DAERAH

Wajah Muram Maluku Setelah 75 Tahun Kemerdekaan

by Apriliska Lattu Titahena Jakarta FNN – Kamis (2/008). Sejarah tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak dapat terlepas dari peran provinsi Maluku. Apalagi Maluku adalah satu diantara delapan provinsi yang pertama kali memerdekakan negeri ini. Kalau diibartkan perusahaan, maka Maluku adalah pemegang pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdiri 17 Agustus 1945. Dalam keputusan sidang II Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi. Delapan provinsi itu adalah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil (Nusa Tenggara dan Bali), Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Catatan penting ini mengingatkan kita bahwa Maluku merupakan salah satu dari delapan provinsi yang mendirikan Republik Indonesia. Maluku ada bersama-sama dengan Indonesia sejak awal kemerdekaan. Tapatnya diakui tepat dua hari pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut. Bakaitan dengan itu, Provinsi Maluku pun telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor 13 tahun 2005 tentang penetapan 19 Agustus sebagai peringatan HUT provinsi Maluku. Untuk itu, sebagai salah satu provinsi pendiri negara, Maluku bukanlah provinsi yang masih muda lagi. Provinsi ini sudah ada sejak 75 tahun silam. Peranan penting Maluku pasca kemerdekaan harusnya jangan didustai oleh pemerintah pusat. Jangan dianggap seperti tidak. Jangan juga dilirik dengan sebelah mata. Mengapa demikian? Hari ini, 19 Agustus 1945, atau 75 tahun Maluku menyatakan diri sebagai bagian penting dan strategis dari negeri ini. Sebuah pengakuan dan sikap rakyat Maluku, yang jangan dianggap biasa-biasa saja. Sebagai bagian dari negera ini, dan ikut mendirikan bangsa ini, masyarakat Maluku sangatlah serius mengikuti dinamika kebersamaan selama 75 tahun. Juga mencermati dengan serius perlakukan pemerintah pusat kepada Maluku selama ini. Namun, kenyataan pahit selalu dirasakan oleh Maluku. Nyata-nyata sangat meraskan kalau Maluku dianaktirikan oleh pemerintah Pusat. Maluku yang terkenal dengan sebutan “Negeri Seribu Pulau” punya potensi sumber daya alam melimpah dan kaya raya. Namun selama ini tak dikelolah dengan optimal. Realitas ini membuktikan bahwa Maluku dimiskinkan secara tidak terhormat dan terstruktur. Padahal kekayaan alam Maluku yang melipah seperti cengkih-pala yang dikenal dengan sebutan “buah-buah emas hijau” sudah lama diperdagangkan dipasar dunia, sejak berabad-abad yan lalu. Belakngan ditemukan sumber tertulis Romawi dari Plinius Major pada 75 Masehi yang mengatakan bahwa, cengkeh sudah dikenal pada awal abad Masehi. Berkaca dari pengalaman masa lalu tersebut, Maluku sebagai daerah penghasil rempah terbaik menjadikan Maluku sangat kaya. Lalu bagaimana bisa nasib Maluku pasca kemerdekaan Indonesia pada usia 75 tahun ini? Sekarang tercatat sebagai provinsi termiskin ke empat setelah Papua, Papua Barat dan NTT. Tragis sekelai. Daerah kaya, namun miskin. Selain itu, potensi sumber daya alam Maluku yang mampu memperkaya negara pun sangat besar. Ada sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya yang berada pada ruang wilayah darat dan laut Maluku. Potensi perikanan Maluku adalah terbesar nomor empat di dunia. Nomor sastu adalah Bearing, nomor dua Alaska dan nomor tiga Skandinavia. Kekayaan laut bukan saja perikanan. Juga enargi gas alam cair yang sangat besar. Semua kekayaan alam di kawasan luat Maluku identik dengan perairan yang ini yang mampu menjadi jaminan kekayaan sebuah bangsa dan negarta. Ada solusi yang dapat ditawarkan ketika membaca potensi dan isu strategis yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) wilayah berbasis kepulauan ini. Untuk itu, sebaiknya ke depan kebijakan pembangunan lebih berorientasi pada laut. Lebih banyak melihat produksi kawasan kepulauan, namun tetap memadukan orientasi pembangunan kedarat secara berimbang (balance). Tentunya negara harus hadir untuk menjawab arah dan tantangan pembangunan provinsi Maluku tersebut. Tidak lagi seperti sekarang, yang dilirik dengan sebelah mata. Pemerintah pusat harus segera mewujudkan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Negara harusnya memanfaatkan teritorial provinsi Maluku sebagai jawaban atas pembangunan yang berbasis kepulauan. Bukan hanya kebijakan yang bertumpu pada daratan semata. Berbicara tentang LIN, tentunya ini sudah isu lama. Hanya selama ini terhambat, karena pemerintah pusat tidak memperlihatkan keberpihakan. Apalagi mewujudkan RUU Kepulauan. Padahal Blok Gas Abadi Masela, tambang emas di Pulau Buru dan Romang serta potneis kekayaan Maluku lainnya, sudah sering dijdikan konsumsi masyarakat Maluku sebagai iming-iming pemerintah pusat. Melihat problematika pembangunan yang seperti ini, membuat beta sebagai salah satu aktivis perempuan Maluku bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari mukadimah UUD 1945? Apakah perwujudannya seperti ini bagi kami masyarakat Maluku? Pemerintah pusat harap jangan membuat kebijakan yang menindas kami orang Maluku! Hargai harkat dan martabat kami sebagai bagian dari Indonesia. Yang merupakan bagin penting dari Negara Merdeka. Keberadaan kami Maluku jangan didustai. Kalau hari ini kami harus dipaksa miskin di atas tanah yang kaya, ini adalah pembodohan yang nyata. Pembodohan yang harus kami rasakan di negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini. Harapan beta, negara harus adil untuk Maluku. Negara harusnya tidak lalai dalam menjawab hak-hak konstitusional masyarakat Indonesia yang ada di Maluku. Semoga negara tidak melupakan kutipan Bung Karno, sang Prokalamator bangsa yang mengatakan “Indonesia Tanpa Maluku Bukanlah Indonesia”. Salam dari Maluku untuk Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan.

Merayakan Politik Baku Sayang

by Hariman A. Pattianakotta Jakarta FNN – Senin (10/08). Sebuah idiom manis digulirkan oleh saudara saya Ikhsan Tualeka. Namanya "politik baku sayang". Idiom ini selaras dengan spirit hidup orang basudara. Sesama saudara memang sudah seyogianya saling mencintai. Kami orang Maluku menyebutnya baku sayang. Ketika disandingkan dengan politik, kata baku sayang lalu memberikan spirit yang mencerahkan politik. Membawa pulang politik yang pada hakikatnya, yaitu politik sebagai usaha bersama menghadirkan kebaikan bagi warga polis. Sejak era Yunani kuno, kita memahami politik sebagai tindakan partisipatif warga demi mewujudkan keadilan sebagai virtu atau kebajikan yang diidealkan dan diperjuangkan. Jurgen Habermas dalam konteks demokrasi modern membayangkan politik sebagai proses deliberasi. Demokrasi yang sehat terbangun melalui diskursus yang komunikatif di ruang publik. Proses komunikatif itu mesti bebas dari monopoli kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini tentu mensyaratkan adanya subjek-subjek politik atau warga negara yang tercerahkan. Apabila subjek politik telah tercerahkan, maka sudah barang tentu sikap politiknya akan dituntun oleh virtu. Duntuntun dengan kebajikan untuk menghadirkan bonum commune atau kebaikan bersama. Sampai di situ, seperti yang dikatakan oleh Jong Ambon Johanes Leimena, politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani. Sesungguhnya hari ini, kita membutuhkan politik yang beretika. Politik yang dijiwai oleh spirit baku sayang. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin akan dipandang sloganistik, utopis, dan tidak membumi. Sebab, nyatanya politik itu penuh intrik, sarat fitnah, diwarnai tindakan saling sikut demi syahwat kekuasaan. Realitas buram dunia politik itu tentu tak bisa kita tutupi. banyak politisi yang suka mengumbar janji di saat Pilkada atau Pemilu, tetapi setelah berkuasa menjadi amnesia. Bukan mengusahakan kesejahteraan bersama, tetapi membangun dinasti politik dan empire ekonomi keluarga dan golongan. Dan justru karena realitas buram itulah, kita membutuhkan etika dan spirit baku sayang dalam berpolitik. Politik baku sayang tentu tidak buta terhadap ketidakbenaran dan ketidakadilan. Sebab, kasih sayang itu selalu terarah pada tindakan memanusiakan manusia. Politik baku sayang justru tergerak oleh cinta untuk memutus tali-temali oligarki dengan kejernihan hati. Juga ketajaman pikiran. Politik baku sayang didorong oleh cinta untuk mengatakan kebenaran dengan kelembutan. Politik baku sayang tidak bermaksud membuat keseragaman. Namun hendak membangun ruang bagi perbedaan. Telinga sungguh-sungguh dipakai untuk mendengarkan. Yang penting di sini adalah kesaling-pengertian. Sekalipun berbeda, tetapi kita tetap saudara. Karena itu kita tetap baku sayang. Sampai di sini, tentu kita sangat memerlukan yang namanya kedewasaan. Hari ini saya melihat kedewasaan itu mulai menguncup dalam dinamika diskusi politik Forum Maluku Raya. Diskusi dengan perbedaan pendapat yang tajam tersebut berlangsung selama kurang lebih empat jam pada hari ini (Minggu, 9 Agustus 2020). Namun tetap dalam semangat dan spirit baku sayang yang tinggi dinatara sesama orang basudara. Diskudi ini dihadiri anak-anak Maluku lintas generasi. Ada cendekiawan, jurnalis, politisi, mantan pejabat sampai mahasiswa. Diskusi ini digagas sebagai respons atas realitas ketertinggalan dan ketidakadilan yang terjadi di Maluku Raya, Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Hampir 75 tahun hidup mengindonesia. Tetapi Maluku tak kunjung sejahtera. Padahal, alamnya melimpah dengan kekayaan. Tentu saja, realitas ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan hidup bersama. Kesalahan itu ada di Maluku, dan Jakarta. Sentralisme pemerintahan dengan jargon NKRI harga mati adalah salah satu biang keroknya. Ditambah dengan tata kelola pemerintahan yang masih sarat dengan korupsi baik di pusat dan daerah. Hasilnya, rakyat Maluku pada khususnya terus sengsara. Karena itulah maka Forum Maluku Raya angkat bicara. Tentu, kita harus jujur berkata bahwa Forum ini belum mewakili semua anak Maluku dari Utara, Tenggara, Tengah sampai dengan Selatan tanah air Maluku. Apalagi anak Maluku sedunia. Namun, forum diskusif kemarin sungguh sangat menggembirakan. Berjam-jam katorang bisa bicara begiliran dan saling mendengarkan. Pandangan dan sikap politik juga masih sangat beragam. Bahkan, ada yang terlihat saling berlawanan. Namun, karena katong samua punya spirit untuk salang baku sayang, maka semua dapat dijalani dengan indah dan manis. Akhir yang manis ini menjadi awal yang menggembirakan. Kebenaran tentang keadilan dan keterbelakangan menjadi soal harus dikatakan dan diperjuangkan. Apalagi kalau dijalani dengan sikap yang elegan. Biarlah nurani dan kasih sayang yang berbicara, supaya harapan itu boleh berbuah kenyataan. Apa yang terjadi hari ini tidak lain adalah perayaan politik kasih sayang antar-anak Maluku. Toma dengan kasih sayang, wahai para kapitan-kapitan muda. Medan perjuangan telah terbuka menanti anda. Penulis adalah Pendeta dan Pemerhati Sosial Maluku.

Papua, Maluku Raya Dalam Genggaman Kolonialisme Baru

by M. Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Keinginan untuk “merdeka” oleh banyak orang Papua, juga mulai mengemuka di kalangan orang Maluku. Bila ditelusuri, belakangan ini sejatinya ada kaitannya dengan upaya penyelamatan diri dari kanker ganas prilaku oligarki yang telah melilit Indonesia sejauh ini. Oligarki yang telah menguasai dan mengendalikan hampir semua sendi-sendi tata kelola kekuasaan negara. Oligarki yang dibangun dan dikendalikan oleh sekelompok orang (Baca: Taipan), berkelindan dengan kekuasaan yang korup. Oligarki yang menjadikan Partai Politik sebagai alat untuk membentuk undang-undang sesuai keinginan mereka. Oligarki yang menjadikan ajang demokrasi untuk mengendalikan kekuasaan negara. Contoh paling kasat mata dan telanjang adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) sapu jagad Omnu Bus Law Cipta Kerja. Ada lagi Undang-Undang Minermba yang baru disahkan, dengan masa perpanjangan 90 tahun secara otomatis. Yang paling akhir, terlihat nyata para Oligarki menitipkan kepentingan mereka di Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2/2020. Kasus Djoko Tjandra yang baru-baru ini turut menyeret sejumlah jenderal polisi, merefleksikan betapa buruknya tata kelola pemerintah Indonesia. Tidak kurang tiga institusi negara urusan penegak hukum dan dua Kementerian dilempari mukanya dengan (mohon maaf) kotoran manusia yang biasa dibuang di toilet. Lembaga negara urusan penegakan hukum itu adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, ditambah Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perhubungan. Semua menjadi lima instansi negara. Setelah dilempari lima institusi negara ini dengan kotoran buangan manusia, Djoko Tjandara pun kabur dengan mudah ke luar negeri. Cenrteng-perenang itu bisa dilihat dari implikasi dan kenyataan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia kini menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka ketimpangan ini berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse tahun 2017 lalu. Menempatkan Indonesia berada di peringkat ke empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Ini fakta yang tak bisa ditepis. Itu hanya sedikit diantara persoalan ketoimpangan yang mengemuka. Namun soal-soal lain yang tak kalah lebih mendasar, utamanya persoalan distribusi keadilan, latar sejarah politik hingga praktik diskriminasi paradigma pembangunan yang keliru. Penilaian ini tentu akan disetujui jika mau berangkat dari cara pandang yang berlandaskan hati nurani. Situasi yang mengemuka hari ini sebenarnya adalah puncak dari ketamakan. Selain itu, dinafikannya eksistensi masyarakat lokal dan kepentingan daerah (Timur) Papua dan Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) selama puluhan tahun. Sayangnya, kesempatan emas yang telah diberikan untuk mengelola negara sesuai “kesepakatan” tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa yang telah diberikan amanat oleh rakyat. Lebih lanjut, melihat kondisi eksisting, dengan geopolitik terkahir, justru membuat luka semakin dalam. Kenyataan ini diperparah dengan kadar resistensi masyarakat lokal, serta pola pendekatan politik yang justru salah dan ngawur. Pendekatan yang tidak mengutamakan dan menghidupkan potensi, kekayaan dan kearifan lokal. Pendekatan yang hanya mengandalkan keamanan semata. Untuk itu, Papua layak diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Bisa saja lewat mekanisme referendum yang terbuka dan transparan. Sementara Maluku harus segera diberikan otonomi khusus (Otsus) untuk memperpendek jarak ketertinggalan yang sudah sangat lebar. Sekali lagi, ini demi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Intergrasi wilayah tak berarti apa-apa tanpa ada integrasi sosial. Bahkan yang terjadi hanyalah eksploitasi sumber daya alam, memperkaya segelintir kelompok penguasa dan oligarki tertentu. Sementara anak kandung dari daerah-daerah yang dikuras itu tetap dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Papua dan Maluku Raya hari ini, bila mau jujur adalah potret dari bersemayamnya kolonialisme gaya baru. Praktek kolonialisme yang dibungkus dengan semangat nasionalisme semu. Mendistribusikan dengan telanjang kekayaan daerah untuk kaum oligarki. Namun masyarakat Papu dan Maluku Raya hanya bisa menyaksikan proses kolonialisme semu di depan mata. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Generasi tercerahkan dan pemimpin politik hari ini, terutama dari Indonesia, tak bisa lepas tangan. Tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlangsung tiada akhir. Seperti mengabaikan orang yang sedang sekarat di pembaringan. Namun masih tetap menunda kematiannya. Sementara sejarah akan merekam dan mencatat semuanya. Hari-hari ini, kalau dilihat dengan kacamata kemanusiaan dan kejujuran tingkat dewa, maka akan terbaca dengan jelas. Hampir semua orang Papua asli, menginginkan penentuan nasib sendiri. Jika pun ada yang menolak gagasan ini, bisa jadi hanyalah kelompok kepentingan yang kebetulan sedang mendapat keuntungan dari intergrasi yang ada. Namun hati kecilnya pun ingin turut ambil bagian. Sementara pada sisi yang lain, Indonesia terlihat tidak menunjukan upaya yang penting, strategis dan berarti untuk mengendalikan situasi yang ada. Tidak terlihat ada pendekatan yang prima, relevan, adil, bermartabat dan manusiawi. Tampak hanya pendekatan keamanan semata. Pendekatan yang terus menelan korban manusia, baik itu yang meninggal dunia maupun yang luka-luka. Gagalnya penerapan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua yang hampir 20 tahun terkahir ini, serta pelanggaran HAM yang terus terjadi dan mengiringinya, adalah fakta yang tak terbantahkan. Sejarah peradaban manusia telah membuktikan serta mengajarkan pada kita bahwa melakukan kontrol dengan cara paksa, dan eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam hanya akan berujung pada kegagalan yang tidak bermartabat. Prilaku ketidakadilan pada satu wilayah dan masyarakatnya, pasti akan berakhir dengan sendirinya. Maka pilihannya adalah, apakah hendak diakhiri dengan cara tragis? Penuh dengan pertumpahan darah dan air mata? Seperti yang pernah terjadi di Timor Leste? Begitu juga yang terjadi Bosnia-Herzegovina? Yang kemudian berakhir dengan merdeka lewat satu referendum? Atau melalui referendum dengan cara yang damai seperti di Singapura, yang akhirnya memilih untuk berpisah dari Malaysia tahun 1963. Setelah disintegrasi, masing-masing pihak bisa hidup dengan damai. Hidup secara berdampingan sebagai sahabat bagi yang lain. Bahkan saling mendukung dan menguntungkan. Mungkin pula bisa seperti Skotlandia yang pada tahun 2014 menggelar referendum. Apakah rakyatnya setuju untuk memisahkan diri dari persemakmuran Inggris atau tidak? Ternyata hasilnya kurang dari 50 persen rakyat Skotlandia yang menginginkan merdeka. Sementara masih lebih banyak rakyat Skotlandia menginginkan berada di bawah naungan Ratu Elizabeth. Itu adalah pilihan politik yang dapat diambil, dan sejumlah konsekuensi politik yang bakal mengikutinya. Referendum dalam pelaksanaannya, tidak mesti hasilnya adalah berpisah atau disintegrasi. Ada pula yang tetap memilih inklud. Pastinya ini adalah cara yang paling damai. Karena menyerahkan sepenuhnya satu entitas bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Memang akan sulit, mengingat kekayaan Papuan yang besar. Tentu saja sangat berat bagi Indonesia, bila harus membuka ruang untuk melepas Papua begitu saja. Tetapi ini adalah pilihan yang jauh lebih menusiawi, efektif dan efisien daripada moncong senapan dan angkatan perang. Moncong senapan hanya mempetaruhkan nyawa, serta menjadi catatan sejarah yang buruk dan hitam. Menjelang hari kemerdekaan Nergara Republik Indonesia, sepertinya kita perlu sama-sama membaca dan merenungi kembali kutipan indah dalam pembukaan UUD 1945, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Atau kita perlu pula merenungi paham nasionalisme yang dikembangkan Soekarno, yakni nasionalisme yang mencerminkan sikap anti terhadap kolonialisme dan imperalisme. Nasionalisme yang berdasarkan pada atau lahir dari menselijkheid. “Nasionalismeku adalah perikemanusiaan”, kata Soekarno mengutip pendapat Gandhi. Pandangan yang mengajarkan pada kita bawah nasionalisme seberapa pun tingginya, harus tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan. Itu artinya kemanusiaan dan memanusiakan manusia, termasuk terhadap orang Papua, juga orang Maluku Raya, jauh lebih penting dari agenda apapun, temasuk dari proyek nasionalisme ala Indonesia itu sendiri. Satu hal yang perlu menjadi catatan bersama, sebagai penutup sudut pandang ini. Bahkan bila perlu digarusbawahi dengan tinta merah adalah "bahwa kemerdekaan dan keadilan, dimanapun itu harus tetap diperjuangkan. Tidak bisa menunggu untuk diberikan. Apalagi menunggu diberikan oleh oligarki dan kolonislisme gaya baru". Pilihannya hanya dua. Diam itu tertindas, atau bangkit dan melawan sebagai pilihan. Saatnya bagi generasi hari ini untuk menuliskan catatan dan penggalan sejarahnya sendiri. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC).

Papua Butuh Desekuritisasi

by Natalius Pigai Jakarta FNN – Rabu (22/07). Seorang Mama warga pengungsi berdiri dan berorasi dengan mengatakan, “dirinya melahirkan anak tidak untuk mati sia-sia. Mama itu membesarkan anaknya untuk menjaga Tanah Papua”. Sambunnya lagi, “sebelum Indonesia ada di Papua, tidak pernah ada orang Papua yang dibunuh sembarang”. Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Mama Papua saat unjuk rasa protes penembakan Aparat TNI terhadap dua orang warga di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, Sabtu (18/7) lalu. Peristiwa ini kemudian menyulut aksi unjuk rasa pada Senin (20/7). Korban bernama Elias Karunggu (45 tahun) tewas bersama seorang anaknya dari Seru Karunggu (20 tahun). Senin lalu (20/7) keluarga korban bersama sejumlah masyarakat Kabupaten Nduga telah turun ke jalan melakukan aksi protes atas kasus penembakan ini. Dalam aksi tersebut, masyarakat meminta pemerintah Indonesia bertanggungjawab terhadap seluruh insiden penembakan dan kekerasan, yang kini menyulut perlawanan dari warga Papua di Ndugama. Pengunjuk rasa meminta Presiden Joko Widodo menarik pasukan TNI/Polri. Presiden harus segera menghentikan operasi militer yang telah dan sedang berlangsung di wilayah Ndugama. Mereka menilai, aparat keamanan kerap salah sasaran dalam melakukan operasi. Sebab, beberapa warga tanpa memegang senjata telah menjadi sasaran penembakan. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Bahkan negara kini berpandangan bahwa jalan kekerasan militer itu satu-satunya cara untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sayangnya, skenario Jakarta ini sangat tidak tepat. Karena Jakarta tidak hanya menghadapi kelompok TPN/OPM, tetapi wilayah Papua yang terpisah dengan Jakarta jika dilihat dari etnologi dan antropologi ragawi, memiliki ciri-ciri fisik sebagai orang-orang berkulit hitam dan suku bangsa Melanesia. Di dalam hukum pertahanan, telah diajarkan bahwa kekuasaan negara akan jatuh dikala negara merdeka menghadapi satu rumpun etnik yang berbeda. Hal ini telah dibuktikan di Rusia yang melepaskan 13 negara Eropa Timur dan 3 negara Kaukasia Selatan. Jugoslavia pecah akibat multi etnik. Sudan Selatan dan Utara serta India, Pakistan dan Bangladesh. Karena itu problem di Papua tidak akan selesai jika Jakarta mengambil jalan kekerasan militer. Negara perlu mengambil jalan penyelesaian secara bermartabat melalui desekuritisasi. Pilihan desekuritiasasi diperlukan di Papua untuk menjamin keamanan dan perlindungan hak asasi manusia. Apalagi menyusul tidak ada pergeseran kebijakan keamanan di wilayah itu. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan kekuatan militer sebagai satu-satunya jalan penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, desekuritisasi di Papua agar segera dilakukan, karena pendekatan militer melahirkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Berbagai penangkapan, penyiksaan, pembunuhan dan operasi militer di Papua telah menanam bibit-bibit kebencian. Yang tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada penduduk sipil kaum migran. Selama ini negara terkesan mengabaikan persoalan di Papua. Persoalan Papua dianggap Jakarta tidak penting. Pemerintah Jakarta hanya sibuk mengurusi pusat kekuasaan dan mengabaikan masalah social kemasyarakat dan keamanan di Papua. Sejak tahun 1969, secara umum pola pendekatan keamanan di Papua tidak bergeser. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Namun pemerintah tidak sadar, bahwa sejak tahun 2010 Rakyat Papua telah menempu jalan penyelesaian masalah Papua secara diplomasi dan tanpa kekerasan. Pola baru pendekatan di Papua ini telah menyebabkan simpati dari berbagai negara dan komunitas internasional. Namun untuk menghadapi kekerasan militer, sayap militer di TPN/OPM masih melakukan perlawanan. Militer dan TPN/OPM masih dianggap sah dalam konteks antar combatan (inter-combat) berdasarkan hukum perang. Sesuai hukum humaniter dan konvensi Jenewa. Persoalannya, semua jenis operasi militer yang diterapkan di Papua yaitu operasi perbatasan. Operasi pengamanan daerah rawan dan obyek vital. Operasi intelijen dan operasi teritorial. Rakyat Papua telah dan sedang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, pembunuhan. Ini masalah serius. Pemerintah Jakarta jangan menganggap enteng masalah ini. Otonomi Khusus Papua tidak lantas ikut merubah pola pendekatan militer atau desekuritisasi. Justru yang ada adalah berbagai kebijakan yang dapat dilihat untuk menyatakan secara lantang Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOP). Salah satunya indikatornyta dengan pengiriman aparat TNI/Polri secara terus menerus, sebagaimana juga dituliskan dalam hasil penelitian Imparsial . Pertama, kebijakan keamanan yang melibatkan militer. Kedua, masih berjalannya operasi militer. Ketiga, diteruskannya pengiriman pasukan non-organik ke Papua. Keempat, perluasan dan penambahan struktur komando teritorial baru di Papua. Kelima, pembangunan pos-pos TNI di sekitar pembangunan sarana sipil. Keenam, penumpukan dan penyimpangan anggaran APBN, APBD dan swasta untuk TNI terkait dengan operasi militer. Ketujuh, rencana pembangunan gelar kekuatan TNI yang baru di Papua. Operasi militer menghadapi insurgensia domestik tidak dapat dibenarkan. Karena akan menyebabkan kerusakan substantial, yaitu tragedi kemanusiaan. Rakyat Papua seakan-akan berada di daerah jajahan. Itulah sebabnya Rakyat Papua menolak secara serempak, simultan, masif dan meluas menolak penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan.

Gibran vs Kotak Kosong

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (22/07). Purnomo tersingkir dari calon Walikota Solo. Wakil Walikota Solo ini harus mengubur mimpinya untuk bisa berlaga di Pilkada Solo Desember nanti. Karir politik Purnomo mendadak berhenti setelah dihadang Gibran, putra sulung presiden yang tanggal 23 september 2019 lalu baru mendaftarkan diri sebagai anggota resmi PDIP. Meski lebih senior dan punya pengalaman yang lebih matang, tapi Purnomo bukan anak presiden. Dari sisi akseptabilitas dan elektabilitas, Purnomo jauh lebih tinggi dari Gibran. Sebelum akhirnya anjlok ketika Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Kok mundur? Rupanya Purnomo menyadari betul, tak mungkin bisa melawan putra mahkota Istana. Purnomo tahu siapa yang dihadapi. Tetapi, pengunduran diri Purnomo ditolak oleh DPC PDIP Solo. Ujung-ujungnya, ia pun tetap nggak direkomendasi oleh DPP PDIP. Nyesek! Selain anak presiden, Mas Gibran lebih muda, keluh Purnomo setelah pulang dari istana. Kasihan amat ya! Lebih kasihan lagi, Purnomo sekarang harus muncul ke publik untuk memberi dukungan kepada Gibran. Publik tahu itu bukan jiwa besarnya, tapi ada faktor x kenapa Purnomo harus melakukannya. Purnomo bukanlah malaikat bro! Kecewa, manusiawilah, kata FX Hady Rudyatmo, Walikota Solo yang sekaligus Ketua DPC PDIP Solo. Hady yang sedari awal ngotot merekomendasikan Purnomo untuk maju sebagai calon Walikota Solo. Idealisme Hady layak untuk diapresiasi. Meski pada akhirnya harus menyerah di hadapan dua kekuatan besar, yaitu Presiden dan DPP PDIP. Begitulah politik bekerja. Tak ada pakem, kecuali kepentingan yang ditransaksikan di atas meja demokrasi. Siapa yang mampu membeli dengan harga paling tinggi, dialah pemenangnya. Soal moral dan kepatutan, itu nomor 12. Peduli amat dengan moral! Kenapa Gibran yang baru berusia 33 tahun dan belum genap setahun jadi kader resmi PDIP harus dipaksakan maju di pilkada Solo? Pertama, ini soal momentum boss. Dalam posisi orang tua sedang menjabat sebagai presiden, Gibran lebih mudah mendapatkan tiket PDIP. Dalam konteks pilkada Solo ini, pertarungan yang sesungguhnya adalah bagaimana merebut tiket dari PDIP. Tiket didapat, beres semua! Karena tiket inilah yang paling menentukan. Meski harus memotong Purnomo yang jauh lebih senior, berpengalaman dan matang dalam segala hal. Beda cerita jika Gibran harus berjuang sendirian untuk mendapatkan tiket dari PDIP. Tanpa keterlibatan tangan Sang Ayah, nggak kebayang bagaimana Gibran bisa dapat rekomendasi PDIP itu. Kedua, peluang menang sangat besar. Siapapun yang dicalonkan PDIP di Pilkada Solo, hampir pasti akan menang. Sebab, Solo itu basisnya PDIP. Lalu, siapa bakal calon lawan Gibran? Kotak kosong! Bukan karena tak ada yang berani. Faktornya karena tiket yang tersisa nggak cukup untuk mengusung calon lawan. Sudah habis diborong oleh istana untuk Gibran. Di Solo itu, 30 kursi milik DPRD milik PDIP. Gerindra, PAN dan Golkar masing-masing 3 kursi. PSI 1 kursi. Semua akan mengusung Gibran. Kecuali 5 kursi PKS tak cukup mengusung calon sendiri. Sebab, untuk mengusung calon minimal harus mendapatkan 9kursi. Kenapa PKS nggak ikut bergabung? Bukannya kalau nggak ikut bergabung juga nggak bisa mencalonkan? Jika PKS sedikit mau bersikap pragmatis dengan ikut mengusung Gibran, setidaknya akan kecipratan kompensasi reziki. Apakah berupa biaya operasional kampanye, ataupun pasisi di pemerintahan Solo nantinya. Yaa 5 kursi itu, pasti lumayan! Hingga hari ini, tak ada tanda-tanda PKS ikut dukung Girban. Justru sebaliknya, PKS tampak menguatkan posisinya sebagai partai oposisi terhadap Jokowi. PKS tetap Konsisten! Bagaimana kalkulasi politik di pilkada Solo desember besok? Gibran akan menang. Peluang untuk kalah kecil sekali. Sederhana menghitungnya. Pertama, Solo itu basisnya PDIP. Terbukti 67% suara PDIP yang kuasai. Punya 30 kursi DPRD diduduki kader PDIP. Dan kita tahu, kader dan pemillih PDIP cukup militan di Solo. Mesin politiknya PDIP sangat bisa diandalkan untuk bekerja. Kedua, Gibran didukung oleh semua partai, kecuali PKS. Dalam konteks ini, PKS juga nggak punya calon. Artinya, nggak akan ada lawan yang berarti. Kemungkinan lawan Gibran cuma kotak kosong saja. Memang, pilkada Kota Makasar tahun 2019 lalu, kotak kosong bisa menang. Tetapi, Makasar bukan Solo. Kondisi obyektifnya jauh berbeda dengan Solo. Jangan dibandingkan. Nggak tepat! Ketiga, Gibran itu anak presiden. Akses kekuasaan akan sangat membantu bagi kemenangan Gibran. Belum lagi peran para pendukung Jokowi. Baik dukungan politik maupun logistik. Bagi warga Solo, siap-siaplah punya Walikota baru dan sangat muda. Baru 33 tahun. Nama Walikota itu adalah Gibran Rakabuming Raka. Putra Sulung Presiden Joko Widodo. Bagi anda yang belum sreg dan meragukan kapasitas Gibran, berupayalah untuk belajar menerima keadaan seperti Purnomo. Pasrah apa adanya! Karena itulah situasi obyektifnya. Kalau nggak bisa terima, emang lu bisanya apa? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Larangan Tolak Otsus, Kapolda Papua Bermain Politik

by Marthen Goo Jakarta FNN - Rabu (22/07). Kebijakan Kapolda Papua yang melarang aksi tolak Otonomi Khusus (Otsus) nyata-nyata melanggar Undang-Udang Nomor 9 Tahun 1998. Kebijakan Kapolda tersebut inkonstitusional, dan masuk ke dalam ranah atau domain politik. Kapolda jangan bermain politik. Kapolda sebaiknya jangan ikut-ikutan bermain politik. Polisi dilarang oleh undang-undang untuk masuk ranah politk. Pebicaraan tentang Ostus Papua adalah wilayah politik. Siapa saja masyarakat Papua bebas untuk berbicara tentang Otsus papua. Baik yang mendukung maupun yang menolak. Polisi jangan ikut-ikutan, termasuk melarang masyarakat yang hendak melakukan aksi menolak Otsus Papua. Sebab Indonesia sudah dikenal sebagai negara demokrasi. Dimana demokrasi di Indonesia mulai dikenal tahun 1998, dengan semangat reformasi 1998. Ketika kekuasaan yang otoriter ditumbangkan oleh para mahasiswa, aktivis dan masyarakat tahun 1998, lahirnya demokrasi tersebut. Bisa dilihat juga dengan lahirnya pasal 28 UUD 1945, yang kemudian diturunkan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Tentu semangat demokrasi tersebut lahir dengan semangat mengedepankan hak asasi manusia. Atas dasar semangat reformasi dan cita-cita memupuk demokrasi, maka setiap orang berhak menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaannya. Penyampain pendapat itu, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan di muka umum. Atas penyampaian tersebut, hak konstitusinya dilindungi dalam konstitusi Negara. Seperti pada pasal 28 UUD 1945 yang dengan jelas dirumuskan, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Kemerdekaan menyampaikan pendapat seperti yang dimaksud dalam pasal 28 UUD45 tersebut, diperjelas dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ada apa Kapolda melarang aksi masyarakat untuk menolak Otsus Papua? Dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Sementara dalam pasal (3) dijelaskan, pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai, telah diterima Polri setempat. Artinya, dalam ayat (1) lebih diutamakan pada sifat surat pemberitahuan. Sedangkan Pada ayat (3) adalah soal waktu dan tempat kegiatan penyampaian pendapat. Sebelum kegiatan dimulai, surat pemberitahuan sudah harus disampaikan kepada polisi. Undang-undang telah memberikan ruang demokrasi bagi setiap orang yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum. Namun dengan prinsip kemanusiaan, atau dalam prespektif hukum, dikenal dengan istilah “batasan”. Batasanya tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Penolakan Otsus Konstitusional Otonomi Khusus bagi propinsi Papua yang diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah undang-undang desentralisasi asimetris di Propinsi Papua. Dimana keberlakuannya sejak diundangkan. Dalam sistim pemerintahan, undang-undang yang menerapkan sistim desentralisasi asimetris tidak hanya di Papua, tetapi juga di beberapa daerah lainnya seperti di Aceh, Yogykarta dan Jakarta. Sementara wilayah lain, hanya diterapkan undang-undang desentralisasi. Apakah penolakan sebuah undang-undang bagi warga negara, yang tidak mendapatkan manfaat dan tidak relevan dengan kondisi objektif yang dialami rakyat, serta bertentangan dengan konstitusi, apakah wajib tetap dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dipahami dengan baik juga tujuan dibentuknya undang-undang. Jika kita merujuk pada tujuan nasional, yang juga dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, yakni bertujuan “mensejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jika tujuan itu tidak terlihat dalam pelaksanaan undang-undang, maka wajib hukumnya ditolak. Karena tujuan utama pembentukan undang-undang adalah untuk kesejahteraan dan mencerdasan rakyat. Jika undang-undang dibuat hanya karena pertimbangan politik. Bukan pertimbangan tujuan nasional, secara konstitusional sah jika rakyat menolak. Jadi, jika rakyat atau pulbik ingin menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, secara konstitusional boleh-boleh saja. Selagi tidak melakukan perbuatan pidana atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam dunia demokrasi, itu hal yang wajar dilakukan. Jangankan hanya undang-undang. Jika rakyat aksi untuk mendorong amandemen UUD 1945, itu boleh-boleh saja, atau bahkan perubahan sistim hukum di Indonesia. Menolak sebuah keberlakuan undang-undang itu hak konstitusional warga Negara. Sementara mengenai perubahan atau pencabutan undang-undang, hanya bisa terjadi melalui dua hal. Yaitu undang-undang tersebut mengatakan dirinya usai (berakhir) atau pembuat undang-undang mencabut undang-undang tersebut. Polisi Tidak Diberi Kewenangan Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi berjalannya asksi yang demokrasi. Bukan menutupi ruang demokrasi. Pelarangan terhadap aksi penolakan Otsus Papua adalah tindakan menutupi ruang demokrai. Melarang memiliki arti tidak mengijinkan, sementara setiap orang berhak menyampaikan pikiran, perasaan baik secara lisan dan tulisan. Dalam pasal 13 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 dijelaskan, setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalarn pasal 11 Polri wajib : a. segera rnemberikan surat tanda terirna pemberitahuan, b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum, c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat, d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute. Sementara dalam pasal 13 ayat (2) dijelaskan, dalarn pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. Sementara dalam ayat (3) dijelaskan, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai prosedur yang berlaku, Disini peran polisi sesungguhnya sangat jelas. Dijelaskan dalam pasal 13, baik itu pada ayat (1), (2) dan (3). Dalam pasal itu tidak dijelaskan Polisi menutupi ruang demokrasi. Apalagi sampai melarang warga menyampaikan pendapat untuk menolak undang-undang Otsus Papua. Dalam hirarki perundang-undangan, juga sudah jelas. Sebagai batasan dalam keberlakuan sistim hukum di Indonesia, undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang di bawahnya jika bertentangan. Apalagi posisi kepolisian hanya pelaksana undang-undang. Bukan pembuat aturan. Jadi, Polisi sesungguhnya tidak diberi kewenangan melarang aksi atau menutupi demokrasi. Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum apabila terbukti ada yang melanggar hokum. Terutama jika merujuk pada pasal 1 ayat (1) tentang asas legalitas. Kepolisian hanya memiliki kewenangan sebagai pelaksana undang-undang. Hanya untuk menjaga tertegaknya hokum. Bukan melarang rakyat menyampaikan penolakan terhadap sebuah undang-undang. Bukan juga melarang rakyat memenuhi UU Nomor 9 Tahun 1998. Pernyataan Polda Mencederai Demokrasi Dari uraian di atas, batasan dan ruang kepolisian sangat jelas dalam undang-undang. Sehingga jika Polisi menyampaikan pelarangan terhadap aksi penolakan UU Nomor 21 Tahun 2001, sesungguhnya telah mencederai demokrasi. Menolak sebuah undang-undang yang dirasakan tidak relevan dalam kehidupan masyarakat sah dan kontitusional. Keram itu adalah hak konstitusional setiap orang atau setiap masyarakat. Tidak perlu Polda melarang-larang. Dengan demikian, pernyataan Kapolda Papua bertentangan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Kapolda harus melihat dan membaca undang-udang dengan seksama. Harus berpegang juga pada asas legalitas. Apalagi negara yang menerapkan sistim hukum Civil Low tidak mengenal dugaan-dugaan. Berlaku asas legalitas. Jika ada perbuatan pidana, maka terhadap perbuatan tersebut, diproses dan dikenakan sanksi hukum sesuai perbuatan pidananya. Menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, tidak ada perbuatan pidananya. Itu ruang demokrasi bagi setiap orang untuk menyampaikan hak konstitusinya. Kepolisian tidak boleh masuk sampai pada membatasi hak konstitusional warga Negara. Karena tugas kepolisian hanya untuk memastikan dan mengawal hak konstitusional warga dapat berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Gibran vs Wong Solo, Siapa Menang?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Jejak digital mencatat, dunia politik Indonesia dibuat heboh soal kemenangan “kotak kosong” dalam Pilkada Kota (Pilwali) Makassar, pertengahan 2018. Suara kotak kosong melibas suara koalisi parpol dari pasangan Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Awal munculnya suara kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto – Indira Mulyasari (DIAmi) dari kontestasi Pilwali Makassar. Atas putusan itu, Pilwali Makassar akhirnya diikuti satu pasangan. Yakni: Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Dalam putusannya, MA beranggapan, Danny Pomanto selaku petahana dianggap menggunakan jabatannya untuk melakukan kampanye terselubung dalam program pemerintahannya. Hal ini dianggap majelis hakim yang diketuai Agung Supandi merugikan pasangan lainnya. Karena pertimbangan tersebut, MA lalu mencoret Keputusan KPU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PKPUNomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Maka tinggallah pasangan Appi-Cicu yang melaju sendiri menuju kursi Walikota Makassar. Tapi, pada 27 Juni 2018 semua orang tersentak, pundi-pundi suara kotak kosong di Makassar mengalir deras. Berdasarkan hasil rekapan dari KPU Kota Makassar per kecamatan, kotak kosong menang atas pasangan Appi-Cicu. Dari rekapitulasi tersebut, pasangan Appi-Cicu total memperoleh 264.071 suara, dan kotak kosong 300.969 suara. Drama saling klaim pendukung kotak kosong dan kelompok App-Cicu sempat terjadi pada sore hari setelah pemungutan suara berlangsung. Klaim pertama muncul pada sore hari dari arak-arakan massa di jalan protokol Makassar yang menyuarakan kemenangan kotak kosong. “Hidup kotak kosong, kotak kosong menang di Makassar,” teriak para massa yang berkonvoi di sepanjang jalan, seperti dilansir Detik.com, Kamis (27 Des 2018 13:53 WIB). Mereka pun memberikan simbol kosong di jarinya ketika melintasi jalan. Sementara itu, Appi dalam orasinya di hadapan pendukung mengklaim memenangi Pilwali Makassar dengan memperoleh suara lebih banyak dari kotak kosong. Ia mengklaim Makassar telah memiliki pemimpin baru dan menyebut menang sebesar 52 persen. Sengketa Pilwali ini sempat dibawa ke MK oleh pasangan Appi-Cicu. Namun, suara kotak kosong di gedung MK ini tetap nyaring berbunyi. Dalam putusan MK, disebutkan perolehan suara Appi-Cicu adalah 264.245 suara. Sedangkan perolehan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) adalah 300.795 suara. Jadi, perbedaan perolehan suara antara pemohon dan suara yang “tidak setuju” (kolom kosong) adalah 300.795 suara - 264.245 suara = 36.550 suara atau lebih dari 2.825 suara. “Dengan demikian, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) untuk bisa diajukan permohonan PHPU Pilwali Makassar 2018 adalah paling banyak 0,5% x 565.040 suara (total suara sah) = 2.825 suara,” tegas MK. Pasca putusan MK itu, hingga kini belum ada Walikota definitif di Makassar. Setelah masa jabatan Mohammad Ramdhan Pomanto berakhir pada 8 Mei 2019 lalu, jabatan Walikota Makassar selanjutnya dipegang Pelaksana Harian dan Penjabat Walikota. Muhammad Anshar (Pelaksana Harian, 8-13 Mei 2019), Muhammad Iqbal Samad Suhaeb (Penjabat, 13 Mei 2019-13 Mei 2020), Yusran Jusuf (Penjabat, 13 Mei-26 Juni 2020), dan Rudy Djamaluddin (Penjabat, 26 Juni-Petahana). Mungkinkah “Sejarah Pilwali Makassar 2018” tersebut bakal terjadi pada Pilwali Solo 2020 mendatang? Apakah Wong Solo berani melakukan perlawanan terhadap putera Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa? Faktanya, Presiden Jokowi dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang sebelumnya sepakat mengusung Achmad Purnomo – Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilwali Solo 2020. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi. “Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar. Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan. Inspirasi Makassar Sudah bukan rahasia lagi, Gibran yang akhirnya terpilih dan mendapat rekomendasi PDIP untu maju Pilwali Solo 2020 tidak lepas dari “intervensi” Presiden Jokowi. Sebagai basis PDIP yang diwakili oleh DPC PDIP Solo, jelas ini tidak sesuai aspirasi Wong Solo. Apakah Wong Solo sudah siap menjadi bagian dari “kotak kosong” yang bakal menghadapi Gibran – Teguh, seperti halnya rakyat Makassar saat Pilwali 2018 lalu? Para aktivis di sana ikut mengampanyekan kotak kosong. Warga dari mulut ke mulut membisikkan, bahkan meneriakkan: Menangkan kotak kosong! Militansi perlawanan yang luar biasa, hingga mampu menumbangkan dominasi parpol dan keangkuhan penguasa. Bagaimana dengan Solo? Bisa dan tetap mungkin seperti di Makassar. Kotak kosong punya peluang mempecundangi Gibran. Meski banyak suara pesimistik. Alasannya pun beragam. Karakter Wong Solo beda dengan Makassar. Solo basis PDIP. Oligarki sudah sangat menguat. Nepotisme menebal. Juga faktor KPU dan pemihakan aparatur. Pesimisme yang diringi banyak satire, olok-olok, dan kejengkelan warganet, selalu menghiasi timeline. Umumnya menyindir: sudahlah, lantik langsung saja tanpa nyoblos. Buat apa buang duit membiayai Pilkada yang sudah jelas siapa pemenangnya. Tapi, pada saat bersamaan juga banyak yang mengungkap inspirasi dari Makassar. Kalangan perindu keadilan mulai membisikkan dengan ungkapan, “Kita lawan oligarki kekuasaan. Kita tumbangkan Gibran”. Jangan remehkan akal sehat Wong Solo. Mungkin tidak semilitan Makasar. Perlawanan tidak tampak diumbar. Mereka akan melakukannya dengan “senyap”. Alon-alon asal kelakon bisa menjadi energi dahsyat dalam perlawanan diam-diam. Jangan juga remehkan Ahmad Purnomo yang disalip Gibran. Dia politisi senior PDIP Solo yang punya basis akar rumput. Sebuah survei membuktikan, elektabilitas Purnomo jauh di atas anak Jokowi itu. Purnomo lebih 40 persen. Gibran tak sampai 20 persen. Kekecewaan Purnomo menjadi kekecewaan pendukungnya. Politisi senior PDIP itu bisa saja dilihat sebagai sosok yang dizalimi. Dan itu bisa menarik simpati publik. Kotak kosong akan menjadi representasi Purnomo. Kotak kosong menjadi simbol perjuangan. Jangan juga remehkan PKS. Partai yang melawan arus ini bisa memainkan perannya untuk keunggulan kotak kosong. PKS punya modal suara senilai 5 kursi. Modal politik yang bisa gandakan dengan main elegan: cantik, tegas, punya nyali. Jangan remehkan pula umat perindu keadilan di Solo. Mereka eksis dan acap menjadi tulang punggung demo-demo besar di Solo menyuarakan keadilan. Kotak kosong menang bisa jadi diartikan Wong Solo menang dan melawan oligarkhi. *** Penulis Wartawan Senior

Tanpa Intervensi Jokowi, Gibran Sulit Menang

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (20/07). Sudah menjadi pola kekuasaan. Selalu intervensi dalam proses politik. Mulai dari Mega, SBY hingga Jokowi. Terutama pencalonannya di periode kedua. Yang seperti itu bukan lagi menjadi rahasia umum. Lalu, bagaimana jika putra mahkota yang menjadi calon? Apakah sang bapak akan intervensi? Pertanyaan ini muncul sebagai respon terhadap ramainya pendapat publik terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presdien Jokowi yang akan maju sebagai calon Walikota Solo. Semula rekomendasi DPC PDIP diberikan kepada Achmad Purnomo. Karena Purnomo adalah kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Purnomo juga Ketua DPD PDIP Kota Solo. Dukungan kepada Purnomo ini berdasarkan hasil penjaringan dan penyaringan dari semua kepengurusan Anak Ranting maupun Anak Cabang. Tetapi, belakangan nama Purnomo tergusur oleh Gibran, putra sulung Jokowi. Pertanyaan sederhananya, apa mungkin Gibran bisa menggeser nama Purnomo tanpa keterlibatan Jokowi? Kecurigaan ini semakin menguat ketika Purnomo dipanggil ke istana, dan diberi tahu bahwa DPP PDIP urung mencalonkannya. Kok dipanggil ke istana? Bukannya ini urusan pencalonan Si Sulung Gibran? Kan bukan urusan rakyat? Tepatkah menggunakan istana negara untuk kepentingan pencalonan Sang Putra Sulung? Langkah Jokowi memanggil Purnono ke istana negara mendapat banyak kritik. Dianggap menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai. Bahkan untuk kepentingan keluarga. Ini jelas ngawur dan ngaco. Purnomo kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa "ala Solo". Menggunakan bahasa "satire" dalam pengungkapkannya. "Saya sudah menduga akan seperti ini", katanya kepada awak media. Bukan hanya Purnomo, para kader partai banteng di Solo mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa! Purnomo itu senior di PDIP. Kader tulen PDIP. Tentu saja jauh lebih berpengalaman dan matang. Setidaknya Purnomo saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Solo. Impian seorang Wakil Walikota pasti ingin jadi Walikota. Kesempatan itu pupus, dan diserobot oleh Gibran yang notabene baru menjadi kader di PDIP dalam hitungan bulan. Adakah kompensasi yang ditawarkan Jokowi kepada Purnomo? Inilah yang jadi rumor pasca Purnomo keluar dari istana. Jika benar ada kompensasi, sangat tepat jika Purnomo menolaknya. Penolakan Purnomo bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter para politisi. Pertama, ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak lagi kenal harga diri. Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, Purnomo lebih layak maju daripada Gibran. Soal prinsip ini harus dipegang teguh. Tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi. Ketiga, Purnomo mesti sadar ini urusan pribadi dan partai. Bukan urusan negara. Maka, tak tepat melibatkan kompensasi apapun dari negara. Lalu, apa deal Mega dengan Jokowi terkait rekomendasi PDIP kepada Gibran? Tak ada makan siang gratis. Dalam politik, setiap keputusan ada transaksinya. Apa ada hubungannya dengan RUU HIP yang diperlunak Jokowi jadi RUU BPIP? Boleh jadi, itu salah satunya. Jika begitu, apakah ini memperkuat bukti bahwa Jokowi terlibat dalam pencalonan Gibran? Ayah mana yang tega membiarkan sang anak bertarung sendirian. Apalagi Gibran masih muda dan belum cukup pengalaman. Karikatur majalah tempo dengan foto Gibran naik tangga yang dipengangi Jokowi seperti menggambarkan situasi hubungan ayah-anak dalam Pilkada Solo. Apa alasan Jokowi turut campur? Anda bayangkan jika Gibran kalah. Ini akan menjadi tamparan politik bagi Jokowi. Selain karena Jokowi pernah dua periode jadi walikota Solo, juga posisinya sekarang sebagai presiden. Apa kata pendukungnya jika Gibran kalah? Akan jadi bullyan banyak orang. Belum lagi jika Gibran ngambek karena tak serius Sang Presiden membantunya. Bisa berabe! Asy'ari Usman, seorang wartawan senior malah menyarankan agar Jokowi membuat timses di Istana. Twitter atas nama Don Adam68 juga mengusulkan agar Jokowi membuat Keppres untuk menetapkan kemenangan bagi Gibran. Sehingga, tak harus keluar banyak biaya untuk pemilu. Ungkapan Asy'ari Usman dan Don Adam68 itu menunjukkan apatisme pilkada di Solo. Mengingat istana selama ini dianggap terlalu ketat mengontrol pergerakan rakyat. Mulai dari kampus, pers, parlemen, ormas, hingga suara pemilih. Aparat tak segan beroperasi untuk mengkoptasi suara pemilih. Berbasis pada pengalaman pemilu sebelumnya, terutama pilpres, rasa-rasanya kemenangan Gibran sudah di depan mata. Sebab ini akan menjadi taruhan nama Sang Ayah. Kecuali jika terjadi gelombang perlawanan yang masif dan menjadikan Gibran sebagai "musuh bersama". Itu baru akan sangat seru. Jika tidak, kekuasaan dan kekuatan uang akan sangat mudah untuk memenangkan Gibran. Walau begitu, jika kelak Gibran jadi walikota Solo, tetap saja tak akan sebaik nasibnya dengan Sang Ayah, yaitu Jokowi. Gibran tak sepintar ayahnya dalam melakukan pencitraan. Belum lagi jika bicara momen. Tahun 2024 periode Jokowi berakhir. Saat itu, akan sangat berat bagi Gibran untuk melanjutkan karirnya. Kecuali jika Jokowi jadi presiden seumur hidup. Gubrak! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Wakil Wali Kota Solo Melawan Presiden

by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN- Sabtu (18/7). Achmad Purnomo patut diacungi jempol. Patut untuk diteladani dan diberikan penghargaan. Sebab, pada saat banyak orang berlomba meminta jabatan. Sementara Wakil Wali Kota Solo, Jawa Tengah itu justru menolak tawaran jabatan dari Presiden Joko Widodo. Tawaran jabatan sebagai timbal balik putranya Gibran Rakabuming Raka yang direkomendasikan oleh DPP PDIP untuk maju pada Pemilihan WaliKota (Pilwakot) Solo 2020. Tawaran jabatan itu disampaikan sendiri oleh Joko Widodo saat kader PDIP ini dipanggil ke Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Barter jabatan kepada Purnomo disampaikan Joko Widodo sehari sebelum pengumuman rekomendasi yang jatuh ke Gibran itu keluar. Rekomendasi keluar pada pada Jumat (17/7/2020) yang disampaikan secara virtual oleh Puan Maharani. Bersamaan dengan pengumuman rekomendasi untuk calon pimpinan daerah PDIP lainnya di berbagai daerah yang ikut Pilkada Desember 2020. Menurut berita yang saya baca di sejumlah media daring, Purnomo tak menjelaskan jabatan apa yang ditawarkan Joko Widodo kepadanya. Akan tetapi, bukan jabatan menteri. Namun yang selevel dengan menteri. "Ya ada (tawaran timbal balik). Tapi bagi saya ndak perlu," kata Purnomo dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (17/7/2020). Purnomo hanya memastikan tawaran tersebut berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. "Ya rahasia dong. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya tawaran jabatan. Nggak posisi menteri, nggak setinggi itu," kata Purnomo. Purnomo tidak menjawab secara tegas apakah legawa atau tidak sebagai calon Walikota Solo. Tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP, karena digantikan oleh Gibran. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima. "Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya dihindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden. Mana saya bisa menang," jelas Purnomo. "Bukan soal legawa atau tidak. Itu kenyataan dan realita. Saya kan tidak mencalonkan diri. Tetapi dicalonkan sebagai bakal Wawalkot Solo. Diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he.... Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa. Realitanya begitu," ujarnya. Betul apa yang dikatakan Purnomo itu. Realita politik jelas seperti itu. Akan tetapi, ini realita politik yang sangat buruk. Karena semakin menumbuh-suburkan nepotisme. Siapa yang bisa melawan Presiden yang anaknya menjadi calon Walikota? Apalagi, pencalonan itu adalah rekomendasi partai yang tidak mungkin dibantah atau dilawan oleh kader, apalagi pengurus partai. Jika melawan titah induk partai sudah dipastikan, karier politik seseorang akan tamat. Ya, cukup banyak kasus yang terjadi. Saya ambil contoh di Banten saja. Ketika Marissa Haque menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Zulkieflimansyah (kini Gubernur NTB), istri Ikang Fauzi itu ditendang dari PDIP. Maklum ketika Marisa adalah kader partai PDIP. Yang pada saat pencalonan Pilkada Gubernur Banrten masih menjadi anggota DPR RI dari PDIP. Banyak contoh lainnya. Pendepakan dari partai karena berseberangan dengan DPP maupun DPW/DPD hampir terjadi di semua partai yang ada di negeri. Kini praktek nepotisme semakin menjadi-jadi. Untungnya, Achamd Purnomo yang merasa kecewa karena "dibuang" dari pencalonan Walkot Solo 2020 adalah orang yang akhirnya legowo. Ditawari jabatan oleh Presiden Joko Widodo, namun ditolaknya. Ia lebih memilih kembali ke keluarga dan membesarkan bisnisnya. Maklum, sebelum menjadi Wakil Wali Kota Solo, Purnomo adalah pebisnis di bidang hotel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), batik dan lainnya. Tidak Gila Jabatan Padahal, jika Purnomo menerima tawaran jabatan yang lebih cenderung dikatagorikan sebagai "sogokan" atau "suap" dari Joko Widodo itu, jelas akan semakin memudahkannya untuk memperluas dan memperkokoh cengkeraman bisnisnya. Akan tetapi, Purnomo ingin menunjukkan jati dirinya yang bukan orang yang gila jabatan. Purnomo bukan seperti Relawan dan Pendukung Jokowi yang kini bertebaran menjadi Wakil Menteri, Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada juga yang menjadi Duta Besar (Dubes) RI untuk beberapa negara sahabat. Tidak sampai di situ saja. Ada relawan yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden yang gajinya besar, tapi pekerjaannya tidak jelas. Meskipun jabatan yang ditawarkan kepada Purnomo itu tidak selevel menteri. Tetapi saya percaya posisinya bukan di sembarang tempat. Pasti ditempatkan pada posisi cukup bergengsi. Masak seorang Presiden hanya menawarkan jabatan ecek-ecek kepada Wakil Wali Kota. Apalagi, bentuk penawaran jabatan itu juga merupakan cara Jokowi mengobati kekecewaan hati Purnomo yang terluka. Sepantasnyalah kita memberikan simpati dan apresiasi kepada Purnomo yang tidak gila jabatan. Semoga, ke depan semakin banyak Purnomo Purnomo yang lain. Yang berani "melawan" Presiden, meskipun keduanya adalah kader dari partai yang sama. Penulis adalah Wartawan Senior

Barter Jabatan Walikota Solo Sebagai Upaya Penyogokan?

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Undang-Undang Nomor 23/2014 Tentang Pemerintahan daerah (Pemda) menjelaskan bahwa Presiden adalah penanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dan Daerah. Penegasan ini terdapat di pasal 7 (ayat 2). Sementara itu, kekuasaan Pemerintahan Pusat di daerah dijalankan dengan asas desentralisasi, sesuai pasal 5 (ayat 4). Dengan demikian, posisi Pemerintahan Daerah adalah sebagai perpanjagan tangan kekuasaan Pemerintah Pusat (Presiden). Bagaima mungkin sistem dan tata kelola suatu pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik? Apalabila bapaknya yang menjadi Presiden, sementara anaknya menjadi kepala atau pimpinan Pemerintahan di daerah? Bentukan dan konflik kepentingan tidak bisa dihindari. Saya tidak mempermasalahkan anaknya Jokowi, dalam hal bagaimana upayanya untuk menjadi calon Walikota Solo. Juga soal survei yang dibuat untuk memenangkannya, sebelum diumumkan sebaga calon Walikota Solo. Semua indikator seperti itu adalah hal sangat yang mudah untuk diatur. Yang jadi isu penting adalah sebuah system. Dimana sistem apapun itu, diharapkan bisa berjalan dengan benar. Untuk itu dibutuhkan moral dan etik sangat tinggi. Moral dan etik tingkat dewa. Tanpa moral dan etik, sistem dan tata kelola pemerintahan akan hancur dengan sendirinya, karena besarnya konflik kepentingan. Fakta tentang bentuk dan tata kelola keuasaan yang seperti ini hanya baru terjadi di eranya Jokowi sebagai Presiden. Di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Timur, ada suami yang menjadi Bupati, sementara istrinya menjadi Ketua DPRD. Bagaimana hasilnya? Ya dua-duanya dicokok sama KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kini yang terjadi, bapaknya sebagai Presiden, dan anaknya menjadi Walikota. Memang benar KKN masih marak terjadi di era Reformasi. tetapi ini hari ke hari semakin menggila saja. Praktek KKN oleh Dinasti yang Ajimumpung tidak perlu lagi disembunyikan. Perkmbangan terbaru, Jokowi sendiri yang mengumumkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Walikota Solo di Istana Negara. Ini benar-benar gila, sableng dan ndableg. Masa fasiltas negara seperti Istana Negara dipakai untuk urusan dan kepentingan pribadi keluarga Presidan Jokowi? Bukan itu saja. Yang gila memprihatinkan adalah upaya Presiden untuk menyogok Achmad Purnomo yang menjadi calon pesaing terkuat Gibran Rakabuming Raka. Pramono mau disogok dengan jabatan di pemerintahan agar tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Semacam barter jabatan (Tribun Kupang 18/07/2020). Purnomo sekarang wakil Walikota Solo dan Ketua DPD PDIP Kota Solo. Pemimpin seharusnya menjadi tauladan. Menjadi contoh yang baik dalam berpolitik. Termasuk untuk meraih kekuasaan. Bukan sebaliknya, kekuasaan didapat dengan menghalalkan segala cara. Termasuk juga melanggar moral dan etika. Apalagi sampai menyogok (barter) untuk pesaing dengan jabatan. Sangat memprihatinkan. Beberapa waktu silam publik dan media massa mencaci maki dinasti politik di keluarga Atut di Banten. Sekarang media massa dan publik terdiam kaku menyaksikan yang terjadi di Solo. Dengan demikian, kita tak perlu lagi diskusi-diskusi. Tutup saja buku-buku, dan gulung poster-poster tentang aksi-aksi yang mengkritisi dinasti politik. Ajimpumpung, KKN dan dinasti sudah menjadi barang yang sah untuk diterapkan di negara ini. Apalagi semua sembunyi dengan sangat rapi di balik alasan bahwa "tidak ada aturan yang melarang". Sehingga moral dan etika hanya ada di dalam buk-buku, kata mereka yang mendukung Gibran Rakabuming. Negara ini dibangun dengan sistem-sistem. Sekarang ini sistem-sistem tersebut, satu persatu hancur, karena rezim penguasa selingkuh atau mendua. Sebelum berkuasa media berteriak lantang menentang politik KKN dan dinasti. Kini setelah berkuasa diam dan mendukung. Rupiah dan iming-iming jabatanlah yang dicari. Tidak perlu paham lagi soal amanat rakyat dan sejenisnya. Jika pemimpin tertinggi negara saja sudah menunjukkan syahwat kekuasaan yang berlebihan, bagaimana dengan para pejabat yang bawahannya? Jika kitab suci bertanya "nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan"? Maka saya bertanya, “sistem negara manalagi yang akan engkau rusakkan? Kini perilaku ajimumpung akan dicontoh di banyak pejabat di daerah. Akan menjadi praktek yang lumrah di berbagai level kekuasaan. Tidak peduli soal kapasitas, kapabilitas, moral, etika, integritas. Sebab dengan uang, semua itu bisa diraih dengan sangat mudah. Jabatan Gubernur bisa diwariskan kepada istri dan anak. Kan rakyat yang milih? Ya, tetapi di kepala kalian sudah ada cara bagaiman agar rakyat memilih mau memilih anak dan istri kalian. Penilis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS)