HUKUM

Transformasi FPI dan Revolusi Sosial

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FFN – Jumat lusa, 21/2 Front Pembela Islam(FPI) akan menggelar demo besar-besaran untuk melawan wabah korupsi yang merajalela di Indonesia. Wabah korupsi itu semakin menjadi sejak kepemimpinan Jokowi. Pembobolan institusi keuangan, misalnya, di jaman Habibie berjumlah sebesar Ro. 400 milar, kasus "cessie" Bank Bali. Pembobolan jaman SBY naik tajam sebesar Rp. 6,7 triliun pada Kasus Bank Century. Nah, di jaman Jokowi ini naik menjadi 17 Triliun, kasus Jiwasraya. Ditambah Asabri akan menjadi Rp. 25 Triliun. Semua ini berujunga pada sebuah skandal politik. Pembobolan perusahaan asuransi milik negara. Umumnya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu terkait dengan kekuasaan. Bahkan, Soesilo Bambang Yudhoyono menantang rezim Jokowi dan DPR untuk membongkar keterkaitan pembobolan Jiwasraya dengan pendanaan pilpres 2019. Ini adalah gerakan FPI pertama kali dalam tema strategis. FPI bergerak di luar urusan keagamaan an sich. Atau dengan kata lain, perjuangan Islam memang dikatakan strategis kalau perjuangan itu sudah masuk kepada tema-tema struktural. Menyangkut dengan nasib rakyat yang dihancurkan melalui agenda-agenda korupsi kekuasaan. Transformasi Besar FPI Beberapa bulan lalu ketika saya di panel dengan Rocky Gerung (RG), di acara talk show Rahma Sarita, saya kaget dengan statement RG. Katanya, dia dulu paling benci lihat FPI dan Munarman. Dulu, di mata RG, FPI hanyalah preman berjubah putih. Namun, RG mengatakan bahwa FPI saat ini sungguh luar biasa. Larena FPI, dimata Rocky, telah mengambil peran yang sangat positif, sebagai pembela rakyat. Beberapa hari lalu, hal senada kita lihat dalam berita yang menyajikan pandangan Rizal Ramli. Rizal sangat kagum ketika menjadi pembicara pada acara yang diadakan FPI (bersama GNPF dan Alumni 212) tentang BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial). Rizal tidak membayangkan FPI dan kelompok-kelompok Islam militan ini konsern pada isu strategis seperti kenaikan iuran BPJS yang menyakitkan rakyat banyak. Bagi Rizal Ramli dan Rocky Gerung, tokoh sekuler yang di masa lalu alergi dengan FPI, memberi apresiasi terhadap FPI, bisa dimaknai dengan terjadinya transformasi FPI. Menjadi organisasi yang lebih dewasa dan bertanggung jawab. Namun, sebenarnya di sisi lain kita bisa juga melihat bahwa baik Rizal Ramli maupun RG, mungkin juga bertransformasi ke arah pemahaman yang utuh tentang pergerakan Islam. Kedua hal di atas, apapun faktanya, perlu diteliti dan di apresiasi. Pergerakan Islam maupun pergerakan ideologis lainnya memang ditahap awal membutuhkan doktrin tunggal kepada pengikutnya. Hal ini penting untuk menjaga pertumbuhan awal organisasi agar tidak disusupi pemikiran lain yang merusak maupun pembelokan arah gerakan. Dengan begitu, kita melihat sejak berdirinya FPI tahun 1998 sampai tahun 2014, tema-tema perjuangan FPI masih fokus pada isu "sektarianisme". Misalnya, anti maksiat, anti Syiah, anti Ahmadiyah, anti Komunis serta fokus melindungi diri dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah (versi Habaib). Pada tahun 2015, khususnya sejak aksi Parade Tauhid, bulan Juni, FPI masuk pada agenda kekuasaan (power). Pada tahun yang sama, bulan Desember, pada aksi 4/11 dan 2/12, gerakan FPI total berkembang pada isu kekuasaan. FPI akan selalu di garda paling depan mengahadapi kekuasan yang korup, zalim, dan semena-mena. Isu kekuasaan maksudnya adalah FPI secara terbuka menentang kekuasaan yang sedang eksis, yakni kekuasaan Jokowi. Bahkan, pada tahun 2017, FPI berhasil mendongkel Ahok dari kekuasaannya di Jakarta. Padahal Ahok di dukung penuh oleh semua kekuasaan rezim Jokowi. Setelah masuk pada isu kekuasaan, FPI berkembang seiring dengan munculnya “mazhab Rizieqisme". Mazhab yang menggambarkan pergolakan pikiran dan ajaran Habib Rizieq tentang Ideologi Negara, Pancasila. Pembelaan atas orang-orang miskin, konsep negara syariah. Dalam tulisan saya sebelumnya, “mazhab Rizieqisme” yang saya maksud itu mencakup ajaran HRS. Pertama, perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. Kedua, perjuangan harus diakar rumput. Ketiga, Islam sebagai alat persatuan. Keempat, radikal atau tidak mengenal kompromi. Kelima, tanggung jawab sosial alias solidaritas. Informasi Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Guru Besar ekonomi UI, yang juga menantu Proklamator Bung Hatta, ternyata HRS menguasai Pancasila jauh di atas rata-rata elit nasional. Hal ini dikatakannya setelah Sayidiman, jenderal tertua yang masih hidup, bersama dia, berdiskusi soal Pancasila dengan HRS. Banyak hal yang luar biasa tentang konsep Pancasila dari HRS. Pemehaman HRS melebihi pemahaman Jenderal Sayidiman dan Prof Dr. Sri Edi tersebut. Kembali pada perubahan sikap Rocky pada FPI, memang kita melihat bahwa tranformasi telah terjadi pada FPI secara keseluruhan. Dengan agenda-agenda besar negara, seperti menolak merajalelanya korupsi di kubu rezim Jokowi, transformasi FPI telah menjadikan organisasi itu sebagai kekuatan "civil society" terdepan untuk mengawal penyelenggara negara. Revolusi Sosial Sebuah perjuangan pada akar rumput selalu berarah pada revolusi sosial. Jean Jacques Rousseau, pemikir besar revolusi Prancis beberapa abad lalu, sebagaimana dikutip Wikipedia, berpikir bahwa "Rousseau posits that the original, deeply flawed Social Contract (i.e., that of Hobbes), which led to the modern state, was made at the suggestion of the rich and powerful, who tricked the general population into surrendering their liberties to them and instituted inequality as a fundamental feature of human society." Jean Jacques pada intinya mengatakan, segelitir orang-orang kaya dan penguasa yang curang telah memanipulasi masyarakat. Targetnya, meraka terus bisa memperkaya diri dan agar percaya ketimpangan sosial merupakan kewajaran. Pembebasan manusia dari cengkraman "kontrak sosial palsu”, yang menghancurkan peradaban, menurut Jean Jacques adalah keharusan. Manusia adalah makhluk mulia yang dipasung sistem kekuasaan masyarakat jahat. Ajaran Jean Jacques tentang kontrak sosial baru yang berisi kebebasan dan persamaan derajat semua manusia, telah mengantarkan revolusi di Francis pada abad ke 18 dulu. Rizieq ddan FPI i Indonesia dan telah bertransformasi dari ajaran perjuangan ahlak dan baik buruk. FPI telah berkembang pesat menjadi ajaran revolusioner saat ini. Mereka telah mendorong adanya sebuah konsep sosial baru di mana keadilan harus diletakkan pada rakyat mayoritas. Bukan pada segelintir taipan sebagai pengendali negeri alias sembilan naga. Pikiran dan ajaran FPI ini bukan lagi dengan membenturkan antara Pancasila vs Islam. Namun ini adalah pertentangan historic, antara yang disebut Jacques Rousseau tadi, yaitun "Kontrak Sosial Palsu" melawan "Kontrak Sosial Sempurna". Keuntungan kelompok FPI dalam perjuangannya adalah pikiran mereka sejalan dengan cita-cita pendiri negara (founding fathers). Bahwa negera dalam kontrak sosial adalah melindungi segenap tumpah darah dan menciptakan keadilan sosial secara total. Tidak dan selain itu. Penutup Perubahan sikap yang dalam dari tokoh-tokoh sekuler seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli terhadap eksistensi FPI terjadi belakangan ini. Mereka tidak lagi menganggap FPI sebagai preman bersorban putih. Mereka meyakini telah terjadi transformasi, dimana FPI saat ini adalah organisasi perjuangan rakyat yang utama. Organisasi yang selalu tampil membela rakyat. Memang, tanpa disadari, selama lima tahun terkahir, FPI masuk pada perjuangan strategis dengan isu-isu keadilan sosial. FPI yang anti korupsi dan berharap pemerintah yang membela rakyat. Basis argumentasi FPI dan khususnya Habib Rizieq, semakin lama semakin kuat dan komprehensip. Perjuangan yang dahulu terkenal sektarian, kini menjadi terbuka pada front nasional yang lebih luas. Dalam agenda terbaru, FPI masuk pada kritik kenaikan iuran BPJS yang memberatkan rakyat. Sedangkan pada Jumat, 21/2, nanti FPI masuk pada agenda aksi anti korupsi (Jiwasraya, Asabri, dan Bumiputra). Sebuah agenda besar rakyat untuk menghancurkan kezaliman struktural. Situasi ke depan Indonesia akan masuk pada tahun-tahun sulit. Akibat dari kemunduran pembangunan ekonomi. Keploporan FPI dalam perjuangan rakyat mungkin akan disambut diseluruh pelosok negeri. Tinggal rakyat berharap sejauh apa perubahan sosial yang mampu tercipta. Semoga ada kontrak sosial baru tentunya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan (Bagian Kedua)

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Apakah korupsi itu budaya kita? Banyak peneliti yang mencari adanya hubungan korupsi dengan sistem birokrasi dan kekuasaan. Namun banyak juga mencoba mencari korelasi korupsi pada persoalan moral dan budaya para pemimpin. Para filosof, sebagaimana dikatakan dalam "Stanford Encyclopedia of Corruption: Philosophers, at least, have identified corruption as fundamentally a moral, as opposed to legal, phenomenon. Acts can be corrupt even though they are, and even ought to be, legal. Moreover, it is evident that not all acts of immorality are acts of corruption; corruption is only one species of immorality." Dari sini terlihat para filosof sangat mengaitkan korupsi dengan perbuatan amoral. Tentu saja kebanyakan filosop ini berbeda dengan Machiavelli yang menyatakan korupsi itu adalah godaan yang alami. Sebagaimana di atas disebutkan, Sarah Chayes mengutip Machiavelli dalam "Thieve of State". Luhut Binsar Panjaitan, salah satu arsitek utama rezim Jokowi, pada tahun 2018, mengatakan bahwa semua orang memiliki gen maling. Pikiran LBP ini terlihat mirip dengan pandangan Machiavelli, bahwa tidak jelas soal kaitan moral dan korupsi. Namun, dahulu Bung Hatta misalnya mengatakan, sampai matipun korupsi itu sebuah kejahatan. Cerita yang jadi legenda tentang keteladanan Bung Hatta adalah menahan keinginan beliau membeli sepatu Bally seumur hidupnya. Bung Hatta terus menabung selama sebelas tahun ketika menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia. Tabungan itu diletakkan diatas meja Wakil Presiden dan disisinya ada iklan sepatu Bally. Sepatu yang sangat populer masa itu. Namun, sayang sekali, tabungannya tidak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally itu. Dan dia tidak pernah menerima suap dan tidak korupsi. Sebaliknya, banyak elit kekuasaan sekarang hanya butuh beberapa tahun untuk menumpuk kekayaan dari hasil korupsi. Tampak selain masalah moral, korupsi juga sering dihubungkan dengan kelemahan sistem pemerintahan (struktural). Namun, kita yakin persoalan moral tetap menjadi kunci utama. Nasib Revolusi Mental Jokowi sudah jelas dalam tesisnya pada "Revolusi Mental", bahwa korupsi akan melumpuhkan bangsa kita. Sementara kita melihat bahwa belum ada tanda-tanda Jokowi akan bersikap tegas pada korupsi. Apa itu sikap tegas? Jika membandingkan dengan rezim Xi Jin Ping di RRC, di sana banyak pejabat ditembak mati karena kasus korupsi. Namun, kita tetap mengharapkan Jokowi mampu menjadi "role model" atau simbol moral anti korupsi. Sebuah agenda non sistem atau structural. Jokowi harus mampu menghadirkan agenda moral itu. Hal itu pertama harus keluar dari dirinnya Jokowi. Dalam kaitan korupsi, yakni tidak mengambil keuntungan pribadi dari agenda publik, kebijakan publik, nepotisme, suap dan lain-lain. Jokowi harus menjadi inspirasi bagi kekuasaannya. Setidaknya di lingkungan keluarga, istana dan kabinet, seperti Bung Hatta, sang Proklamator hebat itu. Di luar sebagai inspirator yang personal, Jokowi juga harus membangun moral kelompok pada elit kekuasaan untuk tidak tergiur dengan urusan-urusan yang bersifat material. Namun, baik sebagai simbol moral maupun agenda struktural, pemberantasan korupsi tidak terlihat dalam periode kedua Jokowi. Burhanuddin Muhtadi, misalnya, dalam "Dilema Jokowi, Publik atau Kartel Politik?” (Media Indonesia, 18/12/19), melihat bahwa Jokowi tidak lagi masuk pada isu HAM dan pemberantasan korupsi pada era kedua berkuasa. Katanya, Jokowi hanya masuk pada isu-isu ringan, seperti pungutan liar (pungli) saja. Selain itu, sebagian besar rakyat, tidak dapat menerima gejala nepotisme yang ditunjukkan keluarga Jokowi, yang anak, menanti dan ipar ramai-ramai maju di pilkada saat ini. Dengan demikian, apakah nasib revolusi mental Jokowi sudah menjadi masa lalu? Reshuffle Kabinet Korupsi merajalela, yang terungkap dari kasus Jiwasraya dan Asabri, serta kasus kompleks Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, menunjukkan kelemahan Jokowi dan rezimnya sejak awal berkuasa. Kelemahan ini ditandai dengan suasana ketidaktertiban rezim penguasa. Bahkan, Sekjen partai penguasa, Hasto Kristyanto, menuduh bahwa dia dijalimi oknum penguasa. Bagaimana mungkin Sekjen Partai penguasa dizalimi? Apakah itu menunjukkan keretakan dalam tubuh rezim? Diantara situasi kelemahan ini, elit Kantor Staf Presiden, saat ini melemparkan isu perombakam kabinet. Isu perombakan kabinet tentu saja memberi peluang bagi Jokowi untuk kembali pada cita-cita revolusi mental dan nawa citanya. Paling kurang Jokowi memberikan harapan baru bagi rakyat. Namun, isu perombakan kabinet juga menyisakan pertanyaan tentang "kenapa mengurus negara seperti main-main?" Seharusnya, desain organisasi pemerintahan, apalagi bagi petahana, sudah sejak awal dirancang dengan matang. Dasain organisasi pemereintah harus ditunjukkan dengan soliditas kabinet, yang disisi oleh orang-orang profesion dan membumi. Jika perombakan kabinet yang dihembuskan elit Kantor Staf Presiden merujuk pada perlunya koreksi moral pemerintahan Jokowi, maka hal itu menjadi penting. Sebaliknya, jika hanya merujuk isu salah komposisi kabinet, perombakan itu hanyalah politik kekuasaan yang kurang bermoral. Manggali lubang bukan untuk meneutup lubang, tetapi untuk menutup goa. Penutup Kita harus benar-benar mengembalikan spirit bernegara pada tempat dan arah yang benar. Bernegara dalam konstitusi kita adalah mengutamakan rakyat. Mengutamakan rakyat adalah konsep moralitas yang sudah diajarkan Bung Hatta, dan para founding fathers lainnya. Mengutamakan rakyat hanya bisa dilakukan jika penyelenggara negara mampu pisahkan kepentingan pribadi adan kelompoknya dengan kepentingan rakyat. Memisahkan kepentingan itu, lebih jauh lagi adalah membunuh ambisi-ambisi pribadi untuk memperkaya diri. Situasi merajalelanya korupsi saat ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan bangsa kita. Pada saat yang bersamaan, kondisi ekonomi kita semakin terpuruk. Kenyataan ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh dari janji-janji kampanye Jokowi (petumbuhan ekonoimi 7 %) dan hutang negarapun yang menumpuk yang luar biasa besar. Kedua persoalan ini, korupsi yang merajalela dan pertumbuhan ekonomi di bawah 7% merupakan koeksistensi, di mana keduanya membuat Indonesia bisa terperangkap ke arah negara gagal. Sebuah negara yang tidak pernah stabil di sosial politik dan keamanan. Akibatnya, kemarahan rakyat akan meluas sebagai dampak dari korupsi yang kronis di kalangan pejabat. Sementara pada waktu yang bersamaan, kemiskinan dan ketimpangan sosial menganga lebar. Isu reshuffle kabinet yang dihembuskan kalangan istana belakangan ini, haruslah dikaitkan dengan moralitas kekuasaan. Bukan sekedar menakut-nakuti anggota kabinet dan sekedar "power sharing" kekuasaan. Menghentikan korupsi dan mengembalikan kekuasaan pada orang-orang bermoral adalah agenda urgen Presiden Jokowi secepatnya. (habis) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan (Bagian Pertama)

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Hariman Siregar dalam kebingungannya dikalangan aktifis, menyampaikan pertanyaan, kenapa jaman Habibie pembobolan Bank Bali hanya Rp. 400 Milyar, jaman SBY pembobolan Bank Century Rp. 6, 7 Triliun dan sekarang jaman Jokowi, kasus Jiwasraya, pembobolan naik pesat Rp. 13 Triliyun. Apakah semua elit kita sudah gila?, tanya Hariman diantara aktifis pengunjung ulang tahun seorang aktifis senior, akhir bulan lalu. "Space platform WhatsApp Group" memang dipenuhi tiga isu yang berebutan dan berhimpitan beberapa waktu belakangan ini. Isu itu adalah korupsi , WNI eks ISIS, dan Virus Corona. Isu terkait korupsi melibatkan nama-nama Harun Masiku, Hasto Kristyanto, Heru Hidayat, Benny Tjokro dan lain-lain. Semuanya dikaitkan dengan istana maupun kekuasaan rezim Jokowi. Para penghuni dunia medsos dari kalangan non pendukung Jokowi sering mengingatkan agar fokus saja di kasus korupsi. Ingatan ini dimaksudkan untuk penguatan atau gaung tentang isu Jiwasraya dan Masiku tidak hilang ditelan isu ISIS dan Corona. Namun, sebagian netizen tetap bersikukuh bahwa semua isu ini harus dihadapi. Tesis pendukung isu korupsi Jiwasraya dan Harun Masiku di "amplifier" oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Rizal Ramli dan Said Didu. Ketiganya sangat fokus pada isu korupsi Jiwasraya. Tesis mereka, pembobolan uang asuransi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sebesar Rp 13 Triliyun di masa pemerintahan Jokowi pasti mempunyai arah ke pendanaan pilpres 2019. Arah itu perlu dikejar. Fokus mereka bertiga pada isu korupsi memang sangat beralasan. Bank Dunia sudah hampir dua puluh tahun ini melibatkan diri pada riset-riset terkait korupsi. Kepentingan Bank Dunia adalah agar uang yang dipinjamkan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, digunakan semua untuk program pembangunan. Tanpa itu Bank Dunia khawatir pembangunan tidak akan mensejahterakan rakyat miskin. Sarah Chayes pengarang "Thieve of State" merujuk pada Machiavelli menyampaikan "corruption is the natural temptation of rulers, but it is often what ultimately brings them down". "The natural temptation" memang terkesan bahasa netral, yang bisa menghinggapi semua penguasa, siapapun. Sebagaimana di review oleh Giles Foden, The New York times, 2015, buku "Thieve of State" yang mengamati Afganistan dan Iraq, memperlihatkan bahwa korupsi bisa menjadi struktural dan mengumpulkan semua uang-uang korupsi secara hirarki untuk elit berkuasa. Ini bukan hanya kasus di sana saja katanya. Chayes mengatakan negara isinya hanyalah mafia berjenjang (vartically integrated criminal syndicates). Dalam "Corruption, Global Security and World Order: To Bribe or to Bomb: Do Corruption and Terrorism Go Together?", buku editan Robert I. Rotberg, 2009, korupsi selain ditempatkan sebagai center dalam persoalan keamanan dunia, disebutkan juga bahayanya korupsi yang mempunyai koeksistensi yang saling memperkuat dengan terorisme. Korupsi Jiwasraya berlanjut dengan isu korupsi uang Asabri. Pelakunya, otaknya sama, Benny Tjokro, pebisnis asal Solo. Kehilangan uang pensiun prajurit ini mencapai Rp 10. triliun. Artinya yang diakui pembobolnya. Pembobolan-pembobolan uang yang melibatkan kekuasaan resmi negara di asuransi ini berbeda dengan kasus investasi bodong maupun asuransi non negara seperti Bumiputra. Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, pimpinan perusahan adalah wakil resmi negara, yang ditunjuk menteri BUMN. Jadi, kasus ini masuk dalam isu korupsi. Di masa lalu, kasus yang mirip telah terjadi di Jamsostek. Pimpinan Jamsostek (BPJS) kala itu, Ahmad Junaidi dan Andi Alamsyah, masuk penjara. Semua tahu bahwa Jamsostek saat itu melayani kekuasaan dan bandar bandar kekuasaan. Nah, bagaimana Jiwasraya serta Asabri? Jika konsisten pada pikiran SBY, Rizal Ramli dan Said Didu, maka seharusnya kita menuntut kepada negara agar dibentuk komisi independen yang meriksa semua pihak yang terlibat dalam kasus Jiwasraya, secara transparan dan objektif. Karena mempercayakan pemeriksaan pada jajaran hukum dan DPR-RI saja, tentu sulit mendapatkan kebenaran objektif kasus ini. Disamping Jiwasraya, kasus Wahyu Setiawan (KPU) dan Harun Masiku adalah kasus besar lainnya, menyangkut korupsi dielit negara. Masiku yang misterius keberadaanya dan adanya koneksi kasus ini dengan Hasto Kristyanto, Sekjen PDIP, juga menghebohkan politik nasional. Dua isu di atas, Jiwasraya dan skandal KPU, memberi kesan adanya kebobrokan pada rezim Jokowi terkait isu pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih. Mengapa bobrok? Apa tolak ukurnya? Kebobrokan ini kita ambil tolak ukurnya dengan merujuk tulisan Revolusi Mental ala Jokowi yang ditulisnya di Kompas, 10 Mei, 2014. Menurut Jokowi reformasi yang terjadi sebelum dia memimpin hanyalah reformasi institusi yang tidak menyentuh mental manusia. Dalam bagian itu Jokowi mengatakan: "Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas." Nyatanya, setelah Jokowi berkuasa, korupsi masih merajalela dan Jokowi malah ikut pula melumpuhkan KPK melalui revisi UU KPK tahun lalu. Dengan revisi UU KPK, Prof. Syamsudin Haris, anggota Dewan Pengawas KPK, sudah mengakui membuat KPK menjadi lemah. (Bersambung) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Kasus MeMiles, Kapolri Perlu Hadirkan Makna Konstitusional

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN – Apakah hanya sebatas persoalan hukumkah kasus MeMiles ini? Terlihat sepertinya tidak. Persoalan ini, pada level tertetu bergerak memasuki dan menyentuh sendi-sendi tata negara kita. Terlihat pertaliannya yang erat dengan kewajiban konstitusional pemerintah kepada rakyat 270.000 member MeMiles. Sebab itu masalah ini terbilang strategis nilainya. Tindakan penyidikan dalam kasus ini, betapapun imperatif dalam kerangka UU 7 Tahun 2014, telah menimbulkan akibat tak terduga sejumlah orang. Sebut saja member yang kehilangan pendapatan. Pendapatan, sebut saja “musiman” dari jualan produk yang diiklankan, menjadi hilang dengan sendirinya. Mereka member MeMiles yang terlihat kehilangan pendapatan, sejauh ini tak teridentifikasi sebagai korporasi berkarakter oligarkis. Mereka juga bukan orang-orang besar berjumlah kecil, yang berpesta dibidang ekonomi dan politik. Mereka bukan juga orang-orang besar yang menguasai sebagian besar kekayaan Indonesia. Ya member MeMiles itu, mereka bukan para oligarki atau konglomerat. Karena bukan mereka, maka sejauh ini tak muncul gagasan bail out atau sejenisnya dari pemerintah. Tentu saja untuk menolong mereka. Suara-suara derita, pilu dan sejenisnya dari member MeMiles memang kalah daya getarnya. Suara mereka kalah bila dibandingkan dengan suara korporasi berkarakter oligarkis dan konglomerat ketika mereka terimpa masalah. Itu jelas dan nyata. Suara member sejauh ini terlihat tenggelam dalam hiruk pikuk RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ibu Kota, yang dirancang dalam skema Ominbus. Kasus MeMiles membuat roda waktu berputar menyegarkan memori kita tentang peran pemerintah dalam menangani Kasus Bantuan Likuidatas Bank Indonesia (BLBI). Kasus ini membuktikan dengan sangat terang tentang, entah bagaimana, pemerintah atas nama penyelamatan ekonomi nasional, menyodorkan kewajiban konstitusonalnya. Pemerintah mau menggelontorkan uang dalam jumlah ratusan triliunan rupiah untuk menyelamatkan oligarki dan konglomerat dalam skandal BLBI. Pemerintah menyuntikan uang, bail out, ke korporasi-korporasi itu. Sebagai imbalannya mereka harus menyerahkan asset-asetnya ke pemerintah. Waktu berjalan dan memunculan luka-luka lama. Entah disangaja atau tidak. dalam kebijakan itu, sejauh ini sangat nyata. Ya korporasi besar selalu memiliki kemampuan untuk menarik pemerintah memasuki dan menggerakan kewajiban konstitusional. Tetapi bukan itu yang hendak disodorkan untuk menerangkan inisiatif pemerintah tahun 2016. Pada tahun itu, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkoinfo) berinisiatif memperlancar investasi asing pada sektor e-xcommerce (bisnis daring). Inisiatif ini diapresiasi oleh para pemain asing. Inisiatif itu ditampilkan dalam Forum Jakarta Foreign Correspondents Club pada tanggal 8 Maret 2016. Adalah Rudiantara, Menkoninfo kala itu menyatakan bahwa investor asing boleh memiliki maksimal 49% saham di bisnis daring yang bernilai bersih Rp 10-100 miliar. Pemerintah, untuk tujuan itu akan mempercepat proses perijinan menjadi tiga jam saja. Syaratnya, nilai investasi harus di atas Rp 100 miliar atau perusahaan merekrut paling sedikit 1.100 pegawai di Indonesia. Kebijakan ini, kata Rudiantara bagian dari 31 prakarsa untuk mengembangkan bisnis daring di Indonesia, sembari mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) (BBCIndonesia, 9 Maret 2026). Mengaitkan investasi asing dengan penggunaan tenaga kerja Indonesia dalam skema inisiatif Pak Rudy untuk bisnis e-commerce, yakni sebanyak “1.100 orang” untuk investasi di atas Rp.100 miliar, cukup jelas merefleksikan kesadaran berkerangka kewajiban konstitusional. Sampai dititik itu, inisiatif ini baik dalam semua aspeknya ke depan. MeMiles, sejauh ini tidak mempekerjakan tenaga kerja asing. Juga pekerja sebanyak 1.100 orang. Izin usahanya, sejauh ini teridentifikasi bermasalah menurut Polda Jawa Timur. Disisi lain terdapat kenyataan adanya inisiatif pemerintah menggelorakan investasi asing dibidang bisnis daring. Untuk itu, pemerintah hendak menyederhanakan proses perolehan izin. Pada titik ini, terdapat kesamaan substansial antara inisiatif pemerintah yang menggelorakan usaha daring dengan kehadiran PT Kam and Kam. MeMiles, cukup jelas bukan bisnis daring. Bukan pula investasi asing. MeMiles terlepas dari izin dan jenis usahanya yang dianggap bermasalah, secara faktual terlihat member yang umumnya warga negara, menerima maanfaat yang sangat berarti. Manfaat yang banyak dalam jumlah orang, maupun nilai ekonomi yang didapat. Tidak mungkin memanggil kecurigaan dalam mengenali sikap diam pemerintah sejauh ini. Jelas itu bukan. Tetapi beralasan mengundang pertanyaan hipotetik tentang kemungkinan adanya korporasi lain yang menemukan dirinya terpukul dengan keberadaan MeMiles? Tidak logiskan pemerintah menggunakan kewajiban konstitusional kecil, yang mirip tindakan menangani BLBI atau Bank Century? Bahkan mungkin sebentar lagi Jiwasraya dan Asabri? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang untuk 270.000 member MeMiles. Yang perlu dilakukan pemerintah hanyalah memastikan MeMiles tetap berlangsung, menempatkannya di bawah kendali, pembinaan dan pengawasan terukur dari pemerintah? Pemerintah memperoleh fungsi karena dikerangkakan pada UUD 1945. Dalam kerangka itu, pemerintah terlilit berkewajiban untuk memastikan keadaan perekonomian memiliki daya yang menggembirakan warga negara. Ini kewajiban yang memilki level prioritas tinggi. Pada kerangka itu pula Undang-Undang Dasar 1945 menyodorkan dan menuntun kewajiban pemerintah tersebut dengan keharusan untuk berlaku adil kapada semua warga negara. Tidak berpihak dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan negara. Pemerintah hanya perlu menemukan satu cara kecil untuk memastikan bahwa “skema piramida” tidak membuahkan atau menjadi modus spekulasi pengusaha, dengan hasil akhir yang pahit buat pembeli top up. Hanya itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Ditemukan intended expectation dari larangan “skema piramida” yang tidak bergerak tak tanpa arah. Selain itu untuk mencegah spekulasi pengusaha, yang mungkin saja berakhir memilukan mitra. Spekulasi pengusaha itulah yang harus dicegah. Menemukan kebijakan pencegahan merupakan cara terukur memproteksi, melindungi anggota, mitra. Hilangkan potensi spekulasi tipikal Piramida Ponzi, yang ambil sana tutup sini. Begitu dan seterusnya dengan cara mengendalikan operasinya. Tugas konstitusional pemerintah membuat regulasi, yang mengendalikan penggunaan uang yang masuk ke korporasi. Ini sangat beralasan untuk dibayangkan sebagai salah satu cara yang pantas dipertimbangkan oleh pemerintah dalam kasus MeMiles. Respon tipikal ini, andai mungkin diambil, tidak harus dilihat sebagai cara pemerintah menemukan salah satu jalan keluar kecil. Apalagi pemerintah terlihat kesulitan merealisasikan janji menyediakan kartu pra kerja buat mereka yang belum bekerja. Jelas tidak beralasan. Tidak beralasan juga menilai bahwa sikap diam pemerintah, entah dengan apapun pertimbangannya, sebagai refleksi dari ketaatan yang agak naïf terhadap hukum yang ditegakan oleh Polda Jatim. Sungguh ada keharusan mengesampingkan sejauh mungkin praktik penanganan hukum memilukan kasus First Travel. Praktis sejauh ini mungkin harus dihindari. Negara yang diwakili Polda Jawa Timur, dengan alasan apapun, tak bisa menyodorkan penegakan hukum sebagai sarana untuk mengambil uang member yang dipakai untuk top up. Itu salah. Hsrusnya tidak begitu. Mengeluarkan himpitan dan ketidakberdayaan member MeMiles yang tak punya senjata politik, untuk alasan dan kewajiban konstitusional, pantas muncul menjadi prioritas tinggi dan utama dari pemerintah menangani kasus ini. Dimensi konstitusionel harus dipanggil dan dititi pemerintah memasuki kasus MeMiles ini. Kembalikan uang yang di top up. Cara ini mungkin bisa muncul sebagai jalan keluar kecil kedua untuk mereka yang top up, yang baru saat ini mengetahui bahwa perusahaan tak memiliki izin. Sebab mereka bukan korporasi, yang sejauh ini terilhat istimewa di dalam kehidupan konstitusional. Tetapi para member MeMiles jelas hanya warga negara. Terminologi konstitusi yang menjadi alasan pemerintah ada dan bekerja. Siapa yang mungkin dibayangkan berada di depan dalam kerangka pemecahan komprehensif kasus MeMiles ini? Terasa elok andai saja Pak Kapolri berada di depan merespon dengan cermat kasus ini. Menyajikan pemecahan yang selaras, harmoni dengan hukum dalam bingkai kewajiban konstitusional pemerintah, terasa wajar dan memadai. Andai Pak Kapolri bisa meletakan pemecahan kasus ini pada kerangka kewajiban konstitusional dari pemerintah. Bukan hanya bertumpu pada hukum pidana semata, maka sama nilainya dengan Pak Kapolri telah memberi makna yang sangat menakjubkan atas eksistensi konstitusional Kepolisian. Jika langkah ini dilakukan Pak Kapolri, maka disinilah fungsi dan peran pengayoman polisi dihadirkan secara nyata kepada pemegang saham polisi. Kepada pemilik polisi yang sesungguhnya, yaitu rakyat Indonesia 270.000 member MeMiles. Jika satu member MeMiles mempunyai satu istri atau suami, dan menghidupi tiga orang anak, maka ada sekitar satu juta lebih pemilik polisi, pemegang saham polisi yang numpang makan, minum dam sekolah dari operasional MeMiles ini. Semoga saja bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

“Salah Kaprah” Bila Polda Jatim Salahkan Member MeMiles

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Mengejutkan, itulah kata yang tepat digunakan untuk menggambarkan sikap orang-orang yang menamakan dirinya sebagai member menghadapi kasus MeMiles. Tidak sembunyi-sembunyi seperti halnya Harun Masiku, tersangka dalam kasus suap terhadap seorang Komisioner KPU. Mereka member MeMiles, tentu saja tak semuanya, malah mendatangi Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim). Mereka, seperti yang dilansir CNNIndonesia, memprotes tindakan penyidikan yang dilakukan penyidik Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Jatim atas kasus MeMiles. Sedikitnya 25 member MeMiles asal DKI dan bekasi mendatangi Markas Polda Jatim. Mereka perotes langkah Kepolisian Daerah Polda Jatim yang membekukan aplikasi investasi Milik PT Kam and Kam tersebut. Iksan (38) salah seorang member MeMiles, mengatakan kedatangannya sebagai bentuk keprihatinan atas penahanan pendiri MeMiles yang juga Direktur PT and Kam, Kamal Trachan (47). Iksan berharap Polisi menghentikan penyidikan dan meminta akses Memiles kembali dibuka. Menurutnya, polisi seharusnya menindak oknum atau orang yang memang bersalah. Jangan malah membekukan aplikasinya. Dalam penyidikan kasus ini, penyidik telah menyita 18 unit mobil, dua sepeda motor, puluhan barang elektronik dan beberapa asset berharga lainnya (CNNIndonesia, 15/1/2020). MeMiles mengaku memadukan tiga jenis bisnis. Menurut laman resmi mereka, yaitu advertising, market place dan traveling. Mereka “menjual” (tanda petik dari saya) slot kepada pengguna aplikasi dengan cara melakukan top up mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu. Dalam praktiknya bukan slot iklan yang membuat member tergiur. Melainkan iming-iming bonus dari top up tersebut. Mulai dari ponsel, motor, hingga mobil. Angkanya bisa berkali-kali lipat dari jumlah setoran, dan sangat tidak masuk akal (Tirto. Co.id, 16 Januari 2020). Titian Terjal Menariknya menurut Ashary, Wakil Ketua Komunitas Member MeMiles (KMM) merupakan aplikasi periklanan yang manarik uang dengan batas waktu tertentu. Berkat pemasangan iklan melalui aplikasi tersebut, pihaknya merasa diuntungkan, lantaran memancing pelanggan membeli produknya. MeMiles, kata Ashary selanjutnya, adalah aplikasi periklanan untuk bisa pasang iklan dengan cara beli slot iklan dengan batas waktu tertentu. Jika tidak menggunakan slot iklannya bisa hangus. Intan Kemala, Ketua Komunitas Member (KKM), dengan nada yang sama, disisi lain menyatakan selama ini pihaknya tidak merasa dirugikan dengan aplikasi MeMiles. Dirinya dan puluhan ribuan anggota lain, justru mendapat reward atau hadiah dari MeMiles. Kami ini bukan korban. Kami justru malah diuntungkan. Makanya kami butuh Memiles diaktifkan lagi (Jawa Pos.com, 11/1/2020). Kenyataan yang disodorkan Anshary dan Intan di atas menjadi alasan yang menghalangi jalan menuju tuduhan investasi bodong, atau investasi tipu-tipu. Beralasan yang sangat jelas dan jelas. Sayangnya, dalam kenyataan penyidik Krimsus Polda Jatim menembakan pasal 24 jo pasal 106 dan atau pasal 9 jo pasal 105 UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 6 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan muncul sebagai peluru cadangan. Peluru pertama mengatur perdagangan tanpa izin. Ini berbeda jauh dengan peluru kedua. Sebab peluru kedua mengatur perdagangan dengan “skema piramida ponzi.” Tetapi kedua peluru ini, dengan semua argumen hukum yang tersedia memiliki kesamaan elementer, disamping satu perbedaan yang juga elementer. Perihal peluru perbankan, mustahil bisa berfungsi. Peluru pertama dan kedua sama-sama menempatkan “pelaku usaha” sebagai sasaran tembakan. Hanya itu. Tidak lebih dari itu. Tetapi peluru pertama menempatkan syarat “izin usaha.” Peluru kedua menempatkan syarat “skema piramida.” Pada titik ini, penyidik dipaksa memasuki ruang interpretasi, siapakah yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaku usaha? Pemilik perusahaan dan menejemen? Member MeMiles juga? Jumlah member sebanyak kurang lebih 270-an ribu atau berapapun itu, jelas bukan masalah. Masalahnya terletak pada “member” dalam kenyataannya “membeli” slot iklan. Slot disediakan oleh PT Kam and Kam. Itu masalahnya. Pembeli mau dikualifikasi sama dengan pelaku usaha? Bila ya, dimanakah letak kesamaannya? Masalahnya sebab dan substansi antara pengusaha dengan pembeli? Membeli slot iklan. Lalu pembeli mengiklankan barang milik pembeli pada slot itu, dan barang yang diiklankan itu dibeli orang. Siapapun mereka itu, mau dikonstruksi sebagai sebab atau keadaan hukum yang mengubah status hukum pembeli menjadi pengusaha? Penjelasan pasal 9 mengenai “skema piramida” dimaksudkan sebagai usaha bukan dari hasil kegiatan penjualan barang. Kegiatan usaha itu memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan, terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut. Kombinasi unsur normatif pasal 9 dan penjelasannya, membawa siapapun pada satu titik. Titik itu adalah kedua pasal yang digunakan penyidik secara exprecis verbis menempatkan pengusaha, bukan pembeli-member- sebagai subyek. Orang yang bertanggung jawab. Pembelian adalah tindakan hukum perdata. Ketika barang atau jasa yang dibeli telah diserahkan, maka berakhirlah hubungan perdata antar pembeli dan penjual. Dalam hal terdapat cacat tersembunyi pada barang atau jasa yang dibeli, maka soalnya bergeser ke pidana. Bila penjualnya menolak bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dijual itu, maka soalnya menajdi pidana. Siapa yang bertanggung jawab? Pasti Penjual. Bukan pembeli atau member MeMiles. Dititik ini muncul masalah lain. Masalahnya terpusat pada tindakan penyitaan terhadap mobil, dan barang lainnya dari member yang top up. Apakah hadiah top up itu beralasan disita penyidik Krimsus Polda Jatim? Bila ya, soal berikut yang muncul adalah apakah umroh juga bisa disita? Andai mobil hadiah itu dikonstruksi sebagai bukti-fakta adanya usaha MeMiles, yang saat ini dinyatakan illegal, maka harus diakui dengan tindakan itu memiliki alasan hukum? Sebatas itukah. Tak lebih dari itu? Mengapa member-member itu, sejauh ini, terlihat tidak tahu bahwa MeMiles merupakan usaha illegal. Ketidaktahuan itu menjadi alasan hukum hilangnya tanggung jawab hukum mereka. Tetapi bila mobil, hand phone dan lainnya tetap dikualifikasi barang illegal, karena usaha MeMiles dianggap illegal, sehingga top up dengan sendirinya juga illegal. Masalahnya apa pada kualifikasi hukum atas uang member yang top up itu? Illegal jugakah? Bila dinyatakan illegal, apa konstruksi hukumnya? Hukum positif tak cukup tersedia untuk diandalkan. Menariknya aplikasi MeMiles tidak disita. Dirkrimsus Polda Jatim cukup tegas dalam soal ini. Kita, kata Dirkrimsus Polda Jatim, nda menutup. Kita melakukan penyidikan, dia enggak bayar (server) ya matilah berarti. Kalau mau jalan terus, jalan terus aja, kalau bayar. Tetapi saya enggak menutup, saya memblokir rekening PT Kam and Kam (CNNIndonesia, 15/1/2020). Mengapa MeMiles tidak disita penyidik? Apa yang menghalangi penyidik menyita Memiles? Bukankah aplikasi MeMiles itulah yang memicu masalah ini? Bukan MeMiles yang menjadi bagian integral dari barang bukti? Itu satu soal. Soal kedua, uang yang disita. Soalnya apakah uang yang disita dari bank atau disita dirumah atau dikantor PT Kam and Kam? Andai disita di bank, maka tindakan penyitaan yang disediakan KUHAP adalah tidak lebih dari memblokir rekening. Memblokir rekening adalah kerangka kerja KUHAP untuk penyitaan barang bukti yang tersimpan pada rekening Bank. Tidak lebih dari itu. Menariknya lagi, uang yang disita itu diperlihatkan kepada publik. Jumlahnya sangat banyak. Apapun itu, sekali lagi, lebel penipuan terlihat tak lagi tepat disandangkan pada MeMiles. Ini nalar dari pasal yang diterapkan penyidik. Berusaha tanpa izin dan skema piramida ponzi bukan penipuan. Apalagi tak ada yang merasa dirugikan, atau tertipu. Bakal tertipu itu, pasti tidak sama dengan tertipu. Nuasa ponzi yang menggila mengiringi kasus ini dalam nada “berpotensi penipuan” sungguh jauh dari yang dapat dibayangkan. Potensi penipuan pasti bukanlah penipuan menurut bahasa hukum. Usaha tanpa izin, untuk alasan hukum, pasti juga tak dapat dianalogikan dengan penipuan. Berada di titian terjal terlihat sedang melilit gerak penuntasan kasus ini. Beberapa dimensi elementernya memiliki daya mengelincirkan. Dimensi status uang member, salah satunya, bisa menggelincirkan. Tetapi apapun itu, klaim ilmu hukum mencegah munculnya tesis titian terjal itu meliputi dan mencakup member. (Bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Kasus MeMiles, “Kapolda Jatim Permalukan Polisi”

By Kisman Latumakulita Yth. Pembaca setia Portal Berita FNN.co.id yang budiman, khususnya member MeMiles,,, Dengan Hormat !!! Mengingat tulisan dengan judul “Kasus MeMiles, Kapolda Jatim Permalukan Polisi” kini punya frekwensi pembaca yang tinggi. Sejak ditayangkan Jum’at sore 31 Januari 2020, sekitar pukul 16.00 WIB sampai saat ini Senin 3 Februari 2020, pukul 15,18 WIB telah dibaca 16.855 kali. Dan yang memberikan tanggapan sebanyak 242 kali. Dari jumlah tanggapan yang masuk, sekitar 99% menyatakan sangat sangat dan sangat diutungkan dengan adanya MeMiles. Sebaliknya, hanya sekitar 1% menolak kehadiran Memiles. Mereka yang yang menyatakan diuntungkan perekonominan mereka, terutama ibu-ibu para janda yang menanggung dan menghidupi sendiri anak-anaknya, yang jumlahnya antara 2-5 orang Berkaitan dengan itu, Redaksi Portal Berita FNN.co.id telah memutuskan untuk melanjutkan tulisan MeMiles tersebut dari berbagai sudut pandang. Misalnya, 1. aspek hukum secara keseluruhan, khususnya dari sudut pandang tata negara, 2. kaitan dengan persaingan di pelaku bisnis top up, 3. skema piramida ponzi, 4. dampak keberadaan dan penutupan MeMiles terhadap perekonomian nasional, khususnya 270.000 an para member MeMiles. Untuk itu, kami sangat membutuhkan data-data untuk mendukung penulisan nanti. Misalnya, akte pendirian PT. Kim and Kim, SIUP PT. Kim and Kim, SITU PT. Kim and Kim dan NPWP PT. Kim and Kim. Begitu juga dengan cerita-cerita para members tentang manfaat atau keuntungan yang sudah didapat dari menjadi members MeMiles Data-data tersebut sangat penting bagi kami. Tujuannya, untuk menghindari kami menulis dengan sebutan “mengarang bebas dotcom”. Artinya, tulisan yang kami tulis tidak diperkuat dengan data-data pendukung yang memadai. Kalau punya data dan cerita tentang MiMiles, tolong japri ke Kisman Latumakulita, telepon/WA 0813-87517000 atau Sri Widodo, telepon/WA 0812- 82312841 Terima kasih atas kesediaannya. Semoga bisa bermanfaat menolong dan membenatu, amin amin amin Salam Hormat !!! Jakarta, FNN - MeMiles, yang disebut sebagai aplikasi investasi, menghebohkan Indonesia. Perkaranya sederhana. Investasi ini dianggap bodong. Tetapi entah bagaimana tersiar kabar terdapat sejumah selebriti ikut di dalamnya. Bahkan Ari Sigit, seorang keluarga Cendana disebut ikut dalam investasi ini. Ari, dalam berbagai berita, telah mendapat mobil dari keikutsertaan di Memiles. Entah sebagai komisi atau bonus. Tidak hanya Ari, selebriti lain, bahkan politisi di Senayan juga ikut berinvestasi di MeMiles. Politisi ini, dalam sejumlah berita mungkin akan diminta keterangannya oleh penyidik. Gali lobang tutup lobang. Begitulah sebagian orang menyebut pola ini, entah investasi atau bukan. Uang dari anggota baru, dipakai menutup uang dari peserta sebelumnya. Begitu katanya. Namun apa iya begitu? Disitu soalnya. Hanya dalam delapan bulan PT. Kam and Kam yang menyelenggarakan MeMiles telah berhasil meraup uang dari anggotanya sebanyak Rp 750 miliar. Pada saat penangkapan, penyidik berhasil menyita uang sebesar Rp 122 miliar. Luki Hermawan, yang berpangkat Irjen Polisi, dan menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur menyebut selama delapan bulan beroperasi, MeMiles berhasil menarik sebanyak 264 ribu anggota (Liputan6.com 18/1/2020). Sistem kerja invesatasi ini, setiap anggota yang berhasil merekrut anggota baru mendapat komisi dan bonus dari perusahaan. Jika ingin memasang iklan, anggota harus memasang top up, dan dana dimasukan ke rekening PT. Kam and Kam. Dengan melakukan top up, anggota bakal memperoleh bonus bernilai besar. Dana yang masuk antara Rp 50.000. (lima puluh ribu rupiah) hingga Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Anggota banyak tergiur karena bonus yang bakal (Liputan6.com 18/1/2020). Masalahnya adalah apa betul orang yang “katanya” top up Rp 50.000 atau Rp 200.000, benar-benar memperoleh bonus? Terlepas dari apapun bentuknya. Bila bonus atau reward berbentuk barang seperti mobil, motor, hand phone tentu bisa disita. Tetapi bagaimana bila yang diterima sebagai bonus itu bentuknya umroh? Bagaimana menyita umroh? Itu masalahnya. Itulah soalnya, yang mau tidak mau Pak Kapolda harus menjelaskannya secara rasional. Apalagi dalam kasus ini sesuai berita yang beredar, ada kemungkinan diterapkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ini semakin menambah persoalan baru lagi. Ini berarti Kapolda harus dapat menjelaskan bahwa bonus atau reward yang diterima mereka itu adalah uang illegal. Mereka yang telah menerima bonus dan sejenisnya itu adalah bagian integral dari perbuatan kejahatan. Itu berarti Kapolda harus dapat pastikan bahwa usaha ini illegal. Ada orang tergiur dengan bonus sehingga berlomba menjadi anggota MeMiles. Apakah bonus sebagai godaan itu salah? Ini juga persoalan lain Pak Kapolda. Tetapi yang paling penting adalah apakah orang-orang itu benar-benar mendapat bonus atau apapun namanya dari uang top up, yang menurut berita di atas masuk ke dalam rekening PT. Kam and Kam yang menyelenggarakan apilkasi investasi itu? Ini semakin rumit Pak Kapolda. Kenapa menjadi rumit? Apakah dengan beli atau top up itu sama dengan berinvestasi? Bila itu investasi, apakah sebelum top up mereka telah dijelaskan bahwa dengan menaruh uang disini, dan anda akan dapat uang berlipat-lipat? Meski demikian, lupakah pembicaraan yang menunjukan bahwa PT. Kam and Kam meyakinkan atau mengajak orang berinvestasi. Persoalannya bila mereka mendapat manfaat, bonus atau reward atau apapun namanya lebih besar dari uang yang di top up tersebut. Apakah mendapatkan dengan keuntungan yang lebih besar dari modal dikeluarkan itu adalah salah Pak Kapolda? Padahal mereka, anggota-anggota tersebut merasa ini masuk akal. Taruh uang kecil, tetapi pada saat tertentu dapatnya lebih banyak. Kan itu masuk akal Pak Kapolda. Bila begitu adanya, apanya yang salah Pak Kapolda? Dimana letak bohongnya? Dimana letak kerugian orang yang melakukan top up? Kalau tidak top up, bagaimana mereka bisa pasang iklan di market place?, Lalu soalnya barang apa yang diiklankan, dan punya siapa barang itu? Kalau barang yang diiklankan itu punya anggota, dan melalui iklan tersebut barangnya ternyata dapat dibeli orang. Lalu apanya yang salah Pak Kapolda? Dimana posisi kerugian anggota Pak Kapolda? Sebagai jurnalis yang memulai karir di bidang ekonomi, dari Harian Ekonomi NERACA, dan sering meliput di Pasar Modal, kasus ini menjadi menarik. Apalagi penydik menggunakan pasal 24 jo pasal 106 dan pasal 105 jo 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Kabar terakhir, pinyidik Krimsus Polda Jawa Timur juga menggunakan pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam kasus MeMiles ini (Kompas, 16/1/2020). Kalau dicek pasal 106 jo pasal 24 dan atau pasal 105 jo psl 105 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, itu bercerita tentang perdagangan tanpa izin. Sedangkan khusus pasal 9 jo pasl 105 itu bercerita tentang perdagangan dengan skema berjenjang. Kalau perdagangan tanpa izin, maka yang bertanggung jawab adalah yang melakukan perdagangan itu. Itu berarti, anggota yang melakukan top up, sama dengan membeli jasa yang didagangkan oleh pedagang. Pedagang dalam hal ini adalah PT. Kam and Kam. Orang yang membeli atau top up, mungkin mengajak orang lain untuk ikut top up. Apakah dengan mengajak orang lain ini masuk dalam kategori skema perdagangan berjenjang? Bagi saya ini persoalan lain yang semakin serius Pak Kapolda. Ini bukan persoalan kecil. Kalau beli atau top up, yang tak tahu bahwa pelaku perdagangan itu tak memiliki izin, atau perdagangan itu bersifat skema berjenjang, apakah orang ini juga salah? Orang yang tidak tahu hal-ihwal perusahan, ikut disalakan? Mereka membeli dari pedagangan yang menjalankan usahanya tanpa izin. Pak Kapolda tolong tunjukan, ada aturan hukum di planet mana, bila orang yang mau membeli sesuatu barang harus memperoleh izin terlebih dahulu sebelum membeli? Kalau sampai itu terjadi, bisa rusak tatanan pedagangan dan ekonomi bangsa ini Pak Kapolda. Indonesia bakal menjadi negara dengan sistem perdagangan paling aneh di muka bumi ini, karena membeli harus dengan izin. Pak Kapolda Jawa Timur sebaiknya membaca lagi berulang-ulang Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Sebab di undang-udang perdagangan ini, tidak ditemukan ada satu pasalpun yang mengatur izin bagi pembeli. Atau pembeli harus mendapatkan izin terlebih dulu sebelum membeli. Rasanya tidak masuk akal, harus menghukum pembeli, Pak Kapolda. Hanya karena membeli barang dari usaha yang tidak punya izin. Walau bukan sarjana hukum, rasanya tidak mungkin menyalahkan pembeli yang membeli barang dari pedagang, termasuk perusahaan yang menjalankan usaha tanpa izin usaha. Sebaliknya kalau usaha ini dikatakan usaha perbankan, menghimpun dana masyarakat tanpa izin, maka persoalannya juga sama. Yaitu bukan nasabah yang harus diminta bertanggung jawab. Menurut saya yang harus tanggung jawab adalah yang menyelenggarakan usaha perbankan itu. Memang sekilas orang bisa menyatakan atau menyamakan usaha Kam and Kam itu layaknya usaha perbankan. Tetapi menurut saya ini juga menjadi persoalan lain. Tidak ada instrument, misalnya deposito, kliring, penarikan uang melalui ATM, atau penarik secara manual, atau lainnya sebagai lazimnya unit usaha perbankan. Uang memang masuk ke rekening PT. Kam and Kam, tetapi rasanya tidak tepat disebut usaha ini sebagai usaha perbankan. Tidak mungkin, karena tidak ada uang yang ditarik seperti penarikan uang di bank. Kalau diperhatikan berita-berita yang dikutip di atas, seperti uangnya anggota yang dipakai untuk top up, tidak lagi menjadi miliki pembeli top up. Jadi bagaimana disamakan dengan usaha perbankan? Dalam usaha perbankan uang nasabah, sampai kapanpun tetap sebagai uang nasabah. Itu sebabnya nasabah dapat menarik, dan mengambil kembali uang itu kapan pun nasabah mau. Inilah yang saya sebut kasus ini sangat menarik Pak Kapolda. Anehnya lagi, uang yang disita ditujukan kepada masyarakat. Nah ini juga menarik Pak Kapolda. Yang saya tidak mengerti adalah uang yang disita itu sangat besar nilainya. Besarannya mencapai ratusan miliar. Bukan soal sitanya dan besaran atau jumlah uang disita. Bukan itu Pak Kapolda. Yang menjadi soal adalah uang yang disita tersebut. Dengan jumlahnya yang sangat luar biasa besar itu dibawa ke Polda Jawa Timur. Ditunjukan kepada publik sebagai barang sitaan. Rasa-rasanya tidak begitu juga Pak Kapolda. Yang saya tahu, sebagai wartawan yang beralih meliput di bidang hukum dan politik, terutama ketika di Majalah FORUM Keadilan, sita uang di bank dilakukan hanya dengan cara memblokir rekening para tersangka. Uangnya tidak diambil atau dikeluarkan dari bank, seperti yang dilakukan Polda Jawa Timur. Uangnya tetap dibiarkan di rekening itu dengan status disita. Ada soal lain lagi Pak Kapolda. Yaitu penyitaan terhadap mobil. Yang saya tahu, hanya mobil yang telah disita. Yang menarik adalah jumlah mobilnya tidak seberapa. Kalau tidak salah tidak lebih dari enam unit mobil. Soalnya mengapa hanya mobil yang disita. Penyidik Krimsus Polda Jatim tahu bahwa ada mereka yang melakukan top up itu dapat mobil, motor dan hand phone, bahkan ada yang dapat umrah. Mengapa motor, hand phone, dan lainnya tidak disita Pak Kapolda. Kalau jumlah anggotanya dua ratus ribu lebih, tentu motor dan hand phone, harusnya telah banyak. Nah yang motor, hand phone, dan umroh disita apa tidak Pak Kapolda? Ini harus dijelaskan Pak Kapolda. Apa pertimbangan yang Kapolda punyai sehingga Polda Jawa Timur perlu menunjukan uang itu, dalam arti dibawa ke Polda. Saya tidak ingin bertanya tentang ditaruh dimana uang itu saat ini, karena saya yakin akan ditaruh di bank dalam status uang sitaan, atau barang sitaan. Tetapi tetap Kapolda harus jelaskan tindakan penyidiknya membawa fisik itu ke Polda. Saya mengusulkan Pak Kapolri memerintahkan pengawas penyidikan untuk turun ke Polda Jawa Timur. Demi menjaga marwah Kepolisian yang sedang diusahakan terus menerus oleh Pak Kapolri saat ini, ada baiknya Pak Kapolri bentuk tim pengawas ke Polda Jawa Timur untuk memastikan semua tindakan penyidikan, penerapan pasal, dan penyitaan yang uangnya dibawa ke Polda, masuk akal secara hukum. Penulis adalah Wartawan Senior Kapolda Jawa Timur Irjen Polisi Luki Hermawan

Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Ada pertanda virus Corona masuk ke Indonesia. Menkumham Yasonna Laoly, kemarin (28/1/2020) memecat Dirjen Imigrasi Ronny Sompie. Jhoni Ginting ditunjuk sebagai pelaksana harian (Plh). Tanpa bertanya mengapa dipecat, Anda tentu masih ingat perihal simpangsiur keberadaan Harun Masiku –tersangka penyuap bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Harun sampai sekarang belum juga “bisa ditangkap” KPK meskipun sudah berada di Indonesia. Sekadar mengingatkan, ketika KPK mau menangkap Harun pada 8 Januari 2020, Yasonna mengatakan kader PDIP yang menyogok komisioner KPU itu sedang berada di luar negeri. Tepatnya di Singapura. Padahal, berbagai sumber resmi mengatakan Harun ada di Indonesia. Harun pergi ke Singapura pada 6 Januari, pulang ke Jakarta keesokan harinya, 7 Januari. Waktu itu dia diduga bersembunyi di kompleks PTIK. Mengapa Ronny Sompie dipecat? Pertama, Ronny lupa bahwa dalam kasus Harun Masiku ini, Yasonna cenderung memposisikan dirinya sebagai petugas PDIP. Jadi, otomatis dia membawa misi #SelamatkanPDIP. Dalam hal ini, Yasonna seolah menjadikan Kemenkumham sebagai bagian dari struktur PDIP. Artinya, Yasonna pun berharap Ronny Sompie menjadi “orang PDIP” juga dalam ribut-ribut soal Harun. Agar bertindak sesuai misi Yasonna. Di sinilah kekeliruan Ronny. Beliau ini abai membaca “mode switching” (perubahan moda) Yasonna dari Menteri Kumham ke petugas PDIP. Akibatnya, Ronny Sompie salah langkah. Ronny wrong-footed. Melenceng dari skenario yang sedang tayang. Akibatnya, Ronny bertabrakan “laga kambing” alias “head on” dengan Yasonna. Bagaimana tidak? Pada tanggal 16 Januari 2020, Yasonna mengatakan Harun masih berada di luar negeri. Sebaliknya, Ronny mengatakan bahwa pihak Imigrasi sudah tahu Harun kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020 tetapi datanya terlambat dilaporkan. Kedua, Ronny mempermalukan Pak Bos. Yasonna hancur di mata publik. Tetapi, Pak Menteri masih punya kekuasaan besar. Dia bisa lakukan apa saja terhadap Ronny yang dianggap “menyimpang” dari misi Yasonna sebagai orang partai. Mantan Dirjen Imigrasi yang juga pensiunan polisi berbintang dua (Irjenpol) itu tinggal tunggu waktu. Kemarin, 28 Januari 2020, tibalah waktu yang ditunggu. Yasonna memecat Ronny. Tapi, apakah kesimpangsiuran soal Harun Masiku sudah selesai dengan pemecatan ini? Belum. Masih jauh. Yasonna ingin mengembalikan reputasinya. Dia membentuk tim penyelidik gabungan untuk mengungkap secara “transparan” tentang simpangsiur keberadaan Harun. Dari sisi Ronny pun tidak bisa dikatakan selesai. Bisa saja Ronny akan melakukan manuver “nothing to lose” untuk melawan pemecatan dirinya oleh Yasonna. Bisa jadi Ronny merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh Yasonna. Apalagi alasan pemecatan yang disebutkan Yasonna sangat tidak meyakinkan. Yaitu, bahwa Yasonna ingin agar penyelidikan tim gabungan antarlembaga nantinya bisa berjalan lancar tanpa ‘conflict of interest’ kalau Ronny masih menjadi Dirjen Imigrasi. Alasan ini berlebihan. Sebab, tim gabungan itu 99.99% tidak mungkin bisa didekati, apalagi diintervensi, oleh Ronny agar membuat kesimpulan yang menyenangkan dirinya. Sebaliknya, apakah hasil kerja tim gabungan pencari fakta tentang simpangsiur itu akan menguntungkan Yasonna? Dipastikan “big NO”. Tidak akan. Apa pun hasilnya, posisi “luka berat” Yasonna tidak terobati. Sebab, publik sejak awal mencermati perilaku bias Yasonna. Sebagai menteri, apalagi Menteri Hukum, Yasonna menunjukkan tindakan partisan yang hitam-putih, tidak abu-abu, ketika ikut dalam pembentukan tim hukum PDIP terkait kasus Harun Masiku. Di sini, Yasonna jelas, ‘crystal clear’, dan kental sekali mendahulukan kepentingan partainya, PDIP, di atas kepentingan negara, bangsa dan rakyat yang sedang berusaha memberantas korupsi. Dalam hal ini, kepentingan untuk menegakkan hukum ke atas Harun Masiku dan bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang terbukti melakukan sogok-menyogok. Setelah ikut membidani tim hukum PDIP, Yasonna masih meneruskan langkah konyol. Dia menunjukkan bias yang kedua kalinya ketika menerobos masuk terlalu jauh ke perdebatan soal kebedaraan Harun. Di titik ini, Yasonna tidak memposisikan dirinya sebagai pejabat negara. Dia tidak berdiri sebagai wasit. Yasonna masuk ke gelanggang sebagai manajer tim silat PDIP. Yasonna memakai jaket merah Banteng ketika dia berhadapan “head on” dengan Ronny Sompie. Seharusnya, Yasonna cukup menyerahkan urusan keberadaan Harun itu kepada Ronny Sompie sebagai dirjen imigrasi waktu itu. Biarkan saja Ronny yang berbicara kepada media. Supaya tidak simpangsiur. Kalau sejak awal hanya Dirjen Imigrasi yang tampil ke publik, tentu tidak perlu Yasonna terjebak dalam kontroversi yang semakin rumit sekarang ini. Tapi, karena Yasonna sejak awal ingin mengendalikan itu agar sesuai dengan misi partisan yang dia emban, beginilah kesudahannya. Dia berhadapan dengan Ronny Sompie. Naik ring. Dalam dua ronde, Ronny memukul Yasonna sampai KO. Cuma, Yasonna main curang. Dia bangun dari KO dan secepat kilat mencabut senjata pamungkasnya. Ronny Sompie terkapar dengan hunjaman belati. Yasonna disoraki publik. Sedangkan Ronny dilepas sebagai pahlawan.[] 29 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Harun Masiku, Bukan Oswald Penembak John F. Kennedy

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Harun Masiku, pria yang sebelum ledakan Operasi Tengkap Tangan (OTT), tak dikenal publik telah hilang dari orbit hukum, sejauh ini. Sebagai ikutannya, ketidakjelasan berserakan disepanjang kasus ini. Siapa Harun? Apa hebatnya dia? Harun bersembunyi atau disembunyikan? Apakah Harun punya fakta kunci, layaknya kunci kotak Pandora? Siapa Harun ini, sehingga Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin Yasona Laoli, yang juga Ketua Bidang Hukum DPP PDI-P, harus menggunakan kekurangan teknis menerangkan perbedaan data Harun keluar dan masuk kembali ke Indonesia? Harun takut berurusan dengan KPK atau orang lain lebih dari takut bila pengetahuan Harun ditulis dalam berita acara pemeriksaan oleh penyidik KPK? Harun kah yang berada di pusat gagasan “pergantian antar waktu” anggota DPR RI dari PDI-P atau siapa? Bila ya, hebat sekali Harun ini. Berada di urutan “tak masuk akal” dari orang lain pada “urutan masuk akal”, tetapi menjadi subjek hak “menggantikan” calon terpilih. Ini satu loophole. Serba tak jelas, dan memancing satu demi satu pertanyaan. Itulah kasus Harun. Ini mengingatkan siapapun yang memperlajari tata negara dan ilmu politik tentang pergantian Presiden Kenedy. Presiden tampan, muda dan pintar, yang mengagumi Bung Karno ini, mati ditembak. Fakta resminya Kenndedy ditembak oleh Lee Harvey Oswald. Harun Masiku tak mungkin, dengan pertimbangan apapun, bisa dianalogikan dengan Lee Harvey Oswald. Itu jelas tidak. Harun, kabarnya menurut Hasto adalah penerima beasiswa Ratu Inggris dan memiliki kompetensi dalam International Economic Law (Warta Ekonomi.co.id, 24/1/2020). Oswald tidak. Oswald juga bukan politisi. Harun, entah apa kehebatannya sejauh ini, belum ditemukan oleh KPK. Sungguhpun belum ditemukan, status hukumnya pada kasus OTT Komisioner KPU, telah dibuat jelas oleh penyidik KPK. Harun telah ditetapkan jadi tersangka. Oswald juga, tapi mati dua hari setelah Kennedy mati ditembak. Oswald menjadi tersangka hanya dua hari. Ia mati tak lama setelah Kenendy tertembak. Ia mati dirumah sakit Parklane Memorial Hospiptal Dalas, sama satu kota dengan matinya Kennedy. Oswald mati karena ditembak oleh Jack Ruby, penjaga keamaan di salah club malam di Dallas. Ia ditembak di ruang bawah Kantor Kepolisian New Orleans. Menariknya belakangan Ruby teridentifikasi sebagai agen CIA. Eksplosif, Oswald yang ditemak mati oleh Ruby, dinilai bukan Oswald yang diyakini sebagai menembak Kennedy. Sementara Oswald yang sebenarnya tidak diketahui rimba dan eksistensinya. Oswald adalah pria yang teridentifikasi sebagai mantan mariner. Ia pernah bertugas pada Office of Naval Intelligence (ONI). Setelah selesai berdinas di Marinir, Oswald ke Rusia. Ketika di Rusia ia betemu Mariana, dan cinta membawa keduanya kejalinan perkawinan. Siapa Mariana? Belakangan Mariana teridentifikasi sebagai agen KGB. Harun, entah telah berkeluarga atau belum, telah ditetapkan penyidik KPK menjadi tersangka. Tetapi Hasto, Sekjen PDPI-P, yang diberitakan diare sehingga tak bisa mengikuti gladi bersih (CNNIndonesia, 9/1/2020), usai diperiksa sebagai saksi di KPK, menyatakan Harun itu korban (CNNIndonesia, 25/1/2020). Akankah pernyataan ini membuat penyidik KPK gembira? Jangan berasumsi. KPK, dipastikan lebih tahu makna pernyataan itu dalam kerangka teknis penyidikan. Akankah penyidik KPK menilai pernyataan itu sebagai conclusive and determinative statement? Terserah KPK. Mungkin penyidik KPK menilai pernyataan itu based on fact? Penyidik KPK yang tahu dari siapapun. Harun caleg PDI-P, itu jelas. Tetapi siapa dia dipanggung publik tak banyak yang tahu. Sama dengan Harun, siapa Lee Harvey Oswald, yang mati dua hari setelah “katanya” menembak mati Kennedy, juga tak jelas. Oswald, pria beristri Mariana, agen KGB ini, dikatakan sebagai seorang marxis. Oswald, pria cerdas yang pernah berdinas di Angkatan Laut Amerika, khususnya di Office of Naval Intelliegenc (ONI), bekerja sendiri atau bekerja dalam satu plot besar, tetap menjadi soal hingga sekarang. Walau begitu kecenderungan mutakhir mengarah ke kongklusi Oswald tak sendirian. Ia hanya satu diantara serangkain elemen kunci dalam plot. Tidak sama persis, tetapi menarik, pada kasus Harun, Bidang Hukum DPP PDI-P membentuk Tim Hukum. Tim ini berisi ahli hukum dan politisi. Di sisi lain dalam kasus Oswald, Amerika membentuk Komisi Warren (Earl Warren adalah Ketua Mahkamah Agung). Pembentukannya diperintahkan oleh Lyndon B. Johnson berdasarkan resolusi Kongres. Komisi ini beranggotakan sejumlah politisi dan mantan Direktur CIA. Richard Russel (Senator), John Sherman (Senator, Republik), Gerald Ford (House of Representative), Halle Boggs (Demokrat, House of Representative), Allen Dulles (Former Dir. of CIA), John Mcloy (Former President of World Bank). Sebagian saksi diperiksa secara terbuka. Sebagian lagi tertutup. Mereka dilarang untuk menyebarkan keterangannya ke publik. Apa saja hasilnya? Tetap Standar. Oswald adalah pemain tunggal. Sialnya lagi, temuan komisi ini menuai ejekan. Harun bekerja sendiri menempatkan dirinya sebagai pengganti antar waktu? Ini jadi crussial point of analysis. Inilah soalnya. Akankah penyidik mengarahkan ketajaman profesional feelingnya mengenali kenyataan ini? Bukan malah mengabaikannya? Itu urusan penyidik. Jangan berspekulasi dulu. Lupakan teori konspirasi, sebagaimana ditunjuk Komisi Warren. Tetapi mari mengenali pernyataan Clarence Calley, mantan Direktur CIA yang secara malu-malu, seperti dilansir The Guardian (26/10/2017) mengungkap apa yang mereka alami. Calley menegaskan pada tahun 1987 bahwa bila saja CIA segera merespon info tentang penembakan Kennedy, tidak ada yang meragukan Kennedy tidak akan terbunuh. Dilansir The Guardian (24/11/2018) setahun kemudian, Roy Truly, Direktur dan Menejer Personalia pada The Texas School Book Depository, tempat yang diidentifikasi Oswald melepaskan tembakan, tidak pernah didatangi oleh FBI atau Secret Service. Tidak ada komunikasi, apalagi verifikasi tempat. Padahal cara ini lazim dilakukan bila satu daerah akan didatangi itu pejabat terkemuka. Cukup menantang, Kennedy ke Dallas, tetapi Kepolisian Dallas dan Secreet Service seperti dicatat Colleman, malah menarik perlindungan mereka. William McKinney, mantan anggota kelompok intelijen Militer ke-112 di Markas Besar Angkatan Darat ke-4, Fort Sam Houston, Texas, tulis Colemman, mengungkapkan bahkan baik Kolonel Maximillian Reich maupun Letnan Kolonel Joe Cabaza mengajukan protes keras ketika diperintahkan untuk “stand down - istirahat” pada 22 November 1963. McKinney menyatakan lebih jauh “yang harus Secret Service lakukan saat itu hanyalah mengangguk dan unit-unit ini, yang sudah dilatih oleh sekolah intelijen top Angkatan Darat di Kamp Halabird, Maryland, akan melaksanakan fungsi normal mereka, yaitu perlindungan untuk Presiden, di Dalas. Faktanya malah mereka disuruh istirahat. Mckinney lebih jauh menyatakan di Kamp Halabird, diberikan kelas-kelas sangat terspelisasi mengenai perlindungan. Ini mencakup pelatihan yang dirancang untuk menyiapkan unit tentara untuk membantu Secret Service. Seandainya dukungan kami tidak ditolak, kami akan berada di Dalas saat itu. Apakah Kennedy telah ditentukan akhir hidupnya? Itu soal besar lainnya. Tetapi Coleman menulis Kenndey pernah memberitahu istrinya “Henry Kisinger itu gila.” Kennedy juga melarang Kisinger mendekati gedung putih. Kennedy seperti diungkap John Colleman, dalam Committee 300, juga diketahui menganggap hubungan khusus Inggris dengan Amerika tidak lain adalah “Kendali khusus.” Dalam OTT awal tahun ini da Harun, ada Wahyu Setiawan, ada Agustina Tio Friedelima dan Syaiful Bahri, pihak swasta (Tempo.co.id, 16/1/2020). Disisi lain ada Oswald, Ferrie Russo yang mengenal Oswal sebagai Leon Oswald, dan Clay Bentrand tidak lain adalah Clay Shaw, dan David Ferrie yang tidak lain adalah Guy Baniester menjadi figur kunci, pemain lapangan pembunuhan Kennedy (JFK online). Sial, keterangan Russo dalam persidangan Clay Shaw tahun 1963 bahwa Clay Shaw tidak lain adalah Bertrand Shaw atau Bertrand Shaw tidak lain adalah Clay Shaw disanggah, baik oleh Shaw sendiri maupun saksi lainnya. Russo dianggap berada dalam pengaruh obatan-obatan. Padahal nama itu, Clay Bertrand yang tidak lain adalah Clay Shaw juga diterangkan oleh William Moris dan Jessie Parker. Tetapi akhir yang pahit sepertinya telah ditentukan. Hakim John Hasting yang memimpin sidang menerima sanggahan itu. Praktis kasus pembunuhan Kennedy, Presiden yang menurut John Delane William dalam bukunya Lee Harvey Oswal, Lyndon Johnson and the JFK, pintar dan cinta damai itu, telah lama berlalu. Telah menjadi sejarah buram, kelam, hukum dan demokrasi Amerika. Akhir yang pahit, itulah kenyataannya. Hanya orang lapangan dilevel kecil, terbawah yang dibawa ke pengadilan. Itulah hukum di dunia demokrasi. Begitu pulakah hukum dan politik bekerja pada kasus Harun? Dilarang berprasangka. Tidak ada alasan untuk mengatakan akhir kasus ini sama dengan akhir kasus Oswald. Faktalah yang bicara kalak. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Harun Masiku, “Destroyer” Kandang Banteng!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Bahtera PDIP dikabarkan retak. Sejumlah faksi yang selama ini diam mulai bermunculan. Dan, dua faksi besar yang selama ini berseberangan saling intip untuk menjadi penguasa “kandang banteng” Megawati Soekarnoputri itu. Pemicunya tak lain dan tak bukan kasus buronan KPK Harun Masiku dan dugaan keterlibatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait suap yang dilakukannya. Sebuah kasus yang bermuara pada OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Kandang banteng yang terbelah ini diduga melibatkan Puan Maharani dan Hasto. Dan, Puan Cs tampaknya jengah dengan kiprah Hasto yang diduga terlibat dalam kasus Harun Masiku dan Wahyu Setiawan. Sedangkan kubu Hasto, tampaknya ingin mempertahankan status quo. Apakah si Puteri Mahkota, yang meski sedikit mengelak mengomentari masalah keterlibatan Hasto dalam kasus Harun Masiku itu, berhasil “membersihkan” PDIP sekaligus yang citranya terpuruk saat ini? Ataukah justru Hasto Cs dengan kekuatan di belakangnya yang masih dapat mempertahankan status quo? Kuncinya ada pada ke mana faksi-faksi lain berlabuh. Juga, tingkat keberhasilan KPK “memaksa” Hasto buka suara siapa yang lindungi Harun Masiku. Fakta yuridis, Hasto Kristiyanto kini berada di pusaran kasus suap Wahyu Setiawan. Dalam statusnya sebagai saksi, Hasto telah dipanggil KPK, Jumat (24/1/2020). Jika hasil pemeriksaan saksi lainnya mengarah adanya keterlibatan Hasto, bisa jadi ia bakal menyusul jadi tersangka pula Di internal PDIP pasca terkuaknya kasus suap itu, beberapa kader gusar dengan aksi KPK menangkap dua mantan calegnya, yakni Saeful Bahri dan Agustiani Tio. Satu caleg PDIP lainnya, Harun Masiku, dimasukkan dalam daftar buronan. Citra partai jadi taruhan. PDIP terbelah menyikapi sengkarut kasus pengurusan PAW DPR dari almarhum Nazaruddin Kiemas kepada Harun Masiku di Dapil Sumsel I. Petinggi PDIP, Puan Maharani disebut ikut gusar melihat manuver partai banteng di bawah komando Hasto Kristiyanto ini. Mengutip sumber dari Merdeka.com di internal PDIP mengungkap kegusaran Puan atas kasus yang mencoreng wajah partai. Namun dia tak bisa berbuat banyak. Sebab, ada faksi lain yang tak kalah kuat di belakang petinggi partai yang disebut terlibat. Lalu Puan pun cenderung memposisikan diri di luar partai. “Itu tanyanya ke PDIP. Bukan ke Ketua DPR,” kata Puan saat ditanya tentang kasus Harun Masiku ditemui di Jogjakarta, 20 Januari lalu. Ketua DPP PDIP, Bambang Wuryanto mengakui, kandang banteng terbelah menyikapi kasus Harun Masiku. Namun, kata Bambang, dalam sebuah organisasi, perdebatan yang terjadi jelang pengambilan keputusan adalah hal biasa. Khususnya terkait pembentukan badan hukum untuk 'meluruskan' derasnya pemberitaan tentang Harun Masiku. PDIP bermanuver dengan membentuk tim hukum, sowan ke Dewan Pers dan polisi. Langkah ini dinilai berlebihan. Sejumlah kader PDIP menganggap hal ini sebagai sikap yang terlalu reaktif. “Itu biasa. Faksi A, faksi B, faksi C. Ada. Saya yakin di TNI pun ada di Polri saya yakin ada (kubu-kubuan),” jelas Bambang di DPR. Bambang juga menanggapi adanya orang-orang yang tak suka dengan keputusan PDIP yang seolah membela habis-habisan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam perkara ini. Termasuk kabar Puan Maharani yang tak berada di belakang Hasto. Sekali lagi Bambang menegaskan, perbedaan hal yang lumrah. Tapi, ketika itu sudah menjadi sebuah keputusan organisasi, maka semua harus dijalankan. Mau tidak mau atau suka tidak suka. “Kalau itu (ada yang tidak suka keputusan) misalnya subjektif sangat mungkin, tapi itu tidak mengurangi kalau dia diperintah kemudian berhenti. Misal anggap si X enggak cocok dengan keputusan partai misal pak sekjen, tapi kita pasti ikut,” lanjut Bambang. Sekretaris Fraksi PDIP di DPR Andreas Hugo Pareira sendiri membantah partainya reaktif menanggapi kasus Harun Masiku. Dia mengatakan, tim hukum dibentuk untuk melawan upaya framing yang dilakukan pihak tertentu untuk menyudutkan PDIP. Dia melihat ada opini yang hendak dibentuk bahwa PDIP melawan KPK. Hal ini yang perlu diluruskan. Hal itulah yang menjadi salah satu fungsi tim hukum. “Ada framing begini-begini, ini bahaya. Kejahatan framing itu berbahaya,” jelas Andreas. Sementara Politikus senior PDIP Effendi Simbolon ogah menanggapi perkara Harun Masiku yang membelit sejumlah caleg partainya. Effendi Simbolon yang selama ini dikenal keras berseberangan dengan internal PDIP, lebih memilih diam. Harun “Sakti” Hingga tulisan ini selesai, Harun Masiku belum juga ditemukan keberadaannya oleh KPK. Ia masih dinyatakan “buron”. Di sini mulai ada kecurigaan, ada “kekuatan besar” yang berusaha melindungi Harun Masiku sejak pulang dari Singapura, 7 Januari 2020. Koran Tempo membongkar data penerbangan dan kedatangan Harun di Bandara Soekarno-Hatta. Ia terbang menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 832 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Changi, Singapura, pada 6 Januari lalu. Sehari kemudian, Harun kembali dari Singapura menumpang pesawat Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7156. Pesawat dengan nomor registrasi PK-LAW ini terbang pada pukul 16.35 waktu setempat dari Gate A16 Bandara Changi. Hasil penelusuran Tempo diperkuat dengan rekaman kamera CCTV Bandara Soekarno-Hatta serta pengakuan Hildawati Jamrin, istri Harun. Pada saat operasi penangkapan, tim KPK mengejar Harun, tapi ia menghilang di kawasan kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan. KPK hanya menangkap Wahyu dan tujuh orang lainnya. Wahyu diduga menerima suap dari Harun. Suap ini diduga untuk memuluskan jalan Harun menjadi anggota DPR lewat PAW di Dapil Sumsel 1. Wahyu dan Harun, bersama Saeful Bachri dan Agustiani Tio Fridelina ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga tersangka sudah ditahan, kecuali Harun yang buron. Sementara Hasto masih menjadi saksi. Namun, jika menelisik upaya KPK yang “memburu” Harun sampai ke PTIK seperti ditulis Tempo itu menyebut ada Hasto di sana, berarti Hasto tersangka. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, menilai bahwa pengaburan informasi tentang keberadaan Harun menjadi indikasi perintangan penyidikan kasus dugaan suap Wahyu Setiawan. Asfi mendesak KPK mengusutnya. “Dalam semua kejahatan politik atau serius, enggak cuma perencanaan, tapi selalu ada penghilangan jejak dan upaya menghindari hukum,” kata Asfi. Tim KPK tak mungkin ke PTIK jika Harun tak di sana! Mengapa Harun dan Hasto ada di PTIK ketika KPK sedang memburu Harun? Dari sinilah sebenarnya KPK bisa dengan mudah menelisik keberadaan Harun. Jika Hasto memang ada, ngapain ia “janjian” ketemu Harun di PTIK segala? Sangat mudah sekali untuk dugaan keberadaan Harun dan Hasto di PTIK tersebut. Sebagai lembaga pendidikan yang mencetak Sarjana Ilmu Kepolisian, tentunya di sana juga terdapat CCTV pada jam-jam seperti pantauan KPK di sana. Jika PTIK tidak transparan mengenai keberadaan Harun dan Hasto di PTIK, seperti ditulis Tempo, maka dugaan adanya upaya melindungi keduanya dengan mengaburkan keberadaan mereka, menjadi semakin menguat: Harun dilindungi! Apalagi, memang ada upaya “menghambat” pantauan KPK atas Harun dan Hasto dari pihak PTIK. Direktur Eksekutif Global Future Institut (GFI) Prof. Hendrajit merinci beberapa aspek profil Harun Masiku. Pertama, dalam bidang kerjaan, konisisten di jalur hukum. Sebagai lulusan perguruan tinggi Inggris yang memilih studi hukum ekonomi internasional, mengisyaratkan bahwa kiprahnya sebagai ahli hukum, merupakan jangkar untuk menangani masalah-masalah bisnis dan perindustrian strategis. Terbukti Harun pernah jadi tenaga ahli di Komisi III bidang hukum. Satu catatan lagi terkait dirinya sebagai pakar hukum. Masiku pernah bekerja di beberapa kantor pengacara. Artinya, seringkali berpindah-pindah kantor hukum. “Biasanya yang punya kebiasaan begini, menggambarkan sosok yang punya bakat khusus menjalankan misi khusus, melampaui profesinya sebagai pengacara hukum,” ungkap Hendrajit. Kedua, berasal dari Makasar, Sulawesi Selatan. Sebuah fakta penting bahwa dirinya berada dalam lingkup pengaruh Jaringan Bugis-Makasar yang punya jaringan luas di berbagai daerah. Ketiga, fakta bahwa dirinya dengan begitu mudah pindah dari Partai Demokrat ke PDIP, padahal pernah jadi timses mantan Presiden SBY. Mengindikasikan adanya jaringan tidak kasat mata yang punya pengaruh kuat baik di Demokrat maupun PDIP. Dengan kata lain, Harun pindah dari Demokrat ke PDIP, bukan sekadar kutu loncat. Ada misi politik. Harun Masiku sepertinya berfungsi sebagai playmaker dalam permainan ini. “Entah kerja buat siapa,” lanjut Hendrajit. Profil Harun Masiku menunjukkan satu hal, bahwa apapun motifnya dia, sosok ini punya style. Kedua, dimanapun lokus permainannya, konsistensi kiprah geraknya adalah bidang hukum dan bisnis. “Jadi, orang ini bukan sekadar operator lapangan. Tapi tahu skema dan strategi permainan,” jelas Hendrajit. Penulis wartawan senior.

Harun Masiku Sedang Mengikuti Diklat Artificial Intelligent

Kelihatannya, sebelum rampung proses fabrikasi Harun menuju “manusia sempurna”, anda belum bisa berharap Harun akan tertangkap. Pantas diduga dia sedang mengikuti latihan menjawab pertanyaan interrogator KPK. Agar jawabannya tidak menjerumuskan pihak-pihak lain, khususnya para pembesar PDIP. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Dari caleg PAW yang tak dikenal, Harun Masiku kini menjadi selebriti medsos sekaligus orang yang sangat dibenci PDIP. Tetapi, dia menjadi orang yang sangat, sangat penting. Dalam istilah keprotokolan, Harun disebut sebagai “Very, Very, Important Person”. Disingkat VVIP. Dengan status VVIP, Harun mungkin saja mendapatkan penjagaan keamanan berlapis. Ring 1, Ring 2, Ring 3, dst. Bila perlu dilengkapi dengan sniper (penembak jitu) yang dipasang di posisi-posisi strategis tanpa diketahui publik. Harun tidak boleh terancam. Dia harus berada di lingkungan “zero threat”. Tidak ada ancaman. Untuk itu, semua ruang yang akan dilalui Harun menuju Gedung Merah Putih KPK harus steril dari bahaya. Lebih-kurang, analogi inilah yang sedang berlaku terhadap Harun. Dia, boleh jadi, lebih penting dari pemilik PDIP. Tapi, jelas lebih penting dari Sekjen Hasto Kristiyanto. PDIP tidak akan cedera kalau Hasto diganti kapan saja, oleh siapa saja. Tetapi, kesaksian Harun bisa membuat Banteng luka parah jika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan skenario #SelamatkanPDIP. Jadi, di manakah gerangan Harun Masiku berada? Tidak salah kalau Anda menduga dia masih mengikuti “diklat” yang bertujuan untuk mengubah Harun menjadi manusia yang memiliki “artificial intelligent” (kecerdasan buatan). Harun mungkin juga sedang digodok menjadi “scripted” alias “ternaskah” atau “bernaskah”. Artinya, apa yang disimpan Harun di kepalanya haruslah berupa “new knowledge” (pengetahuan baru). Terutama pengetahuan dia tentang politik PDIP. Tentang trik-trik partai. Tentang bahaya yang bakal menerpa PDIP dan Harun sendiri. Proses tranformasi Harun menjadi “smart robotic creation” (makhluk robotik pintar), melibatkan banyak aspek. Tidak mudah, tidak ringan. Bisa sangat “complicated” (rumit). Harun sedang direedukasi agar bisa menjadi politisi yang artikulat, lancar berbicara, dan memahami skala persoalan yang dihadapinya serta dampaknya terhadap PDIP. Harun haruslah “fully trained” (tergembleng penuh) dan “fully equipped” (bersenjata lengkap) sebelum dia dilepas ke KPK. Kelihatannya, sebelum rampung proses fabrikasi Harun menuju “manusia sempurna”, anda belum bisa berharap Harun akan tertangkap. Pantas diduga dia sedang mengikuti latihan menjawab pertanyaan interrogator KPK. Agar jawabannya tidak menjerumuskan pihak-pihak lain, khususnya para pembesar PDIP. Untuk itu, Harun kemungkinan sedang menjalani proses fortifikasi (penguatan). Dia sedang diperkuat dari segala segi untuk menghadapi KPK. Kuat mental dan kuat argumentasi. Tentu saja durasi “diklat” harus panjang panjang. Tak cukup 2-3 pekan. Sebab, banyak pakar “artificial intelligent” yang melakukan gemblengan one-to-one kepada Harun. Banyak yang harus dikuasai oleh politisi loncat partai itu. Bayangkan Harun berada di ruang bedah yang luas. Dengan alat-alat mutakhir. Tak salah kalau Anda teringat adegan film-film layar lebar seperti “The Terminator”, “I am Legend” atau “Matrix”, dan lain sebagaimanya. Ini skenario canggih. Yang sedihnya, Harun masih belum tertabgkap bukan karena dia sedang mengikuti diklat atau proses fortifikasi fisik dan inteligen. Melainkan disembunyikan sambil menunggu “suasana baru yang kondusif di KPK”. Artinya, menunggu restrukturisasi dan mandulisasi selesai di semua lini badan antikorupsi ini. Barulah kemudian Harun dilepas menuju gedung Merah Putih. Sehingga, begitu dia masuk ke gerbang KPK, tidak ada lagi lingkungan yang “hostile” (galak) di “kerajaan” Firli Bahuri itu. Penulis adalah Wartawan Senior