DAERAH

Positif Corona, Bacalon Pilkada Sidoarjo Bakal Berubah?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (10/09). Mantan Ketua Panwaslu (Bawaslu) Kota Surabaya Machmud Suhermono mengungkap, dalam dua-tiga hari ini kabar adanya 37 bakal calon (bacalon) kepala daerah, sungguh menyentak kesadaran kita, tentang bagaimana mereka memandang pandemi Virus Corona (Covid-19). “Baik bacalon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota,” ungkap Machmud Suhermono. Sebagai calon pemimpin, seharusnya mereka berada di garda terdepan, untuk memberikan pemahaman, virus ini sangat berbahaya dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Mereka menjadi contoh, bagaimana seharusnya bersikap, ketika seseorang dinyatakan positif. Pertanyaan besarnya, mengapa ke-37 bacalon itu masih datang ke KPU untuk melakukan pendaftaran? Bahkan, sebagian besar parpol maupun bapaslon dari jalur perseorangan juga mengerahkan massa besar-besaran, yang sangat berpotensi melanggar protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker dan menggunakan hand sanitizer sesering mungkin. Padahal ke-37 bacalon tersebut sudah mengetahui bahwa hasil tes swabnya positif, sebelum berangkat ramai-ramai ke KPU. Sebab, sebelum mendaftar, bacalon wajib melampirkan hasil tes swab. Mereka juga telah mengetahui jika akan kontak dengan banyak orang, mulai dari tim sukses, partai pengusung, partai pendukung, tim hore, simpatisan dan masyarakat yang kebetulan berada di jalan yang dilalui. Serta, tentunya penyelenggara baik pegawai dan komisioner KPU maupun Bawaslu, kawan-kawan media yang meliput, tim keamanan dari Kepolisian dan TNI. Mereka juga sadar bahwa kalau kontak dengan orang lain, otomatis statusnya menjadi carier. Ratusan atau bahkan ribuan orang rawan tertular, ini akibat sikap Bacalon yang sembrono tersebut. Peraturan KPU Nomer 6 Tahun 2020, Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Walikota Serentak Lanjutan telah disebutkan ketentuannya. Dalam Kondisi Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tegas disebutkan, bahwa setiap pelaksanaan Tahapan Pilkada tersebut harus melaksanakan protokol kesehatan Pencegahan Covid-19. Artinya, meskipun ke-37 Bacalon tidak hadir ketika pendaftaran, status pencalonan tetap Sah, sepanjang syarat dan persyaratan lainnya memenuhi syarat (MS). Lalu pertanyaannya adalah mengapa mereka memaksa hadir? Padahal bila mereka mengaku sejak awal, dirinya positif Covid-19, kemudian menggelar jumpa pers, dan menyatakan tidak akan hadir di KPU, dengan alasan menjaga keselamatan rakyat, justru akan memunculkan simpati masyarakat. Popularitasnya berpotensi naik. Statement tersebut yang akan diingat rakyat hingga pencoblosan 9 Desember 2020 nanti. Tentunya rakyat berharap, dalam tahapan berikutnya, baik saat penetapan paslon, penentuan nomor urut dan tentunya kampanye, dibutuhkan kejujuran dari paslon, untuk memberi tahu status kesehatannya, terutama terkait dengan Covid-19. Petugas penyelenggara dan pengawas, KPU dan Bawaslu diharapkan lebih ketat dan tegas menerapkan protokol kesehatan. Keselamatan rakyat adalah yang utama. Bila semua itu sudah dilakukan, Insya Allah Pilkada lanjutan tidak akan tertunda lagi. Dan sekarang, kita tunggu bersama, siapa sebenarnya 37 bacalon yang positif tersebut. Kita berharap mereka mengaku sendiri dan menyatakan ke publik. Sebab, kabarnya di Jawa Timur juga ada yang terpapar Covid-19. Paslon Corona Ketua KPU Sidoarjo Mukhamad Iskak mengakatan, hasil pemeriksaan kesehatan terhadap seluruh pasangan Bacalon kepala daerah Sidoarjo, di RSUD dr Soetomo Surabaya pada Senin malam (7/9/2020) sudah keluar. Dari tiga pasangan bacalon yang turut pemeriksaan kesehatan diantaranya swab, satu bacalon wakil bupati dinyatakan positif covid-19. Sayangnya Iskak tidak mengungkap siapa bacalon wakil bupati tersebut. “Hasil swab yang dikeluarkan pihak dr. Soetomo, memang satu Cawabup dinyatakan positif covid-19,” ujar Iskak tanpa menyebut siapa nama Bacawabup itu, Selasa (8/9/2020). Menurut Iskak, karena sudah dinyatakan positif, maka baik bacawabup maupun cabupnya harus mengisolasi diri selama 14 hari. Meski hari itu masih tahapan pemeriksaan kesehatan, “Namun tetap satu paslon ini tidak boleh ikut pemeriksaan kesehatan tahap 2,” tegas Iskak. Dari informasi yang beredar, bacalon yang dinyatakan positif Covid-19 ini, mendaftarkan diri pada Jum’at (4/9/2020). Bahkan, saat mendaftar hari Jum’at itu, hasil swab dengan amplop tersegel itu juga sudah berisi hasil positif. “Kita sama-sama tidak tahu, karena hasil swab diberikan bersamaan dengan berkas lain dan amplop tertutup,” ujar Iskak lagi. Jika merunut ke belakang, sangat mudah diketaui siapa bacalon yang terpapar Covid-19 itu. Bacalon pertama yang mendaftar adalah Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar. Paslon ini diusung 7 partai politik, yakni Gerindra, PKS, Golkar, PPP, dan Demokrat dengan jumlah 18 kursi di DPRD Sidoarjo. Bacalon kedua yang mendaftar adalah Kelana Aprilianto-Dwi Astutik. Mereka diusung oleh PDIP dan PAN dengan jumlah 14 kursi. Selain itu, Kelana-Dwi juga didukung oleh 7 Parpol nonparlemen, yakni Hanura, Berkarya, Perindo, PSI, PBB, Gelora Indonesia, dan PKPI. Kedua pasangan bacalon tersebut mendaftar pada Jum’at (4/9/2020). Ahmad Muhdlor Ali-Subandi sebagai pasangan bacalon Bupati-Wakil Bupati Sidoarjo. Gus Muhdlor-Subandi adalah pasangan yang terakhir mendaftar di KPU Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Melansir Detik.com, Minggu (06 Sep 2020 21:55 WIB), Ketua KPU Sidoarjo Mukhamad Iskak, mengatakan bahwa sampai di hari terakhir masa pendaftaran, sudah ada tiga paslon yang secara resmi sudah mendaftarkan diri ke KPU. “Sampai saat ini sudah tiga paslon yang secara resmi mendaftarkan ke KPU Sidoarjo. Yang terakhir ini paslon Ahmad Muhdlor Ali-Subandi dari PKB,” kata Iskak kepada wartawan di kantor KPU Jalan Raya Cengkareng Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Salah satu dari enam orang bacalon bupati dan wakil bupati yang akan berlaga pada Pilkada Sidoarjo 2020 dipastikan positif terinfeksi Covid-19 berdasarkan hasil swab yang dilakukan di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Informasi tersebut disampaikan Ketua KPU Sidoarjo Mukhamad Iskak saat memberikan keterangan pers di kantornya, Selasa (08/09/2020). Ia menolak menyebutkan nama paslon yang dimaksudnya tadi namun menyebutkan beberapa clue. Di antaranya adalah, calon tersebut berposisi sebagai wakil bupati. Clue kedua, calon tersebut mendaftar pada Jumat (04/09/2020). Di mana pada hari itu ada dua paslon yang datang, yakni Bambang Haryo Sukartono -Taufiqulbar serta Kelana Aprilinto-Dwi Astutik. Dan yang terakhir, paslon yang mengidap virus corona itu dipastikan tidak akan mengikuti tes kesehatan yang dilakukan di RSUD dr. Soetomo Surabaya. “Yang bersangkutan kami minta istirahat dulu, isolasi mandiri selama 10-12 hari,” katanya lagi. Yang menarik, Iskak menyebutkan bahwa calon wakil bupati tersebut sudah terinfeksi virus mematikan tersebut pada saat datang bersama seluruh timnya untuk mendaftar berdasarkan hasil tes swab mandiri yang ia lakukan sebelumnya. “Jadi pada saat itu yang bersangkutan memang sudah terinfeksi. Namun ia mengaku belum tahu hal tersebut karena surat hasil uji lab itu datang belakangan, sehingga tidak sempat membacanya,” imbuh Iskak. Padahal saat itu kantor KPU Sidoarjo dipenuhi ratusan orang, baik dari unsur staf internal, aparat kepolisian dan Satpol PP, tim pemenangan parpol,wartawan dan unsur masyarakat lainnya yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Iskak sendiri berharap kejadian ini tidak membuat KPU Sidoarjo menjadi klaster baru dalam penularan virus corona di kota delta. Untuk itu ia berjanji akan segera berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 Sidoarjo. “Kalau memang perlu, kita siap koq di-swab, baik komisioner maupun semua staf sekretariat KPU,” pungkasnya. Yang jelas, Bacalon Bambang Haryo Sukartono-Taufiqulbar menjalani tes kesehatan di Surabaya pada Selasa, 8 September 2020. Jadi, siapa Bacawabup yang terpapar Covid-19 itu? “Bukan pasangan Masa Bambang,” tegas seorang Ustadz pendukung Bambang Haryo Sukartono-Taufiqulbar. Jika benar yang terpapar itu Dwi Astutik, bukan tidak mungkin, Dwi bakal digantikan kader parpol pengusung lainnya seperti Agus Prastowo dari PAN. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Rekam Jejak Bambang Haryo: Ternyata Sudah Berbuat untuk Sidoarjo!

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (10/09). Akhirnya pilihan PKB dalam Pilbup Sidoarjo 2020 jatuh pada Ahmad Muhdlor Ali-Subandi sebagai pasangan bakal calon Bupati-Wakil Bupati Sidoarjo. Gus Muhdlor-Subandi adalah pasangan yang terakhir mendaftar di KPUD Sidoarjo. Paslon pertama yang mendaftar adalah Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar. Paslon ini diusung 7 partai politik, yakni Gerindra, PKS, Golkar, PPP, dan Demokrat dengan jumlah 18 kursi di DPRD Sidoarjo. Paslon kedua yang mendaftar adalah Kelana Aprilianto-Dwi Astutik. Mereka diusung oleh PDIP dan PAN dengan jumlah 14 kursi. Selain itu, Kelana-Dwi juga didukung oleh 7 Parpol nonparlemen, yakni Hanura, Berkarya, Perindo, PSI, PBB, Gelora Indonesia, dan PKPI. Melansir Detik.com, Minggu (06 Sep 2020 21:55 WIB), Ketua KPUD Sidoarjo Mukhamad Iskak, mengatakan bahwa sampai di hari terakhir masa pendaftaran, sudah ada tiga paslon yang secara resmi sudah mendaftarkan diri ke KPU. “Sampai saat ini sudah tiga paslon yang secara resmi mendaftarkan ke KPU Sidoarjo. Yang terakhir ini paslon Ahmad Muhdlor Ali-Subandi dari PKB,” kata Iskak kepada wartawan di kantor KPU Jalan Raya Cengkareng Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Ahmad Muhdlor Ali adalah putra KH Ali Masyhuri alias Gus Ali yang lahir di Sidoarjo pada 11 Februari 1991. Akademisi pendidikan Sidoarjo yang akrab dipanggil Gus Muhdlor itu kini menjabat Direktur Pendidikan Yayasan Bumi Shalawat Progresif (2012 – sekarang). Selain itu, ia menjabat sebagai Sekretaris GP Anshor Sidoarjo sejak tahun 2015 – sekarang. Dari jejak digital sulit ditemukan track record aktivitasnya. Bacabup Kelana Aprilianto agak berbeda. Jejak digital mudah ditemukan track record-nya. Kelana dikenal sebagai seorang pengusaha asal Pasuruan. Pria kelahiran April 1971 ini memang dikenal sebagai salah satu pebisnis sukses di Jatim. Melalui Koperasi Bangun Jaya, usahanya terus berkembang. Mengutip TimesIndonesia.co.id, Selasa (28 Januari 2020 - 16:29 | 164.83k), bisnisnya mulai dari transportasi (PO Bus Pandawa 87), bisnis properti, perhotelan, agribisnis, peternakan, perkebunan, dan ekspor-impor di bawah bendera PT Bangun Jaya Group. Ia ingin berkontribusi dalam mendorong roda perekonomian daerah, khususnya di kawasan Pasuruan. Usaha yang dikembangkannya menyerap banyak peluang lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Ada ribuan orang yang bekerja di bawah bendera perusahaannya. Mayoritas mereka berasal kaum pinggiran dan pengangguran. Kelana memang selalu tertarik pada bidang usaha yang berbasis ekonomi kerakyatan. Kini, Kelana berencana membangun sebuah peternakan modern dan memadukannya menjadi Wisata Edukasi. Lahan peternakan mulai disiapkan di Lebakrejo. Berbagai persiapan sudah dilakukannya, termasuk infrastruktur pendukung dan SDM dari masyarakat sekitar. Pengalamannya di Pasuruan itulah yang oleh Kelana bakal dikembangkan di Sidoarjo nanti jika terpilih menjadi Bupati Sidoarjo. Figur Dwi Astutik yang pengurus Muslimat NU Jawa Timur itu akan sangat membantu perolehan suara nanti. Bagaimana dengan paslon Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar? Sidoarjo harus berubah. Kota Udang ini butuh pemimpin yang berani menjemput perubahan. Menyaksikan perkembangan tetangga daerah, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, kondisi Sidoarjo paling ‘melas’. Padahal kekayaan daerah ini tak kalah moncer. “Dalam Pilkada kali ini sangat menentukan masa depan Sidoarjo. Selama ini, pembangunan di Sidoarjo sangat minim. Misal, infrastruktur jalan, masih kacau balau. Padahal ini sangat menentukan roda perekonomian,” ungka HM Nur Hadi ST. Mengutip Duta.co, Sabtu (5/9/2020), pangusaha otomotif yang dikenal sebagai tokoh NU di Kecamatan Taman, Sidoarjo, itu menjelaskan, Sidoarjo juga tidak boleh lepas dari karakter Islam moderat, Islam toleran. Dan itu lazimnya kader nahdliyin. “Karena daerah ini juga sering menjadi barometer nasional, sering menjadi pecontohan. Dan, kader nahdliyin itu bisa dari partai apa pun, karena NU sudah kembali ke khittah 1926,” tegas Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyin (PPKN) ini. Hebatnya, lanjut Cak Nur, panggilan akrabnya, Pilkada Sidoarjo yang akan berlangsung Rabu Wage, 9 Desember 2020 nanti, juga bertabur Bintang Sembilan. Hampir semua pasangan ada kader NU-nya. Itu yang membuat nahdliyin (khususnya) dan, warga Sidoarjo (umumnya) tidak perlu repot memilih. “Tinggal adu gagasan, adu program, siapa yang mampu mengubah Sidoarjo mejadi lebih baik, dia akan terpilih. Itu kuncinya,” tambahnya. Dan kebijakan Bambang Haryo Soekartono (BHS) menggandeng HM Taufiqulbar atau Cak Taufiq sebagai Bacawabup Sidoarjo, mendapat apresiasi tinggi dari nahdliyin. Setidaknya, itu terlihat saat silatuhrahim ke pengurus PCNU Sidoarjo, Kamis (6/8/2020) lalu. Cak Taufiq yang datang bersama rombongan pengasuh Ponpes Al Khoziny Buduran, H Ali Mudjib (Gus Ali), diterima langsung jajaran pengurus teras PCNU Sidoarjo. Tampak Ketua PCNU Sidoarjo KH Maskun, sekretaris PCNU H Suwarno, H Zainal Abidin Wk ketua PCNU, H Kirom serta beberapa pengurus PCNU yang lain. Dalam pertemuan di Kantor PCNU itu, banyak wejangan yang disampaikan Ketua PCNU. Salah satunya, KH Maskun yang berharap siapapun kader NU yang masuk di dunia politik, haruslah mengedepankan akhlaqul karimah. “Berpolitik santun dengan akhlaqul karimah harus tetap dipegang kader NU yang ikut dalam Pilkada Sidoarjo,” jelas KH Maskun. Bagi nahdliyin, Cak Taufiq bukan orang lain. Restu untuknya juga datang dari sesepuh atau tokoh tertua NU Sidoarjo seperti KH Maskur. “Saya mendukung anak saya Taufiq, untuk maju sebagai calon kepala daerah Sidoarjo dan berharap bisa memajukan dan memakmurkan Sidoarjo,” ujar KH Maskur yang juga pendiri RSI Siti Hajar Sidoarjo. Menurut Cak Taufiq, tujuan utama silatuhrahim ini adalah meminta izin dan doa restu dari NU untuk menghadapi Pilkada Sidoarjo 2020. “Alhamdulillah, para kiai menerima dengan baik. Mendoakan secara khusus agar niat baik untuk memperbaiki Sidoarjo terkabul, mendapat ridho Allah SWT,” ujarnya. Akan halnya Bacabup Bambang Haryo Soekartono yang akrab dipanggil BHS, rekam jejak aktivitasnya sangat banyak bila dibanding Bacabup lainnya. Pria kelahiran Balikpapan, 16 Januari 1963, ini jabatan terakhirnya adalah Anggota Komisi V DPR-RI dan MPR-RI (2014-2019). Sebelumnya (2014-2018), Anggota Komisi VI DPR-RI Fraksi Gerindra. BHS adalah alumni Fakultas Teknik Perkapalan ITS, Surabaya. Setidaknya, sudah tujuh jabatan dalam kariernya yang sudah pernah dipegangnya. Pada 2007-2014, BHS merangkap jabatan sebagai Dirut PT Dharma Lautan Utama dan PT Adiluhung Saranasegara Indonesia. Realisasi Sidoarjo Sebagai anggota DPR-RI (2014-2019), ternyata BHS sudah banyak berperan untuk Sidoarjo. Simak saja 10 aktivitasnya selama itu. Pertama, Penyaluran program bedah rumah ke 460 rumah wilayah Sidoarjo; Kedua, Penyaluran 600 CSR BUMN; Ketiga, Realisasi program pengembangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah (PISEW) ke 5 titik daerah Sidoarjo; Keempat, Pengembangan pertanian wilayah Sidoarjo dengan menyalurkan program P3-TGAI ke 19 titik daerah Sidoarjo; Kelima, Inisiasi pembangunan pasar Wonoayu, rehabilitasi pasar Sukodono dan mendorong realisasi renovasi pasar Porong Sidoarjo; Keenam, Penyaluran program BUMDES sebesar Rp 50 juta ke 30 Desa di Sidoarjo dan Dana Desa Wisata sebesar Rp 150 juta kedua; Ketujuh, Pengembangan sektor pertanian dengan penyaluran 40 pompa ukuran 6 dim dan 20 hand traktor dibeberapa wilayah Sidoarjo; Kedelapan, Mendorong bantuan untuk korban bencana puting beliung di Desa Tambakrejo Waru dari BUMN maupun BNPB; Kesembilan, Inisiasi pembangunan Overpass Toll di Keloposepuluh dan Wage Sidoarjo dan di lanjutkan di Sepande Sidoarjo; Kesepuluh, Pendidikan Karakter dengan melalukan Sosialisasi 4 Pilar RI di 25 titik Wilayah Sidoarjo. Itulah rekam jejak aktivitas BHS di Sidoarjo yang sudah dilakukan selama menjabat sebagai anggota DPR-RI. Bagaimana dengan Bacabup lainnya? *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Pilkada Kota Makassar, Pertarungan “Kubu Kalla VS Kubu Paloh”

by Ambo Upe Makasar FNN – Rabu (09/09). Panggung Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar akan menjadi “neraka” pertarungan, antara kubu Jusuf Kalla(JK) duet dengan Aksa Mahmud (AM). Kubu ini akan berhadapan dengan kubu Surya Paloh. Calon Walikota Makasar Munafri Arifuddin atau APPI kembali berhadapan dengan “musuh” lamanya Dani Pomanto pada Pilwalikota 2018. Kalau pada Polwalkot Makasar dulu, pasangan APPI berhadapan dengan Kotak Kosong. Dan hasilnya adalah kotak Kosong yang menang. Maka, sekang yang berdiri di belakang APPI masih tetap AM dan JK. Sedangkan yang di belakang Dani Pomanto adalah Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem. Kasus tertangkapnya Andi Irfan Jaya, Ketua Bappilu Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan oleh Kejaksaan Agung, mau tidak mau membuka peluang calon Nasdem akan menjadi “bulan- bulanan”. Kampanye negatif diperkriakan akan merebak di Makassar khusnya, dan Sulawesi Selatan pada umunya. Pesan tegas adalah, “Jangan Pilih Walikota Dukungan Partai Koruptor”. Sebaga partai yang mengusung tagline restorasi (Gerakan Pembaruan) yang menjanjikan anti terhadap penyakit korupsi, Nasdem sekarang menjadi bahan olok-olokan masyarkat. Akan menjadi amunisi di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada untuk memanfaatkan tagline “tolak parpol koruptor”. Inilah peluang yang terbuka bagi kubu AM-JK untuk memenangkan pasangan APPI. Setidaknya ada dua tempat yang menarik banyak perhatian terkait penyelenggaraan Pilkada serentak 2020. Yaitu Kota Tangerang Selatan (Tangsel), di Provinsi Banten dan Makassar di Sulawesi Selatan. Di kedua kota tersebut, dipastikan bertaburan calon -calon mega bintang kerabat tokoh nasional. Di Tangerang Selatan, juga ada Nur Azisah putri Wapres Marif Amin. Ada juga Saraswati, kemenakan Menhan dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Selain itu, dan Pilar Saga Ikhsan dari dinasti Kerajaan Banten, putra Ratu Tatu. Bakal ramai dan seru. Sedangkan di Makassar, ada Munafri Arifuddin APPI, menantu pengusaha Grup Bosowa Aksa Mahmud, yang juga kemenakan dari Jusuf Kalla. Pasangan APPI akan berhadapan melawan Dani Pomanto, mantan Walikota menggandeng Fatma Rusdi Masse, intri mantan Bupati Sidrap Rudi Masse. Pasangan dani Pomanto ini yang tampil dengan tagline “ADAMA”. Pasangan ADAMA ini bakal didukung Surya Paloh, dari dinasti Nasdem. Pada kubu pasangan ADAMA ini, ada juga dukungan dari Irman (None), adik kandung dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan dua priode, Syahrul Yasin Limpo yang sekarang menjabat sebagai Menteri Pertanian. Masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan umumnya, maupun keluarga besar Sulawesi Selatan tentu saja bakal memusatkan perhatiannya kepada pertarungan hidup mati pasangan APPI melawan ADAMA tersebut. Pertarungan mempertaruhkan kehormatan dan harga diri antara pasangan menantu Aksa Mahmud (AM), Munafri Arifuddin yang berpasangan dengan Rahman. Pasangan APPI ini diusung oleh Partai Demokrat, PPP, Perindo, dan PSI. Pasangan APPI bakal berhadap dengan pasangan ADAMA, mantan Walikota Makassar periode 2014 – 2018), Dani Pomanto yang menggandeng Fatmawati, isteri Rusdi Masse, yang adalah Ketua Nasdem Sulawesi Selatan. Pasangan ini diusung oleh Partai Nasdem, Gerindra, Gelora dan PBB. Pada Pilkada Walikota 2018, APPI kalah melawan “kotak kosong”, karena Dani Pomanto sebagai calon independen tersandung ketentuan tidak memenuhi persyaratan. Sementara pasangan APPI memborong hampir semua kursi Partai Politik (Parpol) di Kota Makasar untuk mengusung APPI. ”Tragedi” kekalahan politik pasangan APPI melawan kotak kosong ini sangat memalukan. Karena peristiwa ini justru di kampung sendiri. Ketika itu keluarga Grup Bosowa (Aksa Mahmud) dan Grup Bukaka (Jusuf Kalla), dalam pandangan adat dan budaya Bugis-Makassar dianggap sebagai “penghinaan” atau ini sudah soal “siri” (kehormatan) bagi keluarga AM dan JK. Itulah sebabnya mengapa keputusan APPI untuk maju kembali bertarung pada Pilkada Walikota Makassar 2020 saat ini sangat menarik perhatian masyarakat Sulawesi Selatan. Boleh dikata, menarik juga di seluruh Indonesia. Bahkan di seluruh dunia. Keputusan yang diambil APPI untuk maju bertarung mengandung pesan “pembalasan” atas kekalahannya yang memalukan dulu. Keseriusan keluarga Grup Bosowa dan Grup Bukaka itu terlihat dari susunan Tim Sukses (Timses ) APPI yang dipimpin langsung oleh Erwin Aksa, putra sulung Aksa Mahmud. Erwin didampingi oleh Solihin Kalla, putra sulung Jusuf Kalla. Tim ini juga didukung oleh Sadikin Aksa, pembalap nasional yang juga Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia. (bersambung). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Budaya.

Abaikan Whisnu, Benarkah Megawati Lupakan Jasa Sutjipto?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Rabu (09/09). DPP PDI-P secara resmi mengusung Eri Cahyadi sebagai Bakal Calon Walikota, Armudji sebagai Bakal Calon Wakil Walikota Surabaya pada Pilwali Surabaya 2020. Pengumuman Ketua DPP PDI-Puan Maharani itu membuat kecewa pendukung Whisnu Sakti Buana. Pendukung Wakil Walikota Surabaya itu mempertanyakan latar belakang Eri Cahyadi yang mendapatkan rekomendasi sebagai Bacawali. Dan wakilnya, Armudji, yang dianggapnya telah mengundurkan dari penjaringan PDIP. Mereka mengaku kecewa lantaran jagoan mereka, Whisnu yang juga kini menjabat Wawali Surabaya dua periode itu, tidak mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP. “Whisnu adalah kader partai, kenapa bukan calon. Sangat kecewa,” teriak seorang pendukung Whisnu. “Eri itu siapa? Armudji sudah mengundurkan diri kenapa jadi wakil. Bangsat!” teriaknya di depan DPD Jatim, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (02/09/2020 15:43 WIB). Para pendukung Whisnu ini memprotes keputusan PDIP di luar gedung. Sementara di dalam gedung DPD PDI-P Jatim, tampak Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Puti Guntur Soekarno, Wawali Whisnu Sakti Buana, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dan sejumlah fungsionaris DPP PDIP lainnya. Pengumuman paslon Eri-Armudji itu secara resmi dibacakan oleh DPP Bidang Politik PDIP Puan Maharani dalam acara Pengumuman Calon Kepala Daerah Gelombang V, berlangsung secara daring pada Rabu (2/9/2020). “Rekomendasi Kota Surabaya, diberikan kepada Eri Cahyadi, dengan Armudji. Sebagai calon walikota dan calon wakil walikota Surabaya,” kata Puan, disaksikan jajaran DPD PDIP Jatim dan DPC Surabaya melalui daring. Pantauan CNNIndonesia.com di lokasi, usai pengumuman itu dibacakan, suasana DPD Jatim pun langsung hening. Pekikan merdeka dari Puan pun tidak terlihat bersahut. “Merdeka! Ayo semangat,” ucap Puan nyaris tak digubris. Sangatlah wajar jika para pendukung Whisnu itu merasa kecewa. Pasalnya, mereka berharap putra almarhum Ir. Soetjipto Soedjono, mantan Sekjen DPP PDIP itu, direkomendasikan oleh DPP PDIP sebagai Bacawali Surabaya, bukan Eri Cahyadi. Jasa dan sumbangsih Pak Tjip, begitu panggilan akrab Soetjipto Soedjono ini, pada Megawati Soekarnoputri kala berjuang merebut kepemimpinan PDI dari Soerjadi tidak bisa digantikan dan dilupakan begitu saja. Sejarah mencatat, sejak terjadi konflik internal PDI (tidak ada P-nya) antara Soerjadi yang didukung Pemerintah dengan Megawati, Pak Tjip selalu setia berada di barisan pendukung Megawati hingga akhir hanyatnya pada 24 November 2011. Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan pada 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara, dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres itu muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar, Wakil Ketua DPD DKI Jakarta. Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum yang didukung Megawati. Saat itu Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan. Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Tapi, beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, belum sampai penyusunan kepengurusan suasana kembali ricuh karena demonstrasi yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Pemerintah akhirnya mengambil alih melalui Mendagri Yogie S. Memed dan mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Ketua DPD PDI Jatim Latief Pudjosakti pada 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI. Posisi Pak Tjip saat terjadi konflik internal PDI, Pak Tjip sebagai Bendahara DPD PDI Jatim. Ketika terjadi perpecahan, barulah Pak Tjip menjabat Ketua DPD PDI Jatim. Sehingga, PDI Jatim ada dua kepengurusan: PDI Soerjadi dan PDI Megawati. Latief Pudjosakti berada bersama Soerjadi. Sedangkan Pak Tjip di kubu Megawati. Pak Tjip mendukung DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri. Dalam puncak karier politiknya, ini mengantarkannya menjabat Sekjen PDI-P dan Wakil Ketua MPR. Pak Tjip memimpin kader dan simpatisian PDI di Jatim melawan campur tangan pemerintah dalam tubuh PDI. Dia pun mengalihkan markas PDI ke kantor CV. Bumi Raya, perusahaan jasa konstruksi miliknya di Jalan Pandegiling, Kota Surabaya. Karena kantor lama sedang direbut kubu Latief Pudjosakti. Sebuah wujud perlawanan kepada pemerintah yang dinilai otoriter sekaligus sebagai wujud dukungan kepemimpinan Megawati yang didukung oleh arus bawah. Dari kantor yang dulu dikenal dengan sebutan “Markas Pandegiling” inilah Pak Tjip bersama putranya, Whisnu Sakti Buana, melakukan perlawanan. Nama Whisnu mulai dikenal sebagai penggerak perlawanan masyarakat arus bawah. Dalam setiap kali demo, Whisnu selalu memimpin dan berada di depan. Itulah fakta politik yang terjadi selama masa “perjuangan” Pak Tjip dan Whisnu sebelum akhirnya keduanya menjadi bagian dari PDI Perjuangan pimpinan Megawati. Makanya wajar jika di kalangan akar rumput Surabaya memilih mendukung Whisnu sebagai Bacawali Surabaya ketimbang yang lainnya seperti Eri Cahyadi yang baru bergabung dengan PDIP begitu direkomendasikan oleh DPP PDIP. Kabarnya, nama Eri Cahyadi itu disodorkan oleh Walikota Tri Rismaharini. Akankah Eri bisa mengikuti jejak Risma yang sebelum diusung PDIP itu menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Surabaya? Melansir Liputan6.com, Kamis, (03 Sep 2020, 15:00 WIB), sosok Eri Cahyadi ini ternyata putra asli Surabaya. Berasal dari kampung lawas Maspati. Kampung yang saat ini dijadikan sebagai kampung wisata tersebut berada di dekat Tugu Pahlawan. “Saya sempat ngobrol-ngobrol sama Mas Eri. Ternyata, Mas Eri ini aslinya dari Maspati Surabaya. Usianya saat ini 43 tahun. Mas Eri juga alumni dari ITS Surabaya,” ujar Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat, Kamis (3/9/2020). Sementara itu, saat dikonfirmasi apakah dirinya masuk menjadi kader PDIP, Eri Cahyadi menjawab, saat dirinya dicalonkan sebagai Bacawali Surabaya oleh PDIP, itu artinya sudah menjadi bagian dari PDIP. “Setelah saya dicalonkan sebagai Cawali Surabaya, saya sudah menjadi bagian dari keluarga PDI Perjuangan,” ucap Eri. Nama Eri Cahyadi sebelumnya santer terdengar sejak tahun lalu sebagai calon yang akan menggantikan Risma. Ia menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya pada 2018 saat berusia 41 tahun. Mengutip situs pribadi Eri Cahyadi, sebelum menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia bekerja sebagai konsultan di Jakarta pada 1999-2001. Kemudian dia mendaftar sebagai CPNS, dan diterima sebagai PNS pada 2001 di Dinas Bangunan. Pria Teknik Sipil ITS Surabaya pada 1999 ini telah menjadi Plt Kasubag pada usia 30 tahun. Lalu, dia dipercaya menjadi Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang saat usia 34 tahun. Selanjutnya ia dipercaya menjadi Kepala Bappeko dan Plt Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka (DKRTH) pada 2018. Lawan Tangguh Eri Cahyadi-Armudji yang diusung PDIP dan PSI akan berhadapan dengan pasangan yang didukung koalisi PKB, Gerindra, PKS, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, dan PPP, yakni Machfud Arifin dan Mujiaman Sukirno. Seperti dilansir Tempo.co, Minggu (6 September 2020 06:23 WIB), pasangan Bacawali Machfud dan Bacawawali Mujiaman mendaftarkan diri ke KPU Kota Surabaya pada Minggu (6/9/2020). Menurut Direktur Media dan Komunikasi Tim Pemenangan Machfud-Mujiaman, Imam Syafi'i, proses pendaftaran pasangan Machfud-Mujiaman dipastikan menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19. “Prosesi pendaftaran dilakukan pada sore hari dan dimulai sekitar pukul 14.30 WIB. Paslon akan tiba lebih dahulu di posko utama Jalan Basuki Rahmad,” ungkap dia, Sabtu (5/9/2020). Setiba di posko, Imam mengatakan paslon terlebih dulu ziarah ke Makam Sunan Bungkul sebelum ke KPU. Alasan dipilihnya makam Sunan Bungkul karena warga Surabaya biasa ziarah ke Sunan Bungkul dulu baru ke sunan lainnya. Seperti halnya Eri Cahyadi, Machfud Arifin, Irjen Polisi Purnawirawan ini lahir di Ketintang, Gayungan, Kota Surabaya, pada 6 September 1960. Machfud sebelumnya menjabat Analis Kebijakan Utama bidang Sabhara Baharkam Polri. Lulusan Akpol 1986 ini berpengalaman dalam bidang reserse. Jabatan terakhir Machfud adalah Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Orang Minang Marah, Puan Tidak Paham Sejarah

by Pangi Syarwi Chaniago Jakarta FNN – Senin (07/09). Komentar Puan tentang Sumatera Barat mendukung negara Pancasila, jelas merugikan citranya sendiri. Bagaimana pun ucapan ini dapat dipastikan membuat orang Minang tersinggung. Orang Minang makin resisten. Makin tak empati terhadap cucu Praklamotor ini. Sekalipun Puan adalah cucu dari tokoh Proklamator Soekarno, tak ada jaminan Puan khatam sejarah Pancasila dan kontribusi pendiri bangsa. Termasuk kontribusi orang Minang untuk Indonesia. Hampir separoh dari saham pendirian Republik Indonesia ini, kita berani mengatakan adalah kontribusi nyata orang minang. Itu harus ditegaskan kembali, dan Puan harus paham soal ini. Jangan asal ngomong. Puan harus tahu, Rosihan Anwar (jurnalis kawakan) berdasarkan pengamatannya, ada benar pernyataan beliau, selama bergaul dengan tokoh-tokoh Minang, sejak zaman pergerakan sampai masa kemerdekaan, hampir keseluruhan para pendiri bangsa yang berasal dari ranah Minang. Apa untungnya Puan mengeluarkan pernyataan tendensius semacam ini? Apalagi beliau adalah pejabat negara sekelas Ketua DPR. Pernyataan ini sangat-sangat tidak pantas, sama saja mempermalukan dirinya sendiri dan mencoreng marwah DPR. Tampak kalai itu adalah omongan dari kelas politisi picisan dan kacangan. Bukan negarawan kelas Ketua DPR. Kelas anggota DPR saja tak pantas. Apalagi Ketua DPR. Apa dampak terhadap Puan? Jelas pernyataan ini akan sangat merugikan dirinya sendiri. Katanya, Puan mau maju menjadi capres atau cawapres di pilpres 2024. Namun sudah mulai mengeluarkan statmen yang blunder. Statemen yang bisa digoreng-goreng lawan-lawan politiknya di kemudian hari. Jelas tidak menguntungkan sama sekali terhadap citra Puan Maharani. Justru akan kena jebakan Batman. Menghambat ambisi beliau untuk mendapat dukungan, karena terbentur dengan kata-katanya beliau sendiri. Jejak digital bisa digoreng lawan politiknya di kemudian hari. Itu pasti. Saya tidak habis pikir, menggapa Puan sangat berani mengeluarkan statmen yang kurang tepat? Melenceng dari sejarah. Kita tidak menyangka beliau mencurigai ke-Pancasilais orang Minang ? Semestinya sikap politisi berkelas adalah merangkul. Bukan memukul, kalau ingin benar-benar ingin mendapatkan simpati dan dukungan. Banyak spekulasi yang menyebutkan bahwa Puan sangat tendensius. Mendiskriditkan masyarakat Minang tak mendukung negara Pancasila. Ssumsi kita mungkin karena kemarahan PDIP yang tidak sama sekali memperoleh kursi di DPR dari Sumbar. Barangkali ini adalah bentuk ekspresi keputus-asaan PDIP, karena gagal menyakinkan pemilih Minang. Termasuk Presiden Jokowi yang tidak cukup berhasil mendapatkan insentif elektoral dari pemilih Minang pada Pilpres 2019 lalu. Sulitnya PDIP menaklukkan Sumatera Barat, kemudian dengan enteng menyerang Sumbar agar diharapkan mendukung Negara Pancasila. Namun justru langkah ini kontra produktif dengan tujuan politik yang ingin diraih oleh PDIP. Kalau mau dapat dukungan, meraih simpati, bukan malah mencari-cari masalah yang malah membuat orang antipati. Puan nampak kurang baca sejarah. Kering dan dangkal pikirannnya membaca kontribusi orang Minang mendirikan Republik Indonesia. Yang punya pancasila itu bukan Soekarno saja. Bahkan konsep, ide, dan draf naskah Pancasila yang buat adalah founding father yang dalamnya banyak putra Minang. Itu fakta. Beliau mungkin lupa atau pura-pura lupa yang namanya Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Muhammad Hatta dan lain lain, masih banyak lagi adalah putra MInang. Mereka adalah orang Minang hebat yang menjadi tulang punggung merumuskan naskah Pancasila, dan menjadi penopang utama berdirinya NKRI. Bahkan yang memproklamirkan Pendirian Republik Indonesia bersama Soekarno adalah putra Minang, Bung Hatta. Kitapun hakul yakin, kalau pun nanti ada partai yang mau mengubah Pancasila, tetap saja orang Minang yang akan berdiri di garda terdepan, dan pasang badan all out dalam membela Pancasila. Mbak Puan sayang, nggak perlu meragukan jiwa Pancasilais orang minang. Jangan sampai Puan memercik air didulang, kepercik wajah sendiri. Kita justru curiga ada partai yang mau mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Partai mana yang membuat draf dan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Trisila dan Ekasila? Silahkan dijawab sendiri. Jangan sampai tak rasional dan jernih berfikir hanya karena PDIP Sumbar nggak punya kursi di DPR. Lalu enak betul bilang Sumbar ngak mendukung Pancasila. Jangan sampai begitu. Jangan bersumbu pendek kaya anak TK, kekanak-kanakan. Sudah Ketua DPR, jangan cengeng jadi politisi. Model Pancasila macam apa yang mereka pertontonkan? Curiga terus-menerus sesama anak bangsa? Politik pecah-belah semacam ini adalah karakter yang kurang pas. Statmen Puan dalam momentum jelang pilkada ini, jelas merugikan pasangan Mulyadi- Ali Mukhni yang diusung koalisi partai Demokrat, PAN dan PDIP sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumbar. Kerja keras pasangan kandidat selama ini bisa buyar akibat pernyataan blunder ini. Pasangan ini akan berpotensi menuai sentimen negatif dan resistensi pemilih orang Minang yang tinggi. Pasangan ini berpotensi besar ditinggal pemilih yang kecewa, hanya gara-gara dukungan partai yang pimpinannya membuat pernyataan ngawur dan semborono. Penulis adalah Direktur Esksekutif Voxpol Center Research and Consulting.

Tak Perlu Diluruskan, Memang Begitulah Puan Melihat Orang Minang

by Asyari Usman Medan FNN- Senin (07/09). Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlulah diolah-olah lagi supaya kembali menjadi nasi. Percuma saja. Toh di mata Puan, orang Minang tidak menerapkan Pancasila. Itulah thesis asli Puan Maharani tentang orang Minang yang selama ini kosisten menolak PDIP. Itulah pandangan Puan. Begitulah yang ada di pikiran dia. Jadi, tidak perlu diusahakan untuk memoles-moles ucapan asli tersebut. Biarkan saja. Puan mengatakan, “…Semoga Sumbar mendukung negara Pancasila”. Mau ditafsirkan oleh ahli bahasa mana pun, kalimat ini mengandung arti tunggal bahwa orang Minang tidak berpancasila. Untuk apalagi dilurus-luruskan. Ditafsir-tafsirkan. Memang itulah yang dimaksudkan Puan. Dan harap diingat. Puan mengucapkan itu dalam konteks yang khusus. Yaitu, ketika dia memberikan sambutan melepas para calon kepala daerah dari PDIP untuk pilkada 2020 di Sumatera Barat (Sumbar). Dari sini, sangat “valid” disimpulkan bahwa, bagi Puan, hanya orang PDIP-lah yang memahami dan menerapkan Pancasila. Orang lain tidak. Apalagi orang Sumbar. Padahal, kalau dicermati langkah-langkah PDIP untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila, jelas sekali bahwa Partai Banteng ini sudah lama ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Yaitu, sila yang paling kental mewarnai sikap dan tindak-tanduk orang Minang selama ini. Sekarang, orang-orang PDIP sibuk menukangi ucapan Puan yang sangat berbisa tersebut. Mereka mencari-carikan alasan, mengklarifikasi, dan sebagainya. Sia-sia saja hasilnya. Damage has been done. Sudah terlanjur perasaan orang Minang luka parah. Semakin berusaha untuk dilurus-luruskan, bertambah meruyak nanti luka perasaan itu. Lebih baik Puan tampil ke depan. Minta maaf secara terbuka. Akui saja kesilapan. Selesai barang itu. Perkara nanti orang Minang melestarikan thesis Puan itu, apa boleh buat. Itulah risiko PDIP mencurigai orang lain. Itulah akibat keinginan pimpinan PDIP agar partai mereka itu unggul di mana-mana. Termasuk di Sumatera Barat (Sumbar). Keinginan itu menyebabkan pimpinan Banteng menganggap orang Minang yang tidak menerima PDIP sebagai musuh. Tidak hanya musuh partai, tetapi sekaligus mereka anggap sebagai musuh negara. Musuh negara itu antara lain adalah orang-orang yang tidak berpancasila. Cocok dengan ucapan Puan. Tidak ada salahnya orang PDIP ramai-ramai turun tangan untuk menyelamatkan Puan. Boleh-boleh saja barisan politisi senior PDIP mencoba meluruskan ucapan Puan itu. Silakan saja. Cuma, semakin Anda belok-belokkan peristiwa naas ini ke mana-mana, akan semakin parah. Anda terlihat arogan. Angkuh. Tidak mau meminta maaf. Merasa diri sempurna. Bisa juga nanti publik melihat PDIP sok kuasa. Mentang-mentang lagi punya kekuasaan besar. Seenaknya saja terhadap orang lain yang tidak mendukung PDIP. Kalu Anda tetap merasa tak bersalah, merasa Puan tidak melukai orang Minang, terserah saja. Tidak ada masalah. Sebab, catatan sejarah tentang peranan orang Minang cukup lengkap. Tak bisa dihapus. Mereka ikut merumuskan Pancasila, mereka mengamalkan dan merawatnya.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Sensasi Bersepeda di Tol Layang Bersama Anies Baswedan

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (29/08). Bank BTN pernah melakukan survei usia pegawai di tiga wilayah, yaitu Jakarta, Bandung dan Jogja. Hasilnya, pegawai di Jakarta usia rata-ratanya lebih pendek dari pegawai di Bandung. Pegawai di Bandung usia rata-ratanya lebih pendek dari pegawai di Jogja. Apa penyebab utamanya? Polusi dan stres. Jakarta padat kendaraan. Itu sudah dari jaman dulu. Namanya juga kota metropolitan. Polusi, itu juga pasti. Macet, nggak dapat dihindari. Inilah yang membuat penduduk Jakarta stres. Ditambah pandemi dan sulitnya ekonomi. Nggak perlu dicari siapa yang salah. Yang diperlukan adalah solusi. Polusi dan macet di Jakarta hanya bisa diminimalisir dengan mengurangi jumlah kendaraan. Caranya? Batasi penjualan kendaraan, nggak mungkin. Naikin pajak progresif, gagal. Terus? Setidaknya tiga hal yang dilakukan Pemprov DKI. Pertama, beralih ke transportasi umum. Ada LRT/ MRT dan bus way. Fasilitasnya makin baik dan kapasitas makin memadai. Kedua, memberlakukan ganjil genap. Wacananya akan diberlakukan 24 jam. Sedang dalam penelitian. Ketiga, ganti kendaraan bermotor dengan sepeda. Poin ketiga ini jadi terobosan baru gubernur DKI. Butuh waktu dan strategi jitu untuk mengajak masyarakat Jakarta bersepeda. Sebab, tak mudah merubah maindset dan perilaku masyarakat yang selama ini sangat bergantung pada kendaraan bermotor. Masyarakat Jakarta khususnya, dan masyarakat perkotaan pada umumnya, terbiasa punya pola hidup berkendara. Jarak 50 meter saja pakai motor. Ogah jalan kaki, apalagi naik sepeda. Nah, program bersepeda dihadapkan pada masyarakat yang maniak berkendara motor seperti itu. Perlu terus melakukan penyadaran akan pentingnya mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor. Beralih ke kendaraan umum, sepeda atau jalan kaki. Untuk itu, Pemprov DKI telah memperlebar trotoar untuk kenyamanan pejalan kaki. Juga jalur sepeda agar masyarakat beralih menggunakan sepeda. Sepeda dalam konteks ini sebagai alat transportasi. Bukan sebagai life style. Jadi, nggak perlu sepeda balap atau sepeda yang mahal. Semua sepeda bisa jadi alat transportasi. Yang penting bisa jalan normal dan dilengkapi tempat untuk menaruh keperluan kerja, semacam tas atau sejenisnya. Termasuk jas hujan. Bersepeda bukan saja kepentingan personal, tetapi juga kebutuhan sosial. Secara personal, bersepeda itu sehat dan ekonomis. Secara sosial, semakin banyak orang bersepeda maka Jakarta akan berkurang polusi dan tingkat kemacetannya. Tidakkah kakek kita zaman dulu dan orang tua kita di kampung masih mengandalkan sepeda sebagai alat transportasinya. Mereka nggak perlu stres karena terjebak macet atau kena polusi. Rata-rata usia mereka lebih panjang dari kita yang hidup di perkotaan. Ini adalah warisan nenek moyang dan kearifan nasional. Kenapa tidak kita jaga? Bukan berarti gak boleh berkendara motor. Jangan berpikir naif dan pura-pura begolah. Nggak baik untuk kesehatan otak anda. Di tengah masyarakat yang sudah sangat tergantung pada kendaraan pribadi, terutama motor, maka kampanye bersepeda perlu lebih dimasifkan. Gagasan Anies Baswedan, Gubernur DKI untuk membuat event bersepeda di jalan tol layang Kebun Nanas (Cawang)-Tanjung Priok layak diapresiasi sebagai upaya sosialisasi bersepeda. Secara tidak langsung, ini pesan, ajakan dan iklan bersepeda. Pada Minggu pagi jam 06.00-09.00 tidak pernah ada kemacaten di jalur bawah tol Cawang-Tanjung Priok. Mobil bisa lewat bawah tol. Biarkan ribuan, bahkan puluhan hingga ratusan ribu anak Jakarta bersepeda di atas tol, sambil manyaksikan kotanya dari ketinggian dengan sinar matahari terang yang baru terbit dari arah timur. Apakah aman? Sepeda tidak bercampur dengan mobil. Tol pada jam dan hari itu hanya untuk sepeda. Tidak ada mobil di jalur tol tersebut. Mobil lewat jalur bawah tanpa risiko kemacetan Itu cari sensasi! Pasti. Bersepeda di jalan layang tol dengan view dan panorama kota Jakarta, ini sensasional. Bagi pribadi yang tidak punya mobil, menyaksikan kota Jakarta dari atas jalan layang sepanjang tol adalah kemustahilan. Kita sering tak sadar bahwa ada banyak warga yang tak pernah mampu berada di atas jalan layang tol. Sesekali mereka diberi kesempatan, apa salahnya? Anda perlu paham, bahwa iklan itu memang perlu sensasi. Kalau nggak sensasional, cenderung nggak dapat perhatian masyarakat. Ini penting untuk menyentuh alam sadar masyarakat betapa beralih transportasi ke sepeda di Jakarta sudah sangat dibutuhkan. Ini bukan hanya kepentingan personal, tapi sudah menjadi kebutuhan sosial. Makin banyak yang beralih transportasi ke sepeda, ini akan mengurangi polusi dan macet, yang secara otomatis akan mengurangi stres masyarakat Jakarta. Masyarakat yang stres usia rata-ratanya lebih pendek. Mau usia panjang? Mulailah memikirkan untuk beralih transportasi ke sepeda. Inilah pesan yang perlu anda tangkap dari setiap event bersepeda. Termasuk bersepeda di jalan tol layang Cawang-Tanjung Priok. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Wajah Muram Maluku Setelah 75 Tahun Kemerdekaan

by Apriliska Lattu Titahena Jakarta FNN – Kamis (2/008). Sejarah tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak dapat terlepas dari peran provinsi Maluku. Apalagi Maluku adalah satu diantara delapan provinsi yang pertama kali memerdekakan negeri ini. Kalau diibartkan perusahaan, maka Maluku adalah pemegang pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdiri 17 Agustus 1945. Dalam keputusan sidang II Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi. Delapan provinsi itu adalah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil (Nusa Tenggara dan Bali), Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Catatan penting ini mengingatkan kita bahwa Maluku merupakan salah satu dari delapan provinsi yang mendirikan Republik Indonesia. Maluku ada bersama-sama dengan Indonesia sejak awal kemerdekaan. Tapatnya diakui tepat dua hari pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut. Bakaitan dengan itu, Provinsi Maluku pun telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor 13 tahun 2005 tentang penetapan 19 Agustus sebagai peringatan HUT provinsi Maluku. Untuk itu, sebagai salah satu provinsi pendiri negara, Maluku bukanlah provinsi yang masih muda lagi. Provinsi ini sudah ada sejak 75 tahun silam. Peranan penting Maluku pasca kemerdekaan harusnya jangan didustai oleh pemerintah pusat. Jangan dianggap seperti tidak. Jangan juga dilirik dengan sebelah mata. Mengapa demikian? Hari ini, 19 Agustus 1945, atau 75 tahun Maluku menyatakan diri sebagai bagian penting dan strategis dari negeri ini. Sebuah pengakuan dan sikap rakyat Maluku, yang jangan dianggap biasa-biasa saja. Sebagai bagian dari negera ini, dan ikut mendirikan bangsa ini, masyarakat Maluku sangatlah serius mengikuti dinamika kebersamaan selama 75 tahun. Juga mencermati dengan serius perlakukan pemerintah pusat kepada Maluku selama ini. Namun, kenyataan pahit selalu dirasakan oleh Maluku. Nyata-nyata sangat meraskan kalau Maluku dianaktirikan oleh pemerintah Pusat. Maluku yang terkenal dengan sebutan “Negeri Seribu Pulau” punya potensi sumber daya alam melimpah dan kaya raya. Namun selama ini tak dikelolah dengan optimal. Realitas ini membuktikan bahwa Maluku dimiskinkan secara tidak terhormat dan terstruktur. Padahal kekayaan alam Maluku yang melipah seperti cengkih-pala yang dikenal dengan sebutan “buah-buah emas hijau” sudah lama diperdagangkan dipasar dunia, sejak berabad-abad yan lalu. Belakngan ditemukan sumber tertulis Romawi dari Plinius Major pada 75 Masehi yang mengatakan bahwa, cengkeh sudah dikenal pada awal abad Masehi. Berkaca dari pengalaman masa lalu tersebut, Maluku sebagai daerah penghasil rempah terbaik menjadikan Maluku sangat kaya. Lalu bagaimana bisa nasib Maluku pasca kemerdekaan Indonesia pada usia 75 tahun ini? Sekarang tercatat sebagai provinsi termiskin ke empat setelah Papua, Papua Barat dan NTT. Tragis sekelai. Daerah kaya, namun miskin. Selain itu, potensi sumber daya alam Maluku yang mampu memperkaya negara pun sangat besar. Ada sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya yang berada pada ruang wilayah darat dan laut Maluku. Potensi perikanan Maluku adalah terbesar nomor empat di dunia. Nomor sastu adalah Bearing, nomor dua Alaska dan nomor tiga Skandinavia. Kekayaan laut bukan saja perikanan. Juga enargi gas alam cair yang sangat besar. Semua kekayaan alam di kawasan luat Maluku identik dengan perairan yang ini yang mampu menjadi jaminan kekayaan sebuah bangsa dan negarta. Ada solusi yang dapat ditawarkan ketika membaca potensi dan isu strategis yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) wilayah berbasis kepulauan ini. Untuk itu, sebaiknya ke depan kebijakan pembangunan lebih berorientasi pada laut. Lebih banyak melihat produksi kawasan kepulauan, namun tetap memadukan orientasi pembangunan kedarat secara berimbang (balance). Tentunya negara harus hadir untuk menjawab arah dan tantangan pembangunan provinsi Maluku tersebut. Tidak lagi seperti sekarang, yang dilirik dengan sebelah mata. Pemerintah pusat harus segera mewujudkan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Negara harusnya memanfaatkan teritorial provinsi Maluku sebagai jawaban atas pembangunan yang berbasis kepulauan. Bukan hanya kebijakan yang bertumpu pada daratan semata. Berbicara tentang LIN, tentunya ini sudah isu lama. Hanya selama ini terhambat, karena pemerintah pusat tidak memperlihatkan keberpihakan. Apalagi mewujudkan RUU Kepulauan. Padahal Blok Gas Abadi Masela, tambang emas di Pulau Buru dan Romang serta potneis kekayaan Maluku lainnya, sudah sering dijdikan konsumsi masyarakat Maluku sebagai iming-iming pemerintah pusat. Melihat problematika pembangunan yang seperti ini, membuat beta sebagai salah satu aktivis perempuan Maluku bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari mukadimah UUD 1945? Apakah perwujudannya seperti ini bagi kami masyarakat Maluku? Pemerintah pusat harap jangan membuat kebijakan yang menindas kami orang Maluku! Hargai harkat dan martabat kami sebagai bagian dari Indonesia. Yang merupakan bagin penting dari Negara Merdeka. Keberadaan kami Maluku jangan didustai. Kalau hari ini kami harus dipaksa miskin di atas tanah yang kaya, ini adalah pembodohan yang nyata. Pembodohan yang harus kami rasakan di negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini. Harapan beta, negara harus adil untuk Maluku. Negara harusnya tidak lalai dalam menjawab hak-hak konstitusional masyarakat Indonesia yang ada di Maluku. Semoga negara tidak melupakan kutipan Bung Karno, sang Prokalamator bangsa yang mengatakan “Indonesia Tanpa Maluku Bukanlah Indonesia”. Salam dari Maluku untuk Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan.

Merayakan Politik Baku Sayang

by Hariman A. Pattianakotta Jakarta FNN – Senin (10/08). Sebuah idiom manis digulirkan oleh saudara saya Ikhsan Tualeka. Namanya "politik baku sayang". Idiom ini selaras dengan spirit hidup orang basudara. Sesama saudara memang sudah seyogianya saling mencintai. Kami orang Maluku menyebutnya baku sayang. Ketika disandingkan dengan politik, kata baku sayang lalu memberikan spirit yang mencerahkan politik. Membawa pulang politik yang pada hakikatnya, yaitu politik sebagai usaha bersama menghadirkan kebaikan bagi warga polis. Sejak era Yunani kuno, kita memahami politik sebagai tindakan partisipatif warga demi mewujudkan keadilan sebagai virtu atau kebajikan yang diidealkan dan diperjuangkan. Jurgen Habermas dalam konteks demokrasi modern membayangkan politik sebagai proses deliberasi. Demokrasi yang sehat terbangun melalui diskursus yang komunikatif di ruang publik. Proses komunikatif itu mesti bebas dari monopoli kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini tentu mensyaratkan adanya subjek-subjek politik atau warga negara yang tercerahkan. Apabila subjek politik telah tercerahkan, maka sudah barang tentu sikap politiknya akan dituntun oleh virtu. Duntuntun dengan kebajikan untuk menghadirkan bonum commune atau kebaikan bersama. Sampai di situ, seperti yang dikatakan oleh Jong Ambon Johanes Leimena, politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani. Sesungguhnya hari ini, kita membutuhkan politik yang beretika. Politik yang dijiwai oleh spirit baku sayang. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin akan dipandang sloganistik, utopis, dan tidak membumi. Sebab, nyatanya politik itu penuh intrik, sarat fitnah, diwarnai tindakan saling sikut demi syahwat kekuasaan. Realitas buram dunia politik itu tentu tak bisa kita tutupi. banyak politisi yang suka mengumbar janji di saat Pilkada atau Pemilu, tetapi setelah berkuasa menjadi amnesia. Bukan mengusahakan kesejahteraan bersama, tetapi membangun dinasti politik dan empire ekonomi keluarga dan golongan. Dan justru karena realitas buram itulah, kita membutuhkan etika dan spirit baku sayang dalam berpolitik. Politik baku sayang tentu tidak buta terhadap ketidakbenaran dan ketidakadilan. Sebab, kasih sayang itu selalu terarah pada tindakan memanusiakan manusia. Politik baku sayang justru tergerak oleh cinta untuk memutus tali-temali oligarki dengan kejernihan hati. Juga ketajaman pikiran. Politik baku sayang didorong oleh cinta untuk mengatakan kebenaran dengan kelembutan. Politik baku sayang tidak bermaksud membuat keseragaman. Namun hendak membangun ruang bagi perbedaan. Telinga sungguh-sungguh dipakai untuk mendengarkan. Yang penting di sini adalah kesaling-pengertian. Sekalipun berbeda, tetapi kita tetap saudara. Karena itu kita tetap baku sayang. Sampai di sini, tentu kita sangat memerlukan yang namanya kedewasaan. Hari ini saya melihat kedewasaan itu mulai menguncup dalam dinamika diskusi politik Forum Maluku Raya. Diskusi dengan perbedaan pendapat yang tajam tersebut berlangsung selama kurang lebih empat jam pada hari ini (Minggu, 9 Agustus 2020). Namun tetap dalam semangat dan spirit baku sayang yang tinggi dinatara sesama orang basudara. Diskudi ini dihadiri anak-anak Maluku lintas generasi. Ada cendekiawan, jurnalis, politisi, mantan pejabat sampai mahasiswa. Diskusi ini digagas sebagai respons atas realitas ketertinggalan dan ketidakadilan yang terjadi di Maluku Raya, Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Hampir 75 tahun hidup mengindonesia. Tetapi Maluku tak kunjung sejahtera. Padahal, alamnya melimpah dengan kekayaan. Tentu saja, realitas ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan hidup bersama. Kesalahan itu ada di Maluku, dan Jakarta. Sentralisme pemerintahan dengan jargon NKRI harga mati adalah salah satu biang keroknya. Ditambah dengan tata kelola pemerintahan yang masih sarat dengan korupsi baik di pusat dan daerah. Hasilnya, rakyat Maluku pada khususnya terus sengsara. Karena itulah maka Forum Maluku Raya angkat bicara. Tentu, kita harus jujur berkata bahwa Forum ini belum mewakili semua anak Maluku dari Utara, Tenggara, Tengah sampai dengan Selatan tanah air Maluku. Apalagi anak Maluku sedunia. Namun, forum diskusif kemarin sungguh sangat menggembirakan. Berjam-jam katorang bisa bicara begiliran dan saling mendengarkan. Pandangan dan sikap politik juga masih sangat beragam. Bahkan, ada yang terlihat saling berlawanan. Namun, karena katong samua punya spirit untuk salang baku sayang, maka semua dapat dijalani dengan indah dan manis. Akhir yang manis ini menjadi awal yang menggembirakan. Kebenaran tentang keadilan dan keterbelakangan menjadi soal harus dikatakan dan diperjuangkan. Apalagi kalau dijalani dengan sikap yang elegan. Biarlah nurani dan kasih sayang yang berbicara, supaya harapan itu boleh berbuah kenyataan. Apa yang terjadi hari ini tidak lain adalah perayaan politik kasih sayang antar-anak Maluku. Toma dengan kasih sayang, wahai para kapitan-kapitan muda. Medan perjuangan telah terbuka menanti anda. Penulis adalah Pendeta dan Pemerhati Sosial Maluku.

Papua, Maluku Raya Dalam Genggaman Kolonialisme Baru

by M. Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Keinginan untuk “merdeka” oleh banyak orang Papua, juga mulai mengemuka di kalangan orang Maluku. Bila ditelusuri, belakangan ini sejatinya ada kaitannya dengan upaya penyelamatan diri dari kanker ganas prilaku oligarki yang telah melilit Indonesia sejauh ini. Oligarki yang telah menguasai dan mengendalikan hampir semua sendi-sendi tata kelola kekuasaan negara. Oligarki yang dibangun dan dikendalikan oleh sekelompok orang (Baca: Taipan), berkelindan dengan kekuasaan yang korup. Oligarki yang menjadikan Partai Politik sebagai alat untuk membentuk undang-undang sesuai keinginan mereka. Oligarki yang menjadikan ajang demokrasi untuk mengendalikan kekuasaan negara. Contoh paling kasat mata dan telanjang adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) sapu jagad Omnu Bus Law Cipta Kerja. Ada lagi Undang-Undang Minermba yang baru disahkan, dengan masa perpanjangan 90 tahun secara otomatis. Yang paling akhir, terlihat nyata para Oligarki menitipkan kepentingan mereka di Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2/2020. Kasus Djoko Tjandra yang baru-baru ini turut menyeret sejumlah jenderal polisi, merefleksikan betapa buruknya tata kelola pemerintah Indonesia. Tidak kurang tiga institusi negara urusan penegak hukum dan dua Kementerian dilempari mukanya dengan (mohon maaf) kotoran manusia yang biasa dibuang di toilet. Lembaga negara urusan penegakan hukum itu adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, ditambah Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perhubungan. Semua menjadi lima instansi negara. Setelah dilempari lima institusi negara ini dengan kotoran buangan manusia, Djoko Tjandara pun kabur dengan mudah ke luar negeri. Cenrteng-perenang itu bisa dilihat dari implikasi dan kenyataan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia kini menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka ketimpangan ini berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse tahun 2017 lalu. Menempatkan Indonesia berada di peringkat ke empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Ini fakta yang tak bisa ditepis. Itu hanya sedikit diantara persoalan ketoimpangan yang mengemuka. Namun soal-soal lain yang tak kalah lebih mendasar, utamanya persoalan distribusi keadilan, latar sejarah politik hingga praktik diskriminasi paradigma pembangunan yang keliru. Penilaian ini tentu akan disetujui jika mau berangkat dari cara pandang yang berlandaskan hati nurani. Situasi yang mengemuka hari ini sebenarnya adalah puncak dari ketamakan. Selain itu, dinafikannya eksistensi masyarakat lokal dan kepentingan daerah (Timur) Papua dan Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) selama puluhan tahun. Sayangnya, kesempatan emas yang telah diberikan untuk mengelola negara sesuai “kesepakatan” tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa yang telah diberikan amanat oleh rakyat. Lebih lanjut, melihat kondisi eksisting, dengan geopolitik terkahir, justru membuat luka semakin dalam. Kenyataan ini diperparah dengan kadar resistensi masyarakat lokal, serta pola pendekatan politik yang justru salah dan ngawur. Pendekatan yang tidak mengutamakan dan menghidupkan potensi, kekayaan dan kearifan lokal. Pendekatan yang hanya mengandalkan keamanan semata. Untuk itu, Papua layak diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Bisa saja lewat mekanisme referendum yang terbuka dan transparan. Sementara Maluku harus segera diberikan otonomi khusus (Otsus) untuk memperpendek jarak ketertinggalan yang sudah sangat lebar. Sekali lagi, ini demi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Intergrasi wilayah tak berarti apa-apa tanpa ada integrasi sosial. Bahkan yang terjadi hanyalah eksploitasi sumber daya alam, memperkaya segelintir kelompok penguasa dan oligarki tertentu. Sementara anak kandung dari daerah-daerah yang dikuras itu tetap dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Papua dan Maluku Raya hari ini, bila mau jujur adalah potret dari bersemayamnya kolonialisme gaya baru. Praktek kolonialisme yang dibungkus dengan semangat nasionalisme semu. Mendistribusikan dengan telanjang kekayaan daerah untuk kaum oligarki. Namun masyarakat Papu dan Maluku Raya hanya bisa menyaksikan proses kolonialisme semu di depan mata. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Generasi tercerahkan dan pemimpin politik hari ini, terutama dari Indonesia, tak bisa lepas tangan. Tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlangsung tiada akhir. Seperti mengabaikan orang yang sedang sekarat di pembaringan. Namun masih tetap menunda kematiannya. Sementara sejarah akan merekam dan mencatat semuanya. Hari-hari ini, kalau dilihat dengan kacamata kemanusiaan dan kejujuran tingkat dewa, maka akan terbaca dengan jelas. Hampir semua orang Papua asli, menginginkan penentuan nasib sendiri. Jika pun ada yang menolak gagasan ini, bisa jadi hanyalah kelompok kepentingan yang kebetulan sedang mendapat keuntungan dari intergrasi yang ada. Namun hati kecilnya pun ingin turut ambil bagian. Sementara pada sisi yang lain, Indonesia terlihat tidak menunjukan upaya yang penting, strategis dan berarti untuk mengendalikan situasi yang ada. Tidak terlihat ada pendekatan yang prima, relevan, adil, bermartabat dan manusiawi. Tampak hanya pendekatan keamanan semata. Pendekatan yang terus menelan korban manusia, baik itu yang meninggal dunia maupun yang luka-luka. Gagalnya penerapan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua yang hampir 20 tahun terkahir ini, serta pelanggaran HAM yang terus terjadi dan mengiringinya, adalah fakta yang tak terbantahkan. Sejarah peradaban manusia telah membuktikan serta mengajarkan pada kita bahwa melakukan kontrol dengan cara paksa, dan eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam hanya akan berujung pada kegagalan yang tidak bermartabat. Prilaku ketidakadilan pada satu wilayah dan masyarakatnya, pasti akan berakhir dengan sendirinya. Maka pilihannya adalah, apakah hendak diakhiri dengan cara tragis? Penuh dengan pertumpahan darah dan air mata? Seperti yang pernah terjadi di Timor Leste? Begitu juga yang terjadi Bosnia-Herzegovina? Yang kemudian berakhir dengan merdeka lewat satu referendum? Atau melalui referendum dengan cara yang damai seperti di Singapura, yang akhirnya memilih untuk berpisah dari Malaysia tahun 1963. Setelah disintegrasi, masing-masing pihak bisa hidup dengan damai. Hidup secara berdampingan sebagai sahabat bagi yang lain. Bahkan saling mendukung dan menguntungkan. Mungkin pula bisa seperti Skotlandia yang pada tahun 2014 menggelar referendum. Apakah rakyatnya setuju untuk memisahkan diri dari persemakmuran Inggris atau tidak? Ternyata hasilnya kurang dari 50 persen rakyat Skotlandia yang menginginkan merdeka. Sementara masih lebih banyak rakyat Skotlandia menginginkan berada di bawah naungan Ratu Elizabeth. Itu adalah pilihan politik yang dapat diambil, dan sejumlah konsekuensi politik yang bakal mengikutinya. Referendum dalam pelaksanaannya, tidak mesti hasilnya adalah berpisah atau disintegrasi. Ada pula yang tetap memilih inklud. Pastinya ini adalah cara yang paling damai. Karena menyerahkan sepenuhnya satu entitas bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Memang akan sulit, mengingat kekayaan Papuan yang besar. Tentu saja sangat berat bagi Indonesia, bila harus membuka ruang untuk melepas Papua begitu saja. Tetapi ini adalah pilihan yang jauh lebih menusiawi, efektif dan efisien daripada moncong senapan dan angkatan perang. Moncong senapan hanya mempetaruhkan nyawa, serta menjadi catatan sejarah yang buruk dan hitam. Menjelang hari kemerdekaan Nergara Republik Indonesia, sepertinya kita perlu sama-sama membaca dan merenungi kembali kutipan indah dalam pembukaan UUD 1945, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Atau kita perlu pula merenungi paham nasionalisme yang dikembangkan Soekarno, yakni nasionalisme yang mencerminkan sikap anti terhadap kolonialisme dan imperalisme. Nasionalisme yang berdasarkan pada atau lahir dari menselijkheid. “Nasionalismeku adalah perikemanusiaan”, kata Soekarno mengutip pendapat Gandhi. Pandangan yang mengajarkan pada kita bawah nasionalisme seberapa pun tingginya, harus tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan. Itu artinya kemanusiaan dan memanusiakan manusia, termasuk terhadap orang Papua, juga orang Maluku Raya, jauh lebih penting dari agenda apapun, temasuk dari proyek nasionalisme ala Indonesia itu sendiri. Satu hal yang perlu menjadi catatan bersama, sebagai penutup sudut pandang ini. Bahkan bila perlu digarusbawahi dengan tinta merah adalah "bahwa kemerdekaan dan keadilan, dimanapun itu harus tetap diperjuangkan. Tidak bisa menunggu untuk diberikan. Apalagi menunggu diberikan oleh oligarki dan kolonislisme gaya baru". Pilihannya hanya dua. Diam itu tertindas, atau bangkit dan melawan sebagai pilihan. Saatnya bagi generasi hari ini untuk menuliskan catatan dan penggalan sejarahnya sendiri. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC).