Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate
Pembaca yang terhormat. Tulisan dengan judul "SPP Bocor Dan Derita PDI-P" ini sudah dimuat Portal Berita Online fnn.co.id edisi 19 Januari 2020, dengan link berita https://fnn.co.id/7190-2/. Namun entah mengapa, hari ini Senin 20 Januari 2010, sekitar pukul 13.00 WIB, link berita ini hilang atau dihilangkan tanpa sepengetahuan Redaksi dari laman website fnn.co.id. Akibatnya, berita yang ditulis oleh Dr. Margarito Kamis itu tidak lagi dapat diakses oleh pembaca setia fnn.co.id.
Banyak pembaca kami yang menelapon untuk menanyakan hilangnya link berita tersebut. Untuk itu, Redaksi memutuskan untuk kembali memberitakan tulisan tersebut dengan judul “Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate”. Atas peristiwa ini, Redaksi fnn.co.id memohon maaf kepada para pembaca.
By Dr. Margarito Kamis
Jakarta, FNN - Berita acara mirip asli acap beredar terbatas di media tertentu. Pernyataan resmi KPK akan ada tersangka baru, sudah tertakdir menjadi ciri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK terbingkai dalam cara itu disepanjang kehebatan khas kupu-kupu kertas selama ini. Setiap kali sebuah kasus yang terlihat memiliki bobot politik, cara kotor khas spy itu terjadi. Tipikal spy kotor ini terlihat melilit kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Wahyu Setiawan, Komisioner KPU.
Kali ini yang tersaji bukan berita acara. Yang tersaji adalah Purat Perintah Penyelidikan (SPP). Terlepas dari apakah benar atau tidak SPP itu. Asli atau tidak, praktis polanya saja yang bergeser. Bukan media masa terbatas atau media tertentu yang pertama kali mendapatkannya. Tetapi kali ini Pak Masinton Pasaribu, anggota DPR dari PDI-P, yang paling kritis terhadap KPK, yang pertama dikirimkan.
Pola bocor-bocoran data dalam penegakan hukum, tipikal kerja spy. Pola kerja seperti ini pernah terjadi secara sistimatis. Dirancang dengan tujuan yang jelas dan pasti dalam kasus Watergate 1972. Dalam kasus ini jelas semua akibatnya. Richard Nixon, Presiden Amerika itu tersudut, terkepung pada semua apeknya. Nixon tidak bisa berkelit dari kasus itu. Akhirnya Nixon diimpeach tahun 1973.
Orang Dalam
Mark Felt, akan ditunjukan pada uraian selanjutnya adalah figur kunci bocornya sejumlah dokumen dan temuan penyelidikan FBI dalam kasus Watergate. Felt adalah Associate Deputy investigasi FBI. Felt berada dibawah Clyde Tolson, Deputinya. Di atas Tolson ada Edwar J. Hoover sebagai Direktur FBI.
Ketika kasus Watergate muncul ke permukaan, bukan Felt, tetapi William Sullivan yang ditugaskan Hover melakukan domestic spying operation. Hover, disini terlihat, entah apa namanya, mungkin “mengintip” atau mungkin juga “tidak sepenuhnya memercayai” Sulivan. Hover, seperti ditulis Felt dalam Memoarnya Hover mengatakan “I need who some one control Sulivan”.
Tidak ada yang dapat mengendalikan hari esoknya. Saat tidur malamnya, Hover malah meninggal dunia. Untuk mengisi posisi Direktur FBI yang kosong, Deputinya Clyde Tolson, diangkat memegang Direktur FBI untuk sementara waktu.
Yang menarik, Tolson tak lama diposisi tersebut. Sebab L. Patrice Gray segera diangkat Nixon menjadi Direktur FBI juga untuk sementara menggantikan Tolson. Padahal menurut Felt, Gray tidak memiliki pengalaman dibidang ini. Tetapi Nixon memerlukan orang politik di posisi itu.
