DAERAH

Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-2)

by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Rabu (01/11). Kebijakan pengembangan wilayah dalam upaya memotong rentang kendali di Papua dimulai dengan pembagian wilayah administratif (funsional region). Itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1996 Tentang Pemekaran Provinsi Papua. Papua pun dibagi menjadi Papua, Papua Barat dan Papua Tengah. Sampai saat ini baru terealisasi penambahan 1 (satu) propinsi, yaitu Papua Barat. Padahal selain membagi Papua dalam tipologi, pembagian wilayah juga diikuti dengan kelahiran UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Lahirnya regulasi itu sebagai atribusi kebijakan merespons tuntutan perhatian pemerintah terhadap persoalan sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Papua. Paling tidak, ada lima sasaran utamanya. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur dan afirmasi. Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dinyatakan tegas dalam Pasal 33 ayat 3 huruf C, bahwa dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan oleh pemerintah dan DPR didasarkan pada usulan provinsi pada setiap tahun anggaran. Dana tambahan itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 huruf f menyebutkan, pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam dua puluh lima tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas. Dengan demikian, Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik, serta menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Kita perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras atau boleh disebut kerja cerdas pemerintah dengan cap Nawacita. Ada empat agenda yang berkaitan langsung dengan tujuan pembangunan infrastruktur jalan yaitu agenda 3,5,6 dan 7. Agenda tiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Agenda lima meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Agenda enam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Agenda tujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Indikator capaian terhubungnya Propinsi Papua Barat dengan Propinsi Papua menjadi parameter output yang memastikan implementasi amanat Otsus tercapai. Lalu, apakah trans Papua efektif mendorong pergerakan arus orang. Juga pergerakan barang dan jasa sebagai penggerak utama (prime mover) terhadap multiplier effect yang akan dinikmati oleh penduduk Papua? Perlu dicermati. Keberadaan jalan pastilah dinikmati penduduk, terutama yang selama ini terisolasi. Setidaknya, waktu perjalanan bisa lebih cepat. Biaya angkut lebih murah. Volume angkut bertambah, dan akan berujung pada penungkatan mobilitas. Itu berarti, pembangunan jalan seharusnya mampu menjawab pertanyaan esensialnya. Jalan di bangun untuk apa dan bagi siapa? Indikator keberhasilan pembangunan jalan tidaklah cukup diukur dengan output melalui tersedianya atau terbangunnya jalan (performance indicator). Tetapi, seharusnya pada apakah jalan itu memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna? Memberi dampak terhadap persoalan pembangunan manusia, terutama kesejahteraan (substantive goals). Laba jangka panjang dari sebuah investasi pemerintah. Trans-Papua Jumlah pengguna jalan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin sudah lebih dari cukup. Tetapi bagaimana rasanya menggunakan jalan bagi mereka yang berada di pegunungan Papua? Yang membikin Janiver Manalu terenyuh? Dengan mencoba mengurai pertanyaan semacam itu, maka kita bersepakat bahwa jalan merupakan salah satu prasarana yang vital. Jalan sebagai upaya meningkatkan pembangunan wilayah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Tersedianya jaringan jalan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Bibangun pada lokasi yang tepat, akan mampu meningkatkan aksesibilitas penduduk di wilayah yang bersangkutan terhadap prasarana dan sarana dasar, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan. Anak-anak genereasi pewaris masa depan bisa bersekolah dengan baik. Terutama orang tua mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila sakit, penduduk dapat dengan mudah menjangkau fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia. Maka, aksesibilitas yang baik, akan mengurangi biaya transportasi. Sehingga produk-produk yang dihasilkan penduduk perdesaan, khususnya komoditas pertanian memiliki daya saing yang cukup baik. Sebaliknya, keterbatasan jaringan jalan akan menyebabkan keterisolasian. Sehingga menghambat penduduk untuk keluar dari berbagai persoalan pembangunan, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta tingginya kemiskinan. Kalau boleh kami bercerita lagi. Gambaran teknis dari cerita Janiver juga kami dengar dari Ir. Osman H Marbun M.MT. yang menjabat Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII-Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga-Kementerian Pekerjaan Umum dan Parumahan Rakyat (PUPR), tentang Trans-Papua. “Rencana pembangunan jalan Trans-Papua termasuk Papua Barat, yang panjangnya 4.330 kilometer (km), sudah 95% selesai. Tinggal 154 kilometer lagi di tahun 2019 kita tangani. Itu berada di 10 segmen untuk Papua, dan dua segmen di Papua Barat,” jelas Osman. Suatu sore sepulang ngobrol dengan Omah Laduani Lasamai, Kepala Badan Litbang Provinsi Papua, kami duduk ngemper di lantai teras hotel. Terngiang pernyataannya, bahwa, infrastruktur di Papua adalah yang harus berbasis kearifan lokal. Baik alam maupun sosial budaya. “Kebutuhan paling mendesak orang Papua saat ini adalah kemandirian dan kesejahteraan. Jadi, masalah yang harus lebih didalami adalah kesejahteraan yang bisa didapat dari menggarap potensi kearifan lokal.” Pernyataan Laduani seperti menepuk bahu kami yang memikul pernyataan Kuahaty bahwa, infrastruktur jalan di Papua secara sempit musti memprioritaskan komunitas dan komuditas. Bahkan kini saatnya orang Papua memindahkan komuditas dari bahu ke mobil. Karena secara luas, kita masih melihat wilayah-wilayah dengan jaringan jalan yang terbatas. Ditandai dengan kondisi permukaan jalan yang buruk. Jembatan yang sempit, atau banyak belokan tajam, dan curam. Inilah bukti bahwa gagasan dan praktek memang kadang memiliki tenaga dan keterbatasan sendiri-sendiri. (bersambung).

Pemimpin Yang Berintegritas

by Shamsi Ali New York City FNN – Selasa (27/10). Di musim politik dan Pilkada seperti ini, tentunya masyarakat atau umat lagi-lagi diperhadapkan kepada kenyataan-kenyataan yang terkadang membingunkan. Tentu salah satunya adalah bingung dalam menentukan pilihan pada Pilkada tersbut. Dalam menentukan pilihan, terkadang memang tidak sederhana. Akan banyak sekali pertimbangan yang terlibat. Dari pertimbangan kedekatan (keluarga dan teman), kemampuan, Ilmu, karakter, agama, hingga kepada faktor uang. Saya menilai pertimbangan-pertimbangan itu sah-sah saja. Tapi pastinya ada pertimbangan yang seharusnya menjadi “flatform” atau dasar pilihan yang bersifat universal. Artinya, harus ada pertimbangan dasar yang menjadi alasan utama dalam menentukan pilihan. Salah satu pertimbangan utama dalam menentukan pilihan adalah agama dan karakter kandidat. Agama menjadi penting karena diharapkan seorang pejabat akan lebih amanah. Dengan agama pastinya seorang pejabat akan memiliki rasa tanggung jawa (sense of responsibility). Tidak saja secara duniawi (kepada rakyat ya). Tetapi lebih dari itu, tanggung jawab ukhrawi kepada Rabbnya di akhirat kelak. Agama seseorang itu dalam konotasi sosial, termasuk kepemimpinannya, akan terbentuk dalam wujud “karakter kemanusiaan”. Agamanya akan terbaca dalam prilaku dan integritasnya. Pemimpin yang beragama secara benar, tidak akan menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai mainan politik. Di saat musim kampanye serta merta menjadi “so religious” (nampak seperti beragama). Dari ragam kegiatan keagamaan, hingga kepada penampilan lahirnya menjadi nampak sangat beragama. Pemimpin yang beragama justeru akan menampakkan nilai-nilai agama itu dalam menjalankan kampanye politiknya. Bahwa dia tidak akan membangun kekuatan politiknya di atas dasar keuangan yang maha kuasa. Sehingga dia tidak akan membeli suara. Jika memang punya uang, maka uang itu akan dipergunakan dalam bentuk “programming” yang bersifat sosial dan manfaat umum. Bukan membeli suara melalui apa yang dikenal di negeri ini dengan “serangan fajar”. Pemimpin yang beragama juga mengedepankan pertarungan visi/misi dan program, ketimbang faktor lain dalam laga politiknya. Bahwa sebuah perhelatan politik memang memerlukan duit. Tetapi pemimpin yang berintegritas (berakhlak) akan selalu meraih hati masyarakat melalui visi/misi dan programnya. Tentu pemimpin beragama juga adalah pemimpin yang memiliki prilaku yang mulia. Pemimpin yang tetap “tawadhu” dan menjalin komunikasi dan silaturrahim dengan siapa saja tanpa memandang status sosialnya. Bukan ramah di saat kampanye. Tetapi berubah total di saat telah menjabat. Pemimpin beragama juga menjaga nilai-nilai moralitas dalam hidupnya. Maka dia akan menjauhi segala yang dilarang agama. Apapun itu, dari berbohong kepada rakyatnya, minum khamar, berjudi dan melakukan penyelewengan dalam hal kehidupan intimnya. Jika seorang calon itu dikenal memang sering ke Macau atau Singapura untuk berjudi jangan harapan akan mampu menjadi pemimpin yang berketauladadan bagi masyarakatnya. Sementara ketauladanan akan menentukan wajah masyarakat di masa depan. Disinilah kemudian masyarakat (pemilih) harus jeli membaca atau mencari tahu siapa pemimpin yang akan dipilihnya. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berdampak tidak saja lima tahun dalam kepemimpinannya. Tetapi boleh jadi berimbas ke dalam kehidupan yang lebih jauh lagi ke depan. Silahkan memilih teman, kerabat, bahkan saudara. Tetapi hendaknya pertemanan, kekeluargaan dan persaudaraan tidak menjadi pertimbangan yang menentukan. Karena tidak menutup kemungkinan saudara yang dipilih, namun tidak berintegritas itu justeru mencampakkan kepentingan masyarakat umum, bahkan teman dan keluarga yang memilihnya. Saya justeru khawatir, jangan-jangan menjatuhkan pilihan berdasarkan pertemanan dan kekeluargaan itu justeru menjadi bagian dari bentuk “nepotisme” tanpa disadari. Sebuah prilaku menyeleweng yang hina dalam kehidupan publik. Lebih runyam lagi disaat pilihan itu, ternyata didasarkan kepada kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Mendukung kandidat tertentu karena sebuah harapan untuk mendapat proyek tertentu pula. Atau dalam bahasa pinggir jalan, “ada kerupuk di balik rantang”. Penulis adalah Imam di kota New York & Presiden Nusantara Foundation.

Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-1)

by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Senin (19/10). Tanggal 19 Desember 2018, kami menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih, Papua. Malamnya menginap di sebuah hotel, di Abepura. Ini kota kecil saja. Tidak ada beton-beton industri. Apalagi beton yang megah berdiri seperti di kota-kota besar. Sambil menunggu Dr. Janiver Manalu, Dekan Fakultas Teknik Universitas Cendrawasih (Uncen) untuk berbincang-bincang, kami minum kopi panas di restorant hotel kami nginap. Ketika minum kopi itu, iseng-iseng kami berpikir, adakah kami sedang menikmati Papua? Nikmati kopi panasnya, iya! Yang kami pikirkan itu mungkin sedikit menyangkut kelas. Setelah Janiver muncul dan kami berbincang. Terasa kalau kita mau menikmati Papua sambil duduk di warung kecil, di tepian jalan dan memandang keriuhan jalan protokol Abepura. Namun itu mungkin akan terjadi sepuluh atau limabelas tahun lagi. Yang pasti. “Saya pernah terenyuh”, demikian Janiver memulai cerita. “Ketika masyarakat dari pegunungan Papua, pada suatu hari meminta tolong agar jalan bisa dibuka. Mereka bahkan ingin bisa menikmati jalan itu seperti apa? Ingin menikmati jalan seperti saudara-saudara yang lain”. Jalur Emas Selatan Papua Mendengar cerita di atas. Kami langsung ingat sebuah perbincangan lain. Bersama Dr. Ir. Nicolaas E Kuahaty M.Ec.Dev. pemikir dan praktisi kebijakan infrastruktur. Saat mengingatnya, perbincangan itu membantu kami mengenal raksasa komunitas Papua dengan komuditasnya. Terutama yang berada di lahan terbuka NKRI, tetapi tersembunyi di depan mata. Bukan itu saja. Dari timbunan data dan informasi tentang bagaimana, dan ke arah mana Papua dibangun? Kuahaty secara analisis langsung memotong rute perbincangan dengan menyatakan bahwa pengembangann Papua idealnya dimulai dari selatan. Mengapa? “Wilayah selatan adalah wilayah terdekat sisi jarak dari Pulau Jawa. Kita tahu, barang-barang kebutuhan pokok termasuk bahan bangunan masih didatangkan dari Jawa. Rasionalitas jarak memiliki korelasi positif terhadap biaya, sehingga jarak terpendek akan berpengaruh pada pergerakan atau mobilitas.” Lalu, pernyataan berikutnya yang mengikuti analisa di atas berbuyi, “Selain itu, wilayah selatan Papua memiliki beberapa pusat kawasan stategis nasional dalam pembangunan yang berbasis pada Wilayah Pengembangan Strategis (WPS). Ini merupakan suatu pendekatan pembangunan yang memadukan wilayah dengan market driven yang tidak mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan”. Menurut Kuahaty, Pembangunan berbasis WPS fokus pada pengembangan infrastruktur menuju wilayah strategis. Ini mendukung percepatan pertumbuhan kawasan-kawasan di WPS, serta mengurangi disparitas antar kawasan di dalam WPS yakni Sorong, PKN Bintuni, PKN Mimika dan PKN Merauke. Penetapan pusat kawasan nasional adalah untuk mendukung beberapa industri strategis atau objek vital nasional. Misaslnya Industri Minyak Petrochina di Kab Sorong, Industri Gas BP Tangguh di Kab Bintuni, Industri Tambang Tembaga dan Emas PT Freeport Indonesia di Kab Mimika, dan Industri MIFEE di Kab Merauke. Jatuhnya, kata Kuahaty adalah “jalur jalan yang menghubungkan Sorong, Teluk Bintuni, Mimika, Yahukimo dan berakhir di Merauke.” Jadi, bila pemerintah mendorong konektivitas selatan Papua, maka akan terjadi sebuah pergerakan pertumbuhan linear yang cepat terhadap transportasi orang barang dan jasa. Hal ini signifikan dipengaruhi oleh adanya interaksi keuangan yang tinggi. Kita tahu, transportasi manusia atau barang bukanlah tujuan akhir. Makanya itu, permintaan akan jasa transportasi dapat disebut sebagai permintaan turunan (derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditas atau jasa lainnya. Beberapa perubahan yang merupakan manfaat dari konektivitas selatan Papua adalah akan memberikan akses yang lebih mudah bagi tenaga kerja, terutama orang asli Papua untuk melakukan pilihan yang lebih rasional terhadap peluang kerja pada industri yang ada. Kemudian, akan mendorong bertumbuhnya jalur distribusi pangan untuk industri yang di supply dari kawasan belakang yang memiliki lahan potensial pertanian dan perkebunan. Selanjutnya, terciptanya hilirisasi industri melalui pembangunan peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery). Sementara pemanfaatan sisa produksi Migas dan Tambang dapat memenuhi kebutuhan pupuk untuk pengembangan kawasan pangan andalan di Merauke melalui MIFEE. Bahkan sisa pasir tambang (sirsat) PT.Freeport Indonesia dapat dijadikan bahan dasar pembuatan semen. “Pengembangan industri hilir,” kata Kuahaty, “pada intinya adalah untuk memastikan terciptanya rantai nilai ekonomi (value chained of economics). Sebab pada akhirnya, the last but not least, jalur tersebut akan memberikan efek perpindahan dengan daya beli yang tinggi. Nanti untuk jangka panjang, dampaknya adalah, meningkatnya daya saing daerah. Yang diperlihatkan dengan menurunya angka kemiskinan. Daya serap tenaga kerja tinggi, Pertumbuhan ekonomi yang stabil. Ketimpangan (gini ratio) berada pada distribusi pendapatan merata. Tentu akan berujung pada Papua Mandiri, yakni menjadi tuan di negeri sendiri. Sebuah harapan dalam konsep membangun jalur emas di selatan Papua. Selanjutnya, sebagai sebuah alternatif dalam menggagas kebijakan pembangunan transportasi rel kereta api. Jalur ini dapat dipertimbangkan mengingat posisi staretigis dalam mendorong pembangunan inklusif di Papua. (bersambung). Penulis adalah Wartwan Senior FNN.co.id.

Jenguk Para Korban, Anies Tunjukkan Leadershipnya

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (16/10). Demo ricuh. Terjadi baku hantam aparat dan demonstran. Ada kelompok ketiga yang diduga berperan sebagai pemicu kerusuhan. Memprovokasi agar aparat dan demonstran berhadap-hadapan. Terlihat dalam video yang beredar, terjadi tindakan anarkis sejumlah pihak. Fasilitas umum dirusak, termasuk milik Pemprov DKI Jakarta. Entah oleh siapa yang melakukan pengrusakan tersebut. Yang pasti, bukan para demonstran. Ada tangan-tangan jahil yang memanfaatkan ketulusan dan perjuangan para pelajar, mahasiswa dan buruh dalam demo UU Ciptaker itu. Anies hadir di tengah ketegangan itu. Lewat tengah malam, Anies datang dan berada di tengah para demonstran. Mendengarkan semua aspirasi mereka. Kehadiran Anies berhasil untuk meredam gejolak para pendemo. Menampung aspirasi dan menenangkan para demonstran. Hingga mereka pulang dengan lega dan tenang. Esoknya, dan juga hari-hari berikutnya, terjadi lagi demonstrasi. Tak berhenti, dan terus bergelombang. Bahkan hingga hari ini. Sebab, tuntutan mahasiswa, buruh, ormas Islam dan elemen umat untuk membatalkan UU Ciptaker belum dipenuhi. Beberapa demonstrasi telah memakan banyak korban. Terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan rumah warga, diantaranya di Kwitang Senen Jakarta Pusat, diserbu aparat. Gas air mata bertebaran di dalam rumah. Ibu-ibu dan anak-anak balita yang tak terlibat dan tak tahu menahu tentang demo ikut jadi sasaran tembak gas air mata itu. Pedih! Perih! Tidak saja terasa di mata, tapi juga di hati. Kantor Pelajar Islam Indonesia (PII) diserbu. Sejumlah kaca pecah dan fasilitas dirusak. Aparat masuk ke dalam kantor dan menangkap sejumlah aktifis. Darah berceceran. Diduga banyak yang terluka. Entah darah itu keluar dari tubuh pelajar, atau bahkan nungkin kepala yang robek. Belum terkonfirmasi berapa ribu persisnya jumlah pelajar dan mahasiswa yang ditangkap. Entah berapa banyak pula yang terluka. Berapa banyak pula yang terkapar di rumah sakit. Ngeri bila kita melihat penganiayaan kepada mereka di berbagai video yang beredar di medosos. Betul-betul ngeri. Nggak bisa membayangkan anak-anak itu ditonjok ramai-ramai, dipukul pakai tongkat dan ditendang sepatu aparat. Yang pasti, itu terjadi di Indonesia. Terjadi pada saat pelajar dan mahasiswa itu sedang demo. Bukan sedang curi tambang dan korupsi uang negara. Tetapi, mereka sedang demo. Situasi agak mencekam. Ada yang bilang sudah pada level 5,5. Kalau level 6, itu artinya dharurat sipil. Kalau level 7, berarti dharurat militer. Itu istilah yang dibuat standarnya oleh aparat. Intinya, sudah lumayan gawat. Di tengah banyak demonstran yang terluka dan kantor yang rusak, Anies, Gubernur DKI Jakarta, hadir. Meninjau kantor PII yang rusak. Anies juga datang ke sejumlah rumah sakit dimana banyak pelajar dan mahasiswa yang terluka. Selain datang ke rumah warga yang ibu dan bayinya terkena gas air mata. Mereka adalah warga DKI. Kejadiannya di wilayah DKI. Dan Anies adalah geburnur dan pemimpin bagi warga DKI. Sudah seharusnya Anies ambil peduli dan menunjukkan empati. Anies ingin memastikan untuk saat ini, mereka baik-baik saja Begitu mestinya seorang pemimpin bertindak dan punya sikap. Silent, nyaris tak ada beritanya. Tanpa kegaduhan kata-kata, dan sepi dari sorot kamera, Anies terus bekerja. Menjalankan tugasnya sebagai pemimpin ibu kota. Sampai disini, Anies "on the track" dengan ungkapannya: "Saya akan jawab semua kritik itu dengan kerja dan karya, bukan dengan kata-kata". Dalam banyak hal, Anies nampak berusaha membuktikan apa yang pernah diungkapannya itu. Seorang pemimpin tidak boleh lari saat warganya berada dalam masalah. Apalagi mereka terluka. Mereka anak-anak muda, pelajar maupun mahasiswa. "Anak muda itu yang punya masa depan. Mereka berhak bicara karena mereka yang rasakan konsekuensi keputusan besar di hari ini", kata Anies. Entah apa yang dirasakan Anies saat melihat kantor anak-anak PII diporak-poranda. Para aktifis pelajar ditangkap aparat di kantor mereka. Sebagian dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Kesedihan dan keprihatinan itu jelas tersirat dalam ungkapan Anies: "Kita ini harus senang kalau ada anak-anak usia sekolah sudah ikut bicara soal-soal negara". Kalimat yang santun, tapi jelas pesannya. "Jika anak-anak bertindak salah, ya diberikan tambahan pendidikan. Bukan malah dihentikan pendidikannya", tegas Anies. Sang Gubernur jelas tak rela jika anak-anak Jakarta kehilangan pendidikannya. Nampak sekali bahwa jiwa pendidik dan leadership telah menyatu dalam diri cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini. Seorang pemimpin tidak hanya harus tahu bagimana menyapa rakyatnya. Tetapi juga harus bisa memahami apa yang dirasakan dan diharapkan oleh rakyatnya. Begitulah seorang pemimpin sejati yang selama ini dinanti dan dirindukan oleh sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Terima Kasih Pak Anies

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (15/10). Selesai naruh mobil di bengkel di kawasan bintaro, saya naik angkot. Kenapa naik angkot, dan nggak naik Grab Car? Alasan ekonomis di masa pandemi. Hehehe… Tepatnya, ingin merasakan suasana sosial yang lebih plural dengan para penumpang angkot yang lain. Sebab di angkot ada sensasi dan inspirasi tersendiri. Sensasi dan inpirasi di angkot ini nggak ditemukan saat naik mobil pribadi atau Crab Car. Bisa duduk di depan, persis samping mas sopir angkot. Terlihat satu persatu penumpang di belakang nyerahin kartu. Oleh sopir kartu itu di tempel di mesin kecil yang ada di depan. Bunyi tiiit. Lalu, kartu itu dikembalikan satu persatu ke para penumpang. Sampai pada giliran ke saya, mas sopir nanya, mana kartunya pak? Kartu apa maksudnya mas? Saya balik nanya. Aku nggak punya kartu angkot, jawabku. Kalau nggak punya kartu, nggak bisa pak. Kata mas sopir. Oh, kalau gitu, aku turun di depan saja. Ketika angkot berhenti, aku tanya lagi sebelum turun. Kalau kartu e-toll bisa nggak? Bisa pak. Mandiri dan lain-lain. Jawab mas sopir itu. Oh, kalau gitu, aku punya kartu e-toll mandiri. Segera aku keluarin dari dompet, dan kartu ditempel di mesin kecil di depan sopir. Ternyata, bisa! Alhamdulillah, ucapku. Aku nggak jadi turun. Mobil jalan lagi. Ini gratis pak. Sudah dua tahun. Mas sopir kasih Info. Seketika, insting investigatorku on. Ada dorongan untuk wawancara ke sopir angkot. Penasaran. Maklum, insting wartawan! Ini betul gratis? Tanyaku lagi. Betul! Nol (0) rupiah bayarnya. Sopir itu menjawab. Aku lihat di mesin, betul. Angka 0. Berarti digaji bulanan ya mas? Tanyaku lagi. Berapa gaji sebulan? Rp. 4,2 juta, katanya. Oh, gaji tetap, nggak dikejar setoran, kerja dengan tenang. Sahutku. Sopir mengangguk. Kutanya sopir lagi, ada berapa jumlah angkot yang gratis di DKI? Dia beri rincian per rute. Hapal betul sopir ini. Anda sopir atau pengusaha angkut? Gumam dalam hatiku. Totalnya, kata si sopir, ada ratusan angkot Jaklinko di DKI. Gratis. Ini luar biasa! Sampai di Lebak bulus aku turun. Semua penumpang, tanpa terkecuali mengucapkan terima kasih ke mas sopir. Gratis, bawa angkotnya santai dan komunikasinya santun. Bagiku, ini bukan hanya soal gaji, angkot dan sopir. Tapi ini soal perilaku. Semua jadi berubah. Dengan gaji tetap, sopir tak lagi kejar setoran. Tak perlu zig zag, tak potong-potong jalan, nggak ngebut dan ngerem mendadak yang bisa membahayakan penumpang dan pemakai jalan yang lain. Mobil terawat, nyaman di jalan, gratis pula. Ada sekitar satu juta warga Jakarta yang menggunakan angkot setiap harinya. Jika semakin banyak warga menggunakan jasa angkot, maka otomatis akan berpengaruh pertama, pada kemacetan. Kemacetan akan sangat berkurang. Jalan mudah dan lempang lagi. Kedua, lebih ekonomis. Gratis, nggak perlu boros bensin. Kalau harus naik bus way atau MRT, murah sekali bayarnya. Sangat terjangkau oleh karyawan dengan gaji rendahan. Ketiga, angkot jadi tempat plural dan heterogen dalam interaksi dan pergaulan. Semua identitas, kebesaran dan status sosial melebur dalam satu lingkungan interaksi. Di tempat publik ini, ego status juga runtuh. Orang nggak kenal direksi, komisaris atau manager. Yang mereka lihat adalah penumpang angkot. Merata dan sama semua orang. Sekali lagi, ini bukan hanya soal angkot yang gratis. Tetapi ini soal pluralitas. Pembauran sosial dan terapi mental yang berefek pada terurainya kemacetan dan juga managemen ekonomi keluarga. Banyak hal positif yang bisa diurai dari program Jaklinko ini. Program Jaklinko DKI sangat baik, proper dan bisa dicopy paste untuk daerah-daerah lain, terutama perkotaan yang padat penduduk dan macet. Terima kasih Mas Sopir. Terima kasih Pak Gubernur DKI Jakarta. Anda telah membuat banyak perubahan di DKI. Tidak hanya perubahan kota, tapi perubahan mental dan perilaku warga Jakarta. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Gibran, Anak "Tuan 92%" Yang Menjadi Kadrun

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (05/10). Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi yang menjadi calon Walikota Solo merasa telah "booming". Apalagi mendapat dukungan dari koalisi mayoritas partai politik. Bahkan partai politik baru tanpa malu-malu juga ikut nimbrung mendukung. Dulu awalnya Gibran sama-sekali tidak terfikir untuk berkompetisi menjadi Kepala Daerah katanya. Mungkin saja karena takut menyulitkan posisi sang ayah yang mengagendakan jabatan politik yang lebih meroket dua periode. Karena keinginan dua periode sudah tercapai, maka sang anak sudah bisa untuk lampiaskan keinginan menjadi Walikota Solo. Situasi kini berbeda. Setelah muncul Gibran keinginan untuk menjadi Walikota Solo, tentu saja ini adalah keinginan mendapat dorongan atau dukungan penuh dari ayahanda. Masyarakat wajar saja kalai melihat status Gibran sebagai "putera raja" menjadi modal politik terbesar. Adapun modal kecilnya adalah kompetensi dan pengalaman yang sangat sangat minim dan bau kencur itu tidak lagi penting untuk dipertimbangkan. Jualan martabak saja, dipastikan bukan modal sosial untuk meraih jabatan politik. Modal utamanya adalah putera raja. Mulai merasa "over confidence". Gibran berujar bahwa kemenangan sudah pasti bakal digenggamnya. Tetapi tidak mau kemenagan itu sampai 70 % atau 80% saja. Harus bisa mencapai 92 % kemengan. Toh, sebenarnya kalau mau ditargetkan kemengan 110% juga boleh-boleh saja. Apalagi putera raja Namun kemenangan harus harus berdasarkan pada kalkulasi yang rasional untuk mencapainya. Atau memang pesaing independennya itu adalah pasangan yang "abal-abal" sehingga bisa dianggap enteng-enteng saja? Semacam shadow boxing begitu. Atau mungkin juga sudah siap dengan kelicikan dan mark up otak atik suara di Komusi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya yang awalnya hanya 29 suara. Namun di KPU bisa berubah menjadi 92? Kalau kelicikan ini yang sudah dipersiapkan, maka jangankan hanya 92%, kemengan yang lebih besar, bahkan 200% juga kemungkinan aja bisa didapat Gibran. Jadi teringat model kekaisaran Romawi atau Cina yang selemah apapun sang putera, atau kerabat dapat dengan mudah untuk menduduki kursi jabatan Kaisar. Bukan soal dinastinya, tetapi idiotnya itu. Rakyat pun tidak bisa berbuat apa-apa memiliki Kaisar yang bukan saja "incompetent", tetapi juga abnormal. Caligula dan Nero adalah contoh Kaisar yang gila kuasa. Kekuasaan adalah Tuhan. Kejumawaan Gibran merupakan fenomena praktek politik kolusif dan nepotisme. Bukan kompetisi obyektif dan fair. Apresiasi pada kapasitas kah sehingga Megawati Ketum PDIP dan Sandiaga Uno Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra akan ikut berderet berkampanye untuk Gibran? Atau ini urusan dengan ayahnya yang sang Presiden ? Adakah Partai yang berkoalisi untuk mendukung penuh Gibran itu berhubungan dengan budaya politik sandera menyandra? Atakah memang ada proteksi atau transaksi besar disana? Silah ditanyakan kepada yang terhormat para Ketua Umum Partai Politik pendukung Gibran tersebut. Sebab apapun yang ada dibalik dukungan penuh Partai Politik kepada Gibran, terserah mereka saja. Olok-olok publik pada Gibran muncul soal pencitraan yang berfoto koko peci mengimami shalat berjamaah. Komentar netizen demi jabatan walikota siap juga untuk menjadi kadrun. Like father like son. Teringat kembali Novel "The Da Peci Code" karya Ben Sohib. Soal sengketa interpretasi pemakaian peci di keluarga marga al Gibran di Betawi. Peci pencitraan. Mungkin bagi Gibran angka kemenangan 92 % adalah hal yang "biasa saja". Karena dirinya hanya orang yang "biasa saja" dididik oleh orang tua yang menganggap anak mantu besan maju Pilkada itu "biasa saja". Nepotismekah? "biasa saja". Jika menjadi Walikota ternyata tidak becus dan korup, maka itu juga "biasa saja". Biarlah kalau begitu masyarakat yang menghukuminya, dan juga itu "biasa saja". Selamat menikmati kampanye Pilkada di era Covid 19 "tuan 92 %". Kelak jika korban berjatuhan akibat pandemi Covid 19 meningkat, maka hal itu adalah hal yang "biasa saja". Memang bangsa sudah payah, karena punya Presiden dan anak Presiden yang "biasa saja". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Dukung Bobby Nasution di Pilkada Medan, Sandi Uno Bunuh Diri

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (21/09). Viral dan heboh. Sandiaga Uno akan berkampanye untuk Bobby Nasution (menantu Jokowi) di pilkada Medan, Desember nanti. Banyak yang terkejut. Banyak yang tertanya-tanya. Apa iya Sandi sebegitu mudah melakukan manuver yang, mungkin, membuat banyak orang kecewa? Jawabannya: memang iya. Memang mudah bagi Sandi. Sebab, dia itu adalah orang yang pragmatis. Cuma, banyak yang tak paham. Sandi itu ‘kan punya banyak kepentingan pribadi. Bisnisnya besar. Dia perlu berada dekat-dekat dengan para pemegang kekuasaan. Selain itu, Sandi masih bermimpi untuk ikut pilpres 2024. Bagaimanapun juga, Jokowi akan memiliki pengaruh di pilpres berikutnya. Meskipun pengaruh itu tidak besar. Dan bisa jadi juga Sandi sudah mendapatkan isyarat bahwa dia akan dibawa ke dalam kabinet setelah pilkada Medan. Posisi sebagai menteri, dalam teori, bisa memberikan efek positif bagi Sandi kalau dia mau ikut pilpres 2024. Mungkin ini yang membuat Sandi tak perduli lagi dengan rasa kecewa para pendukungnya. Dia kesampingkan semua dukungan itu demi masuk ke kabinet. Hanya saja, ada satu hal yang dilupakan Sandi. Bahwa tindakan dia mendukung Bobby itu malah akan menjadi beban bagi dia ketika nanti ikut pilpres. Sandi akan dikenang sebagai pengkhianat. Tidak kesan lain yang tergambar di benak pendukungnya. Dalam bahasa yang agak halus, Sandi bisa disebut pragmatis. Pragmatisme Sandi membuat dia ringan melakukan manuver zig-zag. Pragmatisme itu lebih-kurang sama dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Yang menjadi masalah adalah bahwa publik pendukung Sandi tidak menduga dan tidak menghendaki dia menjadi orang yang pragmatis. Hari ini, Sandi membukakan jati dirinya. Anda semua sudah paham. Dan harus paham. Paham bahwa Sandi sama dengan orang-orang lain yang juga pragmatis. Yang menghalalkan segala cara. Ingat, tidak banyak orang yang hirau dengan halal-haram. Baik itu halal-haram menurut syariat agama, maupun halal-haram menurut etika politik, sosial, bisnis, dll. Inilah yang membuat Indonesia tak mampu beranjak dari disorientasi di segala bidang kehidupan. Lompat-melompat pagar adalah hal yang lumrah. Gonta-ganti prinsip, kubu, atau cara, dianggap bukan hal yang aneh. Sekarang, ketika Sandi melakukan itu, ada rasa kaget. Kok bisa begitu ya? Padahal, ini semua bukan barang baru. Dan, ingat juga, bahwa orang yang dikagumi Sandi dan dia akui sebagai mentor politiknya, yaitu Prabowo Subianto, sudah lebih dulu mempraktikkan pragmatisme. Prabowo tak hirau dengan konstituennya ketika dia bergabung ke kubu Jokowi menjadi menteri kabinet. Dan ketika dia memberikan dukungan kepada anak-menantu Jokowi yang tahun ini ikut pilkada. Prabowo tidak perduli apakah ada orang yang kecewa atau tidak. Tampaknya, Pak Prabowo yakin bahwa dia akan menjadi capres kuat di pilpre 2024. Sehingga beliau tak ambil pusing dengan reaksi negatif dari siapa pun juga. Nah, Sandi Uno pun bisa jadi sepikiran dengan Prabowo. Sandi tak perduli dengan kalkulasi para pemerhati bahwa mendukung Bobby Nasution adalah jalan bunuh diri kalau dia masih berambisi ikut pilpres 2024.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Perketat PSBB, Anies Dutuduh Mau Jatuhkan Jokowi?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (16/09). Seringkali, seorang kepala daerah dihadapkan pada dua pilihan. "Good looking" di mata penguasa dan pengusaha, atau ambil risiko buat warganya. Kalau mau "good Looking", ikuti penguasa dan ketua partai. Atau patuhi cukong. Dukung, apapun keputusan dan kemauannnya. Mau benar atau salah, abaikan. Jadilah "anak manis". Jangan ambil kebijakan kontroversial, apalagi bertentangan. Itu berisiko. Risikonya bakal dimusuhi. Juga risikonya dibully. Risiko lain nggak turun anggaran. Macam-macam risikonya. Apalagi penguasa punya pasukan buzzer plus dana Rp 90.45 miliar. Jika anda hanya ingin "Good Looking", berarti anda tak layak jadi kepala daerah. Anda lebih pantas jadi jongos. Jongos penguasa dan jongos pengusaha. Jongos biasanya ada otak, tapi sedikit. Ada hati, tapi mati. Mentalnya sudah kebeli. Tak punya kemandirian dalam bertindak. Anies, gubernur DKI nampaknya memilih yang kedua. Kalau mau aman, tidak dibully, sedikit musuh, Anies nggak perlu mengambil keputusan PSBB lagi. Tapi, data masifnya penyebaran covid-19 di DKI. Risiko kematian yang tinggi, dan kapasitas rumah sakit yang terbatas, memaksa Anies harus mengambil keputusan berani. Suka tidak suka, harus dibuat keputusan itu. Terhadap kebijakan Pambatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini, Anies dibully. Semua buzzer keluar dari sarangnya. Mereka dapat momentum. Sampai ada yang begitu emosional meminta Anies mundur. Setidaknya, ada tiga tuduhan yang dialamatkan kepada Anies. Pertama, gara-gara Jakarta PSBB, Index Harga Saham Gabungan (IHSG) turun, katanya. Mari kita cek fakta. Senen, 14 September dimana hari pertama PSBB diberlakukan lagi dengan berbagai penyesuaian, justru IHSG bergeliat naik hingga 2,34 persen. Saham BRI ikut menguat 4,62 persen. Telkomsel menguat 2,14 persen. Bahkan ICBP punya Salim group juga menguat 2,44 persen. Ini data. Salahkan Anies? Kedua, PSBB diduga akan menyulitkan warga Jakarta. Dengan PSBB, warga Jakarta akan makin sulit hidupnya. Apakah tuduhan ini berbasis data? Analisis obyektif atau imajinatif? Jakarta, ada 3,6 juta Kepala Keluarga (KK) nggak punya tabungan. Maka, mereka diberikan bansos. Beberapa bulan ini, Anies telah menyiapkan anggaran bansos sebesar Rp 900 miliar per dua pekan untuk 3,6 juta warga DKI. Sebulan Rp 1,8 triliun. Jadi, relatif aman. Ini sudah berjalan. Salahkan Anies? Jika Anies nggak tarik rem darurat PSBB, Jakarta bisa collaps. Sebab 77 persen ruang isolasi rumah sakit di DKI sudah terpakai. Sekitar 83 persen ruang ICU terisi. Ini data 6 september. Sisanya nggak akan tampung jika pasien terus bertambah secara masif. Lalu, bagaimana nasib mereka? Mau mati di jalanan? Ketiga, dengan PSBB, Anies dianggap sengaja memperburuk ekonomi nasional agar Jokowi segera jatuh. Ini terlalu jauh imajinasinya. Di otak orang-orang ini sepertinya sudah kebayang Anies itu presiden masa depan. Lalu mereka takut kalau nahkoda kapal mereka akan diganti. Sebuah ketakutan yang berlebihan. Kalau pandemi tak serius diatasi, tapi fokus hanya pada ekonomi, maka Indonesia akan gagal dua-duanya. Kesehatan nggak pulih, ekonomi makin terpuruk. Ibarat ngisi ember bocor. Bansos terus diberikan, UMKM dan korporasi disuntik dana, tapi penyebaran virus nggak dibatasi. Maka, tak pernah ada ujungnya. Karena produksi tersendat. Otomatis peredaran uang juga terganggu. Terjadilah resesi ekonomi. Sampai kapan? Sampai pandemi betul-betul teratasi. Soal Jokowi, sampai 2024 atau tidak, begini kalkulasi politiknya. Kalau kondisi ekonomi-politik normal dan Jokowi bertahan sampai 2024, peluang Anies jadi presiden sangat besar. Karena Anies sedang berada di atas panggung. Kondisi obyektif, Anies paling populer saat ini. Ini fakta yang tak bisa dibantah. Tahun 2022, kemungkinan di DKI ada Pilkada. Semua partai di DPR menghendaki, kecuali PDIP. Jika 2022 Anies gubernur lagi, jadi presiden hanya butuh satu langkah. Sekali lagi, ini kalkulasi jika semuanya berjalan dengan normal. Jika Jokowi jatuh sebelum 2024, meski peluang Anies jadi presiden tetap ada, namun akan banyak tokoh yang berpotensi membajak situasi untuk berebut jadi presiden. Akan bermunculan para tokoh instan. Dan mereka akan saling menyalib di tikungan. Dari analisis ini, kelihatan bahwa Anies hanya fokus melihat data penyebaran covid-19, lalu menghitung segala dampaknya bagi warga Jakarta, dan ambil keputusan. Simple urutan logika dan kerjanya. Soal "good Looking" atau "tidak good Looking", untung rugi secara politik, nampaknya bukan prioritas lagi bagi Anies sekarang ini. Jika ada anak anda yang sakit, anak anda yang lain ditabrak kereta lalu mati, masihkah anda bisa berpikir politis? Ini yang seringkali tak terjangkau oleh otak para pengkritik Anies. Kira-kira kalau dinarasikan begini, nggak urus dengan 2024, yang penting warga Jakarta selamat. Selamat nyawanya, dan kebutuhan ekonominya bisa diatasi. Nggak peduli orang setuju atau tidak, karena tanggung jawab warga DKI ada di pundak seorang Gubernur sebagai kepala daerah. Inilah yang membedakan Anies dengan para pengkritiknya. Anies mengambil kebijakan dengan data dan rasa. Umumnya, para pengkritik nggak peduli data, dan nggak ada rasa. Di ujung, kebenaran akan terbuka. Ini sudah berulangkali terbukti. Para pengkritik sangat emosional. Kelebihan Anies, selalu bisa menjaga emosinya. Tenang dan tetap bersahaja. Kata dan sikapnya terukur. Itupun tetap dikritik, pinter mengolah kata, katanya. Mestinya, para pengkritik belajar kepada Anies bagaimana mengolah kata yang baik. Agar telinga para pendengar juga bisa menerima dengan baik. Kalau Kata-katanya kotor, tentu hanya telinga kotor yang bisa menampungnya. Ini hukum psikologi. Mental dan sikap yang nggak seimbang antara Anies dengan para pengkritiknya justru seringkali menjadi poin positif buat Anies. Kalau Tyson lawan petinju amatir, kira-kira sudah bisa ditebak kemana dukungan penonton akan diberikan. Ini logika dan analogi yang paling dasar. Di depan penguasa, Anies memang jauh dari performence "good looking" . Tapi, di mata warga DKI, Anies mendapat apresiasi, karena kekuatan leadershipnya. Di dalam diri Anies ada kejujuran, ketegasan, keberanian ambil risiko, dan kerja terukur berbasis data. Anies juga punya integritas dan kompetensi. Jika Anies mampu terus mempertahankan karakternya ini, maka ia akan selalu diterima di hati rakyat. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Bacalon Positif Covid-19 Berpeluang Diganti Bacalon Lainnya

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (13/9). Kabar tak sedap datang dari Kota Surabaya. Dilansir CNN Indonesia.com, Jumat (11/09/2020 16:52 WIB), Bakal Calon Walikota Surabaya Machfud Arifin mengakui, terkonfirmasi positif Corona (Covid-19). Kabar mengenai terpaparnya ia belakangan santer beredar. Hal itu terlihat dari ditundanya pelaksanaan tahapan tes kesehatan yang mesti ia jalani bersama Bacalon Wakil Walikota Mujiaman Sukirmo pada 8-9 September 2020. Machfud secara gentlement mengakuinya. “Tentang isu yang berkembang, memang benar [positif Covid-19],” ungkap Machfud saat menggelar konferensi pers secara daring, Jumat (11/9/2020). Machfud mengatakan hal tersebut bermula saat ada salah seorang istri dari anggota timnya terkonfirmasi positif corona. Dan tak lama orang dekatnya itu pun diketahui turut terpapar Covid-19. Usai mengetahui salah seorang timnya positif Covid-19, Machfud lantas berinisiatif untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter, meski tak mengalami gejala apapun. Machfud hanya mengaku tenggorokannya mengalami sedikit gangguan. Suaranya hilang. Selama bertemu warga ia mengaku tak pernah berbicara, dan diwakili oleh tim suksesnya. “Yang berbicara Gus Amik, timses saya,” ucapnya. Pada 26 Agustus 2020, Machfud kembali memeriksakan diri. Kali ini ia juga menjalani swab, dan hasilnya menunjukkan bahwa dirinya terkonfirmasi positif corona. “Hari Rabu 26 Agustus saya inisiatif ke dokter. Dokter tidak menganjurkan saya swab, tetapi saya diam-diam swab ternyata saya, positif, tanpa gejala,” lanjutnya. Sejak saat itu, ia pun melakukan pembatasan diri dan isolasi mandiri di rumah. Ia tidur di tempat terpisah dengan istri dan anak-anaknya yang juga sudah menjalani swab dan menunjukkan hasil negatif. Machfud Arifin pada Pilwali Surabaya 2020 ini berpasangan dengan Bacawawali Mujiaman Sukirmo, mantan Direktur Utama BUMD Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada, Surabaya. Machfud dan Mujiaman saat ini telah mengantongi dukungan dari delapan partai pengusung: Demokrat, PKB, PAN, PPP, NasDem, Golkar, Gerindra, dan PKS. Di Jawa Timur, selain Bacalon di Surabaya, salah satu Bacalon Wakil Bupati pada Pilbup Sidoarjo 2020 juga terindikasi terpapar Covid-19, seperti yang disampaikan Ketua KPUD Sidoarjo Mukhamad Iskak. Menurutnya, hasil pemeriksaan kesehatan terhadap seluruh pasangan Bacalon kepala daerah Sidoarjo, di RSUD dr Soetomo Surabaya pada Senin malam (7/9/2020) sudah keluar. Dari tiga pasangan bacalon yang turut pemeriksaan kesehatan diantaranya swab, satu bacalon wakil bupati dinyatakan positif covid-19. Sayangnya Iskak tidak mengungkap siapa bacalon wakil bupati tersebut. “Hasil swab yang dikeluarkan pihak dr. Soetomo, memang satu Cawabup dinyatakan positif covid-19,” ujar Iskak tanpa memyebut siapa nama Bacawabup itu, Selasa (8/9/2020). Menurut Iskak, karena sudah dinyatakan positif, maka baik bacawabup maupun cabupnya harus mengisolasi diri selama 14 hari. Meski hari itu masih tahapan pemeriksaan kesehatan, “Namun tetap satu paslon ini tidak boleh ikut pemeriksaan kesehatan tahap 2,” tegas Iskak. Dari informasi yang beredar, bacalon yang dinyatakan positif Covid-19 ini, mendaftarkan diri pada Jum’at (4/9/2020). Bahkan, saat mendaftar hari Jum’at itu, hasil swab dengan amplop tersegel itu juga sudah berisi hasil positif. “Kita sama-sama tidak tahu, karena hasil swab diberikan bersamaan dengan berkas lain dan amplop tertutup,” ujar Iskak lagi. Jika merunut ke belakang, sangat mudah diketaui siapa bacalon yang terpapar Covid-19 itu. Peluang Diganti Terkait bacalon kontestan Pilkada Sidoarjo 2020 yang terdiagnosa positif Covid-19, KPUD Sidoarjo harus cepat mengambil langkah antisipasi dengan mengumumkan nama siapa calon yang terpapar tersebut dan melakukan swab terhadap seluruh pegawai KPUD Sidoarjo, para pendukung calon yang terpapar dan keluarganya. Hal tersebut disampaikan oleh Baihaki Siradj, pengamat politik dari Accurate Research and Consulting Indonesia (ARC Indonesia). “Harus disampaikan ke publik siapa calon yang terpapar covid sebagai langkah antisipasi dari KPU yang mempunyai tanggung jawab dalam pencegahan covid-19,” ungkap Baihaki Siradj, seperti dilansir SidoarjoTerkini.com, Jumat (11/9/2020). Menurut Baihaki, hal tersebut dilakukan untuk memastikan tidak ada yang tertular dari pihak penyelenggara, pendukung ataupun orang yang berhubungan saat pendaftaran itu, sebagai jaminan tidak akan terganggu semua tahapan-tahapan pilkada. “Karena kita semua tidak tahu baik dari penyelenggara dalam hal ini KPUD dan pendukung tak tertular, dan apabila itu terjadi pada pihak penyelenggara, berarti kantor KPUD sementara harus ditutup,” ucapnya. Baihaki menilai, pihak KPU belum siap dengan aturan pilkada di tengah pandemi. Dirinya mencontohkan, apabila saat tahapan pilkada ditemukan ada calon yang terkonfirmasi maka tahapan berikutnya akan terhenti. “Dan itu tidak diatur dalam regulasi apakah calon yang dinyatakan positif itu harus gugur,” ujar Baihaki. Untuk itu, pihak KPU RI harus segera membuat regulasi baru untuk sebuah ketegasan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Artinya, KPU tidak bisa serta merta mendiskualifikasi calon karena positif Covid-19 sebelum membuat aturan PKPU baru di tengah pandemi Covid-19. “Dengan PKPU yang baru dibentuk itulah akan menjadi pijakan hukum bagi penyelenggara pilkada selanjutnya” tegasnya. Melansir Megas-online.com, Jum’at (11/9/2020), semua bacalon yang sudah direkomendasi parpol atau gabungan parpol untuk berkontestasi dalam Pilkada masih bisa diganti jika tidak memenuhi syarat yang ditentukan UU Nomor 10 Tahun 2016. “Ada tiga kondisi yang memungkinkan terjadinya penggantian itu. Yakni berhalangan tetap (meninggal dunia), tersangkut kasus pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan tidak memenuhi syarat kesehatan,” ujar pengamat politik dan pemerintahan Nanang Haromain. Presidium Forum Muda Sidoarjo itu menegaskan, kewenangan penggantian bacalon itu ada di tangan parpol pengusung. “Kuncinya itu tadi, harus memenuhi minimal salah satu dari ketiga unsur tersebut,” ungkap Nanang Haromain. Pernyataan itu disampaikannya saat ditanya tentang fenomena cukup banyaknya paslon yang terinfeksi Covid-19 menjelang pelaksanaan Pilkada yang rencananya akan digelar serentak di seluruh Indonesia pada 9 Desember 2020 mendatang. Sebagaimana informasi yang disampaikan Menko Polkam, Mahfud MD beberapa waktu lalu, ada 59 paslon di 21 Propinsi yang dikabarkan terpapar Virus Corona, termasuk di Kabupatan Sidoarjo dan belakangan, Kota Surabaya. Akibatnya mereka diwajibkan untuk melakukan isolasi mandiri dan belum bisa melakukan tes kesehatan yang menjadi syarat utama agar bisa berkontestasi pada suksesi kepemimpinan daerah sebagaimana disyaratkan KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. “Ini yang baru, karena piranti hukum yang mengatur perihal Pemilu termasuk Pilkada tidak mencantumkan masalah ini karena fenomenanya memang masih muncul di awal 2020 ini,” jelas mantan anggota KPUD Sidoarjo itu. Yang jelas, tanpa adanya hasil tes kesehatan yang dikeluarkan Rumah Sakit Rujukan yang ditunjuk KPU, maka tahapan berikutnya seperti penetapan paslon, undian nomer urut, dan juga kampanye pasti akan ikut mundur. Tidak mungkin tahapan-tahapan itu dilakukan kalau bacalonnya tidak lengkap. Tapi, “Bagaimana kemudian regulasinya saat ini menyangkut Covid-19 sebaiknya langsung ke Ketua atau komisioner KPU saja, karena bisa saja ada kebijakan yang dimunculkan karena ini,” tambah Nanang. Mundurnya tahapan ini sangat mungkin karena untuk bisa mengikuti tes kesehatan, bacalon tersebut harus lebih dulu dipastikan terbebas dari Covid-19. Dan, sampai saat ini bacalon itu yang salah satu diantaranya terinfeksi corona belum melewati tahapan tersebut. “Termasuk duet Kelana Aprilianto-Dwi Astutik yang berlaga di Sidoarjo,” ungkap Nanang. Persoalannya, tiga bulan menjelang pelaksanaan KPU sudah menyusun dengan rapi setiap tahapan yang harus dilakukan. Misalnya penetapan paslon yang akan digelar 23 September, besoknya dilakukan pengundian nomer urut dan kemudian kampanye yang dimulai 26 September hingga 5 Desember 2020. “Tentu ini menjadi rumit. Tapi saya yakin KPU pasti sudah punya formulasi yang pas untuk mengatasi masalah ini, misalnya soal pembatasan sampai berapa kali tes swab itu dilakukan. Karena kalau tidak akan mengganggu tahapan berikutnya,” pungkasnya. Kasus penggantian bacalon ini pernah terjadi saat Pilwali Surabaya 2015. Bacalon Walikota Dhimam Abror Djuraid tiba-tiba ditinggal Bacawali Haries Purwoko yang menghilang saat pendaftaran tersebut. Yang mundur bukan saya. Saya tetap tanda tangan. Itu wakil saya yang mundur,” ujarnya saat berbincang dengan Detikcom, Senin (3/8/2015) malam. Akibat ulah Haries ini, peluang Abror ikut bertarung melawan Tri Rismaharini kandas. Abror pun tersisih lagi saat parpol pengusung menggantinya dengan Rasiyo, sehingga pisisi Abror menjadi Bacawawali, bukan Bacawali lagi. Ia kembali tersisih setelah KPUD Surabaya menyatakan berkasnya Tidak Memenuhi Syarat (SMS). Akhirnya, Abror benar-benar tersingkir setelah digantikan Lucy Kurniasari yang disodorkan Partai Demokrat dan PAN. Kasis ini bisa menjadi semacam “yurisprudensi” landasan hukum pergantian bacalon. *** Penulis wartawan senior fnn.co.id.

Ruhut Situmpul Kelilipan Lagi

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Ruhut Sitompul dengan "gagah" menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Penyebabnya adalah tertolaknya warga Indonesia untuk memasuki ke 59 negara di dunia. Sebagai akibat dari masih naiknya angka penularan Covid 19 di Indonesia. Jakarta menjadi kambing hitam. Begilah model kelilipan nyata dari mantan anggota Partai Golkar dan Partai Demokrat yang sekarang sudah pindah lagi ke PDIP Ruhut Sitompul. Masa sih Gubernur yang harus disalahkan? Kalau itu urusan negara, ya Presiden dong. Kalau yang dilarang masuk ke 59 negara itu berasal dari warga Jakarta saja, bolehlah Gubernur Anies disalahkan. Ruhut Situmpul ini selalu saja sinis kepada Gubernur Anies. Apa saja yang dilakukan Anies pasti salah di mata Ruhut. Padahal Anies adalah Gubernur yang super serius menangani pandemi Covid 19. Jika kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang jadi alasan, maka Gubernur Jawa Barat juga memperpanjang PSBB untuk wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi tuh. Tetapi kenapa Gubenur Jawa Barat tidak dikritisi oleh Ruhut Sitompul? Jawabnya mudah sekali, ya lagi kelilipan itu Ruhut Sitompul. Apalagi kepada bossnya, Jokowi tentu saja lebih tidak kelihatan lagi. Nah yang begini namanya "blind spot". Pukulan telak atas karut-marutnya penanganan Covid 19 oleh Pemerintahan Jokowi adalah larangan masuk ke 59 Negara di dunia. Di medsos ada sindiran, “Indonesia ini negara hebat. Karena sekarang menjadi negara yang disegani eh ditakuti oleh dunia. Ini memprihatinkan sekali. Padahal soal pendanaan sudah menggunakan Perppu, yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. UU ini dapat dikategorikan "merampok" APBN. Karena aturan tentang kebebasan memakai dana APBN tanpa harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Ditambah lag dengan kontroversi "percobaan" vaksin Cina yang ada kegagalan tersebut. Sudah mahal harga vaksinnya, sehingga kemungkinan susah untuk dijangkau oleh masyarakat lapisan bahwa. Vaksinya bermasalah pula. Jika Ruhut bersikeras bahwa Anies adalah penyebab 59 negara di dunia menolak masuk warga negara Indonesia, maka baiknya dilakukan saja pengusutan secara terbuka. Siapa yang menjadi penyebab, maka dialah penanggungjawab yang sesungguhnya. Apakah Anies, Menteri Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19 atau memang Presiden Jokowi sendiri? Untuk itu Komisi "fact finding" harus segera dibentuk. Ini penting, supaya hasilnya juga akurat. Dapat dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk mendesak mundur kepada pejabat yang dinilai gagal untuk bertanggungjawab. Sehingga tidak perlu saling tuduh sana-sini. Ruhut Sitompul sepertinya sangat tendensius dalam mengemukakan tuduhannya kepada Gubernur Anies. Meskipun tidak berpengaruh kepada kedudukan Anies saat ini sebagai Gubernur DKI, namun “sikap pandangan kebencian" Ruhut Sitompul ini dinilai tidaklah patut. Adalah hak Ruhut Sitompul untuk berpendapat tentang Gubernur Anies. Tetapi hak orang lain juga untuk menilai mengenai siapa Ruhut Sitompul? Politisi yang hanya bisa menyandar kepada kekuasaan. Tanpa sandar kepada partai yang sedang berkuasa, Ruhut Sitompul bukan siapa. Mudah-mudahan saja tidak ada yang melabel Ruhut Sitompul “politisi kutu loncat kepada yang sedang berkuasa”. Jika Ruhut mendesak Mendagri untuk mem-Plt kan Gubernur Anies, maka boleh juga orang lain mendesak agar Presiden juga di "Plt" kan. Artinya dimundurkan. Toh, itu sah-sah saja. Namanya juga usulan. Bisa diterima, namun bisa juga tidak. Mari kita kuat-kuatan argumen. Bukan kuat-kuatan kekuasaan atau kekayaan. Siapa yang lebih patut mundur, Gubernur DKI atau Presiden RI? Sebaiknya jawab sendiri saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.