DAERAH
Risma Sebut Eri Cahyadi “Anaknya”, KAI Sebagai Pembohongan!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Sabtu (07/11). Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Timur telah melaporan Walikota Surabaya Tri Rismaharini ke Ditreskrimum Polda Jatim, Senin (2/11/2020). Dalam aduannya, KAI Jatim menilai, Risma telah melakukan pembohongan publik. Selain itu, Risma dituding melakukan provokasi terhadap warga Surabaya. Dua pelanggaran ini dilakukan alumni Institut Teknologi 10 November (ITS) itu saat mengampanyekan Calon Walikota dan Wakil Walikota nomor urut 1 Eri Cahyadi-Armuji. “Pelanggaran hukum yang dilakukan Risma itu kami laporkan ke Ditreskrimum Polda Jatim, karena laporan terkait PKPU Pilkada 2020 ke Bawaslu dan Kemendagri tak digubris,” kata Ketua DPD KAI Jatim Abdul Malik usai melaporkan di Polda Jatim. “Sehingga kami lakukan pelaporan terkait pidana pembohongan publik dan provokasi yang dilakukan Risma terhadap masyarakat Surabaya,” lanjut Abdul Malik. Kebohongan publik yang dilakukan Risma, menurut dia, antara lain menyebut Cawali Eri Cahyadi sebagai anak. Faktanya mantan Kepala Bappeko Surabaya itu bukanlah anak dari Risma. Orang tua Eri namanya Urip Suwondo dan Mas Ayu Esa Aisyah. Seperti dikutip Bongkah.id, Selasa (3/11/2020), fakta itu diketahui semua warga Surabaya. Dengan menyebut Eri anaku, maka Risma secara hukum telah melakukan kebohongan publik. Selain itu, Abdul Malik juga menuding, kampanye yang dilakukan Risma tak memiliki izin cuti dari Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Menurutnya, sebagai Walikota Surabaya, Risma harusnya mengajukan cuti terlebih dahulu agar bisa melakukan kampanye. “Izin cuti yang diajukan Risma hanya untuk tanggal 10 November saja. Jadi, saat kampanye pada tanggal 18 Oktober lalu, dia tidak sedang cuti,” ujarnya. Terkait adanya penjelasan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Surabaya Irvan Widyanto bahwa Walikota Risma sudah mengantongi izin dari Gubernur Jatim untuk melakukan kampanye? Malik menegaskan, hal tersebut layak dipertanyakan kebenarannya. Sebab informasi yang didapatnya, izin kampanye Risma hanya untuk tanggal 10 November 2020. Tak hanya itu saja, Malik juga mempermasalahkan sejumlah perkataan Risma yang dinilai provokatif. Dibuktikan dengan sebuah video yang beredar di masyarakat Surabaya. Risma menyebut jika Surabaya tidak dipimpin anaknya (Eri), maka Surabaya bisa hancur lebur. “Kalimat Risma itu sangat memprovokatif, provokator, dia bersikap seperti Tuhan. Nanti 10 tahun ini tidak dipimpin anaknya, nanti Surabaya ini akan hancur lebur,” ungkap Malik yang mengutip pernyataan Risma dalam video tersebut. “Selaku praktisi hukum, kalimat yang disampaikan Risma itu sangat tidak layak, tidak pantas diucapkan oleh walikota. Kalimat tersebut juga dapat diasumsikan sebuah ancaman dalam tanda petik,” tegas Malik. Karena itu, ia berharap kepolisian dapat memproses kasus ini sesuai hukum. Selain itu, juga meminta Bawaslu RI dan Kemendagri segera mengambil tindakan. “Saya berharap, saat dilakukan proses hukum di kepolisian, membuat Risma taat hukum,” ujarnya. “Sebab Bawaslu pusat sudah kita laporkan, Mendagri sudah kita laporkan. Gubernur sudah kita laporkan juga. Dan, informasi yang kami terima dari Mendagri, dalam waktu dekat ada tindak lanjutan dari OTODA,” lanjut Malik. Perlu dicatat, tuntutan hukum yang dilakukan KAI Jatim terhadap Walikota Risma tersebut terkait dengan agenda kampanye daring dari paslon Eri Cahyadi-Armuji bertema "Roadshow Online Berenerji" pada Minggu (18/10/2020) lalu. Dalam kampanye itu, Risma meminta warga Surabaya untuk memilih cawali Eri Cahyadi, Dia juga menjelekkan cawali lainnya (Mahfud Arifin). Selain itu, Risma selalu mengulang-ulang kalimat, bahwa Eri sebagai anaknya. “Dalam kampanye daring itu Risma melakukan kebohongan publik. Berkali-kali menyebut Eri itu sebagai anaknya. Bukan menyebut sebagai anak didiknya. Saya ini praktisi hukum, perbedaan kalimat itu secara hukum memiliki makna yang berbeda pula,” katanya. Pelanggaran yang dilakukan Risma pada 18 Oktober lalu, kata Malik, sebagai pelanggaran berat. Seharusnya Risma kena pidana kurungan, seperti yang dialami lurah Suhartono dari Kabupaten Mojokerto. Dia dihukum 2 bulan dan denda Rp 6 juta, karena menyambut Cawapres Sandiaga Uno pada saat Pilpres 2019 lalu. “Jika Risma beralasan kampanye itu dilakukan pada hari Minggu, Suhartono kena pidana pemilu lantaran ikut menyambut Sandiaga Uno pada hari Minggu. Kebetulan saya pengacara Suhartono dalam menghadapi proses hukum pidana pemilu itu,” ungkap Malik. “Jadi sudah ada yurisprudensi-nya bahwa Risma melakukan pelanggaran berat dan bisa kena hukuman penjara,” lanjut advokat senior tersebut. Menurut Praktisi Hukum Indra Priangkasa, Walikota Risma bukan hanya melanggar soal izin kampanye. Dia juga diduga menyalahgunakan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat 1, 2, dan 3 PKPU Nomor 11 Tahun 2020. Sebab diantara peserta yang ikut siaran zoom itu, adalah UMKM binaan Pemkot Surabaya. “Di situ ada UMKM binaan, saya melihatnya Risma ingin menagih hutang budi atas bantuan yang diberikan Pemkot Surabaya pada para UMKM tersebut,” ungkap Malik. “Tagihan balas budi tersebut dilakukan Risma lewat ajakan untuk memenangkan paslon Eri-Armuji,” katanya. Pelanggar pasal 71 ayat 3, menurut Indra, wajib mendapatkan sanksi pidana jika memenuhi unsur. Apa yang dilakukan Risma, unsurnya sudah terpenuhi. Yakni sebagai kepala daerah, ada program yang dilakukan 6 bulan dari penetapan, ada yang diuntungkan dan dirugikan. Risma Takut? Ketika menjadi jurkam, posisi Risma itu hanya sebagai pengurus DPP PDIP. Bukan sebagai Walikota Surabaya. Karena itu, Risma tidak berhak melakukan tekanan terhadap masyarakat Surabaya yang menerima bantuan Pemkot Surabaya. Memaksa untuk memilih calon kepala daerah yang didukungnya dan diusung partainya. “Ini domain Bawaslu, maka pidana itu menjadi rekomendasi Bawaslu. Bawalsu harus menindak lanjuti, tidak boleh abai. “Selama ada bukti kongkrit dengan beberapa pertimbangan, tentu Bawaslu tidak semudah itu mengatakan tidak ada pelanggaran,” katanya. Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bakesbangpol Kota Surabaya, Irvan Widyanto memberikan klarifikasi. Menurutnya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini telah mengajukan izin cuti kampanye saat “Roadshow Online Berenerji”, Minggu (18/10/2020). “Jadi, kegiatan kampanye Ibu Walikota sudah sesuai dengan prosedur. Sudah ada penjelasan tertulis dari Pemprov Jatim. Makanya tidak benar, jika Ibu Walikota melanggar aturan,” kata Irvan. Karena beliau telah melalui prosedur dan aturan yang ada. Apalagi kampanye yang dilakukan Ibu Walikota pada 18 Oktober 2020 tersebut adalah hari libur,” kata Irvan. Terkait dengan kegiatan kampanye Walikota Risma, ia telah mengajukan surat cuti Nomor: 850/9197/436.8.5/2020 pada 13 Oktober 2020 perihal permohonan izin cuti pada Gubernur Jatim. “Dan salah satunya adalah tanggal 18 Oktober 2020,” kata Irvan. Soal surat pengajuan cuti kampanye tersebut, lanjut Irvan, Gubernur Jatim telah menjawab melalui surat Nomor: 131/16267/011.2/2020 pada 15 Oktober 2020. Salah satu keterangan dalam surat itu adalah sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 2018 dan SE Mendagri Nomor: 273/487/SJ pada 21 Januari 2020, hari libur merupakan hari bebas untuk melakukan kampanye di luar ketentuan cuti kampanye. “Dengan jawaban dari Gubernur itu, kegiatan ibu walikota pada 18 Oktober 2020 tersebut tidak melanggar aturan karena pada hari libur yakni hari Minggu,” kata Irvan. Perlu diketahui Pilkada Surabaya 2020 diikuti paslon Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Eri Cahyadi dan Armuji. Paslon nomor urut 1 ini diusung PDIP dan didukung PSI. Selain itu mereka juga mendapatkan tambahan kekuatan dari enam parpol non parlemen, yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Hanura, Partai Berkarya, PKPI, dan Partai Garuda. Sedangkan paslon Machfud Arifin-Mujiaman dengan nomor urut 2 diusung koalisi delapan partai, yakni PKB, PPP, PAN, Golkar, Gerindra, PKS, Demokrat dan Partai NasDem serta didukung partai non-parlemen yakni Partai Perindo. Adakah dukungan Walikota Risma yang berlebihan pada Eri Cahyadi hingga menyebut Eri sebagai “anaknya” karena takut jika rival Eri yang mantan Kapolda Jatim itu menang? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Jakarta, Sepeda dan Perubahan Hidup Anda
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (06/11). Kaki, itu alat transportasi paling sehat. Kalau jarak tempuh hanya 300-500 meter, lebih baik jalan kaki saja. Jantung anda akan sehat. Kalau jantung sehat, mudah-mudahan organ tubuh yang lainnya juga ikut-ikutan sehat. Kalau jarak agak jauh, anda bisa gunakan sepeda. Ini juga olahraga. Jika setiap hari anda ke kantor, ke warung, ketemu teman, ke supermarket-minimarket, ke masjid, atau tempat ibadah lainnya, ke Majlis Ta'lim anda pakai sepeda, ini tidak hanya baik buat anda, tapi juga untuk lingkungan dan masa depan anak cucu anda. Anda bersepeda, itu berarti anda telah ikut mengurangi pencemaran lingkungan akibat asap kendaraan. Itu jika sehari. Sebulan, setahun, 20 tahun? Itu baru anda, kalau ada 1 juta orang ikuti anda? Keren bukan! Anda bersepeda, itu sama dengan dakwah lingkungan. Anda telah mengajak orang untuk menjaga agar Jakarta yang sudah begitu kotor udaranya ini bisa dibersihkan kembali. Dengan begitu, anda akan mewariskan udara segar untuk anak cucu anda di masa depan. Udara untuk anak-cucu kita menjadi bersih dan sehat. Pernahkah anda sadar bahwa indeks kualitas udara di Jakarta itu 269 AQI US. Ini sangat tidak sehat. Polusi udara ini diperkirakan telah mengakibatkan 11.000 kematian di tahun 2020. Kerugian finansial akibat udara yang kotor di Jakarta diperkirakan mencapai U$ 2,900.000.000. Sekitar Rp. 43 triliun lebih. Anda masih tak peduli juga? Belum lagi soal ekonomi. Berapa uang yang anda siapkan setiap harinya untuk bensin, bayar tol, tiket parkir, polisi gopek di setiap tikungan. Apalagi kalau anda kena tilang. Coba anda kalikan sebulan atau setahun. Besar sekali! Seminggu anda beralih ke sepeda, dana yang sedianya untuk bensin, tol, parkir, polisi gopek dan denda tilang bisa anda pakai untuk ajak keluarga makan enak di restoran. Atau ditabung untuk persiapan pulang kampung saat lebaran. Atau anda kumpulin untuk modal usaha setelah setahun. Jangan anggap remeh! Bersepeda bisa merubah hidup anda. Sepeda nggak bakalan makan tempat. Space satu mobil, bisa dipakai untuk parkir puluhan sepeda. Yang pasti, jalanan akan longgar, dan anda telah berjasa mengurangi tingkat kemacetan. Sampai disini, anda, orang-orang yang ke kantor pakai sepeda adalah para pahlawan di jalan raya. Juga pahlawan lingkungan. Ini hanya soal mindset dan pola hidup saja. Hanya butuh kebiasaan. Yang pasti, bersepeda itu hemat dan sehat. Sehat jasmani, dan otak anda juga sehat. Kenapa? Karena anda bakalan mengurangi pencemaran lingkungan, dampak kemacetan dan kebisingan di jalan raya. Ini cara cerdas bertransportasi. Kalau ini dihitung pahala, tentu akan jadi catatan amal yang tidak pernah sia-sia. Sepeda itu alat transportasi. Bukan buat gaya-gayaan. Nggak perlu sepeda sport atau yang harganya mahal. Nggak penting itu. Sepeda bekas dengan harga murah, itu lebih antik dan artistik. Nggak kalah nyamannya dengan sepeda yang mahal. Di sejumlah negara Eropa, pejabat ke kantor naik sepeda itu biasa. Meski pakai jas mewah dan celana mahal. Ini soal pola hidup saja. Beda dengan di Indonesia. Baru pejabat eselan tiga atau empat, gayanya nggak ketulungan. Pakai sopir dan pengawal pribadi. Akibatnya, rawan korupsi. Karena cost hidupnya terlalu tinggi. Pola hidup macam ini yang harus diubah. Di Jakarta ini, telah dibangun jalur khusus sepeda. Panjangnya sekitar 63 kilometer. Belum seberapa dibanding kebutuhan bersepeda bagi warga Jakarta. Tetapi, ini awal yang baik. Ini sudah menjadi bagian dari kampanye hidup sehat dan hemat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terlihat terus mengkampanyekan bersepeda. Pada bagian belakang mobil gubernur DKI ini, selalu saja ada sepeda. Sebelum pandemi, hampir setiap pagi gubernur bersepeda. Sebelum ke baikota, gubernur DKI ini gemar sidak ke ke sejumlah tempat, dan masuk gang-gang perkampungan. Melakukan inspeksi. Kok nggak dikespos? Kenapa nggak bawa kamera? Kalau model kampanye seperti itu sudah sangat konvensional. Sudah kuno! Bahkan konyol lagi! Rakyat sudah paham mana kerja dan mana pencitraan. Anies nampaknya nggak mau ikut-ikutan pencitraan. Kampanye sepeda di Jakarta tampaknya cukup berhasil. Yang ke kantor menggunakan sepeda terus bertambah. Penjualan sepeda di Jakarta naik sampai 1.000 persen. Bahkan saat pandemi, warga Jakarta yang pakai sepeda naik menjadi sepuluh kali lipat. Melihat antusiasme bersepeda yang mulai tumbuh di Jakarta, kita berharap kepada Pemprov DKI. Pertama, menambah jalur sepeda. Tidak saja di jalan protokol, tapi diperluas ke jalur-jalur lain. Kedua, perlu ditingkatkan keamanan dan kenyamanan di jalan buat mereka yang menggunakan sepeda. Ketiga, perlu diperbanyak tempat parkir sepeda, dan pastikan kalau tempat itu safety. Bila perlu, diadakan hari bersepeda. Mungkin sebulan sekali. Bikin pergubnya. Misalnya, setiap tanggal 17, jalur-jalur tertentu di Jakarta hanya boleh untuk sepeda. Bukan weekend, tapi weekday. Orang ke kantor, belanja, ada meeting, atau keperluan apapun, wajib bersepeda di jalur-jalur yang sudah ditentukan. Nggak peduli dia pejabat, anggota DPR, pengusaha atau rakyat. Ini lebih bagus legi kalau diawali oleh para pejabat dan seluruh pegawai di pemprov DKI. Setiap tanggal 17 misalnya, seluruh pegawai pemprov DKI wajib bersepeda. Ini akan jadi sosialisasi yang cukup efektif. Setelah orang dipaksa oleh aturan untuk bersepeda, maka lama kelamaan ia pun akan terbiasa dan nyaman bersepeda. Nah, kalau sepeda sudah jadi alat transportasi mayoritas warga DKI dan sekitarnya, maka udara Jakarta akan bersih kembali dan kemacetan akan berkurang. Untuk 10-20 tahun ke depan, udara Jakarta bisa sejuk kembali, bersamaan dengan pembuatan taman dan penanaman pohon yang lagi masif digalakkan Gubernur Jakarta. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Anies Selamatkan Wajah Indonesia di Mata Dunia
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (02/11). Annoucement: Jakarta, Indonesia has won the 2021 Sustainable Transport Award! Congrutalations to the city for the exemplary achievement in public transportation, particularly with transjakarta. Begitu ungkap Institut For Transportation and Developnent Policy (ITDP) sebuah organisasi yang berbasis di New York. Jakarta oleh ITDP dinobatkan sebagai kota terbaik dunia untuk managemen transportasi. Jakarta menyabet juara pertama Sustainable Transport Award (STA). Ini untuk pertama kalinya negara di Asia Tenggara mampu menjuarai ajang STA. Tahun 2019 lalu, Jakarta hanya berada pada posisi runner up (nomor dua). Namun tahun 2020 ini Jakarta meraih juara pertama. Artinya apa? Ada progres perbaikan-perbaikan. Ini menunjukkan Jakarta terus mengalami perbaikan dan perkembangan dari hari ke hari. Atas penghargaan ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah berhasil menyelamatkan wajah Indonesia di mata dunia internasional, kata Andi Arief, politisi Demokrat. Benar kata Andi, di tengah-tengah krisis ekonomi dan rusaknya demokrasi Indonesia di mata dunia, Anies berhasil membawa Jakarta sebagai kota terbaik dunia. Selamat ya Anies. Anda telah berhasil menyelamatkan wajah bangsa Indonesia di mata komunitas internasional. Begitu ucapan yang disampaikan sejumlah kalangan kepada Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta. “Alhamdulillah, ini untuk Pemprov DKI. Ini untuk warga Jakarta”, tegas Anies. Ada rasa syukur. Namun ada juga kerendahan hati. Anies sadar bahwa ini semua bukan semata-mata hasil kerja dirinya. Tetapi kolaborasi pegawai di Pemprov DKI bersama seluruh warga DKI. Sekali lagi, seluruh warga Jakarta. Tentu saja termasuk yang sering mendemo dan meminta Anies mundur. Bahkan Anies pun tak keberatan kalau prestasi ini lalu dikait-kaitkan dengan dua gubernur sebelumnya. Mungkinkah memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan tiga piala dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan berbagai kategori akan juga diklaim oleh pihak-pihak sebelumnya menjabat Gubernur DKI? Memang di mata publik, terasa tak adil. Aapalagi kalau terkait kasus ratusan miliar untuk Rumah Sakit Sumber Waras, pembelian tanah Cingkareng, tanah BMW, hasil reklamasi, dan kasus mangkraknya ratusan bus transjakarta, Anies harus menghadapi dan menyelesaikannya sendirian. Seolah-olah tidak ada keterlibatan pihak-pihak sebelumnya. Tetapi jika menyangkut prestasi yang diraih DKI Jakarta, ada saja banyak pihak yang sepertinya tak rela. Bahkan ingin mengambil hak paten tersebut dari Anies. Oke saja, tak apalah. Itu bagian dari dinamika. Kembali soal transportasi, Jakarta dianggap sangat ambisius untuk membenahi transportasi kota, begitu komentar ITDP. Ini wajar mengingat Jakarta adalah kota yang secara turun-temurun macet ddan semrawut. Ini jadi PR prioritas yang harus segera diselesaikan. Melalui program Jaklingko, Anies berupaya mengurangi tingkat kemacetan. Langkah Anies cukup berhasil. Dengan program Jaklingko, pengguna transportasi umum naik signifikan. Dari 360 ribuan orang di tahun 2017, naik menjadi lebih dari 1 juta orang di tahun 2020. Jakarta yang sebelumnya menduduki peringkat empat besar kota termacet dunia, sekarang telah naik menjadi peringkat ke 10 (Tom Tom Traffic Index) Tak hanya Jaklingko. Pembangunan trotoar dan jalur bersepeda di jalan protokol juga bagian dari sinergi langkah Pemprov DKI untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Apalagi di masa pandemi corona, warga Jakarta yang beralih ke sepeda naik sepuluh kali lipat. Program Jaklingko tidak saja menyatukan seluruh moda transportasi Jakarta secara fisik. Tetapi juga persoalan biaya. Uang senilai Rp. 5.000 adalah biaya yang cukup murah, hemat dan ekonomis untuk ukuran kota metropolitan seperti Jakarta. Jadi teringat ucapan Anies, "saya tak akan jawab dengan kata-kata, tetapi saya akan jawab dengan kerja dan karya". Anies nampaknya berhasil membuktikan ucapannya itu. Warga Jakarta, juga rakyat Indonesia akan menunggu bukti-bukti berikutnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-2)
by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Rabu (01/11). Kebijakan pengembangan wilayah dalam upaya memotong rentang kendali di Papua dimulai dengan pembagian wilayah administratif (funsional region). Itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1996 Tentang Pemekaran Provinsi Papua. Papua pun dibagi menjadi Papua, Papua Barat dan Papua Tengah. Sampai saat ini baru terealisasi penambahan 1 (satu) propinsi, yaitu Papua Barat. Padahal selain membagi Papua dalam tipologi, pembagian wilayah juga diikuti dengan kelahiran UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Lahirnya regulasi itu sebagai atribusi kebijakan merespons tuntutan perhatian pemerintah terhadap persoalan sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Papua. Paling tidak, ada lima sasaran utamanya. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur dan afirmasi. Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dinyatakan tegas dalam Pasal 33 ayat 3 huruf C, bahwa dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan oleh pemerintah dan DPR didasarkan pada usulan provinsi pada setiap tahun anggaran. Dana tambahan itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 huruf f menyebutkan, pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam dua puluh lima tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas. Dengan demikian, Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik, serta menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Kita perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras atau boleh disebut kerja cerdas pemerintah dengan cap Nawacita. Ada empat agenda yang berkaitan langsung dengan tujuan pembangunan infrastruktur jalan yaitu agenda 3,5,6 dan 7. Agenda tiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Agenda lima meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Agenda enam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Agenda tujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Indikator capaian terhubungnya Propinsi Papua Barat dengan Propinsi Papua menjadi parameter output yang memastikan implementasi amanat Otsus tercapai. Lalu, apakah trans Papua efektif mendorong pergerakan arus orang. Juga pergerakan barang dan jasa sebagai penggerak utama (prime mover) terhadap multiplier effect yang akan dinikmati oleh penduduk Papua? Perlu dicermati. Keberadaan jalan pastilah dinikmati penduduk, terutama yang selama ini terisolasi. Setidaknya, waktu perjalanan bisa lebih cepat. Biaya angkut lebih murah. Volume angkut bertambah, dan akan berujung pada penungkatan mobilitas. Itu berarti, pembangunan jalan seharusnya mampu menjawab pertanyaan esensialnya. Jalan di bangun untuk apa dan bagi siapa? Indikator keberhasilan pembangunan jalan tidaklah cukup diukur dengan output melalui tersedianya atau terbangunnya jalan (performance indicator). Tetapi, seharusnya pada apakah jalan itu memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna? Memberi dampak terhadap persoalan pembangunan manusia, terutama kesejahteraan (substantive goals). Laba jangka panjang dari sebuah investasi pemerintah. Trans-Papua Jumlah pengguna jalan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin sudah lebih dari cukup. Tetapi bagaimana rasanya menggunakan jalan bagi mereka yang berada di pegunungan Papua? Yang membikin Janiver Manalu terenyuh? Dengan mencoba mengurai pertanyaan semacam itu, maka kita bersepakat bahwa jalan merupakan salah satu prasarana yang vital. Jalan sebagai upaya meningkatkan pembangunan wilayah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Tersedianya jaringan jalan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Bibangun pada lokasi yang tepat, akan mampu meningkatkan aksesibilitas penduduk di wilayah yang bersangkutan terhadap prasarana dan sarana dasar, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan. Anak-anak genereasi pewaris masa depan bisa bersekolah dengan baik. Terutama orang tua mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila sakit, penduduk dapat dengan mudah menjangkau fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia. Maka, aksesibilitas yang baik, akan mengurangi biaya transportasi. Sehingga produk-produk yang dihasilkan penduduk perdesaan, khususnya komoditas pertanian memiliki daya saing yang cukup baik. Sebaliknya, keterbatasan jaringan jalan akan menyebabkan keterisolasian. Sehingga menghambat penduduk untuk keluar dari berbagai persoalan pembangunan, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta tingginya kemiskinan. Kalau boleh kami bercerita lagi. Gambaran teknis dari cerita Janiver juga kami dengar dari Ir. Osman H Marbun M.MT. yang menjabat Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII-Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga-Kementerian Pekerjaan Umum dan Parumahan Rakyat (PUPR), tentang Trans-Papua. “Rencana pembangunan jalan Trans-Papua termasuk Papua Barat, yang panjangnya 4.330 kilometer (km), sudah 95% selesai. Tinggal 154 kilometer lagi di tahun 2019 kita tangani. Itu berada di 10 segmen untuk Papua, dan dua segmen di Papua Barat,” jelas Osman. Suatu sore sepulang ngobrol dengan Omah Laduani Lasamai, Kepala Badan Litbang Provinsi Papua, kami duduk ngemper di lantai teras hotel. Terngiang pernyataannya, bahwa, infrastruktur di Papua adalah yang harus berbasis kearifan lokal. Baik alam maupun sosial budaya. “Kebutuhan paling mendesak orang Papua saat ini adalah kemandirian dan kesejahteraan. Jadi, masalah yang harus lebih didalami adalah kesejahteraan yang bisa didapat dari menggarap potensi kearifan lokal.” Pernyataan Laduani seperti menepuk bahu kami yang memikul pernyataan Kuahaty bahwa, infrastruktur jalan di Papua secara sempit musti memprioritaskan komunitas dan komuditas. Bahkan kini saatnya orang Papua memindahkan komuditas dari bahu ke mobil. Karena secara luas, kita masih melihat wilayah-wilayah dengan jaringan jalan yang terbatas. Ditandai dengan kondisi permukaan jalan yang buruk. Jembatan yang sempit, atau banyak belokan tajam, dan curam. Inilah bukti bahwa gagasan dan praktek memang kadang memiliki tenaga dan keterbatasan sendiri-sendiri. (bersambung).
Pemimpin Yang Berintegritas
by Shamsi Ali New York City FNN – Selasa (27/10). Di musim politik dan Pilkada seperti ini, tentunya masyarakat atau umat lagi-lagi diperhadapkan kepada kenyataan-kenyataan yang terkadang membingunkan. Tentu salah satunya adalah bingung dalam menentukan pilihan pada Pilkada tersbut. Dalam menentukan pilihan, terkadang memang tidak sederhana. Akan banyak sekali pertimbangan yang terlibat. Dari pertimbangan kedekatan (keluarga dan teman), kemampuan, Ilmu, karakter, agama, hingga kepada faktor uang. Saya menilai pertimbangan-pertimbangan itu sah-sah saja. Tapi pastinya ada pertimbangan yang seharusnya menjadi “flatform” atau dasar pilihan yang bersifat universal. Artinya, harus ada pertimbangan dasar yang menjadi alasan utama dalam menentukan pilihan. Salah satu pertimbangan utama dalam menentukan pilihan adalah agama dan karakter kandidat. Agama menjadi penting karena diharapkan seorang pejabat akan lebih amanah. Dengan agama pastinya seorang pejabat akan memiliki rasa tanggung jawa (sense of responsibility). Tidak saja secara duniawi (kepada rakyat ya). Tetapi lebih dari itu, tanggung jawab ukhrawi kepada Rabbnya di akhirat kelak. Agama seseorang itu dalam konotasi sosial, termasuk kepemimpinannya, akan terbentuk dalam wujud “karakter kemanusiaan”. Agamanya akan terbaca dalam prilaku dan integritasnya. Pemimpin yang beragama secara benar, tidak akan menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai mainan politik. Di saat musim kampanye serta merta menjadi “so religious” (nampak seperti beragama). Dari ragam kegiatan keagamaan, hingga kepada penampilan lahirnya menjadi nampak sangat beragama. Pemimpin yang beragama justeru akan menampakkan nilai-nilai agama itu dalam menjalankan kampanye politiknya. Bahwa dia tidak akan membangun kekuatan politiknya di atas dasar keuangan yang maha kuasa. Sehingga dia tidak akan membeli suara. Jika memang punya uang, maka uang itu akan dipergunakan dalam bentuk “programming” yang bersifat sosial dan manfaat umum. Bukan membeli suara melalui apa yang dikenal di negeri ini dengan “serangan fajar”. Pemimpin yang beragama juga mengedepankan pertarungan visi/misi dan program, ketimbang faktor lain dalam laga politiknya. Bahwa sebuah perhelatan politik memang memerlukan duit. Tetapi pemimpin yang berintegritas (berakhlak) akan selalu meraih hati masyarakat melalui visi/misi dan programnya. Tentu pemimpin beragama juga adalah pemimpin yang memiliki prilaku yang mulia. Pemimpin yang tetap “tawadhu” dan menjalin komunikasi dan silaturrahim dengan siapa saja tanpa memandang status sosialnya. Bukan ramah di saat kampanye. Tetapi berubah total di saat telah menjabat. Pemimpin beragama juga menjaga nilai-nilai moralitas dalam hidupnya. Maka dia akan menjauhi segala yang dilarang agama. Apapun itu, dari berbohong kepada rakyatnya, minum khamar, berjudi dan melakukan penyelewengan dalam hal kehidupan intimnya. Jika seorang calon itu dikenal memang sering ke Macau atau Singapura untuk berjudi jangan harapan akan mampu menjadi pemimpin yang berketauladadan bagi masyarakatnya. Sementara ketauladanan akan menentukan wajah masyarakat di masa depan. Disinilah kemudian masyarakat (pemilih) harus jeli membaca atau mencari tahu siapa pemimpin yang akan dipilihnya. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berdampak tidak saja lima tahun dalam kepemimpinannya. Tetapi boleh jadi berimbas ke dalam kehidupan yang lebih jauh lagi ke depan. Silahkan memilih teman, kerabat, bahkan saudara. Tetapi hendaknya pertemanan, kekeluargaan dan persaudaraan tidak menjadi pertimbangan yang menentukan. Karena tidak menutup kemungkinan saudara yang dipilih, namun tidak berintegritas itu justeru mencampakkan kepentingan masyarakat umum, bahkan teman dan keluarga yang memilihnya. Saya justeru khawatir, jangan-jangan menjatuhkan pilihan berdasarkan pertemanan dan kekeluargaan itu justeru menjadi bagian dari bentuk “nepotisme” tanpa disadari. Sebuah prilaku menyeleweng yang hina dalam kehidupan publik. Lebih runyam lagi disaat pilihan itu, ternyata didasarkan kepada kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Mendukung kandidat tertentu karena sebuah harapan untuk mendapat proyek tertentu pula. Atau dalam bahasa pinggir jalan, “ada kerupuk di balik rantang”. Penulis adalah Imam di kota New York & Presiden Nusantara Foundation.
Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-1)
by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Senin (19/10). Tanggal 19 Desember 2018, kami menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih, Papua. Malamnya menginap di sebuah hotel, di Abepura. Ini kota kecil saja. Tidak ada beton-beton industri. Apalagi beton yang megah berdiri seperti di kota-kota besar. Sambil menunggu Dr. Janiver Manalu, Dekan Fakultas Teknik Universitas Cendrawasih (Uncen) untuk berbincang-bincang, kami minum kopi panas di restorant hotel kami nginap. Ketika minum kopi itu, iseng-iseng kami berpikir, adakah kami sedang menikmati Papua? Nikmati kopi panasnya, iya! Yang kami pikirkan itu mungkin sedikit menyangkut kelas. Setelah Janiver muncul dan kami berbincang. Terasa kalau kita mau menikmati Papua sambil duduk di warung kecil, di tepian jalan dan memandang keriuhan jalan protokol Abepura. Namun itu mungkin akan terjadi sepuluh atau limabelas tahun lagi. Yang pasti. “Saya pernah terenyuh”, demikian Janiver memulai cerita. “Ketika masyarakat dari pegunungan Papua, pada suatu hari meminta tolong agar jalan bisa dibuka. Mereka bahkan ingin bisa menikmati jalan itu seperti apa? Ingin menikmati jalan seperti saudara-saudara yang lain”. Jalur Emas Selatan Papua Mendengar cerita di atas. Kami langsung ingat sebuah perbincangan lain. Bersama Dr. Ir. Nicolaas E Kuahaty M.Ec.Dev. pemikir dan praktisi kebijakan infrastruktur. Saat mengingatnya, perbincangan itu membantu kami mengenal raksasa komunitas Papua dengan komuditasnya. Terutama yang berada di lahan terbuka NKRI, tetapi tersembunyi di depan mata. Bukan itu saja. Dari timbunan data dan informasi tentang bagaimana, dan ke arah mana Papua dibangun? Kuahaty secara analisis langsung memotong rute perbincangan dengan menyatakan bahwa pengembangann Papua idealnya dimulai dari selatan. Mengapa? “Wilayah selatan adalah wilayah terdekat sisi jarak dari Pulau Jawa. Kita tahu, barang-barang kebutuhan pokok termasuk bahan bangunan masih didatangkan dari Jawa. Rasionalitas jarak memiliki korelasi positif terhadap biaya, sehingga jarak terpendek akan berpengaruh pada pergerakan atau mobilitas.” Lalu, pernyataan berikutnya yang mengikuti analisa di atas berbuyi, “Selain itu, wilayah selatan Papua memiliki beberapa pusat kawasan stategis nasional dalam pembangunan yang berbasis pada Wilayah Pengembangan Strategis (WPS). Ini merupakan suatu pendekatan pembangunan yang memadukan wilayah dengan market driven yang tidak mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan”. Menurut Kuahaty, Pembangunan berbasis WPS fokus pada pengembangan infrastruktur menuju wilayah strategis. Ini mendukung percepatan pertumbuhan kawasan-kawasan di WPS, serta mengurangi disparitas antar kawasan di dalam WPS yakni Sorong, PKN Bintuni, PKN Mimika dan PKN Merauke. Penetapan pusat kawasan nasional adalah untuk mendukung beberapa industri strategis atau objek vital nasional. Misaslnya Industri Minyak Petrochina di Kab Sorong, Industri Gas BP Tangguh di Kab Bintuni, Industri Tambang Tembaga dan Emas PT Freeport Indonesia di Kab Mimika, dan Industri MIFEE di Kab Merauke. Jatuhnya, kata Kuahaty adalah “jalur jalan yang menghubungkan Sorong, Teluk Bintuni, Mimika, Yahukimo dan berakhir di Merauke.” Jadi, bila pemerintah mendorong konektivitas selatan Papua, maka akan terjadi sebuah pergerakan pertumbuhan linear yang cepat terhadap transportasi orang barang dan jasa. Hal ini signifikan dipengaruhi oleh adanya interaksi keuangan yang tinggi. Kita tahu, transportasi manusia atau barang bukanlah tujuan akhir. Makanya itu, permintaan akan jasa transportasi dapat disebut sebagai permintaan turunan (derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditas atau jasa lainnya. Beberapa perubahan yang merupakan manfaat dari konektivitas selatan Papua adalah akan memberikan akses yang lebih mudah bagi tenaga kerja, terutama orang asli Papua untuk melakukan pilihan yang lebih rasional terhadap peluang kerja pada industri yang ada. Kemudian, akan mendorong bertumbuhnya jalur distribusi pangan untuk industri yang di supply dari kawasan belakang yang memiliki lahan potensial pertanian dan perkebunan. Selanjutnya, terciptanya hilirisasi industri melalui pembangunan peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery). Sementara pemanfaatan sisa produksi Migas dan Tambang dapat memenuhi kebutuhan pupuk untuk pengembangan kawasan pangan andalan di Merauke melalui MIFEE. Bahkan sisa pasir tambang (sirsat) PT.Freeport Indonesia dapat dijadikan bahan dasar pembuatan semen. “Pengembangan industri hilir,” kata Kuahaty, “pada intinya adalah untuk memastikan terciptanya rantai nilai ekonomi (value chained of economics). Sebab pada akhirnya, the last but not least, jalur tersebut akan memberikan efek perpindahan dengan daya beli yang tinggi. Nanti untuk jangka panjang, dampaknya adalah, meningkatnya daya saing daerah. Yang diperlihatkan dengan menurunya angka kemiskinan. Daya serap tenaga kerja tinggi, Pertumbuhan ekonomi yang stabil. Ketimpangan (gini ratio) berada pada distribusi pendapatan merata. Tentu akan berujung pada Papua Mandiri, yakni menjadi tuan di negeri sendiri. Sebuah harapan dalam konsep membangun jalur emas di selatan Papua. Selanjutnya, sebagai sebuah alternatif dalam menggagas kebijakan pembangunan transportasi rel kereta api. Jalur ini dapat dipertimbangkan mengingat posisi staretigis dalam mendorong pembangunan inklusif di Papua. (bersambung). Penulis adalah Wartwan Senior FNN.co.id.
Jenguk Para Korban, Anies Tunjukkan Leadershipnya
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (16/10). Demo ricuh. Terjadi baku hantam aparat dan demonstran. Ada kelompok ketiga yang diduga berperan sebagai pemicu kerusuhan. Memprovokasi agar aparat dan demonstran berhadap-hadapan. Terlihat dalam video yang beredar, terjadi tindakan anarkis sejumlah pihak. Fasilitas umum dirusak, termasuk milik Pemprov DKI Jakarta. Entah oleh siapa yang melakukan pengrusakan tersebut. Yang pasti, bukan para demonstran. Ada tangan-tangan jahil yang memanfaatkan ketulusan dan perjuangan para pelajar, mahasiswa dan buruh dalam demo UU Ciptaker itu. Anies hadir di tengah ketegangan itu. Lewat tengah malam, Anies datang dan berada di tengah para demonstran. Mendengarkan semua aspirasi mereka. Kehadiran Anies berhasil untuk meredam gejolak para pendemo. Menampung aspirasi dan menenangkan para demonstran. Hingga mereka pulang dengan lega dan tenang. Esoknya, dan juga hari-hari berikutnya, terjadi lagi demonstrasi. Tak berhenti, dan terus bergelombang. Bahkan hingga hari ini. Sebab, tuntutan mahasiswa, buruh, ormas Islam dan elemen umat untuk membatalkan UU Ciptaker belum dipenuhi. Beberapa demonstrasi telah memakan banyak korban. Terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan rumah warga, diantaranya di Kwitang Senen Jakarta Pusat, diserbu aparat. Gas air mata bertebaran di dalam rumah. Ibu-ibu dan anak-anak balita yang tak terlibat dan tak tahu menahu tentang demo ikut jadi sasaran tembak gas air mata itu. Pedih! Perih! Tidak saja terasa di mata, tapi juga di hati. Kantor Pelajar Islam Indonesia (PII) diserbu. Sejumlah kaca pecah dan fasilitas dirusak. Aparat masuk ke dalam kantor dan menangkap sejumlah aktifis. Darah berceceran. Diduga banyak yang terluka. Entah darah itu keluar dari tubuh pelajar, atau bahkan nungkin kepala yang robek. Belum terkonfirmasi berapa ribu persisnya jumlah pelajar dan mahasiswa yang ditangkap. Entah berapa banyak pula yang terluka. Berapa banyak pula yang terkapar di rumah sakit. Ngeri bila kita melihat penganiayaan kepada mereka di berbagai video yang beredar di medosos. Betul-betul ngeri. Nggak bisa membayangkan anak-anak itu ditonjok ramai-ramai, dipukul pakai tongkat dan ditendang sepatu aparat. Yang pasti, itu terjadi di Indonesia. Terjadi pada saat pelajar dan mahasiswa itu sedang demo. Bukan sedang curi tambang dan korupsi uang negara. Tetapi, mereka sedang demo. Situasi agak mencekam. Ada yang bilang sudah pada level 5,5. Kalau level 6, itu artinya dharurat sipil. Kalau level 7, berarti dharurat militer. Itu istilah yang dibuat standarnya oleh aparat. Intinya, sudah lumayan gawat. Di tengah banyak demonstran yang terluka dan kantor yang rusak, Anies, Gubernur DKI Jakarta, hadir. Meninjau kantor PII yang rusak. Anies juga datang ke sejumlah rumah sakit dimana banyak pelajar dan mahasiswa yang terluka. Selain datang ke rumah warga yang ibu dan bayinya terkena gas air mata. Mereka adalah warga DKI. Kejadiannya di wilayah DKI. Dan Anies adalah geburnur dan pemimpin bagi warga DKI. Sudah seharusnya Anies ambil peduli dan menunjukkan empati. Anies ingin memastikan untuk saat ini, mereka baik-baik saja Begitu mestinya seorang pemimpin bertindak dan punya sikap. Silent, nyaris tak ada beritanya. Tanpa kegaduhan kata-kata, dan sepi dari sorot kamera, Anies terus bekerja. Menjalankan tugasnya sebagai pemimpin ibu kota. Sampai disini, Anies "on the track" dengan ungkapannya: "Saya akan jawab semua kritik itu dengan kerja dan karya, bukan dengan kata-kata". Dalam banyak hal, Anies nampak berusaha membuktikan apa yang pernah diungkapannya itu. Seorang pemimpin tidak boleh lari saat warganya berada dalam masalah. Apalagi mereka terluka. Mereka anak-anak muda, pelajar maupun mahasiswa. "Anak muda itu yang punya masa depan. Mereka berhak bicara karena mereka yang rasakan konsekuensi keputusan besar di hari ini", kata Anies. Entah apa yang dirasakan Anies saat melihat kantor anak-anak PII diporak-poranda. Para aktifis pelajar ditangkap aparat di kantor mereka. Sebagian dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Kesedihan dan keprihatinan itu jelas tersirat dalam ungkapan Anies: "Kita ini harus senang kalau ada anak-anak usia sekolah sudah ikut bicara soal-soal negara". Kalimat yang santun, tapi jelas pesannya. "Jika anak-anak bertindak salah, ya diberikan tambahan pendidikan. Bukan malah dihentikan pendidikannya", tegas Anies. Sang Gubernur jelas tak rela jika anak-anak Jakarta kehilangan pendidikannya. Nampak sekali bahwa jiwa pendidik dan leadership telah menyatu dalam diri cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini. Seorang pemimpin tidak hanya harus tahu bagimana menyapa rakyatnya. Tetapi juga harus bisa memahami apa yang dirasakan dan diharapkan oleh rakyatnya. Begitulah seorang pemimpin sejati yang selama ini dinanti dan dirindukan oleh sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Terima Kasih Pak Anies
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (15/10). Selesai naruh mobil di bengkel di kawasan bintaro, saya naik angkot. Kenapa naik angkot, dan nggak naik Grab Car? Alasan ekonomis di masa pandemi. Hehehe… Tepatnya, ingin merasakan suasana sosial yang lebih plural dengan para penumpang angkot yang lain. Sebab di angkot ada sensasi dan inspirasi tersendiri. Sensasi dan inpirasi di angkot ini nggak ditemukan saat naik mobil pribadi atau Crab Car. Bisa duduk di depan, persis samping mas sopir angkot. Terlihat satu persatu penumpang di belakang nyerahin kartu. Oleh sopir kartu itu di tempel di mesin kecil yang ada di depan. Bunyi tiiit. Lalu, kartu itu dikembalikan satu persatu ke para penumpang. Sampai pada giliran ke saya, mas sopir nanya, mana kartunya pak? Kartu apa maksudnya mas? Saya balik nanya. Aku nggak punya kartu angkot, jawabku. Kalau nggak punya kartu, nggak bisa pak. Kata mas sopir. Oh, kalau gitu, aku turun di depan saja. Ketika angkot berhenti, aku tanya lagi sebelum turun. Kalau kartu e-toll bisa nggak? Bisa pak. Mandiri dan lain-lain. Jawab mas sopir itu. Oh, kalau gitu, aku punya kartu e-toll mandiri. Segera aku keluarin dari dompet, dan kartu ditempel di mesin kecil di depan sopir. Ternyata, bisa! Alhamdulillah, ucapku. Aku nggak jadi turun. Mobil jalan lagi. Ini gratis pak. Sudah dua tahun. Mas sopir kasih Info. Seketika, insting investigatorku on. Ada dorongan untuk wawancara ke sopir angkot. Penasaran. Maklum, insting wartawan! Ini betul gratis? Tanyaku lagi. Betul! Nol (0) rupiah bayarnya. Sopir itu menjawab. Aku lihat di mesin, betul. Angka 0. Berarti digaji bulanan ya mas? Tanyaku lagi. Berapa gaji sebulan? Rp. 4,2 juta, katanya. Oh, gaji tetap, nggak dikejar setoran, kerja dengan tenang. Sahutku. Sopir mengangguk. Kutanya sopir lagi, ada berapa jumlah angkot yang gratis di DKI? Dia beri rincian per rute. Hapal betul sopir ini. Anda sopir atau pengusaha angkut? Gumam dalam hatiku. Totalnya, kata si sopir, ada ratusan angkot Jaklinko di DKI. Gratis. Ini luar biasa! Sampai di Lebak bulus aku turun. Semua penumpang, tanpa terkecuali mengucapkan terima kasih ke mas sopir. Gratis, bawa angkotnya santai dan komunikasinya santun. Bagiku, ini bukan hanya soal gaji, angkot dan sopir. Tapi ini soal perilaku. Semua jadi berubah. Dengan gaji tetap, sopir tak lagi kejar setoran. Tak perlu zig zag, tak potong-potong jalan, nggak ngebut dan ngerem mendadak yang bisa membahayakan penumpang dan pemakai jalan yang lain. Mobil terawat, nyaman di jalan, gratis pula. Ada sekitar satu juta warga Jakarta yang menggunakan angkot setiap harinya. Jika semakin banyak warga menggunakan jasa angkot, maka otomatis akan berpengaruh pertama, pada kemacetan. Kemacetan akan sangat berkurang. Jalan mudah dan lempang lagi. Kedua, lebih ekonomis. Gratis, nggak perlu boros bensin. Kalau harus naik bus way atau MRT, murah sekali bayarnya. Sangat terjangkau oleh karyawan dengan gaji rendahan. Ketiga, angkot jadi tempat plural dan heterogen dalam interaksi dan pergaulan. Semua identitas, kebesaran dan status sosial melebur dalam satu lingkungan interaksi. Di tempat publik ini, ego status juga runtuh. Orang nggak kenal direksi, komisaris atau manager. Yang mereka lihat adalah penumpang angkot. Merata dan sama semua orang. Sekali lagi, ini bukan hanya soal angkot yang gratis. Tetapi ini soal pluralitas. Pembauran sosial dan terapi mental yang berefek pada terurainya kemacetan dan juga managemen ekonomi keluarga. Banyak hal positif yang bisa diurai dari program Jaklinko ini. Program Jaklinko DKI sangat baik, proper dan bisa dicopy paste untuk daerah-daerah lain, terutama perkotaan yang padat penduduk dan macet. Terima kasih Mas Sopir. Terima kasih Pak Gubernur DKI Jakarta. Anda telah membuat banyak perubahan di DKI. Tidak hanya perubahan kota, tapi perubahan mental dan perilaku warga Jakarta. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Gibran, Anak "Tuan 92%" Yang Menjadi Kadrun
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (05/10). Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi yang menjadi calon Walikota Solo merasa telah "booming". Apalagi mendapat dukungan dari koalisi mayoritas partai politik. Bahkan partai politik baru tanpa malu-malu juga ikut nimbrung mendukung. Dulu awalnya Gibran sama-sekali tidak terfikir untuk berkompetisi menjadi Kepala Daerah katanya. Mungkin saja karena takut menyulitkan posisi sang ayah yang mengagendakan jabatan politik yang lebih meroket dua periode. Karena keinginan dua periode sudah tercapai, maka sang anak sudah bisa untuk lampiaskan keinginan menjadi Walikota Solo. Situasi kini berbeda. Setelah muncul Gibran keinginan untuk menjadi Walikota Solo, tentu saja ini adalah keinginan mendapat dorongan atau dukungan penuh dari ayahanda. Masyarakat wajar saja kalai melihat status Gibran sebagai "putera raja" menjadi modal politik terbesar. Adapun modal kecilnya adalah kompetensi dan pengalaman yang sangat sangat minim dan bau kencur itu tidak lagi penting untuk dipertimbangkan. Jualan martabak saja, dipastikan bukan modal sosial untuk meraih jabatan politik. Modal utamanya adalah putera raja. Mulai merasa "over confidence". Gibran berujar bahwa kemenangan sudah pasti bakal digenggamnya. Tetapi tidak mau kemenagan itu sampai 70 % atau 80% saja. Harus bisa mencapai 92 % kemengan. Toh, sebenarnya kalau mau ditargetkan kemengan 110% juga boleh-boleh saja. Apalagi putera raja Namun kemenangan harus harus berdasarkan pada kalkulasi yang rasional untuk mencapainya. Atau memang pesaing independennya itu adalah pasangan yang "abal-abal" sehingga bisa dianggap enteng-enteng saja? Semacam shadow boxing begitu. Atau mungkin juga sudah siap dengan kelicikan dan mark up otak atik suara di Komusi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya yang awalnya hanya 29 suara. Namun di KPU bisa berubah menjadi 92? Kalau kelicikan ini yang sudah dipersiapkan, maka jangankan hanya 92%, kemengan yang lebih besar, bahkan 200% juga kemungkinan aja bisa didapat Gibran. Jadi teringat model kekaisaran Romawi atau Cina yang selemah apapun sang putera, atau kerabat dapat dengan mudah untuk menduduki kursi jabatan Kaisar. Bukan soal dinastinya, tetapi idiotnya itu. Rakyat pun tidak bisa berbuat apa-apa memiliki Kaisar yang bukan saja "incompetent", tetapi juga abnormal. Caligula dan Nero adalah contoh Kaisar yang gila kuasa. Kekuasaan adalah Tuhan. Kejumawaan Gibran merupakan fenomena praktek politik kolusif dan nepotisme. Bukan kompetisi obyektif dan fair. Apresiasi pada kapasitas kah sehingga Megawati Ketum PDIP dan Sandiaga Uno Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra akan ikut berderet berkampanye untuk Gibran? Atau ini urusan dengan ayahnya yang sang Presiden ? Adakah Partai yang berkoalisi untuk mendukung penuh Gibran itu berhubungan dengan budaya politik sandera menyandra? Atakah memang ada proteksi atau transaksi besar disana? Silah ditanyakan kepada yang terhormat para Ketua Umum Partai Politik pendukung Gibran tersebut. Sebab apapun yang ada dibalik dukungan penuh Partai Politik kepada Gibran, terserah mereka saja. Olok-olok publik pada Gibran muncul soal pencitraan yang berfoto koko peci mengimami shalat berjamaah. Komentar netizen demi jabatan walikota siap juga untuk menjadi kadrun. Like father like son. Teringat kembali Novel "The Da Peci Code" karya Ben Sohib. Soal sengketa interpretasi pemakaian peci di keluarga marga al Gibran di Betawi. Peci pencitraan. Mungkin bagi Gibran angka kemenangan 92 % adalah hal yang "biasa saja". Karena dirinya hanya orang yang "biasa saja" dididik oleh orang tua yang menganggap anak mantu besan maju Pilkada itu "biasa saja". Nepotismekah? "biasa saja". Jika menjadi Walikota ternyata tidak becus dan korup, maka itu juga "biasa saja". Biarlah kalau begitu masyarakat yang menghukuminya, dan juga itu "biasa saja". Selamat menikmati kampanye Pilkada di era Covid 19 "tuan 92 %". Kelak jika korban berjatuhan akibat pandemi Covid 19 meningkat, maka hal itu adalah hal yang "biasa saja". Memang bangsa sudah payah, karena punya Presiden dan anak Presiden yang "biasa saja". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dukung Bobby Nasution di Pilkada Medan, Sandi Uno Bunuh Diri
by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (21/09). Viral dan heboh. Sandiaga Uno akan berkampanye untuk Bobby Nasution (menantu Jokowi) di pilkada Medan, Desember nanti. Banyak yang terkejut. Banyak yang tertanya-tanya. Apa iya Sandi sebegitu mudah melakukan manuver yang, mungkin, membuat banyak orang kecewa? Jawabannya: memang iya. Memang mudah bagi Sandi. Sebab, dia itu adalah orang yang pragmatis. Cuma, banyak yang tak paham. Sandi itu ‘kan punya banyak kepentingan pribadi. Bisnisnya besar. Dia perlu berada dekat-dekat dengan para pemegang kekuasaan. Selain itu, Sandi masih bermimpi untuk ikut pilpres 2024. Bagaimanapun juga, Jokowi akan memiliki pengaruh di pilpres berikutnya. Meskipun pengaruh itu tidak besar. Dan bisa jadi juga Sandi sudah mendapatkan isyarat bahwa dia akan dibawa ke dalam kabinet setelah pilkada Medan. Posisi sebagai menteri, dalam teori, bisa memberikan efek positif bagi Sandi kalau dia mau ikut pilpres 2024. Mungkin ini yang membuat Sandi tak perduli lagi dengan rasa kecewa para pendukungnya. Dia kesampingkan semua dukungan itu demi masuk ke kabinet. Hanya saja, ada satu hal yang dilupakan Sandi. Bahwa tindakan dia mendukung Bobby itu malah akan menjadi beban bagi dia ketika nanti ikut pilpres. Sandi akan dikenang sebagai pengkhianat. Tidak kesan lain yang tergambar di benak pendukungnya. Dalam bahasa yang agak halus, Sandi bisa disebut pragmatis. Pragmatisme Sandi membuat dia ringan melakukan manuver zig-zag. Pragmatisme itu lebih-kurang sama dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Yang menjadi masalah adalah bahwa publik pendukung Sandi tidak menduga dan tidak menghendaki dia menjadi orang yang pragmatis. Hari ini, Sandi membukakan jati dirinya. Anda semua sudah paham. Dan harus paham. Paham bahwa Sandi sama dengan orang-orang lain yang juga pragmatis. Yang menghalalkan segala cara. Ingat, tidak banyak orang yang hirau dengan halal-haram. Baik itu halal-haram menurut syariat agama, maupun halal-haram menurut etika politik, sosial, bisnis, dll. Inilah yang membuat Indonesia tak mampu beranjak dari disorientasi di segala bidang kehidupan. Lompat-melompat pagar adalah hal yang lumrah. Gonta-ganti prinsip, kubu, atau cara, dianggap bukan hal yang aneh. Sekarang, ketika Sandi melakukan itu, ada rasa kaget. Kok bisa begitu ya? Padahal, ini semua bukan barang baru. Dan, ingat juga, bahwa orang yang dikagumi Sandi dan dia akui sebagai mentor politiknya, yaitu Prabowo Subianto, sudah lebih dulu mempraktikkan pragmatisme. Prabowo tak hirau dengan konstituennya ketika dia bergabung ke kubu Jokowi menjadi menteri kabinet. Dan ketika dia memberikan dukungan kepada anak-menantu Jokowi yang tahun ini ikut pilkada. Prabowo tidak perduli apakah ada orang yang kecewa atau tidak. Tampaknya, Pak Prabowo yakin bahwa dia akan menjadi capres kuat di pilpre 2024. Sehingga beliau tak ambil pusing dengan reaksi negatif dari siapa pun juga. Nah, Sandi Uno pun bisa jadi sepikiran dengan Prabowo. Sandi tak perduli dengan kalkulasi para pemerhati bahwa mendukung Bobby Nasution adalah jalan bunuh diri kalau dia masih berambisi ikut pilpres 2024.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id