Setelah Gray diangkat menjadi Direktur sementara FBI, William Ruckelhaus tampil menjadi acting Direktur FBI menggantikan Tolson. Tolson langsung mengundurkan diri dari FBI. Dan Felt diangkat mengisi jabatan deputi yang ditinggalkan Tolson.
Suasana bergerak terus kearah eksplosif, karena sikap Felt. Mengapa? Begitu Hover meninggal dunia, dan Tolson naik menggantikannya, Hellen Gandy, sekertaris Hover selama lima dekade, membongkar 12 Box berisi file rahasia. Di dalamnya terdapat sejumlah nama yang diinvestigasi Hover.
Sebelum diserahkan ke kepala devisi investigasi, file-file tersebut terlebih dahulu singgah ke Felt. Mark Felt akhirnya diperiksa di Komite Inteljen House of Representative. Dia disalahkan karenanya, tetapi Felt membantah tuduhan itu. Menurut Felt, justru dengan terbukanya box dan file-file tersebut, kita dapat mengetahui segala sesuatu yang salah.
Bagaimana semua informasi itu bisa sampai ke pers dalam sifatnya yang sangat lengkap? Ternyata Felt yang membocorkan temuan-temuannya tersebut ke dua wartawan Washington Post. Keduanya adalah Bob Woodward dan Karl Benstein.
Belakangan diketahui bahwa ternyata Woodward telah berteman dengan Felt, sekitar tahun 1969 atau 1970. Woodward juga diketahui pernah bekerja di Gedung Putih, sebelum akhirnya berhenti dari Gedung Putih, dan bekerja sebagai jurnalis.
Kontak Felt dengan Woodward menggunakan kode tertentu. Seperti biasa di dunia spy. Felt meminta Woodward menyamarkan sumber berita. Itu sebabnya Woodward menggunakan “My friend” sebagai sumber beritanya. Apa yang terjadi sesudahnya? Situasi semakin eksplosif, terutama setelah berita Washington Post adisi tanggal 18 Mei 1972.
Pada tahap ini Felt memberitahukan Woodward bahwa E. Howard Hunt terlibat dalam kasus ini. Tetapi Gedung Putih melindungi orang ini. Bersama dengan H.R Haldeman, Chief Staff-nya, Nixon menekan FBI untuk mengurangi laju investigasi. Sayangnya tekanan dari Nixon ini tidak berhasil.
Felt malah bergerak semakin jauh lagi. Menariknya, di tengah situasi eksplosif yang semakin tinggi ini, Nixon malah hendak mempermanenkan Gray sebagi Direktur FBI yang definitif. Sayangnya, upaya ini tidak berhasil. April 1973 Gray mengundurkan diri sebagai pelaksana tugas Direktur FBI.
Yang menarik, Gray malah menominasikan Felt, orang yang dicugai Nixon sebagai informan utama untuk semua berita terkait skandal Watergate di Wahington Post. Untuk itu, Nixon, beralih ke William Ruckelhaus, dan mengangkatnya sebagai acting Direktur FBI. Situasi semakin tak terkendali. Chief staf gedung putih diganti. Alaxanedr Haigh naik ke jabatan ini menggantikan Hadelman.
New York Times, yang menyebut Felt “Deep Throat” memberitahukan kepada Chief Staf Gedung Putih bahwa Felt adalah informaan dari semua berita di Washington Post. Ruckelhause menindaklanjuti info itu. Ia memanggil Felt dan menanyakan kebenaran info itu. Felt menyangkal. Tetapi akhir yang pahit telah tiba untuk Felt. Keesokan harinya, persis tanggal 22 Juni 1973, Felt mengundurkan diri dari FBI.
Buat Terang
Jelas sekali penyelidikan perkara apapun, di negara demokratis, yang mengagungkan rule of law dengan segenap aspek teknisnya sekalipun, sama sekali tidak ditentukan secara determinatif oleh hukum. Aspek-aspek non hukum, khususnya aspek aparatur justru jauh lebih dominan dan menentukan.
Aspek non hukum ini, untuk alasan integritas penegakan hukum dalam kasus bocornya SPP, terlepas dari asli atau tidak, harus dibuat jelas. Lika-liku Watergate mengharuskan adanya pertanyaan siapa yang menjadi, meminjam istilah Washington Post sebagai “My Friend” atau “Deep Throat” atau “Control Point”. Soal ini tidak bisa diserahkan jawaban ke rerumputan yang bergoyang.
Pimpinan baru KPK, sembari mengenali hari-hari yang telah berlalu, ditemukan fakta empiris sempat diragukan. Penolakan kecil-kecilan terhadap mereka, setidaknya untuk sebagian, begitu terbuka dan meluas. Ini bisa jadi point kecilnya. Nyatanya OTT didasarkan pada SPP yang terlihat telah diterbitkan oleh pimpinan KPK sebelum periode Komisioner yang baru ini.
Apa mungkin pimpinan baru sengaja menggunakannya? Bila tidak, siapa yang mengontrol dan memegang wewenang mengendalikan dan mengarahkan kehidupan menejemen tindakan-tindakan hukum di KPK? Mungkinkah pimpinan baru tidak memiliki jangkauan kontrol seluruh tindakan hukum, meliputi penggunaan surat itu? Logiskah meminta pemeriksaan terkordinasi dan mendalam tentang kemungkinan penyakit klik-klikan mewabah di KPK?
Tetapi apapun itu, bila pimpinan memegang kontrol penuh, maka siapapun harus berpendapat tindakan OTT dan penggeledahan gagal sepenuhnya berada dalam kendali. Dalam arti diperintahkan dan diarahkan oleh pimpinan KPK. Bila begitu adanya, maka soalnya menjadi sangat sederhana. KPK oke dalam semua aspeknya.
Konsekuensinya penggunaan surat itu, plus isu penggeledahan gagal tidak lebih dari sekadar sebagai cara pimpinan baru KPK memanggil kehebohan pertama di tahun 2020 ini. Tidak lebih. Itu juga bernilai tidak ada gelombang panas, apalagi klik-klikan amburadul dan mematikan di KPK.
Tetapi hal-hal kecil itu, tidak dapat mengisolasi tuntas kegelisahan beralasan PDI-P yang diekspresikan oleh TIM Hukumnya. Apa rasionya? Faktanya hingga detik ini tidak terjadi penggelendahan, apalagi penyitaan di ruang-ruang, entah ruang siapapun di kantor PDI-P. Padahal telah tersiar luas penyidik KPK mau menggeledah ruangan tertentu di kantor DPP PDI-P.
Sampai pada titik ini, yang dialami PDI-P terlihat memiliki kemiripan tipis dengan apa yang dialami Nixon pada skaldal Watergate. Gedung putih dan Nixon tersudut dalam kepungan sistimatis, terencana dan terarah dari Washington Post. Berita-berita Watergate bersumber dari Felt “My Friend” sebutan yang diberikan Woodward, atau “Control Point” dan “Deep Throat” sebutan yang diberikan New York Times.
Penggeledahan telah tak terjadi, tetapi berita telah menyebar, dan PDI-P terlihat tersudut, bahkan menderita. Akankah ada orang “anonimus” persis seperti dilakukan New York Times membuka siapa “control point” dalam hiruk-pikuk kotor ini? Derita PDI-P, untuk alasan hukum, harus dianggap rasional.
Tetapi terlepas dari derita yang dialami PDI-P, demi kelangsungan integritas penegakan hukum, eloknya, pimpinan KPK harus bicara. Terangilah alam penegakan hukum yang sangat kotor dan amburadul ini dengan kata-kata yang berbasis pada fakta terverikasi dan kredibel.
Di ujung sana, Dewas KPK tak hanya bisa berdiam diri dalam menyikapi persoalan ini. Bicaralah secara terbuka wahai Dewas KPK. Bicaralah dengan kejujuran sebagai panduan utamanya. Buatlah semuanya menjadi terang-benderang demi bangsa yang besar ini.
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate