DAERAH

Papua Butuh Desekuritisasi

by Natalius Pigai Jakarta FNN – Rabu (22/07). Seorang Mama warga pengungsi berdiri dan berorasi dengan mengatakan, “dirinya melahirkan anak tidak untuk mati sia-sia. Mama itu membesarkan anaknya untuk menjaga Tanah Papua”. Sambunnya lagi, “sebelum Indonesia ada di Papua, tidak pernah ada orang Papua yang dibunuh sembarang”. Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Mama Papua saat unjuk rasa protes penembakan Aparat TNI terhadap dua orang warga di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, Sabtu (18/7) lalu. Peristiwa ini kemudian menyulut aksi unjuk rasa pada Senin (20/7). Korban bernama Elias Karunggu (45 tahun) tewas bersama seorang anaknya dari Seru Karunggu (20 tahun). Senin lalu (20/7) keluarga korban bersama sejumlah masyarakat Kabupaten Nduga telah turun ke jalan melakukan aksi protes atas kasus penembakan ini. Dalam aksi tersebut, masyarakat meminta pemerintah Indonesia bertanggungjawab terhadap seluruh insiden penembakan dan kekerasan, yang kini menyulut perlawanan dari warga Papua di Ndugama. Pengunjuk rasa meminta Presiden Joko Widodo menarik pasukan TNI/Polri. Presiden harus segera menghentikan operasi militer yang telah dan sedang berlangsung di wilayah Ndugama. Mereka menilai, aparat keamanan kerap salah sasaran dalam melakukan operasi. Sebab, beberapa warga tanpa memegang senjata telah menjadi sasaran penembakan. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Bahkan negara kini berpandangan bahwa jalan kekerasan militer itu satu-satunya cara untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sayangnya, skenario Jakarta ini sangat tidak tepat. Karena Jakarta tidak hanya menghadapi kelompok TPN/OPM, tetapi wilayah Papua yang terpisah dengan Jakarta jika dilihat dari etnologi dan antropologi ragawi, memiliki ciri-ciri fisik sebagai orang-orang berkulit hitam dan suku bangsa Melanesia. Di dalam hukum pertahanan, telah diajarkan bahwa kekuasaan negara akan jatuh dikala negara merdeka menghadapi satu rumpun etnik yang berbeda. Hal ini telah dibuktikan di Rusia yang melepaskan 13 negara Eropa Timur dan 3 negara Kaukasia Selatan. Jugoslavia pecah akibat multi etnik. Sudan Selatan dan Utara serta India, Pakistan dan Bangladesh. Karena itu problem di Papua tidak akan selesai jika Jakarta mengambil jalan kekerasan militer. Negara perlu mengambil jalan penyelesaian secara bermartabat melalui desekuritisasi. Pilihan desekuritiasasi diperlukan di Papua untuk menjamin keamanan dan perlindungan hak asasi manusia. Apalagi menyusul tidak ada pergeseran kebijakan keamanan di wilayah itu. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan kekuatan militer sebagai satu-satunya jalan penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, desekuritisasi di Papua agar segera dilakukan, karena pendekatan militer melahirkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Berbagai penangkapan, penyiksaan, pembunuhan dan operasi militer di Papua telah menanam bibit-bibit kebencian. Yang tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada penduduk sipil kaum migran. Selama ini negara terkesan mengabaikan persoalan di Papua. Persoalan Papua dianggap Jakarta tidak penting. Pemerintah Jakarta hanya sibuk mengurusi pusat kekuasaan dan mengabaikan masalah social kemasyarakat dan keamanan di Papua. Sejak tahun 1969, secara umum pola pendekatan keamanan di Papua tidak bergeser. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Namun pemerintah tidak sadar, bahwa sejak tahun 2010 Rakyat Papua telah menempu jalan penyelesaian masalah Papua secara diplomasi dan tanpa kekerasan. Pola baru pendekatan di Papua ini telah menyebabkan simpati dari berbagai negara dan komunitas internasional. Namun untuk menghadapi kekerasan militer, sayap militer di TPN/OPM masih melakukan perlawanan. Militer dan TPN/OPM masih dianggap sah dalam konteks antar combatan (inter-combat) berdasarkan hukum perang. Sesuai hukum humaniter dan konvensi Jenewa. Persoalannya, semua jenis operasi militer yang diterapkan di Papua yaitu operasi perbatasan. Operasi pengamanan daerah rawan dan obyek vital. Operasi intelijen dan operasi teritorial. Rakyat Papua telah dan sedang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, pembunuhan. Ini masalah serius. Pemerintah Jakarta jangan menganggap enteng masalah ini. Otonomi Khusus Papua tidak lantas ikut merubah pola pendekatan militer atau desekuritisasi. Justru yang ada adalah berbagai kebijakan yang dapat dilihat untuk menyatakan secara lantang Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOP). Salah satunya indikatornyta dengan pengiriman aparat TNI/Polri secara terus menerus, sebagaimana juga dituliskan dalam hasil penelitian Imparsial . Pertama, kebijakan keamanan yang melibatkan militer. Kedua, masih berjalannya operasi militer. Ketiga, diteruskannya pengiriman pasukan non-organik ke Papua. Keempat, perluasan dan penambahan struktur komando teritorial baru di Papua. Kelima, pembangunan pos-pos TNI di sekitar pembangunan sarana sipil. Keenam, penumpukan dan penyimpangan anggaran APBN, APBD dan swasta untuk TNI terkait dengan operasi militer. Ketujuh, rencana pembangunan gelar kekuatan TNI yang baru di Papua. Operasi militer menghadapi insurgensia domestik tidak dapat dibenarkan. Karena akan menyebabkan kerusakan substantial, yaitu tragedi kemanusiaan. Rakyat Papua seakan-akan berada di daerah jajahan. Itulah sebabnya Rakyat Papua menolak secara serempak, simultan, masif dan meluas menolak penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan.

Gibran vs Kotak Kosong

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (22/07). Purnomo tersingkir dari calon Walikota Solo. Wakil Walikota Solo ini harus mengubur mimpinya untuk bisa berlaga di Pilkada Solo Desember nanti. Karir politik Purnomo mendadak berhenti setelah dihadang Gibran, putra sulung presiden yang tanggal 23 september 2019 lalu baru mendaftarkan diri sebagai anggota resmi PDIP. Meski lebih senior dan punya pengalaman yang lebih matang, tapi Purnomo bukan anak presiden. Dari sisi akseptabilitas dan elektabilitas, Purnomo jauh lebih tinggi dari Gibran. Sebelum akhirnya anjlok ketika Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Kok mundur? Rupanya Purnomo menyadari betul, tak mungkin bisa melawan putra mahkota Istana. Purnomo tahu siapa yang dihadapi. Tetapi, pengunduran diri Purnomo ditolak oleh DPC PDIP Solo. Ujung-ujungnya, ia pun tetap nggak direkomendasi oleh DPP PDIP. Nyesek! Selain anak presiden, Mas Gibran lebih muda, keluh Purnomo setelah pulang dari istana. Kasihan amat ya! Lebih kasihan lagi, Purnomo sekarang harus muncul ke publik untuk memberi dukungan kepada Gibran. Publik tahu itu bukan jiwa besarnya, tapi ada faktor x kenapa Purnomo harus melakukannya. Purnomo bukanlah malaikat bro! Kecewa, manusiawilah, kata FX Hady Rudyatmo, Walikota Solo yang sekaligus Ketua DPC PDIP Solo. Hady yang sedari awal ngotot merekomendasikan Purnomo untuk maju sebagai calon Walikota Solo. Idealisme Hady layak untuk diapresiasi. Meski pada akhirnya harus menyerah di hadapan dua kekuatan besar, yaitu Presiden dan DPP PDIP. Begitulah politik bekerja. Tak ada pakem, kecuali kepentingan yang ditransaksikan di atas meja demokrasi. Siapa yang mampu membeli dengan harga paling tinggi, dialah pemenangnya. Soal moral dan kepatutan, itu nomor 12. Peduli amat dengan moral! Kenapa Gibran yang baru berusia 33 tahun dan belum genap setahun jadi kader resmi PDIP harus dipaksakan maju di pilkada Solo? Pertama, ini soal momentum boss. Dalam posisi orang tua sedang menjabat sebagai presiden, Gibran lebih mudah mendapatkan tiket PDIP. Dalam konteks pilkada Solo ini, pertarungan yang sesungguhnya adalah bagaimana merebut tiket dari PDIP. Tiket didapat, beres semua! Karena tiket inilah yang paling menentukan. Meski harus memotong Purnomo yang jauh lebih senior, berpengalaman dan matang dalam segala hal. Beda cerita jika Gibran harus berjuang sendirian untuk mendapatkan tiket dari PDIP. Tanpa keterlibatan tangan Sang Ayah, nggak kebayang bagaimana Gibran bisa dapat rekomendasi PDIP itu. Kedua, peluang menang sangat besar. Siapapun yang dicalonkan PDIP di Pilkada Solo, hampir pasti akan menang. Sebab, Solo itu basisnya PDIP. Lalu, siapa bakal calon lawan Gibran? Kotak kosong! Bukan karena tak ada yang berani. Faktornya karena tiket yang tersisa nggak cukup untuk mengusung calon lawan. Sudah habis diborong oleh istana untuk Gibran. Di Solo itu, 30 kursi milik DPRD milik PDIP. Gerindra, PAN dan Golkar masing-masing 3 kursi. PSI 1 kursi. Semua akan mengusung Gibran. Kecuali 5 kursi PKS tak cukup mengusung calon sendiri. Sebab, untuk mengusung calon minimal harus mendapatkan 9kursi. Kenapa PKS nggak ikut bergabung? Bukannya kalau nggak ikut bergabung juga nggak bisa mencalonkan? Jika PKS sedikit mau bersikap pragmatis dengan ikut mengusung Gibran, setidaknya akan kecipratan kompensasi reziki. Apakah berupa biaya operasional kampanye, ataupun pasisi di pemerintahan Solo nantinya. Yaa 5 kursi itu, pasti lumayan! Hingga hari ini, tak ada tanda-tanda PKS ikut dukung Girban. Justru sebaliknya, PKS tampak menguatkan posisinya sebagai partai oposisi terhadap Jokowi. PKS tetap Konsisten! Bagaimana kalkulasi politik di pilkada Solo desember besok? Gibran akan menang. Peluang untuk kalah kecil sekali. Sederhana menghitungnya. Pertama, Solo itu basisnya PDIP. Terbukti 67% suara PDIP yang kuasai. Punya 30 kursi DPRD diduduki kader PDIP. Dan kita tahu, kader dan pemillih PDIP cukup militan di Solo. Mesin politiknya PDIP sangat bisa diandalkan untuk bekerja. Kedua, Gibran didukung oleh semua partai, kecuali PKS. Dalam konteks ini, PKS juga nggak punya calon. Artinya, nggak akan ada lawan yang berarti. Kemungkinan lawan Gibran cuma kotak kosong saja. Memang, pilkada Kota Makasar tahun 2019 lalu, kotak kosong bisa menang. Tetapi, Makasar bukan Solo. Kondisi obyektifnya jauh berbeda dengan Solo. Jangan dibandingkan. Nggak tepat! Ketiga, Gibran itu anak presiden. Akses kekuasaan akan sangat membantu bagi kemenangan Gibran. Belum lagi peran para pendukung Jokowi. Baik dukungan politik maupun logistik. Bagi warga Solo, siap-siaplah punya Walikota baru dan sangat muda. Baru 33 tahun. Nama Walikota itu adalah Gibran Rakabuming Raka. Putra Sulung Presiden Joko Widodo. Bagi anda yang belum sreg dan meragukan kapasitas Gibran, berupayalah untuk belajar menerima keadaan seperti Purnomo. Pasrah apa adanya! Karena itulah situasi obyektifnya. Kalau nggak bisa terima, emang lu bisanya apa? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Larangan Tolak Otsus, Kapolda Papua Bermain Politik

by Marthen Goo Jakarta FNN - Rabu (22/07). Kebijakan Kapolda Papua yang melarang aksi tolak Otonomi Khusus (Otsus) nyata-nyata melanggar Undang-Udang Nomor 9 Tahun 1998. Kebijakan Kapolda tersebut inkonstitusional, dan masuk ke dalam ranah atau domain politik. Kapolda jangan bermain politik. Kapolda sebaiknya jangan ikut-ikutan bermain politik. Polisi dilarang oleh undang-undang untuk masuk ranah politk. Pebicaraan tentang Ostus Papua adalah wilayah politik. Siapa saja masyarakat Papua bebas untuk berbicara tentang Otsus papua. Baik yang mendukung maupun yang menolak. Polisi jangan ikut-ikutan, termasuk melarang masyarakat yang hendak melakukan aksi menolak Otsus Papua. Sebab Indonesia sudah dikenal sebagai negara demokrasi. Dimana demokrasi di Indonesia mulai dikenal tahun 1998, dengan semangat reformasi 1998. Ketika kekuasaan yang otoriter ditumbangkan oleh para mahasiswa, aktivis dan masyarakat tahun 1998, lahirnya demokrasi tersebut. Bisa dilihat juga dengan lahirnya pasal 28 UUD 1945, yang kemudian diturunkan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Tentu semangat demokrasi tersebut lahir dengan semangat mengedepankan hak asasi manusia. Atas dasar semangat reformasi dan cita-cita memupuk demokrasi, maka setiap orang berhak menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaannya. Penyampain pendapat itu, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan di muka umum. Atas penyampaian tersebut, hak konstitusinya dilindungi dalam konstitusi Negara. Seperti pada pasal 28 UUD 1945 yang dengan jelas dirumuskan, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Kemerdekaan menyampaikan pendapat seperti yang dimaksud dalam pasal 28 UUD45 tersebut, diperjelas dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ada apa Kapolda melarang aksi masyarakat untuk menolak Otsus Papua? Dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Sementara dalam pasal (3) dijelaskan, pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai, telah diterima Polri setempat. Artinya, dalam ayat (1) lebih diutamakan pada sifat surat pemberitahuan. Sedangkan Pada ayat (3) adalah soal waktu dan tempat kegiatan penyampaian pendapat. Sebelum kegiatan dimulai, surat pemberitahuan sudah harus disampaikan kepada polisi. Undang-undang telah memberikan ruang demokrasi bagi setiap orang yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum. Namun dengan prinsip kemanusiaan, atau dalam prespektif hukum, dikenal dengan istilah “batasan”. Batasanya tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Penolakan Otsus Konstitusional Otonomi Khusus bagi propinsi Papua yang diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah undang-undang desentralisasi asimetris di Propinsi Papua. Dimana keberlakuannya sejak diundangkan. Dalam sistim pemerintahan, undang-undang yang menerapkan sistim desentralisasi asimetris tidak hanya di Papua, tetapi juga di beberapa daerah lainnya seperti di Aceh, Yogykarta dan Jakarta. Sementara wilayah lain, hanya diterapkan undang-undang desentralisasi. Apakah penolakan sebuah undang-undang bagi warga negara, yang tidak mendapatkan manfaat dan tidak relevan dengan kondisi objektif yang dialami rakyat, serta bertentangan dengan konstitusi, apakah wajib tetap dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dipahami dengan baik juga tujuan dibentuknya undang-undang. Jika kita merujuk pada tujuan nasional, yang juga dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, yakni bertujuan “mensejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jika tujuan itu tidak terlihat dalam pelaksanaan undang-undang, maka wajib hukumnya ditolak. Karena tujuan utama pembentukan undang-undang adalah untuk kesejahteraan dan mencerdasan rakyat. Jika undang-undang dibuat hanya karena pertimbangan politik. Bukan pertimbangan tujuan nasional, secara konstitusional sah jika rakyat menolak. Jadi, jika rakyat atau pulbik ingin menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, secara konstitusional boleh-boleh saja. Selagi tidak melakukan perbuatan pidana atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam dunia demokrasi, itu hal yang wajar dilakukan. Jangankan hanya undang-undang. Jika rakyat aksi untuk mendorong amandemen UUD 1945, itu boleh-boleh saja, atau bahkan perubahan sistim hukum di Indonesia. Menolak sebuah keberlakuan undang-undang itu hak konstitusional warga Negara. Sementara mengenai perubahan atau pencabutan undang-undang, hanya bisa terjadi melalui dua hal. Yaitu undang-undang tersebut mengatakan dirinya usai (berakhir) atau pembuat undang-undang mencabut undang-undang tersebut. Polisi Tidak Diberi Kewenangan Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi berjalannya asksi yang demokrasi. Bukan menutupi ruang demokrasi. Pelarangan terhadap aksi penolakan Otsus Papua adalah tindakan menutupi ruang demokrai. Melarang memiliki arti tidak mengijinkan, sementara setiap orang berhak menyampaikan pikiran, perasaan baik secara lisan dan tulisan. Dalam pasal 13 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 dijelaskan, setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalarn pasal 11 Polri wajib : a. segera rnemberikan surat tanda terirna pemberitahuan, b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum, c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat, d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute. Sementara dalam pasal 13 ayat (2) dijelaskan, dalarn pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. Sementara dalam ayat (3) dijelaskan, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai prosedur yang berlaku, Disini peran polisi sesungguhnya sangat jelas. Dijelaskan dalam pasal 13, baik itu pada ayat (1), (2) dan (3). Dalam pasal itu tidak dijelaskan Polisi menutupi ruang demokrasi. Apalagi sampai melarang warga menyampaikan pendapat untuk menolak undang-undang Otsus Papua. Dalam hirarki perundang-undangan, juga sudah jelas. Sebagai batasan dalam keberlakuan sistim hukum di Indonesia, undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang di bawahnya jika bertentangan. Apalagi posisi kepolisian hanya pelaksana undang-undang. Bukan pembuat aturan. Jadi, Polisi sesungguhnya tidak diberi kewenangan melarang aksi atau menutupi demokrasi. Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum apabila terbukti ada yang melanggar hokum. Terutama jika merujuk pada pasal 1 ayat (1) tentang asas legalitas. Kepolisian hanya memiliki kewenangan sebagai pelaksana undang-undang. Hanya untuk menjaga tertegaknya hokum. Bukan melarang rakyat menyampaikan penolakan terhadap sebuah undang-undang. Bukan juga melarang rakyat memenuhi UU Nomor 9 Tahun 1998. Pernyataan Polda Mencederai Demokrasi Dari uraian di atas, batasan dan ruang kepolisian sangat jelas dalam undang-undang. Sehingga jika Polisi menyampaikan pelarangan terhadap aksi penolakan UU Nomor 21 Tahun 2001, sesungguhnya telah mencederai demokrasi. Menolak sebuah undang-undang yang dirasakan tidak relevan dalam kehidupan masyarakat sah dan kontitusional. Keram itu adalah hak konstitusional setiap orang atau setiap masyarakat. Tidak perlu Polda melarang-larang. Dengan demikian, pernyataan Kapolda Papua bertentangan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Kapolda harus melihat dan membaca undang-udang dengan seksama. Harus berpegang juga pada asas legalitas. Apalagi negara yang menerapkan sistim hukum Civil Low tidak mengenal dugaan-dugaan. Berlaku asas legalitas. Jika ada perbuatan pidana, maka terhadap perbuatan tersebut, diproses dan dikenakan sanksi hukum sesuai perbuatan pidananya. Menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, tidak ada perbuatan pidananya. Itu ruang demokrasi bagi setiap orang untuk menyampaikan hak konstitusinya. Kepolisian tidak boleh masuk sampai pada membatasi hak konstitusional warga Negara. Karena tugas kepolisian hanya untuk memastikan dan mengawal hak konstitusional warga dapat berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Gibran vs Wong Solo, Siapa Menang?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Jejak digital mencatat, dunia politik Indonesia dibuat heboh soal kemenangan “kotak kosong” dalam Pilkada Kota (Pilwali) Makassar, pertengahan 2018. Suara kotak kosong melibas suara koalisi parpol dari pasangan Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Awal munculnya suara kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto – Indira Mulyasari (DIAmi) dari kontestasi Pilwali Makassar. Atas putusan itu, Pilwali Makassar akhirnya diikuti satu pasangan. Yakni: Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Dalam putusannya, MA beranggapan, Danny Pomanto selaku petahana dianggap menggunakan jabatannya untuk melakukan kampanye terselubung dalam program pemerintahannya. Hal ini dianggap majelis hakim yang diketuai Agung Supandi merugikan pasangan lainnya. Karena pertimbangan tersebut, MA lalu mencoret Keputusan KPU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PKPUNomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Maka tinggallah pasangan Appi-Cicu yang melaju sendiri menuju kursi Walikota Makassar. Tapi, pada 27 Juni 2018 semua orang tersentak, pundi-pundi suara kotak kosong di Makassar mengalir deras. Berdasarkan hasil rekapan dari KPU Kota Makassar per kecamatan, kotak kosong menang atas pasangan Appi-Cicu. Dari rekapitulasi tersebut, pasangan Appi-Cicu total memperoleh 264.071 suara, dan kotak kosong 300.969 suara. Drama saling klaim pendukung kotak kosong dan kelompok App-Cicu sempat terjadi pada sore hari setelah pemungutan suara berlangsung. Klaim pertama muncul pada sore hari dari arak-arakan massa di jalan protokol Makassar yang menyuarakan kemenangan kotak kosong. “Hidup kotak kosong, kotak kosong menang di Makassar,” teriak para massa yang berkonvoi di sepanjang jalan, seperti dilansir Detik.com, Kamis (27 Des 2018 13:53 WIB). Mereka pun memberikan simbol kosong di jarinya ketika melintasi jalan. Sementara itu, Appi dalam orasinya di hadapan pendukung mengklaim memenangi Pilwali Makassar dengan memperoleh suara lebih banyak dari kotak kosong. Ia mengklaim Makassar telah memiliki pemimpin baru dan menyebut menang sebesar 52 persen. Sengketa Pilwali ini sempat dibawa ke MK oleh pasangan Appi-Cicu. Namun, suara kotak kosong di gedung MK ini tetap nyaring berbunyi. Dalam putusan MK, disebutkan perolehan suara Appi-Cicu adalah 264.245 suara. Sedangkan perolehan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) adalah 300.795 suara. Jadi, perbedaan perolehan suara antara pemohon dan suara yang “tidak setuju” (kolom kosong) adalah 300.795 suara - 264.245 suara = 36.550 suara atau lebih dari 2.825 suara. “Dengan demikian, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) untuk bisa diajukan permohonan PHPU Pilwali Makassar 2018 adalah paling banyak 0,5% x 565.040 suara (total suara sah) = 2.825 suara,” tegas MK. Pasca putusan MK itu, hingga kini belum ada Walikota definitif di Makassar. Setelah masa jabatan Mohammad Ramdhan Pomanto berakhir pada 8 Mei 2019 lalu, jabatan Walikota Makassar selanjutnya dipegang Pelaksana Harian dan Penjabat Walikota. Muhammad Anshar (Pelaksana Harian, 8-13 Mei 2019), Muhammad Iqbal Samad Suhaeb (Penjabat, 13 Mei 2019-13 Mei 2020), Yusran Jusuf (Penjabat, 13 Mei-26 Juni 2020), dan Rudy Djamaluddin (Penjabat, 26 Juni-Petahana). Mungkinkah “Sejarah Pilwali Makassar 2018” tersebut bakal terjadi pada Pilwali Solo 2020 mendatang? Apakah Wong Solo berani melakukan perlawanan terhadap putera Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa? Faktanya, Presiden Jokowi dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang sebelumnya sepakat mengusung Achmad Purnomo – Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilwali Solo 2020. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi. “Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar. Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan. Inspirasi Makassar Sudah bukan rahasia lagi, Gibran yang akhirnya terpilih dan mendapat rekomendasi PDIP untu maju Pilwali Solo 2020 tidak lepas dari “intervensi” Presiden Jokowi. Sebagai basis PDIP yang diwakili oleh DPC PDIP Solo, jelas ini tidak sesuai aspirasi Wong Solo. Apakah Wong Solo sudah siap menjadi bagian dari “kotak kosong” yang bakal menghadapi Gibran – Teguh, seperti halnya rakyat Makassar saat Pilwali 2018 lalu? Para aktivis di sana ikut mengampanyekan kotak kosong. Warga dari mulut ke mulut membisikkan, bahkan meneriakkan: Menangkan kotak kosong! Militansi perlawanan yang luar biasa, hingga mampu menumbangkan dominasi parpol dan keangkuhan penguasa. Bagaimana dengan Solo? Bisa dan tetap mungkin seperti di Makassar. Kotak kosong punya peluang mempecundangi Gibran. Meski banyak suara pesimistik. Alasannya pun beragam. Karakter Wong Solo beda dengan Makassar. Solo basis PDIP. Oligarki sudah sangat menguat. Nepotisme menebal. Juga faktor KPU dan pemihakan aparatur. Pesimisme yang diringi banyak satire, olok-olok, dan kejengkelan warganet, selalu menghiasi timeline. Umumnya menyindir: sudahlah, lantik langsung saja tanpa nyoblos. Buat apa buang duit membiayai Pilkada yang sudah jelas siapa pemenangnya. Tapi, pada saat bersamaan juga banyak yang mengungkap inspirasi dari Makassar. Kalangan perindu keadilan mulai membisikkan dengan ungkapan, “Kita lawan oligarki kekuasaan. Kita tumbangkan Gibran”. Jangan remehkan akal sehat Wong Solo. Mungkin tidak semilitan Makasar. Perlawanan tidak tampak diumbar. Mereka akan melakukannya dengan “senyap”. Alon-alon asal kelakon bisa menjadi energi dahsyat dalam perlawanan diam-diam. Jangan juga remehkan Ahmad Purnomo yang disalip Gibran. Dia politisi senior PDIP Solo yang punya basis akar rumput. Sebuah survei membuktikan, elektabilitas Purnomo jauh di atas anak Jokowi itu. Purnomo lebih 40 persen. Gibran tak sampai 20 persen. Kekecewaan Purnomo menjadi kekecewaan pendukungnya. Politisi senior PDIP itu bisa saja dilihat sebagai sosok yang dizalimi. Dan itu bisa menarik simpati publik. Kotak kosong akan menjadi representasi Purnomo. Kotak kosong menjadi simbol perjuangan. Jangan juga remehkan PKS. Partai yang melawan arus ini bisa memainkan perannya untuk keunggulan kotak kosong. PKS punya modal suara senilai 5 kursi. Modal politik yang bisa gandakan dengan main elegan: cantik, tegas, punya nyali. Jangan remehkan pula umat perindu keadilan di Solo. Mereka eksis dan acap menjadi tulang punggung demo-demo besar di Solo menyuarakan keadilan. Kotak kosong menang bisa jadi diartikan Wong Solo menang dan melawan oligarkhi. *** Penulis Wartawan Senior

Tanpa Intervensi Jokowi, Gibran Sulit Menang

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (20/07). Sudah menjadi pola kekuasaan. Selalu intervensi dalam proses politik. Mulai dari Mega, SBY hingga Jokowi. Terutama pencalonannya di periode kedua. Yang seperti itu bukan lagi menjadi rahasia umum. Lalu, bagaimana jika putra mahkota yang menjadi calon? Apakah sang bapak akan intervensi? Pertanyaan ini muncul sebagai respon terhadap ramainya pendapat publik terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presdien Jokowi yang akan maju sebagai calon Walikota Solo. Semula rekomendasi DPC PDIP diberikan kepada Achmad Purnomo. Karena Purnomo adalah kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Purnomo juga Ketua DPD PDIP Kota Solo. Dukungan kepada Purnomo ini berdasarkan hasil penjaringan dan penyaringan dari semua kepengurusan Anak Ranting maupun Anak Cabang. Tetapi, belakangan nama Purnomo tergusur oleh Gibran, putra sulung Jokowi. Pertanyaan sederhananya, apa mungkin Gibran bisa menggeser nama Purnomo tanpa keterlibatan Jokowi? Kecurigaan ini semakin menguat ketika Purnomo dipanggil ke istana, dan diberi tahu bahwa DPP PDIP urung mencalonkannya. Kok dipanggil ke istana? Bukannya ini urusan pencalonan Si Sulung Gibran? Kan bukan urusan rakyat? Tepatkah menggunakan istana negara untuk kepentingan pencalonan Sang Putra Sulung? Langkah Jokowi memanggil Purnono ke istana negara mendapat banyak kritik. Dianggap menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai. Bahkan untuk kepentingan keluarga. Ini jelas ngawur dan ngaco. Purnomo kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa "ala Solo". Menggunakan bahasa "satire" dalam pengungkapkannya. "Saya sudah menduga akan seperti ini", katanya kepada awak media. Bukan hanya Purnomo, para kader partai banteng di Solo mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa! Purnomo itu senior di PDIP. Kader tulen PDIP. Tentu saja jauh lebih berpengalaman dan matang. Setidaknya Purnomo saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Solo. Impian seorang Wakil Walikota pasti ingin jadi Walikota. Kesempatan itu pupus, dan diserobot oleh Gibran yang notabene baru menjadi kader di PDIP dalam hitungan bulan. Adakah kompensasi yang ditawarkan Jokowi kepada Purnomo? Inilah yang jadi rumor pasca Purnomo keluar dari istana. Jika benar ada kompensasi, sangat tepat jika Purnomo menolaknya. Penolakan Purnomo bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter para politisi. Pertama, ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak lagi kenal harga diri. Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, Purnomo lebih layak maju daripada Gibran. Soal prinsip ini harus dipegang teguh. Tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi. Ketiga, Purnomo mesti sadar ini urusan pribadi dan partai. Bukan urusan negara. Maka, tak tepat melibatkan kompensasi apapun dari negara. Lalu, apa deal Mega dengan Jokowi terkait rekomendasi PDIP kepada Gibran? Tak ada makan siang gratis. Dalam politik, setiap keputusan ada transaksinya. Apa ada hubungannya dengan RUU HIP yang diperlunak Jokowi jadi RUU BPIP? Boleh jadi, itu salah satunya. Jika begitu, apakah ini memperkuat bukti bahwa Jokowi terlibat dalam pencalonan Gibran? Ayah mana yang tega membiarkan sang anak bertarung sendirian. Apalagi Gibran masih muda dan belum cukup pengalaman. Karikatur majalah tempo dengan foto Gibran naik tangga yang dipengangi Jokowi seperti menggambarkan situasi hubungan ayah-anak dalam Pilkada Solo. Apa alasan Jokowi turut campur? Anda bayangkan jika Gibran kalah. Ini akan menjadi tamparan politik bagi Jokowi. Selain karena Jokowi pernah dua periode jadi walikota Solo, juga posisinya sekarang sebagai presiden. Apa kata pendukungnya jika Gibran kalah? Akan jadi bullyan banyak orang. Belum lagi jika Gibran ngambek karena tak serius Sang Presiden membantunya. Bisa berabe! Asy'ari Usman, seorang wartawan senior malah menyarankan agar Jokowi membuat timses di Istana. Twitter atas nama Don Adam68 juga mengusulkan agar Jokowi membuat Keppres untuk menetapkan kemenangan bagi Gibran. Sehingga, tak harus keluar banyak biaya untuk pemilu. Ungkapan Asy'ari Usman dan Don Adam68 itu menunjukkan apatisme pilkada di Solo. Mengingat istana selama ini dianggap terlalu ketat mengontrol pergerakan rakyat. Mulai dari kampus, pers, parlemen, ormas, hingga suara pemilih. Aparat tak segan beroperasi untuk mengkoptasi suara pemilih. Berbasis pada pengalaman pemilu sebelumnya, terutama pilpres, rasa-rasanya kemenangan Gibran sudah di depan mata. Sebab ini akan menjadi taruhan nama Sang Ayah. Kecuali jika terjadi gelombang perlawanan yang masif dan menjadikan Gibran sebagai "musuh bersama". Itu baru akan sangat seru. Jika tidak, kekuasaan dan kekuatan uang akan sangat mudah untuk memenangkan Gibran. Walau begitu, jika kelak Gibran jadi walikota Solo, tetap saja tak akan sebaik nasibnya dengan Sang Ayah, yaitu Jokowi. Gibran tak sepintar ayahnya dalam melakukan pencitraan. Belum lagi jika bicara momen. Tahun 2024 periode Jokowi berakhir. Saat itu, akan sangat berat bagi Gibran untuk melanjutkan karirnya. Kecuali jika Jokowi jadi presiden seumur hidup. Gubrak! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Wakil Wali Kota Solo Melawan Presiden

by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN- Sabtu (18/7). Achmad Purnomo patut diacungi jempol. Patut untuk diteladani dan diberikan penghargaan. Sebab, pada saat banyak orang berlomba meminta jabatan. Sementara Wakil Wali Kota Solo, Jawa Tengah itu justru menolak tawaran jabatan dari Presiden Joko Widodo. Tawaran jabatan sebagai timbal balik putranya Gibran Rakabuming Raka yang direkomendasikan oleh DPP PDIP untuk maju pada Pemilihan WaliKota (Pilwakot) Solo 2020. Tawaran jabatan itu disampaikan sendiri oleh Joko Widodo saat kader PDIP ini dipanggil ke Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Barter jabatan kepada Purnomo disampaikan Joko Widodo sehari sebelum pengumuman rekomendasi yang jatuh ke Gibran itu keluar. Rekomendasi keluar pada pada Jumat (17/7/2020) yang disampaikan secara virtual oleh Puan Maharani. Bersamaan dengan pengumuman rekomendasi untuk calon pimpinan daerah PDIP lainnya di berbagai daerah yang ikut Pilkada Desember 2020. Menurut berita yang saya baca di sejumlah media daring, Purnomo tak menjelaskan jabatan apa yang ditawarkan Joko Widodo kepadanya. Akan tetapi, bukan jabatan menteri. Namun yang selevel dengan menteri. "Ya ada (tawaran timbal balik). Tapi bagi saya ndak perlu," kata Purnomo dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (17/7/2020). Purnomo hanya memastikan tawaran tersebut berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. "Ya rahasia dong. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya tawaran jabatan. Nggak posisi menteri, nggak setinggi itu," kata Purnomo. Purnomo tidak menjawab secara tegas apakah legawa atau tidak sebagai calon Walikota Solo. Tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP, karena digantikan oleh Gibran. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima. "Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya dihindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden. Mana saya bisa menang," jelas Purnomo. "Bukan soal legawa atau tidak. Itu kenyataan dan realita. Saya kan tidak mencalonkan diri. Tetapi dicalonkan sebagai bakal Wawalkot Solo. Diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he.... Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa. Realitanya begitu," ujarnya. Betul apa yang dikatakan Purnomo itu. Realita politik jelas seperti itu. Akan tetapi, ini realita politik yang sangat buruk. Karena semakin menumbuh-suburkan nepotisme. Siapa yang bisa melawan Presiden yang anaknya menjadi calon Walikota? Apalagi, pencalonan itu adalah rekomendasi partai yang tidak mungkin dibantah atau dilawan oleh kader, apalagi pengurus partai. Jika melawan titah induk partai sudah dipastikan, karier politik seseorang akan tamat. Ya, cukup banyak kasus yang terjadi. Saya ambil contoh di Banten saja. Ketika Marissa Haque menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Zulkieflimansyah (kini Gubernur NTB), istri Ikang Fauzi itu ditendang dari PDIP. Maklum ketika Marisa adalah kader partai PDIP. Yang pada saat pencalonan Pilkada Gubernur Banrten masih menjadi anggota DPR RI dari PDIP. Banyak contoh lainnya. Pendepakan dari partai karena berseberangan dengan DPP maupun DPW/DPD hampir terjadi di semua partai yang ada di negeri. Kini praktek nepotisme semakin menjadi-jadi. Untungnya, Achamd Purnomo yang merasa kecewa karena "dibuang" dari pencalonan Walkot Solo 2020 adalah orang yang akhirnya legowo. Ditawari jabatan oleh Presiden Joko Widodo, namun ditolaknya. Ia lebih memilih kembali ke keluarga dan membesarkan bisnisnya. Maklum, sebelum menjadi Wakil Wali Kota Solo, Purnomo adalah pebisnis di bidang hotel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), batik dan lainnya. Tidak Gila Jabatan Padahal, jika Purnomo menerima tawaran jabatan yang lebih cenderung dikatagorikan sebagai "sogokan" atau "suap" dari Joko Widodo itu, jelas akan semakin memudahkannya untuk memperluas dan memperkokoh cengkeraman bisnisnya. Akan tetapi, Purnomo ingin menunjukkan jati dirinya yang bukan orang yang gila jabatan. Purnomo bukan seperti Relawan dan Pendukung Jokowi yang kini bertebaran menjadi Wakil Menteri, Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada juga yang menjadi Duta Besar (Dubes) RI untuk beberapa negara sahabat. Tidak sampai di situ saja. Ada relawan yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden yang gajinya besar, tapi pekerjaannya tidak jelas. Meskipun jabatan yang ditawarkan kepada Purnomo itu tidak selevel menteri. Tetapi saya percaya posisinya bukan di sembarang tempat. Pasti ditempatkan pada posisi cukup bergengsi. Masak seorang Presiden hanya menawarkan jabatan ecek-ecek kepada Wakil Wali Kota. Apalagi, bentuk penawaran jabatan itu juga merupakan cara Jokowi mengobati kekecewaan hati Purnomo yang terluka. Sepantasnyalah kita memberikan simpati dan apresiasi kepada Purnomo yang tidak gila jabatan. Semoga, ke depan semakin banyak Purnomo Purnomo yang lain. Yang berani "melawan" Presiden, meskipun keduanya adalah kader dari partai yang sama. Penulis adalah Wartawan Senior

Barter Jabatan Walikota Solo Sebagai Upaya Penyogokan?

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Undang-Undang Nomor 23/2014 Tentang Pemerintahan daerah (Pemda) menjelaskan bahwa Presiden adalah penanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dan Daerah. Penegasan ini terdapat di pasal 7 (ayat 2). Sementara itu, kekuasaan Pemerintahan Pusat di daerah dijalankan dengan asas desentralisasi, sesuai pasal 5 (ayat 4). Dengan demikian, posisi Pemerintahan Daerah adalah sebagai perpanjagan tangan kekuasaan Pemerintah Pusat (Presiden). Bagaima mungkin sistem dan tata kelola suatu pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik? Apalabila bapaknya yang menjadi Presiden, sementara anaknya menjadi kepala atau pimpinan Pemerintahan di daerah? Bentukan dan konflik kepentingan tidak bisa dihindari. Saya tidak mempermasalahkan anaknya Jokowi, dalam hal bagaimana upayanya untuk menjadi calon Walikota Solo. Juga soal survei yang dibuat untuk memenangkannya, sebelum diumumkan sebaga calon Walikota Solo. Semua indikator seperti itu adalah hal sangat yang mudah untuk diatur. Yang jadi isu penting adalah sebuah system. Dimana sistem apapun itu, diharapkan bisa berjalan dengan benar. Untuk itu dibutuhkan moral dan etik sangat tinggi. Moral dan etik tingkat dewa. Tanpa moral dan etik, sistem dan tata kelola pemerintahan akan hancur dengan sendirinya, karena besarnya konflik kepentingan. Fakta tentang bentuk dan tata kelola keuasaan yang seperti ini hanya baru terjadi di eranya Jokowi sebagai Presiden. Di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Timur, ada suami yang menjadi Bupati, sementara istrinya menjadi Ketua DPRD. Bagaimana hasilnya? Ya dua-duanya dicokok sama KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kini yang terjadi, bapaknya sebagai Presiden, dan anaknya menjadi Walikota. Memang benar KKN masih marak terjadi di era Reformasi. tetapi ini hari ke hari semakin menggila saja. Praktek KKN oleh Dinasti yang Ajimumpung tidak perlu lagi disembunyikan. Perkmbangan terbaru, Jokowi sendiri yang mengumumkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Walikota Solo di Istana Negara. Ini benar-benar gila, sableng dan ndableg. Masa fasiltas negara seperti Istana Negara dipakai untuk urusan dan kepentingan pribadi keluarga Presidan Jokowi? Bukan itu saja. Yang gila memprihatinkan adalah upaya Presiden untuk menyogok Achmad Purnomo yang menjadi calon pesaing terkuat Gibran Rakabuming Raka. Pramono mau disogok dengan jabatan di pemerintahan agar tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Semacam barter jabatan (Tribun Kupang 18/07/2020). Purnomo sekarang wakil Walikota Solo dan Ketua DPD PDIP Kota Solo. Pemimpin seharusnya menjadi tauladan. Menjadi contoh yang baik dalam berpolitik. Termasuk untuk meraih kekuasaan. Bukan sebaliknya, kekuasaan didapat dengan menghalalkan segala cara. Termasuk juga melanggar moral dan etika. Apalagi sampai menyogok (barter) untuk pesaing dengan jabatan. Sangat memprihatinkan. Beberapa waktu silam publik dan media massa mencaci maki dinasti politik di keluarga Atut di Banten. Sekarang media massa dan publik terdiam kaku menyaksikan yang terjadi di Solo. Dengan demikian, kita tak perlu lagi diskusi-diskusi. Tutup saja buku-buku, dan gulung poster-poster tentang aksi-aksi yang mengkritisi dinasti politik. Ajimpumpung, KKN dan dinasti sudah menjadi barang yang sah untuk diterapkan di negara ini. Apalagi semua sembunyi dengan sangat rapi di balik alasan bahwa "tidak ada aturan yang melarang". Sehingga moral dan etika hanya ada di dalam buk-buku, kata mereka yang mendukung Gibran Rakabuming. Negara ini dibangun dengan sistem-sistem. Sekarang ini sistem-sistem tersebut, satu persatu hancur, karena rezim penguasa selingkuh atau mendua. Sebelum berkuasa media berteriak lantang menentang politik KKN dan dinasti. Kini setelah berkuasa diam dan mendukung. Rupiah dan iming-iming jabatanlah yang dicari. Tidak perlu paham lagi soal amanat rakyat dan sejenisnya. Jika pemimpin tertinggi negara saja sudah menunjukkan syahwat kekuasaan yang berlebihan, bagaimana dengan para pejabat yang bawahannya? Jika kitab suci bertanya "nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan"? Maka saya bertanya, “sistem negara manalagi yang akan engkau rusakkan? Kini perilaku ajimumpung akan dicontoh di banyak pejabat di daerah. Akan menjadi praktek yang lumrah di berbagai level kekuasaan. Tidak peduli soal kapasitas, kapabilitas, moral, etika, integritas. Sebab dengan uang, semua itu bisa diraih dengan sangat mudah. Jabatan Gubernur bisa diwariskan kepada istri dan anak. Kan rakyat yang milih? Ya, tetapi di kepala kalian sudah ada cara bagaiman agar rakyat memilih mau memilih anak dan istri kalian. Penilis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS)

Mengapa Anies Keluarkan Pergub Baru Reklamasi?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (06/07). Kok ada reklamasi baru? Bukannya Anies menentang reklamasi? Bahkan menghentikan reklamasi yang menjadi salah satu janji politiknya? Mengapa sekarang justru keluarin Pergub untuk reklamasi? Publik pun ramai menanggapi keluarnya Pergub tentang reklamasi tersebut. Publik tentu saja mempertanyakan kebijakan Anies yang tidak lagi konsisten dengan janji-janji kampanye. Sebab waktu kampanye, Anies berjanji menentang reklamasi, jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat bahkan telah siap untuk menggelar demo. Sebab Anies dianggap nggak lagi konsisten. Tidak seiya sekata antara janji kampanye dengan kebijakan di lapangan. Janjinya menentang. Eh, setelah terpilih malah melakukan rekalamasi. Keluarlah Pergub tentang reklamasi di Ancol. Cerita awalnya begini. Pada tahun 2009, ada keputusan untuk mengeruk 5 waduk dan 13 sungai di Jakarta. Kenapa harus dikeruk? Alasannya untuk mengurangi banjir di Jakarta. Sudah sebelas tahun kegiatan tersebut berjalan. Kemana saja tanah hasil kerukan 5 waduk dan 13 sungai tersebut dibuang? Ternyata ke pantai utara Jakarta. Tepatnya di wilayah Ancol Timur dan Ancol Barat. Menempel langsung dengan area yang dikelola oleh Taman Impian Jaya Ancol. Saat ini, kurang lebih ada 20 hektare "Tanah Timbul" di Ancol Timur. Itu hasil dari pembuangan lumpur sungai yang sudah bertahan-tahun dikeruk. Dari pada tanah lumpur itu bercecer kemana-mana, dan justru merusak ekosistem laut secara masif, maka perlu ada penertiban. Tentu harus dengan mempertimbangkan hasil kajian dampak dan manfaatnya. Setelah dilakukan kajian. Diantaranya yang terkait dengan penanggulangan dampak banjir, pemanasan global, pengambilan material perluasan kawasan, prasarana dasar, dampak lingkungan dan sejenisnya, maka diputuskan untuk memanfaatkan timbunan lumpur yang sudah ada itu. Dimanfaatkan sebagai lokasi perluasan Taman Impian Jaya Ancol. Jika semula "Tanah Timbul" yang sudah mencapai 20 hektare itu dibiarkan begitu saja. Padahal tenah itu akan terus bertambah seiring dengan proses terus-menerus pembuangan hasil kerukan lumpur di 5 danau dan 13 sungai sebagai pengendalian banjir di Jakarta. Maka akan jauh lebih teratur, rapi dan bermanfaat jika ditertibkan. Cara menertibkannya dengan merapikan tumpukan "Tanah Timbul" tersebut menjadi daratan yang rapi. Yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan maupun wisata. Untuk melakukan penertiban ini, tentu perlu legalitas. Untuk itu, ditertibkanlah Pergub untuk mengelolanya. Penetapan lokasi ini berpegang pada PKS antara Pemprov DKI Jakarta dan PT. Pembangunan Jaya Ancol pada tahun 2009 untuk perluasan lahan Ancol Timur seluas 120 hektare. Ingat, suah dari tahun 2009. Sudah sejak sebelas tahun yang lalu. Akan digunakan untuk apa saja? Salah satunya adalah untuk lahan museum Rasulullah. Yang peletakan batu pertamanya sudah dilakukan di bulan Februari lalu. Jadi, perluasan Taman Impian Jaya Ancol ini terkait dengan pengendalian banjir di Jakarta. Bukan asal reklamasi. Reklamasi ini sifatnya lebih menertibkan, merapikan, memanfaatkan dan memberi dasar hukum. Ada tidaknya perluasan Ancol, pembuangan lumpur hasil kerukan 5 waduk dan 13 sungai di Jakarta, akan terus berjalan dan memadati laut sebelah Timur dan Barat Ancol. Tahun demi tahun. Jika "Tanah Timbul" tak dirapikan, maka akan terjadi reklamasi alami tanpa memberi manfaat apapun, kecuali hanya mengganggu ekosistem. Juga akan menggangu pemandangan mata para nelayah dan kenyamanan wisatawan. Jadi, kalau ada yang berimajinasi bahwa penertiban "Tanah Timbul" yang nempel dengan pesisir Timur dan Barat Ancol ini sama dengan reklamasi 13 pulau yang dihentikan gubernur DKI, ya itu sih lebay saja. Mari buka dan lihat data baik-baik. Supaya lebih detil dan lengkap. Biar tak masuk dalam barisan salah paham. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Amarah Risma: Akibat Lemah Koordinasi dengan Pemprov!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Amarah Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang videonya viral di berbagai media, Jum’at, 29 Mei 2010, itu seharusnya tak perlu ditampakkan di muka umum. Dia bisa saja cari tempat lain, aman dari sorotan dan rekaman kamera wartawan. Sebab, kemarahan terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim itu bisa disalah-artikan warga. Terutama warga Surabaya yang die hard pada Risma. Apalagi, tudingan Risma itu ditujukan kepada GTPP Covid-19 Jatim yang berada di bawah kendali Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Hal ini juga bisa memancing reaksi Khofifah. Risma berbicara dengan nada keras. Risma mengamuk karena dua mobil PCR bantuan dari BNPB untuk Surabaya justru diserobot Gugus Tugas (Gugas) Covid-19 Jatim dan dialihkan ke daerah lain. Dalam video berdurasi 52 detik itu, Risma tampak sedang duduk menelpon seseorang dari dalam sebuah tenda, Jumat 29 Mei 2020. Mengenakan rompi hitam dan kaos merah dan berjilbab merah, Risma duduk dan dikelilingi beberapa anak buahnya. Melansir Vivanews.co.id, Jumat (29 Mei 2020 | 16:47 WIB), Risma terlihat betul-betul marah dengan pengalihan dua mobil BNPB untuk warga Surabaya yang dialihkan ke daerah lain itu. Tidak jelas dengan siapa ia berbicara di telepon genggam. Mengetahui bahwa 2 mobil PCR permintaannya diserobot Gugas Covid-19 Jatim, Risma pun melaporkan langsung pada Kepala BNPB Doni Monardo, pihak yang dimintai bantuan secara langsung oleh Risma. “Dapat sms, dapat WA-nya pak Joni, Kohar. Kalau itu untuk Surabaya. Opo opoan (Apa-apaan) gitu lo pak, kalau mau boikot jangan gitu pak caranya,” ungkap Risma dengan nada emosional dalam percakapan di telepon genggam itu. “Saya akan ngomong ini ke semua orang. Pak, saya ndak terima lo pak. Betul saya ndak terima pak. Saya dibilang ndak bisa kerja. Siapa yang ndak bisa kerja sekarang,” kata Risma berang. Yang sangat menarik perhatian tentunya saat Risma juga dengan lantang menyebut dua nama petinggi PDIP yang kini menjabat di pemerintahan, pusat yakni Puan Maharani (Ketua DPR-RI) dan Pramono Anung (Sekretaris Kabinet). “Kalau mau ngawur nyerobot gitu. Siapa yang ndak bisa kerja. Boleh dicek ke Pak Pramono Anung. Boleh ditanya ke Mbak Puan,” tegas Risma. Kepada wartawan, Risma membeberkan bukti chatting dirinya dengan Kepala BNPB Doni Monardo soal permintaan bantuan mobil PCR secara khusus untuk warga Surabaya. “Teman-teman lihat sendiri kan, ini bukti permohonan saya dengan pak Doni, jadi ini saya sendiri yang memohon kepada beliau. Kasihan pasien-pasien yang sudah menunggu,” kata Risma. Koordinator Bidang Pencegahan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Febria Rachmanita atau Fenny menjelaskan, sebetulnya pada Kamis kemarin, 28 Mei 2020, Surabaya sudah akan dibantu mobil laboratorium itu. Awalnya disebut akan langsung dipergunakan untuk pasien yang menjalani karantina di Asrama Haji Surabaya di Sukolilo dan Dupak Masigit yang di situ ada warga Krembangan Selatan. “Jadi, bantuan dari BNPB itu dua unit mobil laboratorium dan sudah kami tentukan titik-titiknya selama mobil itu berada lima hari di Kota Surabaya. Masing-masing titik itu kami siapkan 200 orang untuk dilakukan tes swab,” ungkapnya. Menurut Fenny, mereka itu yang belum dites swab dan waktunya swab ulang, “supaya cepat selesai penanganannya,” katanya kepada wartawan. Siapa yang bilang kalau 2 mobil dari BNPB itu yang mengajukan Pemkot Surabaya? Konon, mobil PCR itu realisasi pada, Rabu, 27 Mei 2020 atas pengajuan Pemprov Jatim pada Senin, 11 Mei 2020. Pemprov Jatim memang sedang memutar kerja dua unit Mobil mesin PCR dari Pemerintah Pusat melalui BNPB ke sejumlah daerah. Satu unit mobil mesin PCR bernopol B 7190 TDB dari BNPB, itu diserahterimakan BNPB pada Gugus Kuratif Covid-19 ke Pemprov Jatim di halaman Rumah Sakit Lapangan Covid-19 Pemprov Jatim, Jl. Indrapura No. 17 Surabaya, Rabu (27/5/2020) siang. Sedangkan, satu unit mobil mesin PCR lainnya diterima Kamis (28/5/2020). Usai diserah- terimakan, dua unit Mobil Mesin PCR tersebut langsung dioperasionalkan di Asrama Haji Surabaya serta RSUD Sidoarjo. Dan mobil mesin PCR juga akan difungsikan sebagai mobile laboratorium untuk daerah-daerah yang membutuhkan di Jatim. Surabaya dan Sidoarjo mendapat layanan pertama. Kemudian, kedua mobil itu akan melayani masyarakat Lamongan dan Tulungagung. Gubernur Khofifah menyampaikan terima kasihnya kepada BNPB yang terus mendukung Jatim untuk melakukan percepatan-percepatan dalam penanganan Covid-19. “Alhamdulilah, kami kembali mendapat bantuan dari BNPB, berupa dua unit mobil mesin PCR. Bantuan ini penting, karena saat ini kebutuhan mesin PCR test untuk swab memang yang paling dibutuhkan karena validitasnya paling tinggi,” ujar Khofifah, seperti dilansir Duta.co, Kamis (29/5/2020). Menurut politisi PAN Mila Machmudah Djamhari, kemarahan Risma itu justru menunjukkan arogansi dia yang tidak tunduk pada birokrasi. Sah-sah saja bila dia berkomunikasi langsung dengan BNPB atau pun Presiden. “Tetapi untuk koordinasi tetap ada aturannya. Sudah seharusnya Risma berkoordinasi dengan Gubernur terkait kebutuhan penanganan kasus Covid-19 di Surabaya. Bila Risma langsung koordinasi dengan Pusat mana Provinsi mengetahui rencana kerja Surabaya,” tegasnya. Kota dan Kabupaten lain selalu berkoordinasi sehingga Provinsi mengetahui kebutuhan dan rencana kerja mereka. “Salah besar bila Risma menuduh Provinsi memboikot kerja Risma karena Surabaya tidak berkoordinasi dengan Provinsi,” tegas Mila. “Risma tidak berhenti playing victim. Arogansi dia, ketidakpatuhan dia berkoordinasi dengan Pemprov sudah menyebabkan berkembang pesat penularan covid-19 di Surabaya,” lanjutnya. Mila mencontohkan, Malang Raya dengan kasus awal yang kurang lebih sama dengan Surabaya, ternyata berhasil mengendalikan perkembangan kasus Covid-19. “Bahwa benar kasus di Surabaya cukup tinggi karena banyak dilakukan test. Tapi yang perlu diingat, salah satu penyebab dilakukan ribuan test di Kota Surabaya karena kegagalan Risma mengendalikan kasus di PT HM Sampoerna yang dirahasiakannya,” ungkap Mila. Menurut Mila, salah besar melihat 2 emak itu sebagai sebuah persaingan. Ini hanya masalah ada yang tidak mau diatur. Khofifah sudah menjadi Menteri ketika Risma masih kepala Seksi di Pemkot Surabaya. Khofifah memiliki massa lebih besar dari Risma. Khofifah menjabat Ketua Umum Muslimat se-Indonesia. Khofifah pun bukan hanya memiliki back up politik yang cukup kuat tetapi juga back up ulama. “Secara kapasitas dan kredibilitas Khofifah juga tidak diragukan. Kemampuan komunikasi dan pengendalian emosi sudah sangat jelas Khofifah juaranya,” ungkap Mila. Menurutnya, Risma sepertinya memang bakal sering ribut gara-gara mispersepsi. Ternyata, mobil PCR dari Badan Intelijen Negara (BIN) itu bukan diberikan pada Pemkot Surabaya, teapi BIN yang menyelenggarakan kegiata tes Covid-19. “Jadi kelar giat mobil akan dibawa kembali oleh BIN. Rencananya BIN akan melakukan tes Covid-19 massal selama 4 hari di Surabaya,” ungkap Mila. Giat BIN ini bukan hanya rapid test saja, tapi juga PCR dengan menggunakan peralatan dari Korea Selatan yang paling lama 2,5 jam hasilnya sudah diketahui. Jadi, yang test tidak perlu harus menunggu di hotel 3 hari. Sehari juga kelar. Pelibatan BIN dalam penanganan Covid-19 ini dinilai Mila bagus. Jadi yang terkonfirmasi positif akan dilakukan contact tracing pada yang bersangkutan. Perselisihan antara Risma dengan Khofifah ini tidak akan melahirkan pemenang. Yang terjadi justru bakal melahirkan tumpukan pasien Covid-19 di Surabaya. Risma dan Khofifah jangan larut berselisih. Karena itulah yang diharapkan para petualang politik. Mereka sukses mengadu-domba kedua Srikandi Jatim tersebut. Penulis Wartawan Senior

Lindungi Warga DKI, Anies Pasang Badan

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (31/05). Ekonomi dunia collaps. Termasuk Indonesia. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi kondisi ini juga dirasakan oleh semua daerah. Pajak sebagai andalan pendapatan, turun sangat drastis. Wisata, restoran, tambang, properti, dan hampir semua bisnis ambruk. Otomatis, nggak ada pembayaran pajak. Anggaran negara jebol. Begitu juga anggaran daerah. Covid-19 memporakporandakan semuanya. Tak terkecuali DKI. APBD yang semalu Rp. 87,9 triliun, tekor menjadi hanya tingga Rp. 47,2 triliun. Gara-gara corona. Minimnya pemasukan, berakibat Gubernur DKI tagih Dana Bagi Hasil (DBH) ke Kementerian Keuangan. Sudah seharusnya begitu. Namanya juga hutang, mesti ditagih. Apalagi, DKI lagi butuh. Untuk KJP. Untuk bansos. Untuk atasi covid-19. Untuk selamatkan nyawa dan dampak ekonomi warga DKI. Menteri keuangan berkelit. Sejumlah menteri ikutan jadi tim penyerang. Nama BPK diseret-seret. Tak terima dilibatkan dalam DBH DKI, BPK berteriak. Ape urusannya sama gue? Kira-kira seperti itu kalau pinjam bahasa gaul betawi. Akhirnya, dibayar separo. Penagihan sukses. Sisanya? Nanti dicicil. Maklum, negara dalam keadaan susah. Harus saling memahami. Mau nyicil aja muter kesana kemari. Gerutu warga DKI. Hus, sabar. Nggak usah dilanjutin komennya. Sudah susah bayar utang, nggak usah dikasih komen macem-macem. Kasihan. Jangan tambah beban orang yang lagi sulit. Do’ain aja. Ini aja sudah lumayan. Mau nyicil. Ada i'tikat baik. Niat bayar hutang. Anies lega, meski harus terima bullyan dulu sebelum dibayar. Selama itu dilakukan demi rakyat, bullyan serasa lezat. Saatnya kencangkan sabuk anggaran. Pangkas pengeluaran yang tidak terlalu mendesak. Sortir sana-sini, prioritaskan kegiatan yang urgent. Tentu, kebutuhan untuk rakyat harus paling utama. Ini prinsip yang selama ini jadi pegangan gubernur DKI. Mengatasi covid-19, baik untuk anggaran kesehatan, maupun untuk tangani dampak ekonominya, butuh dana cukup besar. Yang jadi persoalan sesungguhnya bukan berapa besar kebutuhannya. Tapi persoalannya justru pada minimnya pemasukan. Pajak jauh merosot. Di DKI, pendapatan pajak yang semula Rp.50,17 triliun, turun jadi Rp. 22,5 triliun. Tinggal 45 persen saja. Sebab, dunia usaha sekarat. Tapi, lagi-lagi, demi selamatkan nyawa rakyat, demi ketahanan ekonomi rakyat, tak ada alasan untuk tidak melindungi rakyat. Baik ketahanan pangannya, terutama nyawanya. Meski anggaran terbatas, tak ada pegawai honorer DKI yang di-PHK. Sebanyak 120.000 pegawai PJLP dipertahankan. Ini tanggung jawab pemprov DKI untuk tetap membuka lapangan kerja. Dana bansos yang semula 188 M, dinaikkan jadi 5 T. Dengan penduduk paling sedikit di pulau Jawa, dibanding Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, tapi anggaran DKI paling besar. Belum ditambah operasi Baznas DKI yang membantu program bantuan sosial dengan anggaran ratusan miliar. Hingga satu waktu, sampailah Anies pada satu titik dilematis. Ada dana Rp. 2 tiliun. Ini mau dialokasikan untuk bansos bagi 1,2 juta warga prasejahtera, atau untuk "Tunjangan Kinerja Daerah" (TKD) pegawai DKI. Sangat dilematis. Pegawai tentu ingin TKD-nya dibayar penuh. Kalau kepotong, bini bisa ngamuk. Terutama bini simpanan. Emang ada? Kalau ada, lu juga nggak bakal tahu. Namanya juga simpanan. Anak-anak rentan protes, karena uang jajannya berkurang. Rencana beli ini-itu bisa batal. Potong "TKD" pegawai, berpotensi melahirkan kekecewaan. Semangat kerja bisa kendor. Tapi, mosok sih mau korbankan warga DKI dengan memotong anggaran bansos untuk 1,2 juta warga prasejahtera? Bagaimana menurut para pegawai? Kalau bisa, "TKD" jangan dipotong. Kalau dipotong, ya jangan banyak-banyak. Artinya, pegawai merekomendasikan potong juga jatah untuk bansos. Bagi-bagilah... katanya. Hadapi rekomendasi ini, Anies tersenyum. Lalu dengan lirih gubernur DKI ini bicara: "diantara kedua pihak yaitu pegawai dan 1,2 juta warga prasejahtera, mana yang lebih membutuhkan? Pegawai? Atau 1,2 juta warga prasejahtera itu?" Para pegawai, terutama elit strukturalnya, terdiam. "ini soal moral", lanjut Anies. Suara lirih Anies rupanya menyentuh hati anak buahnya. Akhirnya, pegawai pun sepakat untuk diberikan hanya 50 persen TKD-nya. Dan 1,2 juta warga prasejahtera DKI terima bansos. "Utuh" . Tidak ada pemotongan. Ini hanya soal kepekaan, social morality dan seni bagaimana memimpin. Menghargai dan tetap mengedepankan dialog. Meski dengan anak buah. Dan rakyat, terutama penerima bansos, harus memberikan apresiasi kepada seluruh pegawai Pemprov DKI. Mereka rela dipotong 50 persen TKD-nya untuk bansos. Ternyata, bukan hanya dokter dan tenaga medis yang layak disebut pahlawan di masa pandemi covid-19 saat ini. Tapi, gelar pahlawan pantas juga disematkan kepada para pegawai Pemprov DKI. Kalian TOP. Pakai huruf kapital semua. Meski dipotong 50 persen, TKD pegawai DKI masih tergolong besar. Kira-kira, sama besarnya dengan take homepay pegawai kementerian yang tidak dipotong. Emang nggak dipotong? Jangan nyindir ah. Tidak hanya soal bagaimana mengamankan bansos. Anies juga keluarkan Pergub No 47 terkait kebijakan PSBB. Mewajibkan kepada siapapun yang keluar masuk DKI untuk mengurus SIKM. Diantaranya rapid test. Untuk apa? Memastikan bahwa warga DKI yang selama ini "stay at home" tidak tertular oleh hilir mudik para pemudik. Anies tak ingin khianati warga DKI yang 60 persen mengkarantina diri di rumah. Tak ingin khianati warga yang nahan diri untuk tidak shalat jumatan, dan mengosongkan tempat ibadah untuk sementara waktu. Tidak mau khianati pedagang Tanah Abang, Tamrin City, dan pemilik mall yang tutup. Karena itu, siapapun tanpa kecuali, masuk Jakarta harus ada SIKM. Lalu lalang di Jakarta harus pakai masker. Kalau gak? Denda 250 ribu. Kurang tegas? Untuk tegas, nggak perlu gebrak meja atau caci maki bro. Lebay! Sayang mulut! Anies juga hadapi berbagai tekanan yang memintanya untuk buka mall, tempat wisata dan sarana bisnis lainnya. Tolak! Sebab, data para ahli menyimpulkan bahwa wabah belum berakhir. Bahaya! Nyawa warga DKI itu yang utama. Meski ekonomi tetap penting. Nah, untuk hadapi situasi dilematis, bahkan genting, perlu seorang pemimpin yang tidak saja bijak dan lurus, tapi berani pasang badan demi rakyatnya. Anies telah menunjukkan itu. Hasil survei, 80, 70 persen warga DKI puas dengan kinerja Anies. Beruntunglah warga DKI. Dan kebetulan, saya bukan warga DKI. Apa urusannya? Hehe Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa