HUKUM

Ahmad Yani Bantah Bertemu Hakim Agung Syamsul Chaniago

Jakarta, FNN - Sehubungan dengan pemberitaan yang termuat di berbagai media massa, baik media cetak, maupun online, sejak Minggu 29 September 2019 hingga saat ini, ikhwal adanya kontak hubungan, antara antara saya Dr. Ahmad Yani SH. MH dengan Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung pada tingkat kasasi di Cafe Segafredo di dalam Mall Plaza Indonesia pada tanggal 28 Juni 2019, antara pukul 17.38- 18.30 WIB, maka perkenankan saya menyampaikan sebagai berikut : Pertama, bahwa saya nyatakan tidak ada sama sekali kontak hubungan yang saya lakukan dengan Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago, terkait dengan perkara pada tingkat kasasi dalam kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung. Saya mempertegas bahwa di dalam berbagai pemberitaan yang ada, terkesan seolah-olah muncul pra-kondisi yang mengkaitkan adanya kontak hubungan di antara saya dengan Syamsul Rakan Chaniago, yang dihubungkan dengan perkara kasus BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Kedua, patut saya jelaskan dan pertegas bahwa tidak ada pertemuan yang terjadi di antara saya dengan Syamsul Rakan Chaniago. Terkesan pertemuan tersebut terjadi atas inisiasi atau perencanaan terlebih dahulu. Saya mengklarifikasi bahwa keadaan yang sebenarnya ialah saya pada waktu tersebut, yaitu pada tanggal 28 Juni 2019 sekitar pukul 17.38 - 18.30 WIB, berada di Cafe Segafredo Mall Plaza Indonesia. Keberadaan saya di tempat tersebut dalam agenda melakukan wawancara interaktif dengan para teman–teman wartawan (journalist). Ketika saya tiba di Cafe Segafredo, Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago juga sedang atau sudah lebih dulu berada di dalam cafe tersebut. Dan akhirnya, saya bertegur sapa secara on the spot pada momen tersebut dengan Syamsul Rakan Chaniago. Perlu diketahui bahwa sejatinya momen sebagaimana dimaksud, terjadi di tempat keramaian atau termpat terbuka. Karena di tempat terbuka, maka dapat diekspose oleh siapapun. Apalagi pertemuan bukan di tempat yang tertutup (privat). Ketika itu, justru terdapat teman-teman media wartawan (journalist), yang akan berdiskusi dan bertemu dengan saya di Cafe Segafredo tersebut. Ketiga, bahwa adapun kronologis pertemuan sebagaimana dimaksud ialah terjadi dalam kurun waktu menjelang ibadah sholat magrib (sore hari), dimana maksud dan tujuan saya datang ke Cafe Segafredo Mall Plaza Indonesia tersebut ialah untuk menemui teman-teman wartawan (journalist) yang memang sudah membuat janji (via handphone) terlebih dahulu dengan saya. Teman-teman wartawan ingin minta keterangan atau pendapat saya ikhwal proses sengketa pilpres di MK, yang banyak berbicara tentang peran dan fungsi MK dalam menangani sengketa pilpres. Oleh karenanya, begitu saya tiba di Cafe Segafredo tersebut, secara tidak sengaja bertemu dengan Syamsul Rakan Chaniago, tanpa ada appoinment sebelumnya. Setelah bertegur sapa sebentar, akhirnya waktu ibadah magrib tiba, sehingga kami beramai ramai bersama menunaikan ibadah magrib di mushola Mall Plaza Indonesia. Setelah selesai sholat maghrib, kami kembali lagi ke Cafe Segafredo untuk melanjutkan pertemuan dengan teman-teman wartawan. Saya tidak hanya terfokus kepada Syamsul Rakan Chaniago, namun saya berpindah-pindah ke tempat duduk yang lain. Sebab keadaan waktu itu ramai atau terbuka untuk umum. Pada saat di Cafe Segafredo, saya memang fokus berdiskusi interaktif dengan teman-teman jurnalis media yang sudah membuat janji untuk mewawancarai saya. Keempat, perlu diklarifikasi dan patut menjadi catatan bahwa di dalam moment yang tidak disengaja tersebut tidak ada sama sekali membicarakan ikhwal perkara BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Bahkan saya tidak mengetahui sama sekali jikalau Syamsul Rakan Chaniago merupakan salah satu hakim dalam majelis pada tingkat kasasi yang memeriksa/mengadili/memutus perkara kasasi BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Adapun materi pembicaraan singkat yang terjadi, yang berlangsung secara informal. Pembicaraan hanya terkait dengan berbagai isu di dalam pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 yang lalu. Juga terkait proses pencalegan saya pribadi sebagai Caleg DPR dari Partai Bulan Bintang. Kelima, perlu juga untuk diklarifikasi bahwa status dan posisi saya yang dalam kurun waktu pertemuan tersebut berlangsung, dimana ketika itu saya sudah tidak ikut terlibat secara aktif dan partisipatif di dalam Tim Kuasa Hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, khususnya pada saat pengajuan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Sedari awal pengajuan upaya hukum kasasi tersebut, saya memang sudah memohon izin (pamit), baik kepada tim kuasa hukum dan khususnya kepada Syafruddin Arsyad Temenggung. Saya tidak lagi terlibat lebih jauh di dalam proses pengajuan upaya hukum kasasi, karena pada kurun waktu yang bersamaan, saya sedang memprioritaskan proses pencalegan saya yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dari Partai Bulan Bintang untuk daerah pemilihan DKI Jakarta I periode 2019 - 2024. Berkaitan dengan itu, sedari awal pengajuan upaya hukum kasasi, saya sudah tidak pernah lagi mengikuti rapat-rapat tim kuasa hukum Syarifuddin Arsyad Tumenggung dan atau pertemuan terkait dengan penyusunanpengajuan memori kasasi. Keenam, bahwa sedari awal polemik ini muncul, saya sama sekali tidak pernah diklarifikasi. Oleh karenanya, saya sangat merasa berkeberatan dengan 'simpang siurnya' pemberitaan yang menyudutkan nama baik saya. Kenyataan ini ditambah dengan 'penggiringan opini' yang juga telah dapat dilihat sebagai 'character assassination' terhadap pribadi saya. Perlu saya pertegas kembali bahwa saya secara prinsip sangat mendukung upaya pengusutan kasus BLBI secara tuntas dan menyeluruh. Demikianlah press release ini dibuat sebagai bentuk klarifikasi dengan harapan dapat menjelaskan keadaan, peristiwa yang sesungguhnya terjadi, sehingga dapat meluruskan 'simpang siurnya' pemberitaan yang muncul. Atas perhatian dan atensi-nya saya ucapkan terima kasih.

Tegasnya KPK, Koruptor Koalisi Juga Disikat!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 16,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, serta Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum 2 tahun delapan bulan penjara, sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara 1 tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019. Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK!

Tegasnya KPK, Koruptor Kubu Koalisi Juga Disikat!

Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jawa Timur (Jatim). Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK sebagai tersesangka. Imam diduga menerima gratifikasi senilai Rp 26,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy. Selian itu, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto. Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana juga jadi tersangka. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum dua tahun delapan bulan penjara. Sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara satu tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen KPK dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, KPK mengungkapkan, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK! Penulis adalah Wartawan Senior

Duta Pancasila Yang Ternyata Menjadi Maling & Pasien KPK

Itulah, nama-nama duta Pancasila yang akhirnya jadi pasien KPK. Pancasila ternyata sarat dengan skandal, dari Duta Pancasila yang malah jadi pasien KPK, hingga BPIP yang tak jelas kerjaannya. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tentu, saya mengawali dengan menyebut nama Imam Nahrawi. Orang ini paling sok Pancasila, gayanya sudah kayak yang hafal kitab tafsir Pancasila, NKRI harga mati, tapi Ga taunya juga maling duit rakyat. Kenapa Nahrawi disebut diawal ? Karena kasusnya masih hangat. Dia, ngembat duit negara melalui kemenpora. Nilainya guede banget, 26,5 miliar rupiah. Kalau ditulis angka, cukup panjang. Rp. 26.500.000.000,-. Angka ini, sangat signifikan jika digunakan untuk program pro rakyat. Diurutan kedua ada Romi, Romahurmuzy. Meski sama-sama dari NU seperti Imam Nahrawi, tapi Romi partainya PPP. Akibat polemik ini, NU pernah minta jatah menteri diluar jalur PKB dan PPP. Romi ini juga begitu, sama seperti Nahrawi. Sok Pancasila, anti syariah Islam kaffah bahkan menentang ajaran Islam khilafah. Masih banyak, jejak digital Romi yang sok hebat membuat argurmentasi ngawur menolak khilafah. Ternyata, dia juga maling. Romi didakwa JPU KPK bersama-sama Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menerima suap sebesar Rp 325 juta. Duit ini receh, jauh dengan nominal yang diembat Imam Nahrawi. Namun, duit ini hasil jual beli jabatan dilingkungan kemenag. Kementrian agama saja doyan, duit receh saja diembat, itulah tabiat Romi Koco yang sok NKRI dan sok Pancasila. Selanjutnya, seharusnya Lukman hakim Saifudin juga jadi tersangka. Ini tinggal nunggu waktu yang tepat saja. Jika nanti pada saatnya, status Lukman juga akan ditingkatkan menjadi Tersangka. Lanjut Berikutnya, Idrus Marham. Idrus Sekjen Golkar, yang katanya suara Golkar suara rakyat. Keliru itu, yang benar mungkin suara Golkar suara maling. Idrus maling duit setrum, yang berasal dari keringat rakyat. Sekretaris jenderal abadi Golkar ini, akhirnya mengakhiri karier sebagai Sekjen di jeruji besi menjadi pasien KPK. Idrus tak terlalu getol mengaku Pancasilais, tapi termasuk duta Pancasila yang diperhitungkan. Selanjutnya, kolega Idrus di Golkar. Namanya, Setya novanto. Dia, sempat tertabrak tiang listrik sebelum akhirnya ditetapkan tersangka KPK pada kasus e KTP. Semua orang yang sampai saat ini belum punya e KTP dengan dalih blangko belum siap, pasti marah pada Novanto. Novanto ini, juga yang termasuk pasang DP aku Pancasila, saat menjabat Ketum Golkar. Itulah, nama-nama duta Pancasila yang akhirnya jadi pasien KPK. Pancasila ternyata sarat dengan skandal, dari Duta Pancasila yang malah jadi pasien KPK, hingga BPIP yang tak jelas kerjaannya. Kalau dari PDIP ? Ini jagonya, namanya tak cukup disebutnya satu persatu. Makanya, PDIP termasuk yang paling getol merevisi UU KPK, sampai menugaskan petugas partainya untuk mengirim supres membahas UU KPK. Hasilnya ? UU pelemahan KPK telah disahkan. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik

Menyadap Persekongkolan Korup

Kreasi Lycurgus, dalam catatan Niclolo Machiavelli dalam buku “Diskursus” berumur lebih 800 tahun. Ia dipuji selamanya, karena pemerintahan hasil kreasinya membawa kesentosaan. Temuan kreatif Lycurgus itu, tak dapat disangkal mengilhami James Madison, arsitek konstitusi Amerika Serikat tahun 1787, yang dikenal sebagai perancang sistem hubungan antar tiga cabang kekuasaan. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Sudut mana di bumi Allah Subhanahu Wata’ala ini, yang dapat diandalkan untuk bersembunyi dari kejaran kebenaran? Tidakkah Allah Subhanahu Wata’ala, Pencipta alam raya ini? Dia Allah Yang Maha Tahu telah memberitahukan dengan sangat gamblang bahwa nafasmu yang tak terlihat dan teraba itu pun memiliki jejak? Tidakkah orang-orang telah diberitahu bahwa tindak-tanduk sekecil apapun, tak terbantahkan, tidak peduli secanggih apapun usaha menyembunyikannya, tetap saja terlihat terang-benderang oleh Dia Allah Yang Maha Tahu? Jadi? Adakah faedahnya melarang, dalam arti membatasi kewenangan KPK melakukan penyadapan? Bukankah seluruh tindakan orang-orang yang menyadap itu juga terekam oleh Allah Yang Maha Tahu? Tidakkah semua tindakan setiap orang, tanpa kecuali, kelak pada suatu saat pasti akan tersaji apa adanya di hadapan Dia Yang Maha Tahu? Mengapa penyadapan yang telah cukup sering dilakukan KPK, dan telah mengakibatkan sejumlah orang dipenjara, karena ketahuan melakukan kejahatan dibatasi penggunaannya dengan cara mengatur tata caranya? Disisi lain mengapa orang-orang, boleh sebagian saja di KPK dan lainnya terlihat keberatan dengan pembatasan penggunaan wewenang penyadapan itu? Akankah pembatasan penggunaan kewenangan penyadapan mengakibatkan KPK tidak lagi berfungsi? Di Jalan Sejarah Sepanjang jalan sejarah peradaban yang kelak memunculkan demokrasi dan rule of law, yang siapapun menyusurinya, dan memeriksa deteilnya akan bertemu dengan beberapa hal mengagumkan. Disepanjang jalan itu, anda akan menemukan tidak ada seorang, atau sebesar apapun kekuasaan yang selalu terkokang di tangannya, yang dapat terus terbang tinggi. Sebab pastti terjatuh mencium tanah. Tidak ada diktator dan tiran sebesar dan seganas apapun, yang dapat terus bertahan dalam kejayaan hitamnya. Pasti tidak. Firaun, sang diktator dan tiran terkejam itu, yang menyamakan dirinya dengan Tuhan, dalam kenyataannya tenggelam. Firaun tersunggkur, dan terjerembab juga dengan keangkuhannya sendiri. Namrud, sipenguasa yang sama diktatorialnya dengan Firaun jatuh juga. Namrud tenggelam dalam akhir yang pahit, menyedihkan. Kediktatorannya berakhir dengan satu pukulan alam yang mematikan. Tetapi sudahlah lupakan itu. Mari melihat kasus yang ada kaitannya dengan korupsi. Contoh terbaik adalah Romawi Kuno. Sebelum menjadi imperium, Romawi memiliki sejumlah diktator top. Tetapi saya ingin mengemukakan dua di antaranya saja. Yang pertama Gaius Ferres, sidiktator dan koruptior tak tertandingi, dengan kekejamannya. Juga tak tersaingi, dan tak tertandingi kecuali mungkin dengan dirinya sendiri pada saat menjabat gubernur Sisilia tahun 73-71 Sebelum Masehi, akhirnya dipenjarakan juga oleh Cicero. Gaji prajurit dimakan sendiri. Menerima suap dari prajurit yang bermaksud meninggalkan tugas adalah tipikal lain korupsinya. Yang hampir tak terpikirkan adalah korupsinya dalam jual-beli hukuman. Ketika seorang yang tak berdosa dihukum dengan hukuman mati. Masih harus dirundingkan besarnya uang suap untuk menentukan cara melaksanakan hukuman mati itu. Karena korupsi yang terus menjalar merasuki semua sendi kehidupan, Kaisar Valentianus (364-375 Masehi) memeranginya. Karena masifnya, ia memeranginya dengan mempraktekan pemerintahan teror. Dalam kenyataannya, terornya itu bermata dua. Banyak, tulis Syed Husen Alatas, ilmuan sosiologi korupsi paling kawakan ini, orang tak bersalah sekalipun dihukum. Sedangkan orang yang bersalah lolos. Seorang bendahara negara disuatu tempat dibakar hidup-hidup, karena kesalahan kecil. Itu sebabnya Ammianus Marcelinus, seorang sejarawan pada masanya, tulis Syed, melukiskan Valentianus sebagai orang yang berbakat biadab, bengis dan kejam. Seorang pandai besi yang mempersembahkan kepada kaisar penutup dada yang diberi hiasan. Bukannya diberi hadiah. Pandai besi itu malah dihukum mati. Penyebab, karena berat penutup dada itu sedikit lebih ringan dari yang diharapkan oleh sang Kaisar. Tinggalkan Kaisar Valentianus dan Ammianus Marcelinus. Mari beralih ke jalan sejarah disudut yang lain. Anda akan menemukan kenyataan “kerahasiaan atau merahasiakan sesuatu”. Apapun itu ternyata tersaji sepenuhnya sebagai barang buruk, seburuk-buruknya. Pada jalan itu pula akan ditemukan kesukaan “merahasiakan sesuatu”. Apapun itu tak pernah tertakdir sebagai tipikal diktator semata. Tidak. Ternyata diktator itu juga mempunyai kesukaan tertakdir sebagai tipikal orang yang gandrung mempromosikan dan mengagungkan demokrasi. Saya, tulis Syed ingat penggambaran kegiatan usaha-usaha gelap yang dikemukakan oleh Woodrow Wilson. Berulang-ulang, tulis Syed memperingatkan tentang rahasia yang menyelubungi pemilikan perusahaan dan hubungannya dengan para gembong politik. Sebagai contoh ia Woodrow Wilson tampilkan usaha surat kabar. Katanya alangkah baiknya kalau surat kabar mencantumkan nama para pemiliknya atau pemegang sahamnya. Tujuannya agar semua pembaca dapat mengetahui pendapat siapa yang disuarakan kabar tersebut. Selian itu, pendapat siapa pula yang dikesampingkan oleh surat kabar. Jika demikian, tulis Syed lebih jauh, ada undang-undang yang akan mewajibkan dicantumkan nama pemilik surat kabar itu. Hal itu akan dimentahkan dengan cara yang berbelit-belit. Pemilik surat kabar lebih suka pada kerahasiaan dan mencantumkan nama orang yang tidak berpengaruh dan tidak penting. Mereka, kata Syed lebih jauh lagi, mengatur hubungan dengan pemilik yang sebenarnya. Yang memegang dan menguasai saham atas dasar hipotesis. Akhirnya, pusat syaraf surat kabar itu terletak disuatu Bank. Orang yang menguasai penggunaan uang adalah orang yang menguasai surat kabar. Kemudian Wilson membuat kesimpulan yang tepat. “Lihat bagaimana sesuatu yang terbuat dari air raksa. Jika anda menjetikan jari anda terhadapnya, semua unsur pembentukannya akan buyar.” Cara Sehat Absolutisme disepanjang jalan sejarah tak pernah baik. Disudut terkecil sekalipun, mengandung dan memancarkan kebaikan. Itulah yang dikenali oleh Lycurgur, penguasa di Sparta Roma. Karena telah cukup detail mengenal monarki, aristokrasi dan demokrasi. Yang dalam kenyataan hanya bisa bertahan dalam waktu singkat. Lycurgus mengorganisasikan ketiga jenis pemerintahan tersebut menjadi satu. Ia membuatnya saling terhubung, saling terkait satu dengan lainnya. Kreasi Lycurgus, dalam catatan Niclolo Machiavelli dalam buku “Diskursus” berumur lebih 800 tahun. Ia dipuji selamanya, karena pemerintahan hasil kreasinya membawa kesentosaan. Temuan kreatif Lycurgus itu, tak dapat disangkal mengilhami James Madison, arsitek konstitusi Amerika Serikat tahun 1787, yang dikenal sebagai perancang sistem hubungan antar tiga cabang kekuasaan. Sistem ciptaan Lycurgus yang diberi bentuk lebih jauh oleh James Madison inilah yang saat ini dikenal dengan cheks and balances. Itu sebabnya Lycurgus, untuk alasan sebagai penemu terdahulu, lebih tepat ditahbiskan sebagai peletak dasar sistem cheks and balances. Sejarah yang telah menyatakan kebenarannya itu, untuk alasan yang sehat, mestinya membawa siapapun melihat pembentukan norma hukum tentang tata cara penyadapan. Pembentukan unit pengawasan terhadap penggunaan seluruh wewenang KPK, dilihat sebagai panggilan yang menyehatkan. Mengatur tata cara penyadapan, untuk alasan secanggih apapun, tidak bakal termaknai sebagai “penghilangan wewenang penyadapan” KPK. Itu pasti tidak. Membentuk unit pengawasan, juga sama. Tidak bisa, dengan argumen apapun, dimaknai sebagai cara mengucilkan, secara kasar maupun halus KPK dari pertempuran melawan korupsi. Tidak. Nalar pras toto seperti itu cukup jelas. Terlalu sulit untuk tidak membawa dan menahbiskannya sebagai nalar menyesatkan. Tentu tak berkelas menurut timbangan nalar peradaban. Membatasi dengan cara mengatur “tata cara penggunaan wewenang” sama sekali tak bernalar analogis, dan silogistis sebagai penghilangan. Juga tidak. Bukan saja karena KPK tetap dapat melakukan penyadapan menurut tata cara tertentu. Juga mendapat izin dari pengawas, tetapi terhadap kasus-kasus yang dilaporkan ke KPK. Kalau KPK mau, maka KPK dapat melakukan penyadapan terhadap kasus diselidiki dan disidik oleh KPK. Pembaca yang budiman. Memerangi kejahatan, sebagaimana yang telah dibuktikan kebenarannya dalam sejarah, tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama buruknya dengan kejahatan itu sendiri. Tidak. Gema perang melawan korupsi saat ini, dengan sejumlah kenyataan terlihat seperti pisau bermata dua. Ini tidak baik. Memompa moralitas perang terhadap korupsi di satu sisi, tetapi pada saat yang sama membiarkan mesin produksi korupsi terus eksis. Misalnya, pemilu langsung disisi lainnya, sejujurnya adalah hal yang naïf, senaif-naifnya. Naif betul menerima pemilu sebagai ekspresi hak semata. Pemilu disisi lain merupakan medan pemodal membeli kekuasaan secara halus. Orang yang dibeli, dan membeli sama-sama tak mungkin adalah orang yang baik. Menariknya Machiavelli menemukan kenyataan dan membuat tesis, “orang baik tidak bakal menaiki tangga kekuasaan, mengandalkan, mempertahankan kekuasaannya dengan cara yang terlihat baik dikulit, tetapi jahat dalam esensinya. Tidak. Orang baik tidak pernah bermuka dua. Sadaplah setiap pembicaraan persekongkolan membuat korupsi. Lakukanlah secara benar. Membiarkan korupsi sama dengan menempatkan moralitas ditempat sampah. Sama busuknya dengan memberantas korupsi dengan cara yang korup dan jahat. Korupsi tidak dapat ditoleransi dengan menyodorkan skala jumlah uang yang dikorupsi. Karena anda, dengan cara apapun instrumennya, tidak dapat mengukur secara tepat efek sosialnya terhadap setiap sudut kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jelas itu. Penulias adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rangkaian pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Presiden Joko Widodo, dilanjutkan pertemuan Prabowo – Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo – mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu, meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019, namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua UU, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 19445, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas saat pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Para elit politik sudah tahu jika Jokowi tak bisa dilantik MPR, karena PKPU tentang Pilpres melawan UUD 1945. DPR terpilih juga tak bisa mengubah UUD 1945 dengan amandemen, karena perubahan hanya berlaku untuk Pilpres 2024. Bukan 2019! Jadi, Jokowi – Ma’ruf terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024. Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR, sesuai pasal 6A UUD 1945. Menang pada Pilpres 2019 lalu, tapi tak otomatis bisa dilantik. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 poin versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo - Sandi, bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Kalau MPR ngotot melantik Jokowi, itu melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi – Ma’ruf dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR, bukan melalui sidang MK atau keputusan KPU yang memenangkan Jokowi – Ma’ruf. Kalau ada putusan yang bertentangan dengan isi UUD 1945, maka batal demi hukum. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, paslon Presiden dan Wapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wapres. Dalam pasal tersebut ada tiga syarat dalam memenangkan Pilpres, yakni memperoleh suara lebih dari 50 persen, memenangkan suara setengah dari jumlah provinsi (17 provinsi) dan terakhir, di 17 provinsi lainnya kalah minimal suara 20 persen. “Jangan lupa masalah itu sudah diputus MK tahun 2014. MK memutuskan kalau pasangan capres hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi,” kata Yusril Izha Mahendra, mantan penasehat hukum Jokowi – Ma’ruf. Pada 2014, MK berpendapat pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak berlaku ketika hanya terdapat dua pasangan calon sehingga pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen, tidak perlu lagi menggunakan aturan tentang sebaran. Menurutnya, kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di pasal 6 UUD 1945, maka pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua. Yusril menambahkan, pada putaran kedua, ketentuan itu tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. “Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak,” kata Yusril. Namun, yang dilupakan Yusril adalah bahwa Jokowi – Ma’ruf tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 6A ayat (3) tersebut. Jokowi – Ma’ruf hanya menang di 8 provinsi, tidak sampai separuh dari jumlah provinsi (17 provinsi). Sedangkan Prabowo – Sandi menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Sehingga, keduanya telah memenuhi syarat sesuai pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu. Inilah dasar hukumnya mengapa Jokowi – Ma’ruf tidak bisa dilantik. Berikut bunyi lengkap Pasal 6A UUD 1945: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Coba simak, dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, secara implisit dapat dikatakan Jokowi – Ma’ruf belum bisa dinyatakan sebagai pemenang karena belum “setengah jumlah provinsi”. Makanya, karena tak bisa dilantik, maka Prabowo – Sandi yang memenuhi syarat itulah yang harus dilantik MPR. Prabowo – Sandi menang di lebih dari setengah jumlah provinsi, yakni tepatnya 26 provinsi dengan suara lebih dari 20 persen suara. Jokowi – Ma’ruf sendiri masih ada beberapa provinsi yang perolehan suaranya kurang dari 20 persen. Makanya, kalau Jokowi sangat ingin bertemu Prabowo itu tidak lain maksudnya adalah untuk mendapatkan legitimasi Prabowo secara politis. Perlu dicatat, jika Prabowo memberi jalan pada Jokowi – Ma’ruf untuk dilantik di MPR, justru mantan Danjen Kopassus ini bisa dianggap telah melanggar UUD 1945. Karena itulah, dia harus bisa menerima keputusan MPR atas dirinya. Bersama Sandi, Prabowo dilantik MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Ini juga perlu dicatat bahwa MK tidak berhak untuk mengubah UUD 1945. Catat! UUD 1945, bukan UU! Kedudukan MK tidak boleh di atas UUD 1945. MK itu tak berwenang mengganti atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahwa salah satu wewenang MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Demikian yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi, jika ada putusan MK yang bertentangan dengan UUD 1945 maka dinyatakan batal demi hukum! Dan semua pihak harus menerima dan menghormati itu! *

“Quo Vadis” Pemberantasan Korupsi Indonesia?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Adakah yang menarik terkait Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Jawabnya: Ada! Coba saja simak pasal-pasal untuk terpidana korupsi dalam RKUHP yang sedang digodok di DPR. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Langkah ini jelas bisa membuat korupsi di Indonesia akan semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. Setidaknya, ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan daripada pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama 2 tahun penjara. Padahal, Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar kisaran 4 hingga 20 tahun penjara. “Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta,” ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Dalam Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Menurut penilaian Zaenur Rohman, DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga KPK dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” tegasnya. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Bagaimana dengan Revisi UU KPK? Inilah yang menarik! Ternyata wewenang KPK bakal dipangkas habis. Yang berkuasa di KPK nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. DP inilah yang nantinya akan mengendalikan kinerja KPK. Semua proses keputusan KPK tidak bisa langsung dieksekusi lagi. Karena harus “seizin” DP terlebih dahulu. Dengan fakta ini, DPR sudah melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK menjadi Komisi Perlindungan Korupsi! Komisi untuk melindungi perilaku korupsi. Jika ini terjadi, jangan salahkan rakyat kalau DPR dituding sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Sehingga perlu untuk diamankan sedemikian rupa sehingga tidak bisa disentuh (ditangkap) KPK. Atas inisiatif DPR itu, semua fraksi setuju dan sepakat untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Kamis (5/9/2019). Ada beberapa poin penting yang melemahkan KPK. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar atas KPK. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telepon dan penggeledahan. Kalau DP tidak setuju, ya KPK tidak bisa mengeksekusi. Ini jelas bisa disalahgunakan. Bukan tidak mungkin, bisa saja ada oknum DP membocorkan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Sehingga, bisa diterbitkan semacam SP3. Melansir tulisan wartawan senior Asyari Usman di fnn.co.id, Jum’at (6/9/2019), yang tidak kalah penting adalah status karyawan KPK yang akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN. Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telepon. “Ini yang justeru dipangkas oleh DPR,” tulis Asyari Usman. Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang terkena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak terkena OTT KPK adalah dari PDIP. Kedua yaitu Golkar. Begitu juga Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan lain-lain. “Jika mau jujur, sebenarnya justru Partai Demokrat-lah yang berada dalam urutan pertama sebagai partai terkorup. Tapi, karena KPK dikuasai oleh Partai Biru, sehingga kadernya masih terlindungi,” ungkap sumber Pepnews.com. Coba saja silakan petakan siapa saja anggota komisioner yang menjabat sekarang ini. Ketua KPK Agus Rahardjo disebut-sebut sebagai “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Makanya, banyak kader Demokrat yang”lolos”. Pertanyaannya kemudian, apakah Revisi UU KPK tersebut bukan dirangsang oleh sikap KPK selama ini, yang condong ke Partai Biru SBY? Karena, banyak skandal yang mengarah pada kader SBY, tapi tak diproses oleh KPK, seperti skandal Pelindo. Tapi, kalau ke kader partai lain, sangat cepat sekali. Sehingga banyak kader partai lain yang ditangkapi. Sementara pada 2018 dan 2019 ini tidak ada kader Demokrat yang ditangkapi. Padahal banyak yang bisa diproses dan ditersangkakan. Ketua DPP Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) Bambang Sulistomo akan mendukung semua pihak untuk melawan pihak-pihak yang berniat “merongrong” wibawa KPK. Putra Pahlawan Bung Tomo itu secara tegas menolak upaya pelemahan KPK melalui revisi UU 30/2002 KPK. “Segala upaya pelemahan pada KPK akan berdampak pada pelemahan dan keutuhan NKRI,” katanya kepada Pepnews.com. KPK adalah lembaga independen untuk menjaga keutuhan NKRI, dan kelahiran KPK atas UU 30/2002, pada akhirnya merupakan bagian dari sejarah kehendak para pendiri bangsa dan upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa, yang berdampak luas pada semua teks jual-beli hukum. Yakni pada proses pemiskinan masyarakat, pada proses ketimpangan sosial ekonomi, pada proses krisis kepercayaan masyarakat. KPK mendapatkan harapan besar dari masyarakat agar mampu menegakkan kepastian hukum dan keadilan. “IP-KI menolah upaya untuk melemahkan peran dan kekuatan KPK,” tegasnya. Contohlah Hongkong! Kalau DPR ingin Revisi UU KPK, maka KPK harus dijadikan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong atau Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC independen murni sejak pembentukan. Tidak ada personil polisi dan kejaksaan, masih aktif atau mantan. Semua rekrutmen murni dari sipil sejak awal. Sehingga sepak terjang ICAC sangat ditakuti semua pejabat Hongkong. ICAC hanya bertanggungjawab soal penangkapan pada Gubernur Hongkong. Bukan mengkonsultasikan pada Gubernur. Proses penyidikan dan penyelidikan juga berdasar investigasi, berdasar masukan warga dan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan petugas negara. Bukan berdasar laporan yang diterimanya. Sehingga yang diburu ICAC murni pelanggaran hukum korupsi. Yang menarik, ICAC juga berhak menangkap Gubernur Hingkong, jika terbukti korupsi. Padahal ICAC bertanggung jawab pada Gubernur Hongkong. Itulah keistimewaan ICAC yang diadopsi Jepang, FBI, dan banyak negara lain di Asia dan Eropa. ICAC disebut-sebut sebagai lembaga tersukses di dunia memberantas korupsi. ICAC didirikan pada 1974, saat korupsi di Hong Kong demikian masif. Saat itu, bisa jadi Hong Kong adalah kota terkorup di dunia. Demikian masifnya, di Hong Kong ada hubungan yang erat antara aparat penegak hukum dengan sindikat kejahatan terorganisasi. Sebut saja perjudian dan narkoba yang saat itu mendapat perlindungan dari oknum-oknum penegak hukum. Saat ICAC dibentuk hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa membawa perubahan. Kebanyak menilai sebagai “Mission Impossible”. Namun, dalam waktu tiga tahun, ICAC sukses menghukum 247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi. Dalam Millenium Survey terbaru bahwa pendirian ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong Kong. Tampaknya KPK masih sulit untuk bisa menjadi seperti ICAC jika anggotanya berasal bukan dari masyarakat sipil murni! *

Menyoal Visi-Misi Jokowi Tentang Korupsi : Agenda Apa Dibalik Pelemahan KPK?

Faktanya saat ini hampir 80-90% pegawai di KPK adalah non PNS. Seningga dengan berlakunya undang-undang KPK yang baru nanti, otomatis hampir 1.500 pegawai KPK yang bertugas di seluruh wilayah Indonesia, di berbagai kementrian harus berhenti bekerja karena surat perintah tugas yang mereka kantongi batal demi hukum. Seluruh pegawai KPK akan kehilangan status pegawainya. Setiap tindakan mereka juga harus dianggap batal demi hukum. Oleh Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Masih belum hilang dari ingat public. Bagimna Jokowi dengan berapi-api mengemukakan visi dan misinya tentang penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi dalam debat capres dan cawapres 2019 beberapa waktu yang lalu. Dalam koteks penegakan hukum korupsi, Jokowi seakan memahami kehendak dan kemauan masyarakat. Sehingga dengan tegas Jokowi menyebutkan bahwa ia akan “Memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Penguatan KPK sebagai satu-satunya lembaga yang terdepan dalam penegakan hukum korupsi. Namun visi dan misi yang dinyatakan secara tegas oleh Jokowi sedang menghadapi ujian berat. Sambil menunggu pelantikannya sebagai presiden periode kedua, KPK sedang diupayakan untuk dilemahkan secara hokum oleh DPR Ujian berat kepada Jokowi tersebut berkaitan dengan isu pelemahan KPK. Terdapat dua isu atau peristiwa yang sedang terjadi saat ini berkaitan dengan isu pelemahan KPK. Isu pertama, berkaitan dengan seleksi calon pimpinan KPK. Sedangkan isu yang kedua, berkaitan dengan revisi undang-undang KPK yang saat ini sedang digodok di DPR. Anehnya, sampai dengan detik ini Presiden Jokowi hanya berdiam diri. Sebagai kepala Negara, dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang berkepentingan langsung dengan penegakan hukum korupsi, Jokowi belum memberikan tanggapan apa-apa. Jokowi juga tidak memberikan respon terhadap kedua permasalahan tersebut. Padahal komunitas masyarakat sipil pegiat anti korupsi sedang menyuarakan protes dimana-mana. Masyarakat menduga adanya upaya pelemahan KPK secara sistematis melalui seleksi calon pimpinan KPK. Masyarakat melayangkan protes agar presiden Jokowi agar tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang telah diserahkan pansel kepada presiden. Salah satu pihak yang secara tegas menolak hasil seleksi capim KPK berasal dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi. Mereka beranggapan bahwa Para capim KPK bermasalah untuk menjadi pimpinan lembaga KPK. Oleh karena itu Jokowi diminta untuk memperhatikan rekam jejak capim KPK dengan baik. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Jokowi berani menolak nama-nama capim yang diserahkan pansel jika nama-nama itu tidak punya integritas. Bila perlu Jokowi mengevaluasi kembali kinerja pansel KPK. Protes ini dilakukan agar KPK tidak diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas. KPK juga jangan dipimpin oleh yang tidak mempunyai integritas. Bila tetap dipaksakan, maka KPK nantinya akan menjadi lembaga lemah terhadap penegakan hukum korupsi. Isu pelemahan KPK yang kedua, berkaitan dengan revai UU KPK. Publik sungguh sangat terkejut dengan usulan revisi undang-undang KPK. Sebab sebelumnya revisi UU KPK tersebut, tidak masuk dalam daftar inventarisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) dan non RUU untuk periode tahun 2014-2019. Yang lebih mengejutkan lagi, karena pada masa sidang pertama 16 Agustus 2019, tiba-tiba saja Badan Legislasi DPR mengajukan usulan revisi undang-undang KPK. Kemudian secara diam-diam rancangan itu dibahas maraton dalam waktu yang amat singkat di internal Baleg DPR. Selanjutnya Rapat Paripurna (5/9/2019) dengan suara bulatDPR telah sepakat untuk mengajukan revisi undang-undang KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Luar biasa cepat, dan sangat senyap. Alih-alih untuk menguatkan lembaga KPK sebagaimana pernyataan tegas Jokowi saat penyampaian visi-misinya sebagai calon presiden. Revisi undang-undang KPK ini sangat tendensius. Bahkan terkesan sengaja didesain untuk menghabiskan posisi lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi. Poin-poin pelemahan itu tampak jalas dalam beberapa kententuan revisi undang-undang KPK. Seperti pasal 1 angka 7: “Pegawai KPK adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjanjian kerja sebagaimana dimaksud dan peraturan perundang-undangan di bidang Aparatur Sipil Negara (ASN). Faktanya saat ini hampir 80-90% pegawai di KPK adalah non PNS. Seningga dengan berlakunya undang-undang KPK yang baru nanti, otomatis hampir 1.500 pegawai KPK yang bertugas di seluruh wilayah Indonesia, di berbagai kementrian harus berhenti bekerja karena surat perintah tugas yang mereka kantongi batal demi hukum. Seluruh pegawai KPK akan kehilangan status pegawainya. Setiap tindakan mereka juga dianggap batal demi hukum. Ketentuan lain yang dianggap melemahkan posisi KPK adalah soal penyadapan yang perlu dan wajib atas ijin dari dewan pengawas. Aturan ini akan membuat KPK menjadi lumpuh untuk malakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Patut diduga para pimpinan Partai Politik sangat berkepentingan agar aturan ini menjadi lemah. Bahkan bila perlu dihilangkan sama sekali Sedangkan hal yang sangat fatal, dan ditengarai sebagai upaya penyusupan untuk dapat membebaskan beberapa tahanan korupsi yang saat ini sedang dalam proses penyidikan dan penuntutan. Misalnya ketentuan pasal 43 ayat (1), bahwa penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (2) penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (3) penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk pada mekanisme penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, asal 43 A ayat (2) persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 45 ayat (1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Jika pasal tersebut diatas diberlakukan maka akibatnya adalah direktorat penyelidikan dan penyedikan akan berhenti bekerja secara total. Sebab lebih dari setengah penyidik yang ada di KPK berstatus sebagai penyidik KPK yang bukan berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Secara serentak 20 satgas penyidikan yang ada di KPK juga stagnan seketika. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Berita Acara (BA) penahanan, BA penyitaan, dan seluruh administrasi penyidikan akan batal demi hokum. Karena tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) dan penyidik yang tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik KPK sesuai undang-undang. Demikian juga dengan kinerja Direktorat Penuntutan. Semua bisa berhenti total akibat dibelakukannya ketentuan pasal 70C. Pasal tersebut menyatakan “pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Oleh karena itu patut untuk dipertanyakan siapa sebenarnya Presiden Jokowi ini? Apakah Presiden Jokowi juga memiliki agenda tersembunyi dalam skema revisi undang-undang KPK ini? Sebab begitu besarnya suara publik yang menuntut agar presiden besikap tegas atas kebijakan pelemahan lembaga KPK. Terutama melalui dua skema tersebut yaitu, skema capim KPK dan skema revisi undang-undang KPK. Namun sayangnya, Jokowi hanya bias membisu terhadap desakan publik tersebut Ada dua hal yang patut diduga. Pertama, apakah dengan sekama pelemahan KPK ini, presiden ingin menyelamatkan kolega-koleganya yang sedang ditahan dan dalam proses penyidikan maupun penuntutan? Kedua, ataukah presiden ingin bekerja tanpa habatan, tanpa diawasi oleh KPK ke depan? Terutama yang berkaitan dengan kebijakan presiden tentang pemindahan ibukota Negara yang sedang dicari-cari landasan pembenaran secara hukum. Sebab masyarakat sadar bahwa kebijakan pemindahan ibukota tersebut belum ada selembar kertaspun yang mengatur sebelumnya dalam bentuk perencanaan. Yang sangat mengejukan terkait dengan besarnya anggaran yang digunakan untuk membangun ibukota baru tersebut. Dana yang dibutuhkan sekitar Rp 464 triliun untuk membangun ibukota tersebut, tentu sangat rawan kemungkinan praktik korupsi dan kolusi. Sehingga presiden ingin terhindar dari segala aturan hukum yang menghalangi dan mengganggu keinginan dan semangat memindahkan ibukota. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Iniversitas Nasional Jakarta

Tanduk Presiden dan DPR Mengarah ke KPK

Pantas saja Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, mengkritik keras sikap DPR dan pemerintah. Dia menyebut DPR dan pemerintah telah membohongi rakyat Indonesia. Ini karena dalam program-program kerja mereka selalu menyuarakan penguatan KPK. "Tapi pada kenyataannya mereka berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam," tandasnya. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bulan ini menjadi September kelabu bagi komisi antirasuah, KPK. Gencarnya operasi tangkap tangan atau OTT KPK terhadap sejumlah kepala daerah dan partnernya ditingkahi perlawanan kaum politisi di Senayan. Anggota legislatif mengajukan inisiatif perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sisi lain, Istana telah mengirim sepuluh nama calon pimpinan KPK kepada DPR dari hasil seleksi pansel yang oleh banyak kalangan dianggap bermasalah. “KPK di ujung tanduk,” seru Ketua KPK, Agus Rahardjo, Kamis (5/9). KPK memang selalu berhadapan dengan banyak mafia. Seperti kita tahu, kerja KPK selama ini antara lain adalah menggelandang koruptor ke bui. Para koruptor itu kebanyakan pejabat negara. Para pejabat itu mayoritas kader partai politik. Partai politik punya kaki tangan, anggota, dan simpatisan di semua lini pemerintahan. DPR adalah pusat pertemuan para politikus. Mereka juga ada di sekitar istana. Bahkan Presiden Joko Widodo adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP. Dia petugas partai, begitu Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menyebut. Secara spesifik Agus tidak menunjuk ujung tanduk siapa yang diarahkan ke KPK. Hanya saja, publik sudah cukup paham upaya mengkerdilkan KPK sudah dimulai dari pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK, seleksi capim, sampai lahirnya sepuluh figur yang di dalamnya ada nama-nama yang “bermasalah”. Para pegiat antikorupsi sudah mencereweti semua itu. Ada anggota pansel KPK dari unsur tidak netral. Pansel Capim KPK terkesan mengistimewakan calon dari Polri untuk tetap lolos meski calon tersebut punya catatan buruk. Dalam Pansel ada Indiryanto Seno Adji dan Hendardi. Keduanya bekerja sebagai penasihat Kapolri Tito Karnavian. Presiden Joko Widodo tidak mempedulikan semua cerewetan itu. Anjing menggongong, kafilah tetap berlalu. Ada dugaan, Jokowi berusaha meloloskan calon yang bisa "mengawal" pendukungnya lolos dari jeratan KPK. Jokowi menyerahkan sepuluh nama hasil pansel tanpa revisi sedikit pun kepada DPR untuk dipilih menjadi lima nama. Sudah bisa diduga, lima nama itu tentu akan disesuaikan keinginan Presiden. Maklum saja, kebanyakan anggota DPR adalah dari partai penyokong Jokowi. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengungkap di antara para capim itu ada yang ingin fungsi penyidikan di KPK hilang. Padahal, KPK ada justru untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi. Ada juga capim yang berasal dari organisasi yang pernah menghambat proses pengungkapan kasus korupsi, tersangkut masalah etik, bahkan berniat menghilangkan OTT. "Jadi bisa dibayangkan, OTT enggak ada, pencegahan tidak ada, penyidikan dihilangkan. Jadi sebetulnya apa yang tersisa dari KPK? Tidak ada," ujarnya. Kerja Sama Istana-Senayan Kembali ke urusan tanduk. Dari rentetan peristiwa itu maka patut dicurigai tanduk Presiden Jokowi mengarah ke KPK. Ada semacam kerja sama yang apik antara Istana dengan Senayan untuk mengebiri KPK. Pernyataan Agus bahwa “KPK di ujung tanduk” dilontarkan menyusul keluarnya hasil Rapat Paripurna DPR RI yang salah satunya adalah sebanyak sepuluh fraksi sepakat revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. Pernyataan itu juga tidak lama setelah Presiden menyerahkan 10 nama capim KPK. Anggota Badan Legislasi DPR RI, Masinton Pasaribu, mengakui langkah mengajukan revisi UU KPK dilakukan karena pemilihan pimpinan baru KPK sedang berproses saat ini. UU KPK hasil revisi, kata dia, diharapkan bisa digunakan oleh jajaran pimpinan KPK periode 2019-2023 yang akan mulai menjabat pada Desember 2019. Ajaibnya, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Presiden Jokowi seakan-akan buang badan. “”Belum tahu saya. Nanti saya cek. Saya juga belum lihat detilnya seperti apa. Itu akan dibahas sesuai mekanisme sendiri nantinya seperti apa,” jawab Fadli, saat dikonfirmasi mengenai pengesahan revisi UU KPK yang mendadak itu. Jokowi juga begitu. "Itu inisiatif DPR," tukasnya, seperti dikutip melalui video resmi yang diunggah Sekretariat Kepresidenan, Kamis (5/9). "Saya belum tahu. Jadi saya belum bisa sampaikan apa-apa," lanjutnya. Cara buang badan begini sungguh sangat disayangkan. "Ini merupakan lonceng kematian bagi KPK sekaligus memupus harapan rakyat akan masa depan pemberantasan korupsi," ujar Yudi Purnomo, Ketua Wadah Pegawai KPK, Jumat (6/9). Yudi menginformasikan bahwa pegawai KPK akan menggelar bentuk protes penolakan revisi UU KPK secara simbolik membuat rantai manusia. Dia mencatat, setidaknya terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK. Pertama, independensi KPK terancam. Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. Ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Kelima, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Pantas saja Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, mengkritik keras sikap DPR dan pemerintah. Dia menyebut DPR dan pemerintah telah membohongi rakyat Indonesia. Ini karena dalam program-program kerja mereka selalu menyuarakan penguatan KPK. "Tapi pada kenyataannya mereka berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam," tandasnya. Revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR. Namun, RUU itu tidak akan mungkin dapat menjadi UU jika Presiden Jokowi menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut. Undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden. Di sinilah rakyat menunggu sikap presiden. Jokowi mesti konsisten tentang janjinya yang pernah diucapkan: tidak akan melemahkan KPK. Jika Presiden ingkar janji, maka tak hanya di ujung tanduk, KPK akan dikebiri, dihilangkan kejantanannya. KPK berada di tubir jurang. Pantas saja banyak pihak menyerukan, “save KPK”!

Lonceng Kematian KPK di Tangan Jokowi

Presiden Jokowi terkesan begitu mudah percaya kepada hasil penilian pansel. Presiden percaya kepada pansel tanpa menimbang dulu masukan dari koalisi masyarakat sipil terhadap rekam jejak kandidat-kandidat capim yang bermasalah. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Sebuah harian terkemuka edisi hari ini (6/9/2019) memuat sebuah ulasan berita dengan judul yang cukup menarik. “Nasib KPK di Tangan Presiden.” Begitu kira-kira judul berita itu yang terbit persis dengan satu hari selepas Rapat Paripurna DPR (5/9/2019) dengan suara bulat sepakat mengajukan revisi UU-KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Yang menarik dari pemberitaan itu adalah adanya operasi senyap yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam mempercepat proses pengusulan revisi UU-KPK. Rupanya diam-diam rancangan itu telah dilakukan pembahasan beberapa kali dalam waktu amat singkat di internal Baleg DPR. Seolah ada tenggat waktu yang dikejar. Tulisan ini bukan bermaksud untuk membahas pasal demi pasal yang dinilai perlu dilakukan revisi. Tapi lebih pada menyoroti peran seorang Presiden dalam mengakomodasi tuntutan publik. Masyarakat sangat mengehendaki presiden melakukan upaya-upaya menyelamatkan lembaga anti rasuah ini agar tidak jatuh terpuruk. Sebagai kepala Negara, Presiden Jokowi tak boleh diam diri. Tidak boleh bersikap netral yang berlarut-larut. Tidak boleh membiarkan KPK diobok-obok tak berkesudahan. Sikap tegas presiden harus diambil. Tak bertindak cepat sama artinya mempertontokan lunturnya komitmen Jokowi pada pemberantasan korupsi. Substansinya serupa dengan berita harian edisi hari ini. Mengingatkan Presdien Jokowi agar tidak mengulangi kesalahan dua kali. Jokowi harus bersikap waspada terhadap anasir-anasir lingkar dalam kekuasaannya. Orang-orang di lingkaran presiden, ada yang tidak kapok-kapoknya berupaya melemahkan eksistensi KPK. Harus diakui, skenario drama baru pelemahan KPK ini bermula dari Presiden Jokowi. Presiden yang keliru membuka langkah penentu langgam permainan. Untuk itu, Presiden layak dikritik lantaran dinilai sembrono dan menyerah terhadap desakan segelintir elit politik yang bermain lewat pansel KPK. Mereka berusaha menggolkan kandidat-kandidat capim KPK yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Presiden Jokowi terkesan begitu mudah percaya kepada hasil penilian pansel. Presiden percaya kepada pansel tanpa menimbang dulu masukan dari koalisi masyarakat sipil terhadap rekam jejak kandidat-kandidat capim yang bermasalah. Banyak kandidat capim KPK yang punya rekam jejak buruk. Terutama terhadap capim yang bermasalah, karena diduga belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ada juga capim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. Kendati demikian, penilaian itu dibantah oleh Presiden Jokowi dengan narasi yang normative. Alasan Jokowi, terhadap semua capim yang diusulkan, telah dilakukan penelusuran dan pemeriksaan mendalam. Faktanya, Presiden terkesan tergesa-gesa menyerahkan sepuliuh nama capim kepada DPR dalam waktu begitu singkat. Hanya dua hari selepas diserahkan oleh pansel kepada presiden. Sikap Presiden Jokowi itu dinilai publik justru mempercepat lonceng kematian KPK. Tentu publik patut bertanya, langkah Presiden Jokowi yang begitu cepat menyampaikan sepuluh nama capim KPK untuk segera dipilih DPR. Anehnya, pada waktu bersamaan, DPR mengajukan usulan draft revisi UU-KPK. Ada gerangan apa ini? Boleh jadi langkah super cepat ini ditafsirkan publik sebagai upaya untuk menjinakan KPK. Pemerintah rupanya butuh pengamanan. Iya, pengamanan. Terutama pengamanan terhadap adanya kepastian terkait pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya didominasi oleh hutang luar negeri tak boleh terganggu oleh operasi KPK. Untuk itu, KPK mesti dibungkam. Salah satunya dengan melakukan operasi distorsi kewenangan. Caranya, dengan mempreteli kewenangan yang selama ini dinikmati oleh KPK. Selain itu, distorsi peran terhadap penyidik-penyidik senior di KPK. Mereka yang selama ini dinilai sebagai penggerak operasi-operasi yang dilakukan oleh KPK. Akhir-akhir ini operasi KPK itu mulai menyasar kepada beberapa Direksi BUMN. Umumnya pada pilpres tempo hari para Direksi BUMN dianggap turut berjasa memenangkan Jokowi. Dalam spektrum yang lebih luas, pemerintah kuatir operasi KPK itu menembus jantung kerja sama BUMN dengan korporasi-korporasi China dalam pembangunan infrastruktur. Dua Alasan Revisi Dalam kaitannya dengan kerja sama operasional pembangunan infrastruktur, menurut KPK, ekspansi bisnis dan investasi China ke Indonesia perlu dicermati. Investasi lewat Belt and Road Initiative (BRI) yang operasionalnya bekerja sama dengan BUMN patut diwaspadai. Kenyataannya, meski terkesan positif, proyek BRI China banyak dikritik karena dianggap sebagai jebakan hutang bagi negara berkembang. Untuk Indonesia, persoalannya bukan hanya semata hutang. Banyak pihak juga mencurigai BRI sebagai akal-akalan pemerintah China untuk menguasai kepemilikan proyek infrastruktur dalam negeri. Alasan KPK sangat masuk akal. Korporasi asal China dikenal tidak punya prinsip anti korupsi. Bagi KPK, kerja sama bisnis itu mesti diwaspadai. Rupanya kekuatiran KPK cukup punya alasan. Transparansi Internasional (TI) telah melakukan survey. Hasilnya dirilis pada tahun 2011 melibatkan sekitar 3.000 eksekutif perusahaan di 28 negara ekonomi besar, termasuk Indonesia. Semua negara anggota kelompok 20 (G-20) dilibatkan dalam survey. Sebanyak 28 negara yang disurvey itu, dinilai maju secara ekonomi. Dari hasil survey itu diketahui, China dan Rusia berada di peringkat paling bawah, yakni di posisi ke-27 dan 28. Itu artinya perusahaan pada dua negara tersebut ”paling curang”. Juga paling suka menyuap untuk melancarkan kegiatan bisnisnya, baik di dalam maupun luar negeri. Menurut peneliti TI, Elena Panfilova, hampir tidak ada lagi kejujuran dalam kehidupan bisnis yang berlaku pada korporasi China. Menurutnya, kemungkinan suap yang dibayarkan dari sebuah perusahaan swasta kepada yang lain ”adalah hampir setinggi penyuapan pejabat publik di semua sektor”. Elena Panfilova mengatakan, ”Penyuapan juga bisa disamarkan melalui penawaran hadiah bagi klien dan hospitalitas perusahaan yang tak dinilai.” Kondisi itu amat memprihatinkan. Sebab, perusahaan kedua negara, terutama China, saat ini merajai hampir semua benua. China juga sudah menancapkan taring bisnisnya ke Afrika dan Amerika Selatan. Juga di negara-negara di Asia, Eropa, dan juga Amerika. Penyuapan dan korupsi pasti akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan bisnis mereka. Tidak salah bila kita berkesimpulan kerja sama operasional BUMN dengan korporasi China di sini tak luput diwarnai dengan praktik suap. Tak adil bila menimpakan penilaian buruk hanya kepada faktor di luar tubuh KPK. Mesti diakui pula, sebagian alasan untuk melakukan revisi UU-KPK justru ada di tubuh KPK sendiri. Sedari awal KPK berdiri, para komisioner boleh dibilang gagal dalam merumuskan road map pemberantasan korupsi nasional yang berkelanjutan. Road map pemberantasan korupsi harus berbasis pada prioritas bidang penggarapan yang dilakukan secara konsisten. Baru kemudian pada tahun 2012, road map pemberantasan korupsi nasional baru selesai dirumuskan. Namun dalam hal penanganan grand corruption, sistem integritas nasional, dan fraud control system, ternyata fungsi-fungsi tersebut terabaikan. Penanganannya belum menjadi prioritas utama. Publik masih menilai kasus mega korupsi tak tertangani optimal dan jauh dari dari rasa keadilan publik. Kasus-kasus mega korupsi seperti BLBI, Century, e-ktp dan Pelindo tak berhasil terungkap tuntas. Sementara bagi Jokowi sendiri, maraknya operasi tangkap tangan yang semarak dilakukan KPK justru dinilai sebagai kegagalan KPK. Lembaga anti rasuah ini gagal dalam membangun sistem integrasi nasional. KPK juga gagal memberikan efek jera bagi para koruptor, sehingga praktik korupsi tak lagi sebagai perbuatan tabu yang menakutkan. Bagi Jokowi, keberhasilan KPK ada pada kuatnya fungsi pencegahan bekerja. Lantaran dua alasan inilah Presiden Jokowi sejatinya menghendaki KPK perlu segera diruwat. Komitmen Presiden Terlepas dari adanya kelemahan KPK itu, Presiden Jokowi sendiri pernah diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Keraguan itu muncul lantaran pada tahun 2017 berencana membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri. Alokasi anggarannya disiapkan sebesar 2,6 trilyun. Jumlah ini setara dengan anggaran KPK. Saat itu publik menilai, Presiden Jokowi hendak melemahkan KPK dengan mendistorsi kelembagaan. Pembentukan Detasement khusus pemberantasan korupsi di bawah Polri, yang nantinya berfungsi serupa dengan KPK merupakan upaya strategis presiden guna mengambil alih dan mereduksi kewenangan KPK. Secara gradual, Detasemen ini akan mengoptimalkan unit tipikor yang kini mati suri. Boleh jadi lantaran alasan anggaran, pembentukan Detasemen itu mendadak ditunda. Kendati begitu, ternyata Presiden Jokowi pernah pula menghentikan pembahasan revisi UU-KPK di DPR tahun 2016. Namun, tak berbuat banyak saat DPR kembali menggulirkan usulan revisi UU-KPK tahun 2017, tetapi ditolak rakyat. Lantas, bagaimana sikap Presiden selanjutnya? Bagaimana pun Presiden Jokowi mesti bersikap. Kepemimpinan Jokowi yang kuat dengan dukungan koalisi parpol di Parlemen dinilai mempuyai real politic yang lebih solid ketimbang kepemimpinan sebelumnya. Modal politik ini semestinya bisa digunakan untuk mencegah pelemahan KPK yang terus berlanjut. Sebagai langkah awal, dengan dukungan besar dari koalisi parpol, Jokowi dinilai mampu untuk mengendalikan parlemen. Jokowi harus menekan parlemen supaya tidak lagi meneruskan pembahasan Revisi UU-KPK. Begitu juga Jokowi perlu menghentikan pemilihan nama-nama capim KPK. Sebab ada yang terbukti tersangkut pelanggaran kode etik. Dua upaya minimal itu harus segera dilakukan oleh Presiden. Apabila praktik distorsi kelembagaan terhadap KPK terus dibiarkan, justru dikuatirkan menguatnya oligarki kekuasaan elit politik. Para juragan politik diduga punya hidden agenda dalam upaya melemahkan KPK akan terbukti. Bila hal itu terjadi, ke depan pemberantasan korupsi akan berjalan di bawah bayang-bayang kendali elit politik. Kondisi bisa terjadi lantaran kinerjanya mengabaikan kaidah-kaidah rule of the law yang berlaku. Ataukah, usulan revisi UU-KPK kali ini hanya sekedar sandiwara belaka guna mengukuhkan peran Presiden sebagai pendekar pemberantasan korupsi? Walllahu’alam bi sawab Penulis adalah Lawyer dan Pemerhati Masalah Korupsi