kios dengan pengelola (PPPSRS). Dalam konteks ini, pengelola mewakili pengembang. Karena Thamrin City masih dikelola oleh orang-orang utusan pengembang. Keributan dipicu oleh masalah pengambilan barang. Pemilik kios, karena aturan PSBB, tidak boleh dagang di kios. It's right. Karena itu, mereka mau ambil barang dan jualan online dari rumah. Tapi, dilarang oleh pengelola. Alasannya? Karena belum bayar iuran listrik dan air. Bagaimana bisa bayar listrik dan air, untuk makan saja susah, kata mereka. Justru dengan jualan online, agar ada pemasukan. Dengan pemasukan itu, nanti baru bisa bayar listrik dan air, kata para pedagang itu. Pengelola nggak mau tahu. Tutup telinga dan nggak peduli. Security dipasang di depan kios untuk hadang mereka. Ribut? Pasti. Para pedagang nggak kuasa melawan. Diantara pedagang itu, ada yang lapor ke Gubernur DKI, Anies Baswedan. Tepat tanggal 28 April, ba'da sahur, Gubernur dapat japrian. Di infokan terkait peristiwa itu kepada Gubernur. Dikirim juga video penghadangan pedagang oleh security. Apa jawab Gubernur? TL. Apa artinya TL? Tindak Lanjuti Paginya, Gubernur kirim petugas dari dinas perumahan. Dikawal beberapa mobil satpol PP. Meminta kepada pengelola Thamrin City. Pertama, agar memberikan kelonggaran waktu bagi para pedagang terkait iuran listrik dan air. Kedua, memberi ijin kepada para pedagang untuk ambil barang di kiosnya. Supaya mereka bisa jualan online. Clear! Pengelola pun nggak bisa berkutik. Apalagi, posisi pengelola sangat lemah. Sebab, sesuai dengan Pergub No 133 Tahun 2019, pengembang tak lagi berhak untuk menjadi pengelola Thamrin City. Harus diserahkan kepada pemilik apartemen dan kios. Posisi saat ini, PPPSRS Thamrin City sudah dibekukan oleh Pemprov DKI. Hanya tunggu waktu untuk diganti oleh warga Thamrin City. Kasus ini mengingatkan peristiwa di salah satu apartemen di Kemayoran. Hampir mirip. Saat itu, Gubernur dapat laporan bahwa listrik dan air di apartemen tersebut dimatikan oleh pengelola. Lagi-lagi, alasannya nggak jauh-jauh dari iuran. Dapat laporan itu, Anies telpon CEO apartemen. Anies bilang, "air dan listrik bagi warga apartemen ibarat nyawa. Kalau anda matikan, sama saja anda bunuh mereka”. “Sekarang, anda tinggal pilih. Hidupkan air dan listrik itu, atau semua ijin usaha anda di Jakarta saya matikan (alias dicabut)". Hari itu juga air dan listrik di apartemen itu hidup. Begitulah seharusnya seorang pemimpin bersikap. Pro kepada wong cilik. Mengayomi warganya yang lemah. Berani ambil risiko dengan menghadapi siapapun, termasuk para kapitalis kakap. Terutama meraka para mafia pengembang! Soal ketegasan itu tidak diukur dari tingginya volume suara dan atraksi di depan media. Tetapi, dengan sikap dan keputusan yang memihak kepada rakyat. Jika ini yang menjadi ukuran, maka siapa yang masih bisa mengatakan kalau Anies tidak tegas? Penyegelan reklamasi itu fakta, bukan sandiwara. Hingga hari ini, 13 pulau yang rencananya akan menghasilkan ratusan triliun itu gak bisa dibangun. Sogokan oleh oknum tertentu kepada Anies, mulai 50 miliar hingga 10 triliun, rupanya tak berhasil menjebol semangat nasionalisme dan idealisme Anies. Jika informasi ini benar, sikap Anies ini layak diapresiasi. Ketegasan itu bukan hanya diukur dari keberanian untuk mengambil keputusan yang berisiko. Tapi juga harus berani menolak kompromi. Berani menolak suap terhadap setiap keputusan yang berisiko itu. Begitulah yang seharusnya berani. Saatnya bangsa ini obyektif di setiap memberi penilaian terhadap para pemimpinnya. Katakan salah jika ada data untuk menyatakan itu salah. Kritik dan beri masukan yang konstruktif kepada mereka. Dan beranikan untuk mengakui kebenaran itu kalau faktanya memang benar. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Dampak Negatif Penutupan Pelabuhan Penumpang di Maluku
By Dr. Nasaruddin Umar Jakarta FNN – Ahad (18/04). Minggu ini publik Maluku diramaikan dengan beredarnya selebaran pemberitahuan, yang diduga dikeluarkan ketua Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku. Anehnya, selebaran yang beredar di dunia mainstream berbentuk surat tanpa di tanda tangani dan berstempel layaknya surat resmi yang keluarkan instansi resmi pemerintah. Surat yang sudah diberi Nomor: 30/GT-Promal/IV/2020 dan tertulis “ttd” diatas nama Kasrul Selang ST. MT. sebagai Ketua Harian. Saya juga mendapatkan pertanyaaan dari berbagai kalangan, baik melalui telpon dan WhatsApp tentang isu seputar selebaran tersebut. Sejak tulisan ini di buat, saya pribadi belum mendapatkan informasi tentang kebenaran pengumuman ini. Informasi yang beredarpun juga belum diklarifikasi oleh pemerintah daerah. Namun informasi yang saya peroleh ini adalah tidak lanjut dari rapat koordinasi Tim Gugus Maluku, Pemerintah Provinsi Maluku, DPRD Maluku, yang salah satu keputusan adalah soal rencana penutupan pelabuhan. Disamping itu informasi yang beredar, sebagai tindak lanjut dari pemberitahuan ini, pihak Pengelola Pelabuhan telah mengeluarkan pengumuman kepada pengguna jasa lintasan pelabuhan Waipirit-Hunimua bahwa terhitung tanggal 17 April 2020 sampai dengan tanggal 01 Mei 2020 untuk sementara tidak melayani penumpang pejalan kaki, kendaraan roda dan kendaraan penumpang (Gol.IV.V dan VI). Artinya isi pengumuman tersebut telah berlaku dan diterapkan dan secara mutatis mutandis konsep model PSBB telah dipraktikkan secara “diam-diam” di Maluku. Padahal Provinsi Maluku ataupun Kota Ambon dengan data 14 positif covid-19 belum masuk kategori zona merah, apalagi belum mendapat izin pemberlakukan PSBB dari Pemerintah Pusat. Bisa dibayangkan, suatu norma yang sifatnya pelarangan, bisa dieksekusi oleh wadah kebijakan melalui pengumuman. Pembatasan hak warga negara tidak dilakukan melalui keputusan yang sifatnya beschikking atau peraturan Gubernur dalam bentuk beleid atau peraturan. Sebab bagaimanapun dalam tradisi dan sistem hukum nasional, pengaturan pembatasan atau kaidah hukum hanya bisa dituankan dalam kedua nomenklatur instrumen hukum tersebut. Kebijakan yang diambil tanpa adanya wewenang atau authority hukum yang jelas merupakan perbuatan onrechmatige. Melanggar prinsip wet matigheid vanbestuur atau asas legalitas. Artinya, semua perbuatan pemerintahan harus dapat di pertanggungjawabkan di mata hukum. Kalau kita mencermati isi pemberitahuan tersebut, memang memuat beberapa point-point yang sifatnya informative. Ada ketentuan yang memuat pelarangan atau istilah yang digunakan “tidak diperkenankan” angkutan antar kota untuk mengangkut penumpang atauorang. Juga tentang rencana penutupan pelabuhan dan pelabuhan penyebranganbagi orang atau penumpang, serta tidak diperkenangkan angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) untuk mengankut orang atau penumpang. Memperhatikan konten pengumuman ini, jika benar adanya, akan menimbulkan permasalahan hukum dan beraspek pada kepentingan warga masyarakat maluku secara keseluruhan. Sebab apa dasar hukum penutupan tersebut pelabuhan? Apalagi Maluku belum ditetapkan sebagai Provinsi atau Kota yang berstatus sebagai Pembatasan Sosial Berskal Besar (PSBB) dari Pemerintah Pusat. Syarat mengenai PSBB diatur dalam pasal 3 ayat (1) Permenkes No. 9 Tahun 2020 tetang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Persyaratan PSBB ini akan kontradiksi dengan maklumat Gubernur Maluku yang terakhir soal pembatasan dan penundaan orang masuk ke wilayah Maluku. Bukan soal penutupan pelabuhan dan penyeberangan. Maklumat Gubernur Maluku tersebut mengatur sistem karantina terhadap setiap orang yang masuk ke wilayah Maluku. Apakah maklumat itu dicabut atau masih berlaku? Pengumuman ini jelas bertentangan dengan Maklumat Gubernur Maluku. Belum lagi akibat hukum yang akan terjadi dibalik rencana keputusan ini. Bagaimana nasib aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat? Apakah telah dipastikan masyarakat telah mendapatkan bantuan dari pemerintah yang selama ini telah dijanjikan? Tentu dalam aspek hukum perundang-undangan, kebijakan seperti ini akan bermasalah dari sisi hukum. Baik secara bentuk dan format hukumnya, maupun dari sisi landasaan hukum yang digunakan. Misalnya, Kepres No.7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Covid-19 Tentang Tata Cara Penanganan Covid-19 di daerah. Pada pasal 11 ayat (2), disebutkan bahwa penanganan Covid-19 di daerah dilakukan dengan memperhatikan arahan ketua pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ketentuan ini jelas memberikan batasan atau bersifat restriksi hukum kepada daerah, termasuk Tim Gugus Tugas dalam mengambil segala keputusan sepanjang menyangkut penanganan Covid-19. Artinya, dalam konteks penangan Covid-19 di daerah harus memperhatikan arahan atau kebijakan dari Pemerintah Pusat. Tidak asal bikin pengumuman. Sebab bisa menimbulan pertanyaan di masyarakat. Pertanyaan pertama, apakah kebijakan yang dibuat Tim Gugus Tugas Daerah Maluku dalam pemberitahuan tersebut telah melalui konsultasi atau sesuai arahan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19? Jika sudah, maka kebijakan dalam pemberitahuan tersebut dengan sendirinya menjadi suatu kebijakan yang sah (rechtmatige). Pertanyaan kedua, apakah telah dilakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintaha non kementerian, instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah, swasta, serta pihak lain yang dianggap perlu? Sebab dalam Kepres di atas (aquo) pasal 12 telah menegaskan perlunya dilakukan koordinasi dalam pelaksanaan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dalam melaksanakan tugasnya. Koordinasi ini berkaitan dengan rencana Pemerintah Provinsi akan melakukan tindakan pemerintahan berupa penutupan sementara sejumlah pelabuhan penyebrangan di provinsi Maluku seperti Pelabuhan Yos Sudarso, Pelabuhan Slamet Riyadi, Pelabuhan Tulehu, Hitu, Tohoku, Pelabuhan Penyebrangan Galala, Waai, Hunimua khusus bagi penumpang atau orang. Termasuk larangan angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) untuk mengankut orang atau penumpang. Meskipun ketentuan koordinasi bukan suatu keharusan, namun dalam tataran pelaksanaan kebijakan di lapangan akan menimbulkan ekses negatif. Bagaimana jika instansi atau swasta yang berkepentingan dengan pelabuhan atau bandara, seperti mobil angkutan dirugikan? Jika terjadi pembangkangan atas kebijakan tersebut akan menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari. Perlu adanya koordinasi, sosialisasi dan persetujuan dari rencana kebijakan ini. Dalam teori legitimasi dan validitas hukum (legal validity), agar suatu kaidah hukum termasuk keputusan administrasi pemerintahan menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya, maka perlu memenuhi syarat. Misalnya, kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dan dibuat secara sah oleh pejabat yang berwenang. Lebih penting lagi, aturan hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan yang menerapkan hokum. Contohnya, aparat kepolisian, satuan polisi pamon praja, kejaksaan, dan pengadilan. Juga harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. Dua poin terakhir inilah yang menjadi syarat utama efektivitas berlakunya kaidah hukum jika nantinya diterbitkan keputusan pelarangan tersebut. Diktum ke-2 dan ke 5 pemberitahuan itu menyebutkan, penutupan akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Maluku, dan berlaku sejak tanggal 17 sampai 1 Mei 2020. Berarti penutupan dimulai pada hari Jumat, 17 April 2020. Yang akan melakukan kebijakan penutupan ini adalah Pemerintah Provinsi Maluku. Bukan Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku. Ada dua pesoalan yang menimbulkan pertanyaan mendasar. Pertama, batas waktu pemberitahuan dengan waktu penutupan hanya dua hari, yaitu sejak dikeluarkannya pemberitahuan tanggal 15 April 2020 sampai 17 April 2020. Bisa dibayangkan bagaimana soal koordinasi, sosialisasi di lapangan? Banyaknya kelompok masyarakat yang berkepentingan atau stakeholder yang terdampak, seperti mobil anngkutan AKDP, kapal penyebrangan, orang-orang yang menggantungkan hidup di sektor pelabuhan. Ada penjual, pedagang “jibu-jibu”, ojek, tukang becak, mobil rental dan lain-lain. Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Yang pasti mata pencaharian terputus. Apakah ada kompensasi untuk mereka? Apakah sudah dilakukan pendataan, sehingga dipastikan mereka yang terdampak berapa? Bagaimana pemerintah menyiapkan konvensasi buat mereka? Kita tidak ingin dan berharap ada warga masyarakat maluku yang harus makan “tikus” seperti yang viral di media pada buru migran, sebagai akibat dari kehabisan ekonomi dan bahan makananan yang layak. Semoga ada langkah nyata dari pemerintah Provinsi Maluku dan Tim Harian Gugus Tugas Covid-19 Maluku. Terutama dalam melihat permasalahan ini, sehingga akibat negatif yang muncul bisa diatisipasi. Ini perlu sebagai sekibat dari ketergesaan sebuah kebijakan tanpa adanya norma dan pengaturan atas perlindungan warga masyarakat dalam sebuah sistem regulasi yang baik. Secara hukum, setiap kebijakan atau tindakan pemerintahan haruslah dibuat melalui sistem regulasi yang tersedia sesuai UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan seperti Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur ,sehingga hak-hak masyarakat bisa terlindungi. Tidak terjadi mall administrasi dan abuse of power. Teoritis efektivitas hukum seperti yang diajarkan Selo Soemardjan (1965) bahwa dalam efektifnya hukum, pentingnya usaha-usaha penanaman hukum di dalam masyarakat, agar warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui, dan menaati suatu aturan hukum dan jangka waktu penanaman hukum seperti sosialisasi, koordinasi lebih panjang usaha penanaman hukum itu. Semoga Pemerintah daerah Provinsi Maluku dan Tim Gugus Covid-19 lebih hati-hati dan bijaksana dalam mengambil setiap keputusan. Sebab dalam penanganan Covid-19 tidak hanya menyelamatkan manusia dari sisi kesehatan semata. Ada aspek-aspek lain. Kebijakan Pemerintah daerah Malu hendaknya berbanding lurus dengan perlindungan dan penyelematan terhadap hak-hak warga negara dari sisi hak hidup yang lain. Misalnya, hak atas pekerjaan, hak mendapatkan penghidupan yang layak, hak ekonomi, hak beribadah, hak akses sosial kemasyarakatan. Semua hak-hak tersebut merupakan deratan hak warga negara (ground rechten) dan hak asasi manusia (mensenrechten) yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945. Sekali lagi kondisi dalam kedaruratan pandemi Corona virus seperti ini tidak harus menghilangkan kewarasan kita, dan cara-cara berhukum yang baik dan benar. Bagaimanapun negara ini adalah negara hokum. Supreme of law yang harus dijunjung tinggi. Semoga kebijakan ini meskipun inprosedural hokum, namun dapat efektif memutus peredaran covid-19 di Maluku. Namun tetap mengantisipasi akses negatif yang timpul dari kebijakan ini. Semoga saja. Amiin. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Ambon
Usulan Bupati Tapanuli Utara Wajib Didukung dan Dilaksanakan
Kalau dana ini diberdayakan di seluruh Indonesia, maka jumlahnya bisa mencapai puluhan triliun. Mungkin bisa lebih dari Rp 50 triliun. Bisa membantu meringankan keuangan Pemerintah Pusat. Jadi, beliau Bupati Nikson Nababan juga mengatakan tidak perlu pinjam uang ke IMF. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Pemerintah Pusat hanya perlu membuat payung hukum untuk memberdayakan dana tersebut. By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Jum’at (27/03). Dampak bencana Covid-19 sangat luar biasa menghancurkan. Sangat Menakutkan. Banyak pihak asing mengatakan Indonesia tidak siap. Bahkan terlihat di banyak media sosial, keduataan asing menyerukan warganya meninggalkan Indonesia dengan alasan Indonesia tidak siap menghadapi wabah Covid-19 ini. Statistik terkait Covid-19 memang menunjukkan kekhawatiran. Jumlah pasien terinfeksi meningkat tajam. Mencapai 1,046 orang per 27 Maret 2020. Penambahan pasien terinfeksi lebih dari 100 orang setiap hari. Yang mengkhawatirkan, jumlah pasien meninggal sampai dengan 267Maret 2020 mencapai 87 orang, sedangkan yang sembuh hanya 46 orang. Berdasarkan studi dari salah satu institusi di Inggris yang di-release Reuters, jumlah pasien terinfeksi di Indonesia jauh lebih besar dari yang dilaporkan secara resmi. Hanya sekitar 2% dari yang diperkirakan oleh studi tersebut. Hal ini yang memicu banyak kedutaan asing menyerukan warganya meninggalkan Indonesia secepatnya. Faktor fasilitas kesehatan di Indonesia yang sangat minim untuk bisa merawat ledakan pasien juga menjadi pertimbangan kedutaan asing meminta warganya meninggalkan Indonesia. Apalagi Indonesia mempunyai keterbatasan jumlah dokter, jumlah perawat, jumlah tempat tidur rumah sakit, jumlah ruang isolasi, alat test virus yang memadai, Alat Pelindung Diri (APD), dan banyak keterbatasan lain lagi. Minimnya fasilitas kesehatan ini tidak terlepas dari anggaran kesehatan yang relatif sangat kecil. Oleh karena itu, untuk memerangi wabah Covid-19 yang sangat mendadak ini, Indonesia memerlukan dana yang relatif sangat besar untuk meningkatkan fasilitas kesehatan. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di seluruh pelosok Indonesia. Daerah Butuh Payung Hukum Terbersit rencana pemerintah ingin mengajukan utang luar negeri untuk pembiayaan melawan musibah Covid-19 ini. Tidak tanggung-tanggung, utangnya kepada IMF, yang mempunyai catatan hitam terhadap perekonomian Indonesia ketika bail out tahun 1998. Niat pemerintah ini sebetulnya sangat aneh. Karena sebenarnya masih banyak sumber pendanaan di dalam negeri. Selain pemerintah juga masih banyak uang di kasnya. Ada lebih dari Rp 270 triliun di kas pemerintah per akhir Februari 2020. Selain itu, pernyataan Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan membuka mata kita lebar-lebar. Ini pernyataan yang luar biasa. Di tengah kondisi, dimana daerah juga sangat keteteran menghadapi penyebaran Covid-19 akibat fasilitas kesehatan di daerah sangat minim. Untuk dapat menghadapi wabah Covis -19 ini, ada seorang Bupati yang langsung memberi solusi. Bukannya merengek minta uang ke Pemerintah Pusat, tetapi ingin membantu Pemerintah Pusat. Sebab Daerah memang sangat kekurangan ruang isolasi dan APD. Untuk itu, Bupati Nickson Nababan mengusulkan agar bisa membeli sendiri alat-alat perlengkapan kesehatan tersebut. Caranya, dengan menggunakan dana deposito daerah yang simpan di bank provinsi. Kalau dana ini diberdayakan di seluruh Indonesia, maka jumlahnya bisa mencapai puluhan triliun. Mungkin bisa lebih dari Rp 50 triliun. Bisa membantu meringankan keuangan Pemerintah Pusat. Jadi, beliau Bupati Nikson Nababan juga mengatakan, tidak perlu pinjam uang ke IMF. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Pemerintah Pusat hanya perlu membuat payung hukum untuk memberdayakan dana tersebut. Nah tunggu apa lagi. Pemerintah Pusat seharusnya segera bergerak membentuk payung hukum itu. Sehingga daerah bisa secepatnya memiliki fasilitas kesehatan yang lebih memadai, demi mengurangi korban Covid-19. Seharusnya payung hukum ini bisa dibuat hanya dalam sehari. Ingat, sejarah mencatat, ada Bupati yang sudah memperingati ini kepada pemerintah pusat demi keselamatan warga di daerahnya. Juga demi keselamatan ekonomi nasional daripada utang ke luar negeri. Semoga dapat dilaksanakan secepat mungkin. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Berpulangnya Jhon Titaley, Anak Ambon Penjual Kopi Keliling
By Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Rabu (18/03), Sama sekali beta seng mengenal atau pernah bertemu dengan anak muda ini. Tetapi dia adalah korban kesekian dari anak-anak muda Maluku yang mati sia-sia di perantauan. Mati ketika sedang menjual kopi keliling di jalanan. Mati karena harus meninggalkan kampung atau daerahnya yang miskin dan banyak pengangguran. Padahal daerahnya kaya akan sumber daya alam. Mati karena tak mampu bersaing akibat indeks pembangunan manusia yang rendah. Mati karena stigma orang Ambon (Maluku.red) adalah preman. Iya, tanpa bermaksud menggeneralisir. Tetapi sangat mungkin Jhon Titaley sang penjual kopi keliling di Mall Tangerang City yang meninggal, 16 Maret 2020 adalah dampak dari ketertinggalan selama ini. Ketertinggalan yang harus mendesaknya berjualan kopi dari gerobak butut hingga menemui ajal. Padahal ikan di Ambon kemarin sampai naik ke daratan. Jhon Titaley meninggal karena dianiaya oleh oknom anggota TNI dan oknom Anggota Pemuda Pancasila, hingga tak berdaya. Video pemukulan terhadap Titaley pun beredar luas di media sosial. Titaley yang sendirian tanpa perlawanan. Dia dipukul. diinjak dan ditendang hingga tak berdaya. Orang-orang yang ada di sekitar, nampak hanya menonton saja. Setelah selesai melakukan penganiayaan terhadap Titaley, para pelaku akhirnya melarikan diri. Meninggalkan Titaley terkapar. Beruntung, karena lokasi penganiayaan berada tepat di depan Mall Tangerang City. Saat itu karyawan ada yang menolong korban, serta melarikannya ke Rumah Sakit Umum Kota Tangerang untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sayang, nyawa Titaley tak tertolong. Dia akhirnya meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil. Sebelum aksi pengeroyokan terhadap Titaley, ada bentrok yang terjadi antara kelompok Ali dan anak buahnya yang berasal dari Ambon dengan oknom anggota TNI di salah satu kafe di Tangerang. Beberapa jam kemudian oknom anggota TNI dan oknom Pemuda Pancasila kembali dengan beberapa rekan mereka di Mall Tangerang city. Mereka hendak mencari Ali dan anak buahnya. Namun orang yang dicari tidak ada yang kelihatan. Akhirnya Jhon Titaley sang penjual kopi keliling yang tidak tau apa-apa, menjadi sasaran penganiayaan. Sebagai bentuk luapan emosi para pelaku hanya karena Jhon Titaley berkulit hitam atau gelap. Ini kasus yang kesekian. Terlalu panjang daftarnya, hingga orang tak begitu peduli lagi bila ada kejadian yang begini. Ini juga mengingatkan beta pada pengalaman sekira tujuh tahun lalu. Juga di salah satu Mall di Tanggerang, disela-sela mengikuti pelatihan peneliti tata kolela pemerintahan. Salah satu peneliti asal Nusa Tenggara Timur ditahan oleh security Mall tersebut, dengan tuduhan pencurian. Ternyata tidak terbukti. Usut punya usut, ternyata dia ditahan karena diduga mirip dengan pelaku “Ambon” yang lolos. Lagi-lagi hanya karena kulitnya yang gelap. Kembali ke kasus yang menimpa Jhon Titaley. Sebelum dianiaya, Titaley sempat ditanya oleh para pelaku bahwa apakah kamu adalah anak buah Ali? Titaley membantah, dan mengatakan bukan bagian dari kelompok manapun. Akan tetapi mereka yang sudah dirasuki emosi, dan dalam jumlah lebih banyak, langsung mengeroyok hingga Titaley tak berdaya alias tak sadarkan diri di tempat. Setelah Titaley dilarikan ke rumah sakit, istrinya langsung menuju Polres Metro Tangerang untuk membuat laporan. Polisi kemudian dengan cepat memproses laporan tersebut dan bertindak cepat melacak identitas dan keberadaan para pelaku. Akhirnya, polisi mengantongi identitas para pelaku yang ternyata itu adalah oknom anggota TNI dan dari organisasi Pemuda Pancasila. Dini hari di Polres Metro Tanggerang,kuasa hukum dari keluarga Jhon Titaley telah berkoordinasi dengan penyidik. Untuk perkara yang terkait dengan anggota TNI, segera dilimpahkan ke Denpom Jaya I Tangerang untuk segera diproses sesuai dengan kewenangan institusi TNI. Sementara yang dari masyarakat sipil ditanggani oleh kepolisian. Kita semua tentu berharap kasus ini dapat di tangani dengan serius hingga tuntas. Semua yang terlibat harus diberikan hukuman yang setimpal. Namun ini juga jadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak lagi menyelesaikan masalah hanya di hilir. Tetapi mau membenanahi problem harus dari hulu. Saatnya sumber daya manusia dan lapangan pekerjaan untuk orang Maluku diperhatikan. Agar tidak ada lagi orang Maluku yang menjadi korban karena stigama. Akibat dari pilihan pekerjaan yang keras dan menyerempet bahaya, hingga saudara yang tak bersalah pung menjadi korban sia-sia, hanya karena berkulit gelap dan berperawakan dari timur. RIP saudaraku Jhon Titaley. Katorang semua do’akan semoga Ale tenang di sisi Tuhan, dan keluarga, terutama istri dan anak-nya diberikan penghiburan. Bagi yang mau menyantuni korban, malam ini jenazah Titaley dipulangkan ke Ambon. Mari sama-sama kita ringankan keluarga korban, anak muda petarung hidup di ibu kota ini. Penulis adalah Pemerhati Kawasan Indonesia Timur
DPR Provinsi Papua Bentuk Pansus Kemanusiaan, “Terobosan Penting”
By Marthen Goo Jakarta, FNN - Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan di Papua terjadi sejak pertama kali Trikora digelar. Trikora dicanangkan oleh Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Setelah itu, diiukiti dengan pendudukan militer yang melakukan berbagai operasi militer di Papua. Tentu dari berbagai operasi militer yang dilaksankan di Papua, tidak sedikit rakyat Papua menjadi korban. Tidak hanya berhenti sampai pada tahun 1963. Ketika Papua diserahkan ke Indonesia oleh UNTEA. Namun kejahatan hak asasi manusia masih terus berlangsung hingga Pepera 1969. Anehnya lagi, dalam implementasi Pepera, kejahatan terhadap hak asasi manusia masih dilakukan. Bahkan, dalam Pepera 1969 tidak ada proses demokrasi. Kejahatan terhadap kemanusian di Papua masih terus berlangsung dari tahun 1969 hingga 1998. Tahun 1998, di Indonesia dikenal sebagai puncak dari implementasi demokrasi. Pemilihan Presiden di era demokrasi dilaksanakan tahun 1999, dan memilih Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Gus Dur yang memimpin Indonesia, sejak tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001 cukup berhasil membuat tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Walau demikian, rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia belum diselesaikannya. Gus Dur telah meletakan peradaban baru dengan gaya kepemimpinannya yang tidak ada lagi ditemukan pelanggaran hak asasi manusia. Selama kepemimpinan Gus Dur tidak ada pelanggaran HAM. Sayangnya, setelah setelah Gus Dur dilengserkan, palangaran HAM di Papua kembali terjadi. Walau tidak memenuhi kepastian hukum, karena belum dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi, Papua kemudian dibuat dasar hukum baru. Dasar hokum baru itu dikenal dengan istilah “Desentralisasi Asimetrik”. Dalam regulasinya dikenal dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sejak diberlakukan Otonomi Khusus Papua tersebut, sampai tahun ini, tidak menghilangkan kasus kejahatan kemanusiaan. Banyak kasus kejahatan kemanusiaan terjadi walau Papua dikenal dengan Propinsi yang berstatus Otonomi Khusus. Kasus di Nduga adalah kejahatan kemanusiaan yang serius, jika merujuk pada pasal 8, dan 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Patut diduga pelanggaran HAM yang terjadi di Papua saat ini telah memenuhi pasal 8 dan 9 UU No.26 Tahun 2000. Untuk kasus Nduga, tentu butuh penyelidikan Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas untuk menyimpulkan kasus tersebut. Selain kasus Nduga, kini rentetan kasus terjadi kembali, seperti di Intan Jaya, dimana ada warga sipil menjadi korban kekerasan. Tidak Boleh Melupakan Sejarah Tidak sedikit tokoh nasional dengan gagah dan percaya dirinya menyampaikan “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yan tidak Boleh Meninggalkan Sejarahnya”. Begitu kata Soekarto tentang pentingnya mengingat sejarah. Tentu saja pernyataan itu sangat kren dan berkelas. Kemudian pengertian itu dibuat dalam istilah “Jas Merah”. Yang artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan berpegang pada pernyataan “jangan pernah melupakan sejarah” tersebut, tentu kejahatan kemanusiaan pun harus dilihat sebagai kejahatan sejarah kelam. Apalagi jika proses hukum tidak pernah dilaksanakan. Kasus pelanggaran HAM di Papua harus dilihat sebagai catatan buruk terhadap negara yang wajib hukumnya untuk diselesaikan. Tentu Indonesia sebagai negara, harus melihat bahwa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan adalah masalah serius negara. Setiap pelakunya harus dihukum. Para pelakunya juga harus berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan kejahatan terhadap kemusiaan sejak sekarang dan seterusnya. Tujuannya, untuk membersihkan sejarah kelam bangsa. Karena setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi saat ini, akan terus menjadi sejarah buruk dalam berbangsa dan bernegara. Juga akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Negara. Negara harus berani, jujur dan terbuka untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Tidak hanya di Papua. Tentu saja termasuk untuk kasus Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti. Jika kata-kata Soekarno tentang sejarah bisa diartikan dalam prespektif yang mengakar, maka bisa dibuat istilah “Pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain itu, mematikan kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia”. Apresiasi DPR Propinsi Papua Tentu kita tahu bahwa undang-undang tentang HAM di Indonesia dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, lembaga yang diberi kewenangan merumuskan dan menetapkan kasus pelanggaran HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Yang disayangkan sikap dari Komnas HAM sekarang adalah “pasif”. Pengertian pasif dalam sifat Komnas HAM adalah menunggu datangnya lapora. Setelah itu barulah dilakukan tindakan lanjut sesuai dengan laporan. Jadi, jika tidak ada laporan ke Komnas HAM, terkadang Komnas HAM kesulitan untuk mencari kasus-kasus HAM yang terjadi di seluruh Indonesia. Karena Komnas HAM lebih pada menunggu laporan, sementara rentetan pelanggaran kasus HAM jalan terus, seperti di Papua, maka, langkah kongkrit harus dipikirkan untuk dilakukan. Terkait dengan Pansus Kemanusiaan oleh DPR Provinsi Papua tersebut, ada dua hal yang bisa tercapai, dan itu membantu Komnas HAM dan Negara adalah; Pertama, membantu Komnas HAM mengumpulkan fakta tentang berbagai kasus HAM di Papua. Setelah itu dibuatkan laporan pengaduan, agar Komnas HAM bisa mulai melakukan pekerjaannya. Selain itu, sebagai tugas pokok DPR untuk memproteksi warga negara. Kedua, membantu negara, agar bisa memproteksi rakyat dari kejahatan kemanusiaan. Selain itu, menghapus kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia. Sekali lagi, patut untuk mengapresiasi langkah kongkrit sebagai tahapan awal yang sudah dilakukan DPR Papua, dengan membentuk Pansus Kemanusiaan. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Sebab bisa dijadikan sebagai sarana memproteksi rakyat. Langkah ini juga bagian dari tujuan nasional yang kongrit, yakni melindungi segenap rakyat. Karena melindungi rakyat itu adalah bagian dari tujuan nasional kita dalam berbangsa dan bernegara, maka, semua pihak wajib memberikan apresiasi kepada DPR Provinsi Papua. Selain itu, memberikan mendukungan, agar kerja-kerja Pansus Kemanusiaan DPR Provinsi Papua bisa berjalan dengan lancar. Yang Bisa Dilakukan Pansus Dari pikiran luar biasa yang dilahirkan oleh DPR Provinsi Papua, lahirlah Pansus Kemanusiaan.Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai proses kerja Pansus. Misalnya, Pansus Kemanusiaan segera melakukan Forum Group Discussion (FGD)dengan berbagai stakeholder guna mendengarkan masukan-masukan sebagai dasar dan bijakan kerja Pansus. Pansus Kemanusiaan bisa mendorong pembentukan Pansus Kemanusiaan di Setiap Kabupaten atau Kota di Papua. Namanaya Pansus DPR Daerah untuk di seluruh Kabupaten atau Kota. Tujuannya, untuk mempermudah hubungan kerja dan investigasi setiap kasus. Merumuskan tahap-tahapan Advokasi. Selain itu, membuat laporan tahunan tentang kasus pelanggaran HAM di Papua. Setelah itu, evaluasi dan publikasi kepada publik setiap hasil kerja Pansus. Tentu dengan kerja-kerja kongkrit Pansus tersebut, diharapkan akan meminimalisir kejahatan kemanusiaan di Papua. Jika kejahatan kemanusiaan di Papua dapat diminimalisir, bahkan hilang dari Papua, maka tujuan nasional yakni melindungi segenap warga negara akan terwujud. Mari kita dukung kerja-kerja Pansus Kemanusiaan untuk memproteksi kemanusiaan di Papua. Harapnnya, kerja Pansus Kemanusiaan ini bisa berjalan maksimal. Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Pansus Kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dari Papua
Gubernur Menjawab (2): Khofifah Membuat Diskresi Hukum Administrasi Negara
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Menurut Subagyo, Gubernur Khofifah seakan-akan tidak mengetahui tugas pokok serta fungsinya, seperti telah tercantum dalam PP No. 23 Tahun 2010 Tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Pada pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa pemberian izin usaha pertambangan diberikan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenanggannya. Dan, lanjut Subagyo, Gubernur Khofifah juga menafikkan keberadaan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang mana pada pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1), yang mana dalam kedua pasal tersebut dengan sangat jelas menyebutkan: “Bahwa untuk pemberian izin di sektor kehutanan, kelautan, sumber daya energi dan mineral berada pada kewenangan Gubernur, maka apabila Khofifah menjawab bahwa hal itu bukan kewenangannya, maka dia telah melanggar peraturan perundang-undangan itu sendiri,” tegas Subagyo. Beroperasinya kegiatan indutri pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu yang dilakukan oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk melalui anak usahanya, yaitu PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) sejak 2012 telah menyebabkan munculnya berbagai dampak sosial-ekologis dan dampak keselamatan ruang hidup rakyat di 5 desa, yaitu Sumberagung, Pesanggaran, Sumbermulyo, Kandangan dan Sarongan. Dampak sosial yang terjadi akibat pertambangan emas tersebut yaitu adanya konflik antara masyarakat dengan perusahaan serta aparat keamanan negara yang berupa tindakan represif kepada masyarakat. Dampak sosial-ekologis menimpa warga masyarakat yang mayoritas mata pencahariannya sebagai nelayan dan petani di wilayah tersebut. Pasca hadirnya industri pertambangan di bukit Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, sebagian aktivitas dan mata pencaharian warga yang terkait langsung dengan Tumpang Pitu sekarang ini hilang, yakni: mencari rumput untuk kebutuhan peternakan, mencari tanaman obat-obatan, mencari air untuk kebutuhan pertanian, dsb. Kehadiran Pertambangan emas di Tumpang Pitu sama sekali tidak berbasis partisipasi warga Negara secara utuh. Warga sama sekali tidak menerima informasi terkait pertambangan, dan tidak dilibatkan dalam sosialisasi AMDAL maupun proses dokumen lingkungan lainnya. Padahal PerMen LH No 17 Tahun 2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL dan Izin Lingkungan telah menggariskan kewajiban mengenai sosialisasi AMDAL kepada masyarakat terdampak. Sementara itu dalam hal penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi, kami menduga telah terjadi pelanggaran administratif dalam hal-hal berikut ini: Pertama, Perubahan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Hutan yang sekarang dipakai sebagai kawasan pertambangan emas oleh PT Merdeka Cooper Gold awalnya adalah kawasan hutan lindung. Pada 10 Oktober 2012, melalui surat nomor 522/635/429/108/2012 Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas + 9.743, 28 ha terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap. Permohonan perubahan ini jelas terkait dengan kepentingan pertambangan emas di yang tidak diperbolehkan berlangsung di hutan lindung. Pada 19 November 2013 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (SK.826/Menhut–II/2013) 1.942 ha hutan lindung di Tumpang Pitu kemudian diturunkan statusnya menjadi hutan produksi. Padahal, penurunan status kawasan hutan itu tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan pasal 39 menyebutkan: Bahwa perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi hanya bisa dilakukan dengan ketentuan jika kawasan hutan lindung itu sudah dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan Hutan Lindung. Kriteria suatu wilayah bisa ditetapkan sebagai hutan lindung dapat dilihat pada SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung yang pada dasarnya merujuk kepada lereng lapangan dan jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi dan intensitas hujan dari wilayah yang bersangkutan. Pada wilayah BKPH Sukamade yang diajukan perubahan kawasan hutannya dari hutan lindung menjadi hutan produksi sejauh ini tidak ada perubahan besar yang mengakibatkan tingkat lereng lapangan serta jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi dan intensitas hujan dari kawasan hutan lindung di Tumpang Pitu untuk menjadi dasar perubahannya menjadi hutan produksi, sehingga perubahan kawasan ini dari hutan lindung menjadi hutan produksi layak dipertanyakan. Kedua, Penerbitan Izin Pinjam Pakai Lawasan Hutan (IPPKH). Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan melalui mekanisme IPPKH memunculkan permasalahan pada tingkat implementasi, terutama kemampuan peminjam melakukan reklamasi dan mengembalikan objek pinjam pakai kawasan hutan seperti semula. Advokat yang concern dengan persoalan hukum lingkungan itu menyebut, saat ini kawasan hutan di Provinsi Jatim masih kurang dari 30% (28,47%), sedangkan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tentu meningkatkan angka deforestasi. Sehingga penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengamanatkan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS atau Pulau dengan sebaran secara proporsional. Pada 25 Juli 2014 setelah penurunan status hutan lindung, maka keluarlah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No. 812/Menhut –II/ 2014, serta pada 29 Februari 2016 dengan surat nomor 18/1/IPPKH/PMDN/2016. Namun, dalam Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2016 yang dipublikasikan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, IPPKH dengan Nomor SK.812/Menhut-II/2014 yang dimiliki PT Bumi Suksesindo (anak perusahaan PT Merdeka Cooper Gold) ada di kategori: Non Tambang, hal ini jelas tidak sesuai dengan aktivitas PT Bumi Suksesindo yang jelas-jelas adalah pertambangan. Ketiga, Prosedur tukar-menukar kawasan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan menyebutkan larangan untuk menebang pohon dan wajib mempertahankan keadaan vegetasi hutan pada kawasan perlindungan setempat pada areal dengan radius atau jarak sampai dengan: 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Melihat masifnya pembabatan hutan di kawasan hutan yang sekarang dipakai sebagai wilayah pertambangan emas, patut diduga kuat telah terjadi penebangan pada kawasan perlindungan setempat di wilayah tersebut. Masyarakat menyatakan bahwa di wilayah yang sekarang dipakai sebagai area pertambangan itu terdapat sumber mata air yang kemudian turun menjadi sungai yang bermuara di Pulau Merah. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan juga menggariskan bahwa lahan pengganti kawasan hutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) letak, luas dan batas lahan penggantinya jelas; 2) letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan; 3) terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama; 4) dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; 5) tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; 6) mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota. Hingga saat ini letak, luas dan lahan pengganti kawasan hutan yang dipakai oleh PT Merdeka Cooper Gold tidak pernah ditunjukkan secara pasti. Ketiadaan informasi ini menguatkan dugaan bahwa proses tukar menukar kawasan hutan di area pertambangan emas Tumpang Pitu tidak dilakukan dengan benar dan memiliki potensi melakukan pelanggaran. Pasal 99 Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2018 menentukan, pencabutan izin tanpa melalui tahap pemberian peringatan tertulis dan pemberhentian sementara kegiatan pertambangan jika dari hasil evaluasi yang dikeluarkan itu menyalahi aturan. Demi menyelamatkan masyarakat, Subagyo menyarankan, Gubernur bahkan bisa membuat diskresi yang tidak harus patuh dengan prosedur hukum administrasi negara. “Karena penerbitan izinnya sendiri sudah melanggar fungsi kawasan konservasi dan pesisir serta rawan bencana,” tegasnya. (Selesai) *** Penulis wartawan senior.
Demo #SaveBabi Di Medan Beraspek Politis dan Tak Sensitif
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kemarin, Senin (10 Februari 2020), berlangsung unjuk rasa menentang pemusnahan ternak babi di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Ribuan orang turun ke jalan di Medan. Mereka datang dari berbagai daerah. Aksi demo terpusat di depan gedung DPRD provinsi. Mungkin sebagian orang merasa kok tiba-tiba ada pemusnahan babi. Sebagian lain mungkin merasa kok muncul unjuk rasa #SaveBabi. Supaya bisa memahami persoalan yang tarjadi, berikut ini kronologi yang berujung pada wacana (bukan rencana) tindakan pemusnahan babi ternak di Sumut. Sekitar awal November 2019, ribuan bangkai babi dibuang di sungai-sungai dan berbagai situ (waduk, oase) yang ada di provinsi Sumatera Utara (Sumut). Pada pendataan awal, tercatat 4,682 babi mati dan diduga terkena virus Hog Cholera. Mulanya ditermukan di 11 kabupaten/kota. Kemudian menjadi 16, yaitu kabupaten-kabupaten Dairi, Humbang Hasudutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tanah Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, dan Langkat. Tiga kota yang terkena adalah Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan. Pemprov mengidentifikasi 61 pemilik ternak babi di Sumut yang membuang bangkai secara sembarangan. Mereka membuang seenaknya tanpa memikirkan dampak kesehatan dan lingkungan. Ribaun bangkai babi yang dibuang semberono itu sampai juga ke laut lepas. Banyak nelayan di kawasan pantai sepanjang Selat Melaka mengeluhkan banyaknya bangkai babi di laut. Ini menyebabkan masyarakat tidak mau mengkonumsikan ikan. Selama hampir sebulan lebih penjualan ikan menurun drastis di Sumut. Hingga akhir November 2019, masih ditemukan bangkai babi yang dibuang secara sembarangan. Bahkan, ada bangkai babi yang ditemukan di Jalan Sumarsoso, kawasan Helvetia, Medan, pada 25 November. Sampai 15 Desember 2019, jumlah babi yang mati di 16 daerah tingkat dua di Sumut mencapai hampir 30,000 ekor. Kemennterian Pertanian menyimpulkan bahwa kematian massal babi ternak itu disebabkan virus African Swine Fever (demam flu Afrika atau ASF). Kesimpulan bahwa penyakit yang melanda babi itu adalah ASF dikonformasikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam Surat Keputusan Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tertanggal 12 Desember 2019. Salah satu cara pencegahan penyebaran ASF adalah pemusanahan babi. Tetapi, Pemprov Sumut berpendapat cara ini bukanlah tindakan terbaik. Selain memerlukan biaya dan logistik yang besar, pemusnahan babi melanggar aturan tentang “animal welfare” (kemaslahatan hewan). Entah bagaimana, berbagai elemen masyarakat menyangka pemusanahan akan dilakukan oleh Pemprov Sumut. Ini yang memicu mereka turun berunjuk rasa hari Senin (10/2/2020) dengan tagar #SaveBabi. Diantara pengnjuk rasa, ada yang mengatakan bahwa pemusnahan babi akan menghilangkan kebudayaan sebagian masyarakat. Tidak jelas masyarakat yang mana. Tetapi, kalau dilihat dari massa yang turun, kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah kebudayaan warga tanah Batak yang selalu terkait dengan babi. Perlukah unjuk rasa #SaveBabi? Saya berpendapat, sama sekali tidak perlu. Pertama, demo itu menunjukkan ketidakpekaan (insensitivitas) para pendukung #SaveBabi terhadap perasaan orang-orang di luar komunitas mereka. Sangat tidak sensitif. Kalau saya ditanya, saya akan mengatakan ada terselip unsur “show of force”. Unjuk gigi, kata sebuah idiom. Kedua, saya menduga demo #SaveBabi adalah “coded message” (pesan berkode) yang ditujukan kepada Gubernur Edy Rahmayadi. Dalam arti, bahwa bagi komunitas #SaveBabi, Edy Rahmayadi mengambil garis partisan ketika pernah muncul wacana pemusnahan babi di seluruh Sumatera Utara. Padahal, kalaupun langkah pemusnhan itu diambil, itu semua dilandaskan pada hasil analisis ilmiah tentang penyakit hewan menular. Ketiga, kalau aksi demo itu didalami, saya melihat ada penampakan aspek politis juga. Lihat saja fakta yang berlangsung di lapangan pada hari unjuk rasa, kemarin. Misalnya, ada ormas yang dasumsikan “connected” dengan Edy Rahmayadi turun berjaga-jaga di kawasan kantor Gubernur Sumut. Aspek politis ini tidak bisa ditutup-tutupi. Pasti akan ada terus. Aspek ini berhulu pada setiap agenda elektoral (pemilu) di Sumut. Baik itu pemilu tingkat provinsi maupun pemilu tingkat kabupaten-kota. Orang Sumut sudah sangat “familiar” (paham). Jadi, meskipun unjuk rasa #SaveBabi berjalan tertib dan aman, aktivitas ini jelas menunjukkan adanya ramuan (ingredient) politik. Selain itu, demo ini terasa, atau tanpa terasa, mengusik sensitivitas sebagian warga Sumut terhadap babi. Semoga saja ada semacam “lesson learned” dari aksi kemarin itu. Penulis adalah wartawan senior