HUKUM
Corona Membuat Jokowi Digugat Enggal ke Pengadilan
By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN – Rabu (01/04). Teror virus Corona di Indonesia memasuki babak baru. Seorang pemuda bernama Enggal Pamukty mewakili kelompok UMKM (pedagang eceran) mengajukan gugatan Class Action kepada Presiden Jokowi. Enggal menganggap orang nomor satu di Indonesia tersebut telah melakukan kelalaian fatal yang mengancam nyawa 260 juta rakyat Indonesia. Gugatan Enggal didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakpus pada hari Kamis 1 April 2020. Ditemui seusai pendaftaran gugatan di PN Jakpus, saudara Enggal mengkonfirmasi pernyataan tersebut. "Kabar itu betul. Bahwa saya menggugat Presiden Jokowi karena kelalaiannya yang fatal dalam penanganan teror virus Covid-19, “ujar Enggal. Enggal mengatakan, bahwa tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah pusat sejak awal dalam menghadapi ancaman virus corona merebak di Wuhan Cina “sangat melecehkan akal sehat”. Juga sangat membahayakan nyawa jutaan rakyat dengan kebijakan yang gila dan primitif. Misalnya, dengan program mendatangkan turis saat teror Covid-19 masih berlangsung. Begitu juga dengan kebijakan mendatangkan Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang ilegal itu. "Tiongkok sejak awal berani menutup Kota Wuhan dan sekaligus Provinsi Hubei yang berpenduduk 54 juta untuk memerangi teror virus Covid-19. Langkah penutupan itu tanpa memikirkan kerugian ekonomi. Bagi pemerintah Tiongkok nyawa rakyatnya jauh lebih daripada investasi. Ini yang tidak kita lihat pada kebijakan pemerintah Jokowi. Jokowi lebih mementingkan kepentingan investasi dan pariwisata di saat wabah dahsyat Covid-19. Langkah ini bukan hanya melecehkan akal sehat, tetapi juga mendatangkan malapetaka besar bagi bangsa Indonesia. Kita Indonesia jadi bahan olok-olokan dunia Internasional. Sebab pada saat yang sama, negara-negara lain di dunia justru menutup negaranya dari masuknya turis. Seperti diketahui, teror virus Covid-19 menjadi isu nomor wahid di seluruh dunia. Kedahsyatannya digadang-gadang sebagai wabah terbesar dalam sejarah modern umat manusia. Bermula dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, Tiongkok. Kini virus corona sudah menyebar ke hampir 200 negara di dunia. Jumlah korban yang terjangkit lebih dari setengah juta kasus, dengan memakan korban jiwa 20.000 orang yang meninggal, hanya dalam 3 bulan. Teror Covid-19 juga telah membuat ekonomi banyak negara terpuruk. Termasuk Amerika Serikat selaku negara adidaya nomor satu dunia. Ancaman resesi sudah semakin mendekat di depan. Sangat sulit untuk bisa dihindari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bakal mengalami tekanan yang keras. Sejak awal Tiongkok menyadari bahwa satu-satunya cara menghentikan teror Covid-19 adalah dengan mengisolasi penduduk secepat mungkin. Kecepatan bertindak, kedisplinan serta tidak menganggap enteng ancaman virus corona menjadi rumus paten sejak awal. Begitu seriusnya pemerintah Tiongkok menerapkan rumus tersebut, hingga tak segan-segan untuk mengkarantina satu Provinsi Hubei, yang berpenduduk 54 juta selama hampir dua bulan. Tentu dengan kerugian ekonomi luar biasa besar. Dengan rumus di atas, Pemerintah Tiongkok berhasil menghindarkan rakyatnya dari malapetaka dan ancaman nyawa yang besar. Grafik kasus juga menurun drastis. Bahkan pernah menyentuh angka 0 kasus selama 3 hari beruntun. Kini rumus penanganan teror Covid-19 di Tiongkok telah dibagikan ke seluruh dunia dan menjadi pedoman semua negara. Sebagai pekerja harian, saya sangat merasakan dampak dari lambannya penanganan Pemerintah Pusat terhadap ancaman corona ini. Kalau saja Pemerintah Pusat sejak awal serius menangani teror Covid-19 ini, tentu saya dan kawan-kawan pedagang eceran dan UMKM masih bisa mencari nafkah sehari-hari. Lambannya penanganan oleh Pemerintah Pusat ini jadi bikin kami kehilangan pendapatan. Sementara pemerintah belum juga kasih solusi bantuan seperti apa kepada kami. Saya kecewa melihat awal-awal teror Covid-19. Sebab di televisi saya melihat ada menteri yang bisa becanda-canda. Sekarang kalau sudah begini pendapatan kami menurun sangat drastis. Bagaimana nasib kami? Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan akan menarik gugatan karena intimidasi pihak-pihak yang tidak senang dengan gugatan tersebut, Enggal menegaskan tidak akan mundur. “Saya tidak akan pernah mundur karena didukung mulai dari para dokter, perawat, ojol, taksol, pedagang-pedagang kaki lima”. “Mereka semua mendukung saya menggugat Jokowi, karena mereka pun terancam periuk nasinya. Jadi sampai titik darah penghabisan kita akan tuntut pemerintah untuk bertanggungjawab atas kerugian kami semua,“ kata Enggal. Penulis adalah Wartawan Yunior
Komisi III DPR Harus Bongkar Mafia TKA China, Bukan Salahkan Polisi
By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Sabtu (21/030). Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang mengepung Indonesia hari-hari ini mengawali penyebarannya dari Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, Republik Rakyat China (RRC). Entah karena itu atau bukan, tetapi Donald Trump, Presiden Amerika Serikat menyebut “Virus China”. Terang saja China protes. Trumph dianggap tidak memahami pengorbanan rakyatnya, berjuang menyelamatkan ummat manusia. Trumph malah dianggap rasis. Dan Trump? Ya seperti biasanya, tak peduli dengan omongan orang lain. Trump mungkin saja jengekel, karena virus itu mengganggu ketenangan hidup rakyatnya. Sama dengan Amerika, negerinya Trumph itu, di Indonesia, negeri yang dipimpin Jokowi setelah memenangkan pemilu mematikan sekitar tujuh ratusan Petugas Pemungutan Suara (PPS) juga sedang oleh dikepung virus mematikan ini. Sama dengan China, rakyat Indonesia juga terlihat panic. Setidaknya was-was menghadapi virus ganas ini. China boleh bernapas lega. Karena kecenderungan fatal yang dibawa virus ini terlihat mulai terkendali. Kota Wuhan perlahan-lahan terlihat hidup kembali. Tetapi Indonesia? Semakin Gawat. Kecenderungan wilayah penyebarannya meluas. Dari ke hari dalam seminggu jumlah kasus orang terinfeksi terus meninggkat. Yang mati juga terlihat sama, meningkat. Yang sembuh ada juga. Celakanya, di tengah mengganasnya serangan yang virus mematikan ini, eh pekerja-pekerja asal China malah datang. Setelah transit di Thailand, mereka masuk ke Indonesia. Masuknya melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari Jakarta, mereka yang berjumlah 49 orang tersebut terbang ke Kendari, Sulawesi Tenggara melalui Bandara Haluoleo. Terang saja dan normal saja, kalau orang-orang Kendari, bahkan siapapun yang ada di Bandara malam itu terpana, terperanga, heran atau apapun namanya. Ko, bisa-bisanya mereka dating, di tengah virus mematikan yang berawal dari negerinya. Virus tersebut sekarang lagi mengepung negeri ini. Mereka lenggang kangkung datang untuk bekerja di PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) yang berlokasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. PT VDNI adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang industri pengalohan atau pemurnian biji nikel (smelter). Perusahaan milik China ini sudah beroperasi sejak 5-6 tahun yang lalu. Terdorong oleh rasa itu atau bukan, normal saja kalau orang mengambil foto. Tentu saja ambil fotonya diam-diam atas pekerja illegal asal China itu. Logis saja orang menganggap aneh atau apapun namnya dengan kedatangan mereka. Bagaimana tidak aneh, negerinya sendiri belum benar-benar beres dari virus. Sementara negeri kita sedang terkepung oleh virus yang memeatikan ini, eh mereka malah datang. Logis bila orang tak habis piker dengan kenyataan ini. Foto diri tibanya 49 TKA China di Bandara Haluoleo lalu viral. Difoto dan diviralkan oleh Hariono yang ketika itu berada di bandara Haluoleo. Hebohlah jagad media sosial. Sial bagi Harjono. Malam itu juga Harjono ditangkap oleh Polisi Militer (PM) Lanud Bandara Haluoleo. Selanjutnya, Harjono diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara untuk dimintain keterangan lebih lanjut. Kabarnya, ada orang meminta kepada Kapolda agar Harjono ditahan. Namun menurut sejumlah sumber, Kapolda tidak mau mengiayakan permintaan tersebut. Sebagai Polisi beneran, maksudnya polisi yang profesional, Kapolda jelas tak bisa menahannya. Enak aja main minta orang ditahan. Tahan itu kalau peristiwanya benar-benar ada. Melakukan perbuatan melawan hukum yang memiliki sifat kejahatan, cukup alat bukti, ada saksi-saksinya, dan orang yang menjadi calon tersangka itu waras, tidak sinting, tidak gila. Tidak bisa asal tahan begitu saja. Kalau semua syarat-syarat itu terpenuhi baru bisa ditahan. Itu hanya bisa dilakukan setela diperiksa secara professional. Ini malah datang-datang minta ditahan. Enak aja. Ini bukan negara bandit. Ini negara hukum, malah negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Ini negara punya KUHAP. Nah di KUHAP itulah yang mengatur syarat-syarat untuk bisa menahan seseorang. PT VDNI Tampung TKA Ilegal Eh tindakan pemeriksaan itu, juga viral di media sosial. Lalu seperti terskenario, ramai-ramai orang salahkan Kapolda Sulewesi Tenggara. Ada yang minta agar Kapolda harus dicopot lah, beginilah, begitulah. Macam-macam. Ganas betul nadanya. Terus-terusan begitu dalam beberapa hari. Kewarasan orang terlihat melayang, dan hilang seketika. Tak lagi mampu berpikir cermat. Komisi III DPR malah lebih galak lagi. Rencananya mau minta penjelasan ke Kapolri, kelak setelah reses. Keras betul nadanya. Modalnya ya hanya Polda periksa seseorang yang memviralkan foto kedatangan TKA asal China. Cuma hanya itu. Payah betul DPR kita ini. Belakangan setelah heboh pemeriksaan itu, barulah diketahui mereka adalah TKA illegal asal China. Negeri yang miliki Wuhan sebagai Ibu Kota Hubei RRC. Tempat asal-muasalnya virus mematikan ini bermula. Mestinya Komisi III memiliki kepekaan politik kelas tinggi. Mestinya Komisi III bergegas membuka kotak Pandora tentang hal-ihwal pekerja asal China di PT VDNI. Mestinya Komisi III menghidupkan memori tentang adanya sekitar 5.000–10.000 TKA China di Sulawesi Tenggara, yang selama ini menggunakan fasilitas Visa Kunjungan untuk bekerja di PT VDNI. Praktek penggunaan fasilitas Visa Kunjungan untuk bekerja di VDNI sudah berlangsung lama sekali. Sudah bertahun-tahun sejak PT VDNI berdiri di Kabupaten Konawe. Kabarnya, praktek ini diback up sepenuhnya anggota menteri di Kabinet Jokowi sekarang. Namanya Menteri ASU (Atasi Semua Urusan). Seharusnya, praktek busuk dan illegal, yang sudah berlangsung dan bertahun-tahun ini yang dibuka oleh Komisi III DPR. Praktek ini sepintas terlihat banyak tenaga kerja asing di Indonesia. Namun tidak ada pemasukan kepada negara dari TKA China yang menggunakan Visa Kunjungan tersebut. Kalau TKA China itu masuk resmi sebagai pekerja, maka mereka wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 100 dollar per orang setiap bulan. Praktek kotor inila yang wajib untuk dibuka dan dibongkar oleh Komisi III DPR. Bukan malah main langsung-langsung minta penjelasan ke Kapolri. Ah, payah juga ni Komisi III. Bukan Negeri Bandit & Cukong Apa yang salah dari pemeriksaan Harjono di Polda Sultra itu? Apakah peristiwa mengambil foto itu tidak ada? Apakah Harjono sampaikan informasi yang sifatnya mengarang bebas dotcom atau menyebarkan informasih hoax? Apa mengambil foto itu adalah rekayasa Polisi semata? Apa pengambilan foto dan menyebarkannya itu tidak pernah ada? Apakah Polisi yang menangkap Harjono situkang foto itu? Kalau pengambilan foto yang akhirnya viral itu tidak ada, maka bagaimana bisa mengetahui peristiwa kedatangan TKA Ilegal China itu bisa muncul di media sosial? Bagaimana memastikan semuanya itu? Dengan cara apa? Kalau tidak memeriksa, lalu pakai cara apa untuk mengetahuinya? Gebuk buk-buk? Begitu yang harus dilakukan oleh Polda? Enak aja, main salah-salahin Polda Sultra. Dengan atau tanpa klarifikasi Polda lebih dahulu ke Kepala Bandara Halueleo. Polda juga mengecek PT VDNI sebagai pengguna 49 TKA asal China. Pihak PT VDNI maupun Bandara Haluoleo memberikan jawaban yang seragam kepada Polda Sultra bahwa, “benar mereka akan bekerja di PT VDNI. Mereka bukan tenaga kerja baru di PT VDNI, tetapi yang baru selesai melakukan pernjangan Visa di Jakarta”. Kepala Imigrasi Imigrasi Sultra ketika dikonfirmasi Polda hari itu sedang tidak berada di Tempat. Jawabannya Kepala Imigrasi sedang berada di Jakarta. Informasih yang akurat dan sahih mengenai 49 asal-usul TKA asal China hanya datang dari Otoritas Bandara Haluoleo dan PT VDNI. Sampai disini, Polda Sultra berhak untuk memeriksa siapapun. Syaratnya, harus ada sebuah peristiwa, yang diduga sebagai peristiwa pidana. Ada orangnya yang diduga sebagai pelaku peristiwa tersebut. Sampai di situ titik. Begitulah cara hukum berbicara dan bekerja. Persoalan Imigrasi punya data yang berbeda, itu persoalan lain. Itu persoalan otoritas Imigrasi, baik yang di Jakarta maupun Wilayah Sulawesi Tenggara. Bukan lagi persoalan Polisi. Polisi baru bisa masuk ke persoalan itu bila diminta oleh