HUKUM

Logika Bingung Partai Banteng, Sampai Sprinlidik Bocor?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden PDIP. Ketua DPR-RI PDIP. Menkumham PDIP. Jaksa Agung PDIP. MenPANRB PDIP. Mensekab PDIP. Motor RUU KPK PDIP. PDIP: Kami Korban Pemerasan Oknum-Oknum Berkuasa. Yang Berkuasa PDIP! Jadi, Oknum PDIP Peras PDIP! Bingung kan jadinya? Apalagi, ternyata politisi PDIP sampai bisa “pegang” Sprinlidik KPK dalam kasus mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diduga terima suap dari politisi PDIP Harun Masiku yang hingga kini dinyatakan “buron” oleh pihak KPK. Bahkan, KPK memeringatkan mereka yang turut menyembunyikan atau membantu pelarian tersangka kasus suap penetapan PAW anggota DPR RI Fraksi PDIP Harun Masiku. Peringatan ini disampaikan Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri Menurutnya, mereka yang turut menyembunyikan Harun Masiku bisa dijerat Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Sangat memungkinkan (diterapkan Pasal 21). Ancaman hukumannya 3 sampai 12 tahun penjara atau denda Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta,” kata Fikri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020). Fikri memastikan, KPK tak akan menoleransi pihak-pihak yang melindungi pelaku kejahatan korupsi. Menurut Fikri, KPK sangat membutuhkan keterangan Harun untuk pengembangan kasus suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Fikri meminta tersangka Harun Masiku juga koorporatif karena nanti akan menjadi bahan pertimbangan meringankan hukuman. “Siapa pun yang tak kooperatif akan dipertimbangkan menjadi alasan yang memberatkan,” tegas Fikri. Ketua KPK Firly Bahuri mengimbau Harun Masuki agar segera menyerahkan diri. Baik itu kepada KPK maupun kepolisian. “Saya imbau HM di mana pun Anda berada, silakan Anda bekerja sama dan kooperatif,” katanya. “Apakah dalam bentuk menyerahkan diri ke penyidik KPK maupun pejabat kepolisian,” ujar Firly Bahuri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/1/2020). Pihaknya juga bekerja sama bersinergi dengan aparat kepolisian. “Itu sudah kami buat suratnya permohonan permintaan pencarian dan penangkapan lengkap dengan identitas yang bersangkutan,” ungkap Firly Bahuri. Sekarang ini KPK harus bekerja keras untuk menangkap Harun Masiku! Mengapa? Harun Masiku adalah “kunci padora” yang bakal membuka siapa saja yang terlibat dalam upaya suap Wahyu Setiawan. Apalagi, belakangan PDIP memastikan, pihaknya telah menjadi korban pemerasan oknum-oknum tak bertanggung jawab. Seperti dilansir JPNN.com, Kamis (16 Januari 2020 – 06:00 WIB), Tim Pengacara DPP PDIP menyebut bahwa konstruksi hukum yang terjadi (dalam kasus itu) sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Demikian kata Koordinator Tim Pengacara DPP PDIP Teguh Samudra dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). Menurutnya, DPP PDIP tak meminta KPU untuk melakukan PAW Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku. Namun, yang dilakukan oleh DPP PDIP adalah mengajukan penetapan calon terpilih setelah wafatnya caleg Nazaruddin Kiemas. Dalam mengajukan permohonan penetapan itu, partainya mengacu pada Putusan MA. Dalam putusan MA itu menyebut, permohonan penetapan bisa dilakukan oleh partai politik. “Persoalan sederhana sebagai bagian dari kedaulatan Parpol,” katanya. Teguh menceritakan kronologis bagaimana PDIP meski memiliki kewenangan dalam menentukan anggota DPR, tetapi menempuh jalur hukum. Awalnya, MA mengabulkan permohonan PDIP untuk menentukan pengganti Nazarudin Kiemas. Namun setelah putusan itu diberikan kepada KPU, lembaga penyelenggara pemilu menafsirkan lain sehingga menolak petunjuk MA itu. Karena ditolak KPU, partainya meminta MA untuk mengeluarkan fatwa memperjelas makna sebenarnyas secara hukum yuridis. Saat putusan itu keluar dan diteruskan ke KPU, lagi-lagi lembaga yang dipimpin Arief Budiman menolaknya. Menurut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, partai politik sebenarnya punya kedaulatan politik menentukan penetapan calon terpilih. Bahkan, DPP PDIP juga telah mengantongi perintah dari MA untuk menjalankan penunjukan Harun Masiku mengisi kekosongan kursi Nazarudin Kiemas. “Penetapan anggota legislatif terpilih, di mana kursi itu adalah kursi milik partai, maka kami telah menetapkan berdasarkan putusan MA tersebut bahwa calon terpilih itu adalah Saudara Harus Masiku. Hanya saja ini tidak dijalankan oleh KPU,” kata Hasto. Hasto mengingatkan KPU punya kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan siapa yang bisa duduk sebagai anggota dewan. Tapi, ia melihat ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan itu. Karenanya, Hasto mendorong KPK untuk memproses hal tersebut. “Bahwa KPU secara kolektif kolegial sejak awal telah mengambil keputusan untuk menolak permohonan resmi dari DPP Partai. Namun kemudian, ada pihak-pihak tertentu menawarkan upaya-upaya dan itu di luar sepengetahuan partai,” kata Hasto. PDIP Sakti? Sangat ironis sekali jika Hasto Kristiyanto melihat ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan, karena, seperti kata Teguh Samudera, sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Siapa “oknum tertentu” itu? Apakah PDIP lupa bahwa Presiden RI itu PDIP. Ketua DPR-RI PDIP. Menkumham PDIP. Jaksa Agung PDIP. MenPANRB PDIP. Mensekab PDIP. Motor RUU KPK PDIP. Ingat, yang berkuasa ya PDIP! Jadi, Oknum PDIP Peras PDIP?! Itu sama halnya Hasto mengatakan, Presiden Joko Widodo sebagai oknum yang memeras PDIP! Karena, KPU maupun KPK berada di bawah Presiden. Hasto saharusnya hati-hati dalam berucap! Pakailah logika! Jangan asal cuap! Ucapan Hasto seperti itu berpotensi memecah-belah PDIP sendiri. Dan, ini sangat berbahaya ketika ucapan Hasto dibawa ke rana hukum. Tapi, pejabat partai semacam Hasto koq masih dipertahankan di PDIP? Seorang teman berkelakar, PDIP itu “sakti”. Makanya, sulit menyentuh Hasto. Termasuk saat politisi PDIP Masinton Pasaribu sampai bisa tahu Sprinlidik KPK atas Wahyu Setiawan yang diduga terlibat suap PAW dari politisi PDIP Harun Masiku itu. “PDIP punya tuyul di KPK, Mas!” tegas teman tadi. Wow, makanya Masinton bisa tahu ada agenda penggeledahan Kantor PDIP di mana Hasto berkantor juga di sana. Meski kasus ini sudah berlanjut ke tahap penyelidikan tak semestinya Masinton bisa dapat. Jangankan Masinton, staf KPK pun bisa dipastikan tidak tahu menahu soal isi Sprinlidik yang ditandatangani oleh Ketua KPK periode 2016-2019 Agus Rahardjo. Ketika itu Masinton sedang membahas ada tidaknya sprint untuk penyelidik yang ingin menyegel ruangan di DPP PDIP. Di sini tampak adanya orang dalam (Internal KPK) yang memberikan surat tersebut kepada PDIP sebelum KPK datang untuk menggeledah kantor yang berada di kawasan Menteng itu. Tak wajar jika PDIP sudah mengetahui isi atau substansi yang akan dilakukan KPK. Tapi, karena ingin membuktikan kepada publik, sang politisi keceplosan mengungkap isi dari Sprinlidik tersebut. Padahal, pihak KPK membantah kalau memberikan surat tersebut kepada pihak yang tidak berkepentingan. Artinya, Masinton dalam hal ini mengatasnamakan PDIP telah dibantu oleh orang internal di KPK bernama Novel Yudi Harahap. Namun anehnya, nama yang disebut Masinton tidak ada dalam manivest data pegawai di KPK. Hal ini terkuak setelah media massa mencoba mengklarifikasi terkait nama yang disebut Mansinton kepada Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. Masinton menjelaskan asal-usul surat itu sampai ke tangannya. Ia mengklaim mendapatkan surat itu pada Selasa, 14 Januari sekitar pukul 14.00 dari seseorang yang mendatanginya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Artinya, surat itu didapat Masinton beberapa jam sebelum tampil di ILC. Ini bermula ketika Masinton mengacungkan Sprinlidik kasus Wahyu Setiawan dalam acara ILC, Selasa malam, 14 Januari 2020 lalu mengindikasikan PDIP “dekat” dengan KPK. Jadi, tak salah kalau teman saya tadi bilang, PDIP punya tuyul di KPK! Makanya, Sprinlidik pun bisa bocor sampai ke Masinton. Penulis wartawan senior.

Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate

Pembaca yang terhormat. Tulisan dengan judul "SPP Bocor Dan Derita PDI-P" ini sudah dimuat Portal Berita Online fnn.co.id edisi 19 Januari 2020, dengan link berita https://fnn.co.id/7190-2/. Namun entah mengapa, hari ini Senin 20 Januari 2010, sekitar pukul 13.00 WIB, link berita ini hilang atau dihilangkan tanpa sepengetahuan Redaksi dari laman website fnn.co.id. Akibatnya, berita yang ditulis oleh Dr. Margarito Kamis itu tidak lagi dapat diakses oleh pembaca setia fnn.co.id. Banyak pembaca kami yang menelapon untuk menanyakan hilangnya link berita tersebut. Untuk itu, Redaksi memutuskan untuk kembali memberitakan tulisan tersebut dengan judul “Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate”. Atas peristiwa ini, Redaksi fnn.co.id memohon maaf kepada para pembaca. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Berita acara mirip asli acap beredar terbatas di media tertentu. Pernyataan resmi KPK akan ada tersangka baru, sudah tertakdir menjadi ciri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK terbingkai dalam cara itu disepanjang kehebatan khas kupu-kupu kertas selama ini. Setiap kali sebuah kasus yang terlihat memiliki bobot politik, cara kotor khas spy itu terjadi. Tipikal spy kotor ini terlihat melilit kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Wahyu Setiawan, Komisioner KPU. Kali ini yang tersaji bukan berita acara. Yang tersaji adalah Purat Perintah Penyelidikan (SPP). Terlepas dari apakah benar atau tidak SPP itu. Asli atau tidak, praktis polanya saja yang bergeser. Bukan media masa terbatas atau media tertentu yang pertama kali mendapatkannya. Tetapi kali ini Pak Masinton Pasaribu, anggota DPR dari PDI-P, yang paling kritis terhadap KPK, yang pertama dikirimkan. Pola bocor-bocoran data dalam penegakan hukum, tipikal kerja spy. Pola kerja seperti ini pernah terjadi secara sistimatis. Dirancang dengan tujuan yang jelas dan pasti dalam kasus Watergate 1972. Dalam kasus ini jelas semua akibatnya. Richard Nixon, Presiden Amerika itu tersudut, terkepung pada semua apeknya. Nixon tidak bisa berkelit dari kasus itu. Akhirnya Nixon diimpeach tahun 1973. Orang Dalam Mark Felt, akan ditunjukan pada uraian selanjutnya adalah figur kunci bocornya sejumlah dokumen dan temuan penyelidikan FBI dalam kasus Watergate. Felt adalah Associate Deputy investigasi FBI. Felt berada dibawah Clyde Tolson, Deputinya. Di atas Tolson ada Edwar J. Hoover sebagai Direktur FBI. Ketika kasus Watergate muncul ke permukaan, bukan Felt, tetapi William Sullivan yang ditugaskan Hover melakukan domestic spying operation. Hover, disini terlihat, entah apa namanya, mungkin “mengintip” atau mungkin juga “tidak sepenuhnya memercayai” Sulivan. Hover, seperti ditulis Felt dalam Memoarnya Hover mengatakan “I need who some one control Sulivan”. Tidak ada yang dapat mengendalikan hari esoknya. Saat tidur malamnya, Hover malah meninggal dunia. Untuk mengisi posisi Direktur FBI yang kosong, Deputinya Clyde Tolson, diangkat memegang Direktur FBI untuk sementara waktu. Yang menarik, Tolson tak lama diposisi tersebut. Sebab L. Patrice Gray segera diangkat Nixon menjadi Direktur FBI juga untuk sementara menggantikan Tolson. Padahal menurut Felt, Gray tidak memiliki pengalaman dibidang ini. Tetapi Nixon memerlukan orang politik di posisi itu. Setelah Gray diangkat menjadi Direktur sementara FBI, William Ruckelhaus tampil menjadi acting Direktur FBI menggantikan Tolson. Tolson langsung mengundurkan diri dari FBI. Dan Felt diangkat mengisi jabatan deputi yang ditinggalkan Tolson. Suasana bergerak terus kearah eksplosif, karena sikap Felt. Mengapa? Begitu Hover meninggal dunia, dan Tolson naik menggantikannya, Hellen Gandy, sekertaris Hover selama lima dekade, membongkar 12 Box berisi file rahasia. Di dalamnya terdapat sejumlah nama yang diinvestigasi Hover. Sebelum diserahkan ke kepala devisi investigasi, file-file tersebut terlebih dahulu singgah ke Felt. Mark Felt akhirnya diperiksa di Komite Inteljen House of Representative. Dia disalahkan karenanya, tetapi Felt membantah tuduhan itu. Menurut Felt, justru dengan terbukanya box dan file-file tersebut, kita dapat mengetahui segala sesuatu yang salah. Bagaimana semua informasi itu bisa sampai ke pers dalam sifatnya yang sangat lengkap? Ternyata Felt yang membocorkan temuan-temuannya tersebut ke dua wartawan Washington Post. Keduanya adalah Bob Woodward dan Karl Benstein. Belakangan diketahui bahwa ternyata Woodward telah berteman dengan Felt, sekitar tahun 1969 atau 1970. Woodward juga diketahui pernah bekerja di Gedung Putih, sebelum akhirnya berhenti dari Gedung Putih, dan bekerja sebagai jurnalis. Kontak Felt dengan Woodward menggunakan kode tertentu. Seperti biasa di dunia spy. Felt meminta Woodward menyamarkan sumber berita. Itu sebabnya Woodward menggunakan “My friend” sebagai sumber beritanya. Apa yang terjadi sesudahnya? Situasi semakin eksplosif, terutama setelah berita Washington Post adisi tanggal 18 Mei 1972. Pada tahap ini Felt memberitahukan Woodward bahwa E. Howard Hunt terlibat dalam kasus ini. Tetapi Gedung Putih melindungi orang ini. Bersama dengan H.R Haldeman, Chief Staff-nya, Nixon menekan FBI untuk mengurangi laju investigasi. Sayangnya tekanan dari Nixon ini tidak berhasil. Felt malah bergerak semakin jauh lagi. Menariknya, di tengah situasi eksplosif yang semakin tinggi ini, Nixon malah hendak mempermanenkan Gray sebagi Direktur FBI yang definitif. Sayangnya, upaya ini tidak berhasil. April 1973 Gray mengundurkan diri sebagai pelaksana tugas Direktur FBI. Yang menarik, Gray malah menominasikan Felt, orang yang dicugai Nixon sebagai informan utama untuk semua berita terkait skandal Watergate di Wahington Post. Untuk itu, Nixon, beralih ke William Ruckelhaus, dan mengangkatnya sebagai acting Direktur FBI. Situasi semakin tak terkendali. Chief staf gedung putih diganti. Alaxanedr Haigh naik ke jabatan ini menggantikan Hadelman. New York Times, yang menyebut Felt “Deep Throat” memberitahukan kepada Chief Staf Gedung Putih bahwa Felt adalah informaan dari semua berita di Washington Post. Ruckelhause menindaklanjuti info itu. Ia memanggil Felt dan menanyakan kebenaran info itu. Felt menyangkal. Tetapi akhir yang pahit telah tiba untuk Felt. Keesokan harinya, persis tanggal 22 Juni 1973, Felt mengundurkan diri dari FBI. Buat Terang Jelas sekali penyelidikan perkara apapun, di negara demokratis, yang mengagungkan rule of law dengan segenap aspek teknisnya sekalipun, sama sekali tidak ditentukan secara determinatif oleh hukum. Aspek-aspek non hukum, khususnya aspek aparatur justru jauh lebih dominan dan menentukan. Aspek non hukum ini, untuk alasan integritas penegakan hukum dalam kasus bocornya SPP, terlepas dari asli atau tidak, harus dibuat jelas. Lika-liku Watergate mengharuskan adanya pertanyaan siapa yang menjadi, meminjam istilah Washington Post sebagai “My Friend” atau “Deep Throat” atau “Control Point”. Soal ini tidak bisa diserahkan jawaban ke rerumputan yang bergoyang. Pimpinan baru KPK, sembari mengenali hari-hari yang telah berlalu, ditemukan fakta empiris sempat diragukan. Penolakan kecil-kecilan terhadap mereka, setidaknya untuk sebagian, begitu terbuka dan meluas. Ini bisa jadi point kecilnya. Nyatanya OTT didasarkan pada SPP yang terlihat telah diterbitkan oleh pimpinan KPK sebelum periode Komisioner yang baru ini. Apa mungkin pimpinan baru sengaja menggunakannya? Bila tidak, siapa yang mengontrol dan memegang wewenang mengendalikan dan mengarahkan kehidupan menejemen tindakan-tindakan hukum di KPK? Mungkinkah pimpinan baru tidak memiliki jangkauan kontrol seluruh tindakan hukum, meliputi penggunaan surat itu? Logiskah meminta pemeriksaan terkordinasi dan mendalam tentang kemungkinan penyakit klik-klikan mewabah di KPK? Tetapi apapun itu, bila pimpinan memegang kontrol penuh, maka siapapun harus berpendapat tindakan OTT dan penggeledahan gagal sepenuhnya berada dalam kendali. Dalam arti diperintahkan dan diarahkan oleh pimpinan KPK. Bila begitu adanya, maka soalnya menjadi sangat sederhana. KPK oke dalam semua aspeknya. Konsekuensinya penggunaan surat itu, plus isu penggeledahan gagal tidak lebih dari sekadar sebagai cara pimpinan baru KPK memanggil kehebohan pertama di tahun 2020 ini. Tidak lebih. Itu juga bernilai tidak ada gelombang panas, apalagi klik-klikan amburadul dan mematikan di KPK. Tetapi hal-hal kecil itu, tidak dapat mengisolasi tuntas kegelisahan beralasan PDI-P yang diekspresikan oleh TIM Hukumnya. Apa rasionya? Faktanya hingga detik ini tidak terjadi penggelendahan, apalagi penyitaan di ruang-ruang, entah ruang siapapun di kantor PDI-P. Padahal telah tersiar luas penyidik KPK mau menggeledah ruangan tertentu di kantor DPP PDI-P. Sampai pada titik ini, yang dialami PDI-P terlihat memiliki kemiripan tipis dengan apa yang dialami Nixon pada skaldal Watergate. Gedung putih dan Nixon tersudut dalam kepungan sistimatis, terencana dan terarah dari Washington Post. Berita-berita Watergate bersumber dari Felt “My Friend” sebutan yang diberikan Woodward, atau “Control Point” dan “Deep Throat” sebutan yang diberikan New York Times. Penggeledahan telah tak terjadi, tetapi berita telah menyebar, dan PDI-P terlihat tersudut, bahkan menderita. Akankah ada orang “anonimus” persis seperti dilakukan New York Times membuka siapa “control point” dalam hiruk-pikuk kotor ini? Derita PDI-P, untuk alasan hukum, harus dianggap rasional. Tetapi terlepas dari derita yang dialami PDI-P, demi kelangsungan integritas penegakan hukum, eloknya, pimpinan KPK harus bicara. Terangilah alam penegakan hukum yang sangat kotor dan amburadul ini dengan kata-kata yang berbasis pada fakta terverikasi dan kredibel. Di ujung sana, Dewas KPK tak hanya bisa berdiam diri dalam menyikapi persoalan ini. Bicaralah secara terbuka wahai Dewas KPK. Bicaralah dengan kejujuran sebagai panduan utamanya. Buatlah semuanya menjadi terang-benderang demi bangsa yang besar ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

KPK Ditantang PDIP: Siapa Lindungi Harun Masiku?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Hingga tulisan ini dibuat, Harun Masiku, tersangka politisi PDIP penyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan, belum juga ditemukan keberadaannya. Adakah yang melindungi Harun dari kejaran petugas KPK supaya tidak tertangkap? Benarkah Harun masih di luar negeri sejak Minggu (6/1/2020)? Pejabat Imigrasi, Kepolisian, dan KPK menyebut Harun pergi ke luar negeri dan hingga kini belum kembali juga. Namun, dari investigasi Tempo.co menemukan fakta berbeda. “KPK segera berkoordinasi dengan Polri untuk meminta bantuan Interpol,” ujar Komisioner KPK Nurul Ghufron. “Hingga hari ini belum ada data kembali ke Indonesia,” begitu kata Arvin Gumilang, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM. “Kami akan komunikasikan dengan Singapura bahwa Indonesia mencari seseorang yang sedang ada di negara tersebut,” ungkap Brigadir Jenderal Argo Yuwono, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri. Dalam tulisannya “Raibnya Politikus PDIP Harun Masiku yang Terlibat Suap KPU”, Kamis (16 Januari 2020 17:02 WIB), Tempo menemukan fakta berbeda pada data penerbangan dan penelusuran di kampung halaman politisi PDIP itu. 11.30 WIB, 6 Januari 2020, ke Singapura. Berdasar informasi yang dikumpulkan Tempo, Harun memang terbang ke Singapura pada 6 Januari 2020. Ia menggunakan penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 832 sekitar pukul 11.30 WIB. 16.35 Singapura, 7 Januari 2020, ke Jakarta. Ia semalam berada di negara itu dan terbang kembali ke Jakarta dengan menggunakan Batik Air. Pesawat dengan nomor penerbangan ID 7156 itu terbang dari Bandar Udara Changi terminal 16 pukul 16.35 waktu setempat. 17.03 WIB, & Januari 2020, ke Hotel. Ia tiba di Jakarta pukul 17.03 WIB. Dari catatan penerbangan, Harun tercantum duduk di kursi nomor 3C, menggunakan tiket kelas Charlie. Informasi lain menyebutkan bahwa Harun kemudian menuju ke sebuah hotel di pusat kota di Jakarta. 8 januari 2020, bertemu Hasto. Harun pada Rabu, 8 Januari lalu, disebutkan dijemput oleh koleganya, Nurhasan, untuk kemudian diantarkan ke kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sini, menurut sejumlah informasi, Hasto telah menunggu. 22.30 WITA, 12 Januari 2020, Pria Misterius. Infomasi keberadaan Harun diungkapkan seorang warga Perumahan Bajeng Permai, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tempat tinggal Harun dan istrinya. Ia menyatakan melihat seorang pria datang ke tempat tinggal Harun pada sekitar pukul 22.30 Wita, Ahad malam, 12 Januari lalu. Pria itu mengendarai sepeda motor, berpakaian serba bitam, dan mengenakan penutup muka. "Saya tahu itu Harun dari perawakannya," katanya. Itulah data dan fakta yang ditemukan Tempo di lapangan. Jika menyimak tulisan Tempo itu, berarti sebenarnya posisi Harun Masiku sekarang ini sudah “berada” di Indonesia. Bukan di luar negeri, seperti yang disampaikan para pejabat di atas. Siapakah yang melindungi Harun Masiku? Padahal, Harun disebut-sebut sebagai penyedia uang untuk menyuap Wahyu Setiawan. Ia bisa menjadi “saksi kunci” dugaan keterlibatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang belum “disentuh” KPK. Tulisan Majalah.tempo.co 13-19 Januari 2020 menguatkan fakta bahwa Harun Masiku ada di Indonesia dan sempat bertemu dengan Hasto Kristiyanto di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan, Rabu malam, 8 Januari 2020. Ternyata gerak-gerik mereka dipantau oleh petugas KPK. Siang beberapa jam sebelumnya, KPK menangkap komisioner KPK Wahyu Setiawan, karena diduga menerima suap untuk meloloskan Harun Masiku ke DPR lewat PAW. Bersama Wahyu, 7 orang lain juga digulung. Dua diantaranya Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, kader PDIP yang dianggap dekat dengan Hasto Kristiyanto. Harun calon anggota legislatif dari PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Pada Pemilu 2019, perolehan suaranya di urutan keenam. PDIP ingin mengganti Nazarudin Kiemas, calon legislator peraih suara terbanyak, yang meninggal tiga pekan sebelum hari pencoblosan, 17 April 2019. Tapi KPU menetapkan Riezky Aprilia, peraih suara terbanyak kedua, sebagai calon anggota DPR. Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan. Nurhasan dilepaskan dari pengawasan karena bukan target kakap. Sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng. Sembari terus memantau keberadaan target, 5 penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Ketika hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar. “Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari lalu. Diantara polisi yang menawan petugas KPK, salah seorangnya adalah Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Ajun Komisaris Besar Hendy Febrianto Kurniawan. Para polisi mengambil foto tim KPK dan memaksa mereka menyerahkan password ponsel masing-masing. Mendengar keributan, seorang petugas KPK yang bersiaga di sekitar pintu depan PTIK merapat ke masjid. Ia mengenali Hendy, yang pernah bertugas di KPK. Hendy mundur dari lembaga antirasuh dan kembali ke Polri pada 2012. Pada 2015, ia pernah menjadi saksi yang memojokkan KPK dalam sidang praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri saat itu. Disapa oleh mantan koleganya di KPK, Hendy menyatakan tak kenal. Ia dan para polisi kemudian menggelandang lima petugas KPK ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Polisi pun memaksa para penyelidik itu menjalani tes urine. Para penyelidik tersebut ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari lalu. Menurut Ali Fikri, ada kesalahpahaman antara penyelidik KPK dan polisi. “Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu mereka dikeluarkan,” ujar Ali. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen R. Prabowo Argo Yuwono mengatakan proses interogasi merupakan hal yang lumrah. Dia mengklaim pemeriksaan berlangsung tidak lama karena tim KPK dijemput atasannya. “Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah,” kata Argo Yuwono. “Dari pemeriksaan, mereka hanya akan salat.” Tempo mencoba menghubungi dua nomor ponsel Hendy, tapi tak ada yang aktif. Hasto Kristiyanto membantah berada di kompleks PTIK pada Rabu malam itu. “Tidak,” ujar Hasto. Ia mengklaim sedang di suatu tempat karena sakit perut. Ironis, rasanya tak mungkin lima pasang mata petugas KPK tak kenal wajah Hasto. Hasto juga beralasan sedang sibuk menyiapkan Rakernas PDIP, yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-47 partai banteng, di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Adapun Nurhasan saat dimintai konfirmasi mengaku pada Rabu malam itu sibuk mondar-mandir dari Sutan Syahrir 12A ke Kemayoran untuk membantu persiapan Rakernas PDIP. “Saya sakit karena dua hari ini hujan-hujanan di jalan,” kata pria 38 tahun itu. Nurhasan menyanggah mendapat perintah untuk mengantar Harun. “Tugas saya cuma buka-tutup pagar di rumah itu,” ujarnya, seperti dilansir majalah.tempo.co. Jika KPK tak berhasil menangkap Harun, bisa dipastikan, Hasto akan tetap aman-aman saja. Bahkan, bersama MenkumHAM Yasonna H. Laoly yang juga Ketua DPP PDIP, Hasto bisa memberikan pernyataan pers di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta pada Rabu malam (15/1/2020). Dalam keterangan pers itu, memutuskan bahwa PDIP membentuk tim hukum untuk melawan KPK. Hal itu dilakukan terkait kasus dugaan korupsi yang melibatkan Wahyu Setiawan dan politisi PDIP Harun Masiku terkait dengan proses pergantian antar waktu atau PAW. Tim hukum dibentuk karena menurut PDIP, upaya penggeledahan kantor partai itu menyalahi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Sebab, keinginan menggeledah tak disertai dengan prosedur yang diatur dalam UU, yakni melalui izin Dewan Pengawas atau Dewas. Tidak hanya itu. PDIP juga melaporkan petugas KPK ke Dewas karena dianggap menyalahi aturan. Beranikah Ketua KPK Firly Bahuri hadapi PDIP? Penulis adalah wartawan senior

Arief Budiman Terlibat Suap Wahyu Setiawan?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Penetapan tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap politisi PDIP oleh KPK tidak akan berarti jika tak disusul dengan penetapan tersangka lain, yang tidak tertutup kemungkinan para komisioner KPU selain Wahyu. Dugaan korupsi (suap) komisioner yang menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto itu dikhawatirkan juga akan menyeret oknum Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju ini. Kotor benar “mainnya”. Ini baru 1 yang ketahuan. Sebagai rakyat biasa, kita berharap semoga saja KPK berani ungkap semua permainan kotor seperti ini mulai dari tingkat Nasional hingga Daerah. Wahyu diduga menerima suap hingga Rp 900 juta dengan menjanjikan PAW politisi PDIP. Adalah Harun Masiku yang ingin menjadi anggota DPR RI 2019-2024 untuk menggantikan PAW Nazaruddin yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan dalam Pileg 2019. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi PAW. Sebab, sesuai dengan perolehan suara, Riezky-lah yang berhak menggantikan Nazaruddin itu. Harun mencoba hendak menggeser Riezky. Harun yang sejak Minggu (6/1/2020) meninggalkan Indonesia itu diduga memberikan uang pada Wahyu agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui PAW. Saeful Bahri, tersangka lain, menyebut uang suap itu berasal dari Hasto. Wahyu pun pada akhirnya terkena OTT KPK dengan barang bukti uang suap Rp 400 juta. Harun Masiku bernasib apes, perjuangan untuk dilantik jadi DPR malah berujung penjara kena OTT KPK. Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyebut ada tanda tangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam surat permohonan PAW Harun Nasiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas. Tiga surat dari DPP PDIP yang ditujukan kepada pihaknya dibubuhi tanda tangan Hasto. Hal itu diungkapkan Arief dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020). Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, selain Wahyu, KPK telah menetapkan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu, mantan anggota Bawaslu. Kemudian, politikus PDIP Harun Masiku dan seorang pihak swasta bernama Saeful Bahri. Dua nama terakhir disebut Lili Pintauli Siregar sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Tersangka Harun sendiri tidak terjaring dalam OTT, Rabu (8/1/2020) lalu, saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Harun Masiku adalah caleg PDIP yang menempati urutan keenam dalam perolehan suara. Meski urutan keenam, justru Harun yang dimajukan PDIP untuk menggantikan Nazaruddin yang meninggal sebelum Pileg 2019 digelar. Sedangkan posisi kedua hingga kelima ditempati Riezky Aprilia (nomor urut 3), Darmadi Jufri (nomor urut 2), Doddy Julianto Siahaan (nomor urut 5), dan Diah Okta Sari (nomor urut 4). Meski meninggal, Nazaruddin memperoleh suara terbanyak. Saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020), Hasto Kristiyanto mengatakan, “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto meyakinkan. Benarkah? Semua itu nantinya akan terkuak dalam sidang DKPP yang kini sedang berlangsung di KPK. Setidaknya, Wahyu yang disidang terkait Kode Etik dipastikan tak akan mau “dikorbankan” sendirian. Dalam sidang Rabu (15/1/2020) saja ia mulai “nyanyi”. Meski Wahyu dan Arief menyatakan bahwa kasus yang menimpa Wahyu itu masalah pribadi, tapi keterangan Wahyu dalam sidang pertama sempat pula menyebut nama Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik. Bahkan, hingga nama anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Johan Budi, saat menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik itu. Wahyu mengatakan, ia sempat menyampaikan pada Arief dan Evi perihal PDIP yang menanyakan soal penetapan anggota DPR melalui proses PAW. Menurut Wahyu, hal ini disampaikan ke Arief dan Evi, lantaran ia mencium adanya potensi “permakelaran” dalam permohonan yang disampaikan DPP PDIP itu. “Saya bahkan sudah menyampaikan fenomena yang sedang saya hadapi,” ungkap Wahyu. “Saya pernah menyampaikan itu kepada Pak Ketua (Arief Budiman) dan Kak Evi (Evi Novida Ginting Manik),” kata Wahyu dalam persidangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (15/1/2020). “Saya pernah menyampaikan di chatting saya, saya mohon surat-surat penolakan terhadap PDI-P segera dikeluarkan karena ada situasi permakelaran,” lanjutnya. Kepada Arief, Wahyu bahkan sempat meminta supaya ia menghubungi Harun Masiku. Arief diminta Wahyu untuk menyampaikan bahwa permohonan PAW PDIP tidak bisa KPU laksanakan karena tak memenuhi ketentuan perundang-undangan. “Karena gelagatnya tidak enak, saya bilang ke ketua, ketua kalau ketua bisa berkomunikasi dengan Harun tolong disampaikan bahwa permintaan PDIP melalui surat tidak mungkin bisa dilaksanakan, kasihan Harun,” ujar Wahyu. Sementara itu, anggota Komisi II DPR Johan Budi sempat disebut Wahyu telah mengetahui adanya penolakan dari KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui proses PAW. Wahyu mengatakan, setelah dirinya menyampaikan ke Arief, Arief lantas menyampaikan sikap penolakan KPU ini ke sejumlah pihak, termasuk ke Johan Budi. “Ketua juga menceritakan pada kami, telah berupaya menjelaskan pada berbagai pihak soal sikap penolakan kami. Termasuk baru saja menceritakan pada Pak Johan Budi, Anggota Komisi II yang kebetulan bertugas sama ketua,” ujarnya. Tapi, Wahyu tak menyebutkan lebih lanjut bagaimana tanggapan Johan Budi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024. Wahyu diduga menerima suap dari Politisi PDIP Harun Masiku yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Selain menetapkan Wahyu dan Harun, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Yaitu mantan anggota Bawaslu, orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta bernama Saeful Bahri. Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Sementara Harun dan Saeful disebut sebagai pihak yang memberi suap. Sebagai Ketua KPU yang sudah dilapori Wahyu, seharusnya Arief Budiman mewanti-wanti Wahyu agar tidak “bermain” dengan upaya PDIP yang memaksakan kehendaknya. Apalagi memberi “angin surga” seolah bisa mengurus PAW untuk Harun Masiku. Apalagi, semua Komisioner KPU sudah tahu bahwa dalam penyelenggaraan Pimilu itu KPU berpegang pada UU Pemilu yang kemudian diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Adanya putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 itu tak bisa mengalahkan UU Pemilu. Berdasarkan putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, partainya memiliki kewenangan dalam menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia. Hasto menegaskan, dalam merekomendasikan nama Harun, PDIP pun berpegang pada aturan tersebut. “Proses penggantian itu kan ada putusan dari Mahkamah Agung. Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan Mahkamah Agung menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” lanjut Hasto. Dari sini sebenarnya Hasto “tidak tahu” bahwa posisi UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU, sehingga apapun putusan MA tidak bisa mengubah kedudukan hukum UU Pemilu yang ada di atas PKPU. Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 telah mengesahkan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak. Perlu dicatat, sukses Uji Materi PKPU di MA itu tak punya Kekuatan Hukum jika melanggar UU Pemilu. Sebab UU Memiliki Kekuatan di atas Segala Peraturan. Seharusnya Hasto dan para kader parpol belajar tahu, UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU! Sehingga, para kader politik tidak selalu salah dalam berpolitik dan patuh hukum. Seharusnya juga tidak ngotot memaksakan kehendak parpol (PDIP). Putusan MA yang menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai, harus dibaca secara yuridis formal. Artinya, sebenarnya MA sudah mengarahkan PDIP supaya kembali ke aturan formal hukum, yakni UU Pemilu. Kalau pun akhirnya KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin untuk duduk di kursi Senayan, adalah sudah tepat. Cuma pertanyaannya, mengapa sampai ada uang suap segala meski sebenarnya KPU sudah melaksanakan UU Pemilu? Tidak salah jika kemudian muncul pertanyaan, jangan-jangan ini juga sudah pernah dilakukan sebelumnya, cuma tak ketahuan. Apalagi, selama ini Wahyu Setiawan dikenal sebagai Komisioner yang menggawangi Situng KPU yang hingga kini, konon, belum “selesai” juga. KPU sukses menipu rakyat dengan hasil Situng yang tak kunjung kelar sampai hari ini. Dengan kata lain, KPU sukses menipu rakyat melalui penetapan hasil pemilu dadakan pada tengah malam buta saat rakyat sedang tidur nyenyak! Sekarang gantian, Komisioner KPU dan yang terlibat suap KPU yang tidak bisa tidur nyenyak! Penulis wartawan senior.

PDIP Melecehkan KPK dan Hukum

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalau arogansi PDIP ketika menghadang aparat KPK yang datang untuk menyegel atau menggeledah kantor Hasto Kristiyanto, 8 Januari 2020, dijalin dalam satu kalimat, ada kemungkinan bunyinya seperti ini: “Kami tolak geledah, kalian mau apa?” Kira-kira begitulah gambaran keangkuhan orang-orang PDIP. Tidak ada narasi lain yang pas. Sebab, baru pertama kali ini KPK gagal melakukan penyegelan dan penggeledahan. Dulu, di awal 2016, Fahri Hamzah pernah mempersoalkan penggeledahan KPK. Tapi, akhirnya, penggeledahan di ruang kerja seorang anggota DPR terlaksana juga waktu itu. Tentu akan ada yang bertanya, mengapa PDIP bisa arogan? Bisa menghadang tim KPK yang menjalankan tugas sesuai peraturan? Jawabannya: karena mereka yang berkuasa. Mereka merasa sangat berkuasa. Mereka bisa mengatur apa saja. Mereka merasa semuanya ada dalam genggaman PDIP. Kantor Hasto (Sekjen PDIP) di Jalan Diponegero, Menteng, Jakarta, hendak digeledah terkait OTT komisioner KPK, Wahyu Setiawan (WS), pada 8 Januari 2020 juga. Wahyu diduga menerima uang sogok ratusan juta dari Harun Masiku, seorang kader PDIP. Hasto diduga ikut berperan. Harun Masiku adalah kader Bu Megawati yang ingin beliau naikkan menjadi anggota DPRRI sebagai pengganti antar waktu (PAW). KPU sudah menetapkan Riezky Aprilia sebagai PAW untuk Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia sebelum Pemilu 2019. Tapi, pimpinan PDIP ‘ngotot agar Harun yang dinaikkan. Herannya, banyak yang berpendapat PDIP sudah tamat gara-gara kasus suap WS. Nah, apakah iya PDIP bakal selesai lantaran kasus ini? Bagi orang luar, mungkin ada benarnya. Tetapi, bagi orang PDIP kelihatannya mereka merasaa tidak ada dampak apa-apa. Itu terbukti dari cara orang-orang Banteng bereaksi setelah Wahyu tertangkap. Mereka bukannya kooperatif terhadap KPK, melainkan menunjukkan arogansi. Kesombongan. Sekarang, apa arti penolakan PDIP terhadap penggeledahan KPK? Agak sulit mencarikan makna yang proporsional untuk penghalauan petugas KPK itu. Terminologi yang paling ringan adalah pelecehan. PDIP melecehkan KPK. Sekaligus juga melecehkan hukum. Kalau kata “melecehkan” mau diperhalus lagi, Anda malah akan ketemu kata-kata yang lebih vulgar. Bisa-bisa lebih konyol. Kata “melecehkan” sudah sangat ‘generous’ untuk menggambarkan arogansi PDIP terhadap KPK dan hukum. Selain kata “melecehkan”, urutan berikutnya yang lumayan ‘halus’ adalah “mengangkangi”. Setingkat di atasnya adalah “mengentuti”. Sehingga kalimatnya menjadi, “PDIP mengangkangi dan mengentuti KPK serta hukum”. Jadi, lebih baik tidak usah kita carikan alternatif untuk menghaluskan makna “melecehkan”. Inilah yang paling pas. Meskipun tetap getir. Sebetulnya, semua ini tidak mengherakan. PDIP memang sudah lama tak suka KPK. Soalnya, banyak kader mereka yang terkena OTT. Sampai-sampai mereka merasa “dikerjai”. Padahal, begitulah adanya. OTT juga mengguncang parpol-parpol lain. Bahkan, ketua umum Golkar yang juga ketua DPR, Setya Novanto, dan ketua umum PPP, Romahumuziy, pun ikut terjaring. Ketua MK Akil Muchtar juga. Saking dendamnya PDIP pada KPK, para anggota DPR fraksi Banteng paling vokal mengusulkan revisi UU KPK. Yang membuat lembaga antikorupsi itu menjadi seperti sekarang ini. Bisa dilecehkan. Bisa ditolak masuk ke kantor pusat PDIP. Jadi, tidak berlebihan kalau dikatakan PDIP sengaja melemahkan KPK dan kemudian melecehkannya. Secara sistematis dan terencana. Dilemahkan otoritasnya, diatur orang-orang yang memimpinnya. Disesuikan dengan kebutuhan primer parpol. Yaitu, kebutuhan untuk bergerak bebas mencari “kerja lembur” tanpa ancaman OTT.[] 16 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Kasus Sogok Wahyu Setiawan Menghantui Hasil Pilpres 2019

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Setelah Wahyu Setiawan terkena OTT, kini muncul pertanyaan: kira-kira ada atau tidak sogok-menyogok dalam penetapan hasil Pilpres 2019? Bisakah diyakini para komisioner KPU bersih dari sogok-menyogok? Selama ini, masih belum ada bukti legalitas tentang orang-orang Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diperkirakan rawan sogokan. Sekarang, terbukti sudah. Para komisioner KPU pusat rawan terhadap sogokan. Ini yang diperlihatkan oleh Wahyu Setiawan (WS). Wahyu tertangkap basah dalam operasi OTT KPK pada 8 Januari 2019. KPK mengatakan, Wahyu menerima uang sogok 850 juta. Ada pula yang memberitakan 900 juta yang dimintanya dari Harun Masiku (HM). Harun sedang mengusahakan agar dia yang duduk sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu (PAW) untuk Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan di pileg 2019. Pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi anggota PAW. Sesuai dengan perolehan suara. Harun mencoba hendak menggeser Riezky. Inilah yang menjadi pintu korupsi WS. Apa yang bisa dipelajari dari kasus WS? Ada satu hal yang afirmatif. Dan konfirmatif. Bahwa orang-orang KPU pusat semuanya rentan terhadap sogokan. WS adalah salah seorang komisioner yang sangat dihormati karena selalu profesional. Dia menyatakan dirinya antikorupsi. Baik. Kalau semua komisioner KPU pusat dikatakan rentan sogokan, apakah integritas mereka selama ini patut dipertanyakan? Sangat pantas! Pantas ditelusuri. Dan sangat wajar dibicarakan. Apakah itu termasuk juga integritas KPU terkait hasil Pilpres 2019? Tentu saja kasus sogok Wahyu Setiawan memunculkan keraguan yang valid mengenai integritas semua komisioner KPU dalam menangani seluruh proses Pilpres 2019. Termasuk penetapan pemenangnya. Artinya, kasus sogok WS menghantui hasil Pilpres 2019. Dan, hantunya bukan hantu biasa. Hantu besar. Induk dari segala hantu kecurigaan. Apakah itu berarti hasil Pilpres 2019 harus dipersoalkan lagi? Tentu saja tidak perlu dipersoalkan lagi. Hanya saja, dari kasus WS itu publik semakin yakin bahwa kecurangan TSM itu memang terjadi. Sangat layak mencurigai adanya permainan tingkat tinggi dalam proses akhir Pilpres. Apakah mungkin ada yang memberi sogok dan menerima sogok? Dan apakah uang sogoknya puluhan miliar atau ratusan miliar? Hanya Allah SWT dan para pelakunya yang tahu. Tapi, masyarakat wajar dan berhak curiga. Bayang-bayang kasus sogok WS kini masuk ke ruang kerja semua komisioner KPU. Bayang-bayang itu membawa arsip hasil Pilpres 2019. Bayang-bayang memang tidak berfisik, tetapi ada bentuknya. Inilah yang bisa membuat para komisioner gelisah. Akan sering mengigaukan teriakan “Saya tak ikut, saya bersih!” dalam tidur mereka. Igauan yang tak ‘credible’. Penulis adalah Wartawan Senior.

Selain Bupati Saiful Ilah, Ada Raja Koruptor yang Sedang Diburu KPK!

Polemik yang membuat Saiful Ilah mulai oleh diawasi KPK, terjadi saat ia mengondisikan Pemkab Sidoarjo untuk membeli Kesebelasan Gelora Dewata milik H. Mislan pada 2001. Kesebelasan yang juga dibidani oleh pengusaha ekspedisi, almarhum Ali Mahakam, dan penyiar legendaris alamarhum Soepangat. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Bupati Sidoarjo Saiful Ilah akhirnya tertangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Rumah Dinas sekaligus Pendopo Delta Wibawa Kabupaten Sidoarjo, Selasa (7/1/2020). Bisa jadi, ini jawaban bagi yang meragukan Ketua KPK Firly Bahuri. Penangkapan ini sesungguhnya sudah diyakini para aktivis anti-suap sejak lama. Yakni, sejak Ketua DPW PKB Sidoarjo itu menjabat Wakil Bupati Sidoarjo mendampingi Win Hendarso pada periode 2000-2005 dan 2005-2010. Tapi, realisasi potensi terjeratnya pria yang karib disebut Abah Saiful itu terjadi pada Selasa (7/1/2019) malam. Seperti dirilis Antara, dalam OTT dengan barang bukti suap sebesar Rp 350 juta pecahan Rp100 ribu yang dibawa Novianto, ajudan bupati itu. Malam itu, KPK menangkap 11 orang. Yakni Bupati Sidoarjo Saiful Ilah; Kadis Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Sunarti Setyaningsih (SST); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Judi Tetrahastoto (JTE); Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Sanadjihitu Sangadji (SSA), dua ajudan bupati yang terdiri Kepala Sub Bagian Protokol Novianto (N), dan staf protokol Budiman (B). Sementara dari unsur swasta adalah kontraktor Ibnu Ghofur (IGR) dan Totok Sumedi (TSM). Demikian pula staf Ibnu Ghofur yang terdiri dari Iwan (IWN), Siti Nur Findiyah (SNF), dan Suparni (SUP). Keyakinan para aktivis anti-suap akan potensi Saiful Ilah dilibas KPK, karena sepak terjang pengusaha tambak udang itu sejak digandeng Win Hendarso memimpin Kabupaten Sidoarjo selama dua periode (2000-2005 dan 2006-2010). Kebijakan yang dilakukan seringkali berlawanan dengan Bupati Win. Banyak sekali Bupati Win membatalkan kebijakan “koboi” Saiful Ilah. Ironisnya Abah Saiful tak pernah mendapat teguran admistratif yang berbuntut penon-aktifan. Hal itu terjadi karena pada saat itu, belum ada payung hukum pemberian sanksi admistratif sampai penonaktifan wabup oleh bupati. Tak pelak lagi, hubungan antara Bupati Win dan Wakil Bupati Saiful Ilah berlangsung “benci tapi rindu”. Perseteruan diantara mereka terbaca secara jelas saat dua tahun periode kedua. Kondisi itu tak bisa disembunyikan dari para wartawan, yang ketika itu bertugas di lingkungan Kabupaten Sidoarjo. Bagaimana tidak, keduanya seringkali tidak dapat ditemukan di ruang kerjanya masing-masing pada hari yang sama. Saat Bupati Win ada di ruang kantornya, maka Wabup Saiful Ilah hari itu tidak ada di ruang kerjanya. Sebaliknya saat Wabup ada di ruang dinasnya, maka Bupati Win akan berdinas di rumah dinas dan menerima tamu di Pendopo Delta Wibawa. Dari perseteruan pejabat bupati dan wabup itu, secara birokrasi melahirkan tiga kubu kepala dinas, camat, lurah, hingga ASN kelas wader. Sekelompok dengan tegas pro Bupati Win, kelompok kedua pro Wabup Saiful Ilah, dan kelompok ketiga bermain dua kaki. Kelompok yang pro Bupati Win, mayoritas sudah mendekati usia pensiun dan punya prinsip. Sebaliknya yang pro Wabup Saiful Ilah dan bermain dua kaki, dilakukan mereka yang masih berusia produktif dengan usia pensiun melewati tahun 2017. Sikap demikian, untuk menyelamatkan karier dan jabatannya. Mereka yakin Saiful Ilah akan terpilih menjadi Bupati Sidoarjo periode 2011-2015. Polemik yang membuat Saiful Ilah mulai oleh diawasi KPK, terjadi saat ia mengondisikan Pemkab Sidoarjo untuk membeli Kesebelasan Gelora Dewata milik H. Mislan pada 2001. Kesebelasan yang juga dibidani oleh pengusaha ekspedisi, almarhum Ali Mahakam, dan penyiar legendaris alamarhum Soepangat. Obsesi Saiful Ilah itu agar Pemkab Sidoarjo bisa memiliki Gelora Dewata itu, untuk meniru kepemilikan Persebaya oleh Pemkot Surabaya. Kabupaten Sidoarjo bisa dikenal di Indonesia lewat Gelora Dewata, seperti citra Kota Surabaya dikilapkan Persebaya. Saat dimiliki Pemkab Sidoarjo, nama Gelora Dewata berganti menjadi Gelora Putra Sidoarjo (GPD). Tak lama kemudian namanya berganti menjadi Delta Putra Sidoarjo atau disingkat Deltras. Namun, ide tersebut sebenarnya ditolak Bupati Win. Mantan pejabat Pemprov tersebut tahu kepemilikan kesebelasan oleh pemda, sesungguhnya merupakan kebijakan melanggar hukum. Ini karena pemda harus mengucurkan dana hibah olahraga, tidak sesuai dengan prosedur sistem pembinaan olahraga daerah. Dengan memiliki kesebelasan GPD, menurut Bupati Win saat itu, Pemkab Sidoarjo telah melakukan pelanggaran hukum atas prosedur pengucuran dana hibah olahraga, seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya. Ini karena UU terkait pengucuran dana hibah sudah menetapkan dana hibah olahraga dari APBD, hanya diperuntukan untuk kegiatan olahraga bersifat pembinaan. Artinya kegiatan pembinaan olahraga yang ditangani KONI Kabupaten/Kota dan Provinsi, yang dilaksanakan oleh Pengurus Daerah (Pengda) cabang olahraga (cabor) di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Puncak sistem pembinaan olahraga daerah itu di Porseni, Porda, dan PON. Sementara sistem pembinaan atas kesebelasan sepakbola yang tampil dalam Liga Indonesia, setelah penggabungan kompetisi amatir (perserikatan) dan profesional (galatama) oleh PSSI pada 1994 menempatkan semua kesebelasan yang tampil merupakan kesebelasan profesional. Artinya, status kesebelasan tersebut secara hukum tak berhak menerima kucuran dana hibah olahraga APBD, yang berasal dari uang rakyat dan harus dikembalikan pada rakyat. Bukan diberikan pada para pemain sepakbola profesional, yang secara hukum harus dibiayai oleh swasta seperti kepemilikan tim-tim Galatama. Dalam memutuskan kebijakan pemilikan GPD oleh Pemkab Sidoarjo sebagaimana dimuat harian sore Surabaya Post, ternyata Bupati Win akhirnya mengalah. Menyetujui kepemilikan GPD oleh Pemkab Sidoarjo. Kebijakan itu terjadi, setelah pertemuan empat mata antara Wabup Saiful Ilah dan Bupati Win di rumah dinas bupati. Keputusan itu merangsang KPK periode pertama yang dipimpin Taufiqurahman Ruki tertarik mempelajari prosedur dana hibah olahraga dari APBD. Mempelajari semua UU dan semua peraturan terkait dana hibah olahraga dari APBD. Tapi, sampai akhir pengabdian Ruki, KPK belum sempurna mendalami pelanggaran dana hibah olahraga daerah, yang diselewengkan untuk membiayai kesebelasan sepakbola milik pemda di seluruh Indonesia. Laporan LSM Sementara nama Saiful Ilah mulai dibidik KPK, menurut salah satu komisioner KPK era kepemimpinan Antasari Azhar di Jakarta, Rabu (8/1/2020) pagi, terjadi sekitar 2007. Ini bermula dari masuknya beberapa laporan dari LSM dan warga Sidoarjo. Laporan itu terkait pelanggaran hukum kebijakan Wabup Saiful Ilah. Sejak saat itu alumnus Fakultas Hukum Universitas Merdeka, Surabaya, itu masuk dalam radar bidikan. Ironisnya semua bukti laporan itu bersifat tak langsung. Sehingga lembaga anti-rasuah itu harus melakukan pendalaman. Sehingga, mendapatkan bukti langsung yang melahirkan kesempatan melakukan OTT. Perburuan terhadap Saiful Ilah dilanjutkan KPK saat dipimpin Abraham Samad. Bahkan statement Samad dalam seminar politik kebangsaan di kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS), di Jakarta, Kamis (12/12/2013) siang. Menurut Samad, masih banyak koruptor paus dan raja koruptor di Jatim secara tersirat adalah lampu kuning terhadap para koruptor di Jatim, yang salah satunya Saiful Ilah. Demikian pula terhadap Raja Koruptor yang pernah memimpin Jatim, yang dikelilingi oleh koruptor kelas menengah dan bawah dari kalangan swasta. Sedangkan dari hasil OTT di Pendopo Delta Wibawa, Kabupaten Sidoarjo, KPK yang dipimpin Irjen Polisi Firly Bahuri telah menetapkan enam orang sebagai tersangka, terkait kasus dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo. Dari kronologi OTT, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya menyita uang senilai Rp1.813.300.000 dari sejumlah pihak. Alex mengatakan, suap itu bermula dari pembangunan proyek infrastrukur di Sidoarjo. Pada 2019 Dinas PU dan Bina Marga, Sumber Daya Air (BMSDA) Kabupaten Sidoarjo melakukan pengadaan beberapa proyek. Ibnu Ghofur (swasta) merupakan salah satu kontraktor yang mengikuti pengadaan proyek-proyek tersebut. Sekitar Juli 2019, Ibnu melapor ke Bupati Saiful Ilah. Pada proyek jalan Candi-Prasung senilai Rp 21,5 miliar yang ia inginkan, terjadi proses sanggahan dalam pengadaannya. Sanggahan tersebut berpeluang membuat Ibnu tidak mendapatkan proyek tersebut. Kekhawatiran itu membuat Ibnu meminta Saiful, untuk tidak menanggapi sanggahan dan memenangkan pihaknya dalam proyek jalan Candi-Prasung. Sebagai informasi, periode Agustus – September 2019, Ibnu melalui beberapa perusahaan memenangkan empat proyek, yakni proyek pembangunan wisma atlet senilai Rp13,4 miliar; proyek pembangunan pasar porong Rp17,5 miliar; proyek jalan Candi-Prasung senilai Rp 21,5 miliar; dan proyek peningkatan Afv. Karag Pucang Desa Pagerwojo Kecamatan Buduran senilai Rp 5,5 miliar. Setelah menerima termin pembayaran proyek, Ibnu bersama Totok Sumedi (swasta) diduga memberikan sejumlah fee kepada beberapa pihak di Pemkab Sidoarjo. Alex menjelaskan pemberian fee tersebut merupakan penerimaan yang sudah terjadi sebelum OTT dilakukan pada 7 Januari 2020. Ia merinci sejumlah pihak yang mendapatkan uang. Pertama, Sanadjihitu Sangadji (SSA) yang diduga menerima suap Rp 300 juta pada akhir September. Uang suap sebanyak Rp 200 juta di antaranya, ujar Alex, diberikan kepada Bupati Saiful pada Oktober 2019. Kedua, Judi Tetrahastoto (JTE) diduga menerima Rp 240 juta. Ketiga, Sunarti Setyaningsih (SST) yang diduga menerima Rp 200 juta pada 3 Januari 2020. “Pada tanggal 7 Januari 2020, IGR [Ibnu Ghofur] diduga menyerahkan fee proyek kepada SFI [Saiful Ilah] Bupati Sidoarjo. Nilainya sebesar Rp 350 juta dalam tas ransel melalui N [Novianto], ajudan bupati di rumah dinas Bupati,” kata Alex dalam gelar perkara di Gedung Merah Putih, Kuningan-Jakarta, Rabu (8/1/2020) malam. Sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com, KPK menetapkan Saifulah Ilah sebagai tersangka lantaran diduga menerima suap dalam kasus pengadaan barang dan jasa di proyek Pemkab Sidoarjo. Selain itu, tiga orang lain diduga menerima suap terkait proyek tersebut, adalah Sunarti Setyaningsih (SST), Judi Tetrahastoto (JTE), dan Sanadjihitu Sangadji (SSA). Ketiganya merupakan pejabat dalam lingkungan Dinas Pekerjaan Umum di Kabupaten Sidoarjo. Dua orang tersangka lain yang ditetapkan KPK diduga sebagai pemberi suap, yakni Ibnu Ghofur (IGR) dan juga Totok Sumedi (TSM). Mereka berasal dari pihak swasta. Dalam perkara ini, tersangka yang menerima suap akan dijerat Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara, pemberi suap disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP. Tampaknya KPK tidak berhenti sampai di Saiful Ilah saja. Masih ada Raja Koruptor di Jatim yang kini sedang diburunya. Siapakah dia? Penulis adalah wartawan senior

Ada Orang Kuat Ingin Cegah Kasus Air Keras Novel

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Entah siapa yang punya kerja. Tiba-tiba kemarin muncul demo di depan Kejaksaan Agung. Yang berdemo menamakan diri Himpunan Aktivis Milenial (HAM). Sangat mengherakan. Selama ini tak pernah terdengar nama himpunan itu. Mereka menuntut agar kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan Novel Baswedan, dibuka kembali. Dulu, di tahun 2004, Novel menangani kasus pencurian sarang walet ketika dia bertugas sebagai polisi di Bengkulu. Novel dituduh menganiaya para tersangka pencuri. Tapi, Kejaksaan Negeri Bengkulu menututp kasus itu pada 2016. Luar biasa ini HAM. Beberapa hari saja setelah penangkapan dua polisi aktif tersangka air keras Novel, mendadak muncul aksi demo mereka. Rapi sekali. Lengkap dengan semua aksesori demo. Harus diakui kehebatan para aktivis milenial. Terutama kehebatan para sponsornya. Demo ini sangat politis. Dengan tujuan agar kasus air keras bisa diganggu. HAM bisa menunjukkan “aksi cepat tanggap”. Generasi milenial yang patut diapresiasi. Biasanya, para milenial memihak ke KPK. Atau sekalian memihak ke café-café. Lebih banyak main gadget di situ. Tapi, kali ini, kesadaran hukum milenial yang tergabung dalam HAM, sangat tinggi. Mereka menuntut agar Novel Baswedan ditangkap dan diadili. Kelihatannya, ada segerombolan orang yang tak rela kasus air keras Novel diselesaikan tuntas. Mereka takut kedua tersangka akan menceritakan skandal besar yang mungkin akan menjatuhkan seseorang dengan posisi tinggi. Tentu HAM bebas melakukan unjuk rasa. Namun, sangat disayangkan kalau mereka tidak paham bahwa negara ini sedang diacak-acak oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan besar. Gerombolan perusak negara itu berpenampilan cendekia. Tampak seperti orang bijak. Padahal, mereka adalah orang-orang yang bermental koruptif dan berpikiran brutal. Publik berharap dan yakin Kapolri Idham Aziz tidak akan kendur. Semua yang terkait dengan kasus air keras Novel, perlu diurai sampai tuntas. Termasuk kaitan antara air keras itu dengan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Novel dalam posisinya sebagai penyidik KPK. Novel sedang memproses 6-7 kasus korupsi waktu disirami air keras, dua setengah tahun lalu. Salah satunya diduga melibatkan seseorang yang sangat kuat di pemerintahan Jokowi. Orang inilah yang dipercaya sedang berusaha mencegah penuntasan kasus air keras.[] 30 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Idham Azis dan Lystio Sigit Menulis Hukum

Siapa yang mengerti hakikat manusia, ia mengerti hakikat harkat dan martabat manusia. Siapa yang mengerti hakikat dan martabat manusia, dia mengerti perkara hakikat keadilan. Siapa yang tahu dan mengerti hakikat keadilan ia tak kemana keadilan itu berinduk. Seagung apa keadilan itu. Keadilan itu tak bakal mampu meremehkan, menyembunyikannya untuk alasan apapun. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Idham Azis baru berada di puncak pangkat dan organisasi Kepolisian. Tanggal 1 November 2019 pria asal Soppeng, Sulawesi Selatan ini resmi menyandang pangkat Jendral dan mangku jabatan Kapolri. Jendral Polisi dan Kapolri ini dikenal tidak banyak bicara. Ia, sejauh ini teridentifikasi sebagai jendral yang berjarak begitu jauh dengan diskusi teori demokrasi. Ia tak pernah terlihat sebagai sosok yang doyan bicara tentang hal non kepolisian. Tipikal ini terlihat samar-samar dimiliki pula oleh Listyo Sigit, Komandan Bareskrim baru. Dalam jabatan ini Listyo, mau tak mau harus dinaikan pangkatnya dari Irjen ke Komjen. Menarik, jabatan Kabareskirm sebelumnya dipangku oleh Idham. Sampai dititik ini keberadaan Idham dan Lystio pada pangkat dan jabatan masing-masing menjadi sangat menarik. Mengapa Idham dan mengapa Listyo? Apakah semasa di jabatan Kabareskrim, Idham telah memiliki data meyakinkan, yang detailnya membawa dirinya pada pengetahuan tak terbantahkan tentang siapa yang beralasan hukum ditetapkan jadi tersangka dalam kasus “air keras” itu? Beralasan untuk mengatakan positif. Tetapi mengapa tak diungkap saat dirinya masih kabareskrim? Berlasan untuk dianalisis. Apakah hambatan, tantangan tak terjelaskan dalam serangkaian aspek mendatanginya setiap detik dan sentimeter? Itukah tembok tak tertandingi yang dihadapinya? Itukah yang mengakibatkan Idham tidak dapat mengumumkan tersangka selagi dirinya berada di jabatan Kabareskrim itu? Dari dunia manakah hambatan dan tantangan itu mengalir? Idham sendirilah yang tahu, tentu bila semuanya ada. Setiap orang memiliki lautannya sendiri. Setiap hati punya derajatnya sendiri, juga mimpinya sendiri untuk hari ini, esok dan kelak. Itu fitrah. Alamiah. Alamiah pula bila hatinya setiap saat menemani dirnya, menagih dengan langgam menekan dan mengepung dirinya untuk menuntaskan kasus menjijikan ini. Hati yang tergoda dengan kebaikan tak akan bisa, untuk alasan apapun, berkelit, apalagi sembunyi. Tidak. Ia akan berontak, membawa pemiliknya tunduk pada kebaikan, pada kebenaran. Itukah yang membawa Idham memanggil Listyo, tentu karena Idham memercayai kesanggupan Listyo mengungkap tuntas kasus ini? Idham, Kapolri inilah yang tahu. Tak lebih. Apapun yang mungkin dalam konteks itu, faktanya keduanya telah memberi bukti yang andal, bernyali, memiliki otak dan hati. Dua Komandan hebat ini menuntun dan memandu serta memberi bobot atas hakikat tanggung jawab. Kini lorong gelap, dramaturgi, jalan berliku penuh duri dan kerikil mematikan yang dilintasi kasus ini selama 2,5 tahun, tersingkir sudah. Semua kerumitan artifisial tersingkir sudah. Semua lingkaran hitam, menjijikan dan konyol serta berat selama 2,5 tahun melayang sudah. Lalu apa yang layak dipetik sebagai pelajaran hukum, bahkan pelajaran hati dari keberhasilan awal penetapan dua tersangka ini? Lupakanlah soal politik dan sejenisnya sebagai penjelasan paling meyakinkan atas terungkapnya kasus ini. Pelajaran tak ternilai dari peristiwa penetapan dua tersangka ini adalah penegasan bahwa ketangguhan hukum, kekuatan hukum, sekaligus kebaikan hukum tidak pernah, dengan semua alasan yang tersedia bersandar pada substansi hukum. Tidak. Sama sekali tidak. Ketangguhan hukum ditentukan sepenuhnya oleh ketangguhan penegak hukum, ketangguhan orang yang menegakan hukum itu. Tidak lain selain itu. Sejarah kehebatan hukum bukan sejarah tentang substansi hukum. Sejarah kehebatan dan ketangguhan hukum adalah sejarah tentang manusia khusus, yang menegakan hukum itu. Sejarah manusia yang menegakan hukum adalah sejarah tentang orang-orang khusus. Mereka disebut khusus karena tahu bahwa menyembunyikan kebenaran, menenggelamkan keadilan adalah cara kotor terbaik yang umum, menghancurkan bangsa dan negara itu. Mereka tahu bahwa dunia politik, hukum dan demokrasi itu sendiri memiliki derajat toleransi meremehkan dan memalsukan hukum dan keadilan. Tetapi orang-oran hebat tahu bahwa demokrasi dirangsang begitu kuat oleh hasrat mewujudkan keadilan untuk memanusiakan. Untuk membuat manusia beradab dan bermartabat. Dan hebatnya mereka tahu kebalikannya atau sisi hitam demokrasi. Sisi hitam itu adalah tersedia ruang besar bagi demokrat picisan memutarbalikan, memalsukan, menggelamkan keadilan dan kebenaran. Argumen demokrasi, mereka tahu penuh warna-warni. Selalu dalam setiap warna warni argumen demokrasi itu dapat dipalsukan semudah setiap orang bernapas. Demokrat picisan, dalam konteks ini selalu cukup cerdas menyodorkan pertimbngan teknis dalam menutup keculasannya untuk menenggelamkan hukum. Tetapi tidak bagi demokrat tanpa lebel, tanpa suara. Bagi mereka hukum itu sama sekali bukan sekadar teks, teknis-strategi dan taktik- rigid dan sejenisnya. Bukan itu. Hukum adalah perkara hakikat manusia. Perkara hakikat manusia adalah perkara harkat dan martabat. Perkara harkat dan martabat manusia adalah pekara induk keadilan. Siapa yang mengerti hakikat manusia, ia mengerti hakikat harkat dan martabat manusia. Siapa yang mengerti hakikat dan martabat manusia, dia mengerti perkara hakikat keadilan. Siapa yang tahu dan mengerti hakikat keadilan ia tak kemana keadilan itu berinduk. Seagung apa keadilan itu. Keadilan itu tak bakal mampu meremehkan, menyembunyikannya untuk alasan apapun. Penegak hukum yang tidak mengerti hakikat manusia, yang juga berarti tak megerti hakikat keadilan. Mudah membelokan, bahkan menghancurkan hukum dengan rasa gembira. Penegak hukum pintar akan menggunakan kepintarannya memperbesar dan melicinkan jalan teknis menenggelamkan kasus. Ya karena jalan teknis adalah jalan otak. Sementara keadilan adalah jalan hati, dan jalan rasa. Jalan “hati” dengan alasan yang bisa didiskusikan, suka atau tidak, senang atau tidak, sedang dititi dengan hati-hati oleh Idham, Sang Kapolri dan Sigit Listio, sang Komandan Bareskrim. Itulah pelajaran lain yang diberikan keduanya. Keduanya, siapapun harus percaya, dalam kasus ini tahu lebih dari siapapun bahwa dua tersangka itu hanyalah awal yang kecil. Tuntun dan pandulah terus kelanjutan penyidikan dengan hati yang terdidik. Teruslah pergi ke detail fakta kredibel yang tersedia dalam kasus ini. Teruslah masuk ke dalam, ke sudut-sudut yang lebih menantang. Teruslah memandu hasrat terkendali dalam penyidikan kasus ini dengan serangkaian pertanyaan hipotetis kritis. Cara ini akan membawa Bapak berdua terlihat anggun, seanggun desiran angin pagi berdesir ditepian pantai. Postur memuakan kasus ini, yang kini mulai mencair, saya percaya tidak bakal Bapak berdua biarkan menemukan lagi momen untuk kembali bergairah, bergerak naik. Keberhasilan kecil ini, apapun alasannya, telah terlihat manis. Jagalah itu dengan baik. Bapak berdua telah memulai dengan sangat manis. Teruslah melangkah sampai fakta tak terbantahkan dan dipertentangkan berdasarkan timbangan keadilan menghadirkan akhir yang adil. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Perampokan Dana Jiwasraya dan Pengungkapan Kasus Novel, Mana Lebih Berbahaya?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Menjelang akhir tahun 2019, terdapat dua isu besar yang menyedot perhatian publik. Pertama, kasus korupsi asuransi Jiwasraya yang mencapai Rp 13,7 Trilyun. Kasus ini sekarang sudah ditangani pihak kejaksaan agung. Tapi meskipun kejaksaan agung sudah memeriksa 89 saksi, sampai sekarang belum ada satu orangpun yang dijadikan sebagai tersangka. Langkah penyidikan yang dilakukan tim kejaksaan atas kasus korupsi di perusahaan asuransi Jiwasraya akan terus dipantau publik karena banyak dana masyarakat yang tersangkut di perusahaan BUMN tersebut. Bahkan ada sekitar 400-an warga Korea Selatan yang menyimpan dananya di perusahaan asuransi Jiwasraya terutama dalam produk investasi dan proteksi JS Saving Plan. Selain kasus Jiwasraya, pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan juga tidak kalah menarik. Pasalnya, setelah dua setengah tahun kasus ini mengambang dan tidak jelas, baru sekarang pelakunya bisa ditangkap. Dalam kasus ini, ibarat jeruk makan jeruk karena pelakunya adalah oknum aparat polisi yang masih aktif (di Brimob) yakni RM dan RB. Sementara pemeriksaan terhadap kedua oknum polisi tersebut, juga dilakukan oleh aparat kepolisian. Kasus ini juga menimbulkan banyak tanda tanya di benak masyarakat. Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi 11 April 2017, tapi mengapa baru terungkap di akhir tahun 2019 ? Padahal, aparat polisi sudah lama mengantongi alat bukti diantaranya berupa video CCTV proses penyiraman air keras tersebut. Justru setelah Kapolri dan Kabareskrim diganti, kasus Novel Baswedan ini baru bisa diungkap. Ada apa sebenarnya yang terjadi ? Begitulah pertanyaan masyarakat awam. Apakah ini terkait dengan kasus-kasus di kepolisian yang diungkapkan Novel Baswedan terutama menyangkut "Buku Merah". Seperti kita ketahui, Novel diserang pada 11 April 2017 saat berjalan menuju kediamannya, setelah menunaikan ibadah salat Subuh di Masjid Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat penyiraman air keras ini, kedua mata Novel terluka parah. Dia sempat menjalani operasi mata di Singapura. Berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya, namun polisi mengaku kesulitan menangkap pelaku atau dalang penyerangan terhadap Novel Baswedan. Polisi bahkan telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. Namun, hingga masa kerja tim itu berakhir, pelaku saat itu tidak berhasil ditangkap. Presiden Jokowi juga sempat memberi target ke Kapolri terdahulu, Jenderal Pol Tito Karnavian, untuk mengungkap kasus Novel dalam tiga bulan. Target itu diberikan Jokowi pada 19 Juli 2017, setelah tim gabungan pencari fakta yang dibentuk Tito gagal mengungkap kasus tersebut. Namun hingga tenggat waktu yang diberikan berakhir, kasus Novel belum juga terungkap. Jokowi justru mengangkat Tito Karnavian jadi Mendagri. Tapi begitu Kapolri digantikan oleh Jenderal (Pol) Idham Azis dan Kabareskrim yang baru dijabat Listyo Sigit Prabowo, barulah kasus Novel Baswedan bisa terungkap. Meski demikian, jangan sampai dua oknum polisi yang sudah dibekuk tersebut hanya dijadikan sebagai tumbal. Bareskrim harus mampu mengungkap aktor utama dibalik kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Kalau nanti yang didakwa dan dipenjara hanya dua oknum polisi tersebut, sangat boleh jadi mereka hanyalah orang suruhan yang sengaja dijadikan korban. Sementara aktor intelektual atau pihak yang menyuruh melakukan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, tidak diungkap secara terang benderang. Kembali pada pertanyaan tulisan ini, mana yang lebih berbahaya, kasus korupsi dana asuransi Jiwasraya atau kasus Novel Baswedan ?. Menurut penulis, keduanya sangat berbahaya bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Dana asuransi yang dirampok sebesar Rp 13,7 trilyun, bukan hanya merugikan masyarakat dan negara tetapi juga bisa mengganggu industri asuransi secara keseluruhan. Industri asuransi merupakan lembaga kepercayaan sama halnya dengan perbankan. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada perusahaan asuransi, jangan berharap industri jasa ini akan ini akan berkembang. Oleh karena itu, kejaksaan agung harus bisa bekerja dengan cepat, profesional, proporsional, cermat dan akurat. Kejagung harus bisa secepatnya menetapkan tersangka agar kasus korupsi Jiwasraya ini tidak menjadi bola liar. Kejaksaan Agung harus bisa menjelaskan keterlibatan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo dalam kasus korupsi ini. Sekaligus menjelaskan keterkaitan beliau saat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP). Kejakgung juga harus bisa menjawab pertanyaan publik selama ini yang menduga dana Jiwasraya digunakan untuk kegiatan kampanye Pilpres Jokowi pada tahun 2018. Kasus Jiwasraya maupun penyiraman air keras ke Novel Baswedan, kini sama-sama sedang ditangani aparat hukum. Yakni Kejakgung dan Bareskrim Mabes Polri. Jangan sampai perjalanan kasus hukum kedua kasus ini diintervensi oleh kelompok kepentingan bisnis dan politik. Wallahu a'lam bhisawab. Penulis wartawan senior.