otoritas imigrasi. Sebaliknya, bila ada peristiwa, yang diduga Polisi sebagai peristiwa pidana, maka dengan atau tanpa laporan masyarakat atau siapapun, Polisi berhak mengambi tindakan hukum, memeriksa. Jadi? Mari hidupkan kewarasan kita. Untuk apa? Supaya negeri ini perlahan-lahan berkembang jadi negeri beradab dalam urusan hukum. Negeri ini tidak menjadi negeri gossip hukum. Juga agar negeri ini tidak jadi negeri bandit-banditan. Tidak menjadi negeri cukong-cukongan hukum. Hukum itu memerlukan otak dan hati. Hukum memanggil kedua hal itu pada setiap detik kehidupan ini. Hukum itu tidak bisa ditegakan pakai emosi. Pakai sentiment ini dan itu. Politik yang diminta hukum adalah politik yang dapat ditakar nalarnya. Punya argumen, punya parameter objektif. Politik jenis itulah yang menjadi fondasi terbentuknya kehidupan hukum dan politik yang sehat. Politik yang menghasilkan masyarakat yang Baldatun Tayyibatun Warobbun Gafur. Begitu titah alamiah hukum. Sindikat TKA Ilegal China Komisi III saya sarankan buka mata. Buka hati dan hidupkan kepekaan politik mengenal soal TKA China ini, termasuk cara penanganan Corona ini. Komisi III harus tahu lebih jelas peristiwa ditolaknya TKA asal China yang kembali masuk ke Indonesia pada tanggal 19 Maret lalu. Ini adalah peristiwa kedua setelah peristiwa pertama. Saya sebut peristiwa 49 TKA heboh itu. Mengapa saya minta itu? Karena ada tiga hal. Pertama, pada peristiwa kedua, yaitu peristiwa tanggal 19 Maret, Otoritas Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta menolak masuk 43 TKA Asal China. Apa penyebabnya? Dilansir oleh RMol, 19/3/2020, mereka tidak lolos tes kesehatan dari otoritas kesehatan Bandara Soeta. Kedua, apa dasar tes kesehatan itu? Menurut Gidam seperti dilansir RMol pada tanggal yang sama, dasar tindakan itu adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.7 Tahun 2020 Tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Dalam Upaya Pencegahan Masuknya Virus Corona. Peraturan ditetapkan dan ditandangani pada tanggal 22 Februari 2020 lalu. Gidam juga menjelaskan, berdasarkan sertifikat kesehatan Bandara Soeta, mereka tolak 43 TKA asal China. Keputusan ini diambil berdasarkan rekomendasi otoritas kesehatan Bandara. Gidam menegaskan lebih jauh berdasarkan Visa yang dimiliki mereka menggunakan jenis Visa B.211, yaitu dalam rangka uji coba calon tenaga kerja asing di Indonesia. Ditambahkan juga, 43 TKA warga negara China itu datang ke Indonesia, lagi-lagi melalui atau transit di Thailand. Mereka diduga akan bekerja di PT VDNI di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tuan-tuan Komisi III yang hebat-hebat harus tahu, bahwa Permenkumham No. 7 diatas menggantikan Peraturan Menteri Hukumham No. 3 Tahun 2020 Tentang Penghentian Sementara Bebas Visa Kunjungan, Visa dan Pemberian Izin Tinggal Keadaan Terpaksa Bagi Warga Negara Republik Tiongkok. Ketiga, apakah peraturan ini tidak berlaku untuk 49 TKA Ilegal asal China, yang berdasarkan pemeriksaan Tim Pemeriksa Kemenaker, yang dinyatakan oleh Dita Indahsari, Staf Khusus Menaker, illegal itu? Apakah 49 orang itu beres kesehatannya? Apa mereka bebas dari virus Corona mematikan itu? Apa mereka punya sertifikat kesehatan dari otoritas kesehatan Bandara Soeta? Tuan-tuan hebat di Komisi III DPR. Tuan-tuan harus gunakan kemuliaan politik yang tuan-tuan punyai untuk lebih cermat. Tuan-tuan perlu lebih cerdas lagi dari kecerdasan yang tuan-tuan sudah punyai untuk mengenali fenomena TKA asal China ini? Tidakkah tuan-tuian dapat mengetrti bahwa dalam waktu yang berjarak dekat, telah datang 92 orang TKA asal China? Apa tuan-tuan punya data akurat tentang jumlah TKA Asal China di Kendari? Apa tuan-tuan juga punya data akrat TKA asal China yang ada di Morowali, Sulawesi Tengah? Apa tuan-tuan juga punya data TKA asal China di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara? Apa tuan-tuan juga punya data TKA asal China di Pulau Obi, Halmahera Seltan, Maluku Utara? Ah, tuan-tuan jangan sok jagoan pada soal pemeriksaan Polda terhadap Harjono, anak yang sudah menjadi Pahlawan itu? Tuan harus lebih jauh mengenal Permenkumham di atas. Corona menyarang, membabi buta, dan ganas. Orang-orang Indonesia lalu disuruh tinggal di rumah, tetapi Menteri Hukumham membikin kebijakan itu. Apa tuan-tuan tak punya kepekaan? Sudahlah tuan-tuan, waraslah. Tindakan Polda Sultra itu, tidak bisa dengan alas an apapun, atau sengaco apapun, mau diaggap salah, dan tidak masuk akal. Karena itu, tuan-tuan minta penjelasn ke Pak Kapolri. Susdahlah, mari kita gunakan akal waras, agar bangsa ini tetap menjadi yang waras di tengah Corona yang ganas dan mematikan ini. Penulis adalah Wartawan Senior
Berpulangnya Jhon Titaley, Anak Ambon Penjual Kopi Keliling
By Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Rabu (18/03), Sama sekali beta seng mengenal atau pernah bertemu dengan anak muda ini. Tetapi dia adalah korban kesekian dari anak-anak muda Maluku yang mati sia-sia di perantauan. Mati ketika sedang menjual kopi keliling di jalanan. Mati karena harus meninggalkan kampung atau daerahnya yang miskin dan banyak pengangguran. Padahal daerahnya kaya akan sumber daya alam. Mati karena tak mampu bersaing akibat indeks pembangunan manusia yang rendah. Mati karena stigma orang Ambon (Maluku.red) adalah preman. Iya, tanpa bermaksud menggeneralisir. Tetapi sangat mungkin Jhon Titaley sang penjual kopi keliling di Mall Tangerang City yang meninggal, 16 Maret 2020 adalah dampak dari ketertinggalan selama ini. Ketertinggalan yang harus mendesaknya berjualan kopi dari gerobak butut hingga menemui ajal. Padahal ikan di Ambon kemarin sampai naik ke daratan. Jhon Titaley meninggal karena dianiaya oleh oknom anggota TNI dan oknom Anggota Pemuda Pancasila, hingga tak berdaya. Video pemukulan terhadap Titaley pun beredar luas di media sosial. Titaley yang sendirian tanpa perlawanan. Dia dipukul. diinjak dan ditendang hingga tak berdaya. Orang-orang yang ada di sekitar, nampak hanya menonton saja. Setelah selesai melakukan penganiayaan terhadap Titaley, para pelaku akhirnya melarikan diri. Meninggalkan Titaley terkapar. Beruntung, karena lokasi penganiayaan berada tepat di depan Mall Tangerang City. Saat itu karyawan ada yang menolong korban, serta melarikannya ke Rumah Sakit Umum Kota Tangerang untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sayang, nyawa Titaley tak tertolong. Dia akhirnya meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil. Sebelum aksi pengeroyokan terhadap Titaley, ada bentrok yang terjadi antara kelompok Ali dan anak buahnya yang berasal dari Ambon dengan oknom anggota TNI di salah satu kafe di Tangerang. Beberapa jam kemudian oknom anggota TNI dan oknom Pemuda Pancasila kembali dengan beberapa rekan mereka di Mall Tangerang city. Mereka hendak mencari Ali dan anak buahnya. Namun orang yang dicari tidak ada yang kelihatan. Akhirnya Jhon Titaley sang penjual kopi keliling yang tidak tau apa-apa, menjadi sasaran penganiayaan. Sebagai bentuk luapan emosi para pelaku hanya karena Jhon Titaley berkulit hitam atau gelap. Ini kasus yang kesekian. Terlalu panjang daftarnya, hingga orang tak begitu peduli lagi bila ada kejadian yang begini. Ini juga mengingatkan beta pada pengalaman sekira tujuh tahun lalu. Juga di salah satu Mall di Tanggerang, disela-sela mengikuti pelatihan peneliti tata kolela pemerintahan. Salah satu peneliti asal Nusa Tenggara Timur ditahan oleh security Mall tersebut, dengan tuduhan pencurian. Ternyata tidak terbukti. Usut punya usut, ternyata dia ditahan karena diduga mirip dengan pelaku “Ambon” yang lolos. Lagi-lagi hanya karena kulitnya yang gelap. Kembali ke kasus yang menimpa Jhon Titaley. Sebelum dianiaya, Titaley sempat ditanya oleh para pelaku bahwa apakah kamu adalah anak buah Ali? Titaley membantah, dan mengatakan bukan bagian dari kelompok manapun. Akan tetapi mereka yang sudah dirasuki emosi, dan dalam jumlah lebih banyak, langsung mengeroyok hingga Titaley tak berdaya alias tak sadarkan diri di tempat. Setelah Titaley dilarikan ke rumah sakit, istrinya langsung menuju Polres Metro Tangerang untuk membuat laporan. Polisi kemudian dengan cepat memproses laporan tersebut dan bertindak cepat melacak identitas dan keberadaan para pelaku. Akhirnya, polisi mengantongi identitas para pelaku yang ternyata itu adalah oknom anggota TNI dan dari organisasi Pemuda Pancasila. Dini hari di Polres Metro Tanggerang,kuasa hukum dari keluarga Jhon Titaley telah berkoordinasi dengan penyidik. Untuk perkara yang terkait dengan anggota TNI, segera dilimpahkan ke Denpom Jaya I Tangerang untuk segera diproses sesuai dengan kewenangan institusi TNI. Sementara yang dari masyarakat sipil ditanggani oleh kepolisian. Kita semua tentu berharap kasus ini dapat di tangani dengan serius hingga tuntas. Semua yang terlibat harus diberikan hukuman yang setimpal. Namun ini juga jadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak lagi menyelesaikan masalah hanya di hilir. Tetapi mau membenanahi problem harus dari hulu. Saatnya sumber daya manusia dan lapangan pekerjaan untuk orang Maluku diperhatikan. Agar tidak ada lagi orang Maluku yang menjadi korban karena stigama. Akibat dari pilihan pekerjaan yang keras dan menyerempet bahaya, hingga saudara yang tak bersalah pung menjadi korban sia-sia, hanya karena berkulit gelap dan berperawakan dari timur. RIP saudaraku Jhon Titaley. Katorang semua do’akan semoga Ale tenang di sisi Tuhan, dan keluarga, terutama istri dan anak-nya diberikan penghiburan. Bagi yang mau menyantuni korban, malam ini jenazah Titaley dipulangkan ke Ambon. Mari sama-sama kita ringankan keluarga korban, anak muda petarung hidup di ibu kota ini. Penulis adalah Pemerhati Kawasan Indonesia Timur
RUU Omnibus Cipta Kerja VS Pancasila, “Dimana BPIP Ngumpet?”
By Margarito Kamis Jakarta FNN - Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP), entah apa penyebabnya, sejauh ini tidak mendatangi rakyat Indonesia dengan pikiran-pikiran mereka tentang artikulasi Pancasila dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Padahal dalam kenyataannya, RUU multispektrum ini, telah menarik begitu banyak pikiran kritis. Langgamnya jelas, kelak bila diterima jadi UU, diyakini bakal menyengsarakan. Bukan bakal menyenangkan rakyat. Menariknya, BPIP telah begitu bergairah memasuki panggung bernegara dengan serangkaian gagasan. Setidaknya pikiran-pikiran kritisnya. Itu terlihat di pekan-pekan sebelumnya. Jadilah pekan-pekan itu sebagai pekan yang gaduh. Gaduh karena pikiran-pikiran yang terlontar, terlihat tidak terkerangkakan secara konseptual. Tetapi apapun itu, soalnya sekarang adalah mengapa BPIP diam dalam isu RUU Cipta Kerja ini? Apa karena kegaduhan yang melilit BPIP beberapa waktu lalu itu menjadi penyebab terbesarnya? Apakah BPIP memandang Pancasila hanya relefan dibicarakan, sejauh menyangkut tindak-tanduk sebagian atau seluruh ummat Islam? Apa Pancasila hanya dibicarakan dalam konteks radikalisme, intoleransi dan sejenisnya yang diasosiasikan secara signifikan pada Ummat Islam? Apa Pancasila hanya relefan dibicarakan untuk memastikan integrasi sosial ditengah pluralisme? Bila hanya itu relefansinya, apakah BPIP hendak mereduksi level Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, filsafat berbangsa dan bernegara? Sebagai dasar negara, sebagai filsafat bernegara dan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa direduksi sekadar sebagai timbangan terhadap tindak-tanduk sosial dan kultural individu atau kelompok. Tidak bisa. BPIP, layak dibayangkan, harus memasuki isu hukum. Beralasan BPIP menakar setiap RUU. Bukan hanya RUU ini, tetapi juga UU lain dengan Pancasila. Dalam konteks itu, BPIP perlu berurusan dengan teknis penalaran hukum atas teks dalam pasal, ayat dan huruf RUU atau UU. BPIP perlu menakar level nilainya, level meta yuridisnya dan konsekuensi-konsekuensi implisitnya. Khusus meta yuridis, harus dikatakan dimanapun, selalu bertalian dengan nilai-nilai fundamental. Bukan pasal demi pasal atau UU itu saja, melainkan juga pandangan hidup sebuah bangsa di balik pasal-pasal tersebut. Pancasila dengan kelima silanya itu harus. Dengan demikian, diterima tanpa reserve sebagai genus nilai dalam pembentukan hukum. Pada konteks itu, BPIP layak mendemonstrasikan pikiran-pikiran brilian megenai derajat nilai kemanusiaan dalam pasal demi pasal RUU ini. BPIP mesti dapat memastikan bahwa kemanusiaan yang dikonsepkan RUU ini senafas dengan nilai kemanusiaan yang terkonsep dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab. Menciptakan lapangan kerja, yang secara konstitusional tertakdir sebagai kewajiban pemerintah. Sepintas terlihat hebat. Tetapi tidak cukup hanya sampai disitu. Mengapa? Pancasila mengharuskan lapangan kerja yang tercipta itu menjadi sarana idiologis untuk “mengadabkan” manusia Indonesia. Poin idiologisnya adalah lapangan kerja yang diciptakan itu harus membuat pekerja mampu menghasilkan kehidupan yang adil, beradab dan bermartabat. Rasanya agar konsep kemanusiaan yang adil dan beradab itu teralisasikan, bukan didengungkan begitu saja oleh BPIP. Untuk itu, BPIP harus memiliki kriteria idiologis tentang, misalnya konsep kerja yang menurut satuan waktu. Konsep kerja satuan waktu ini terlihat dari rumusan waktu kerja, seminggu sekian jam atau sehari sekian jam. Konsep itu melahirkan konsekuensi kerja “jam-jaman.” Hebat bila BPIP dapat memproyeksikan konsekuensi legal dan teknisnya. Konsekuensi teknis legal yang saat ini dapat dibayangkan adalah korporasi dapat secara bebas dan leluasa menggunakan pasal “bekerja berdasarkan jam-jaman.” Ini masalahnya. Apakah konsep ini senafas dengan kriteria idiologis Pancasila? Apakah BPIP memiliki criteria itu? Yang saya maksudkan dengan kriteria idiologis adalah konsep itu harus menghasilkan kepastian bagi setiap pekerja merencanakan kehidupannya. Dengan merencanakan kehidupan masa depannya, maka mereka dapat hidup dengan level martabat dan adab yang diimpikan Pancasila. Masalahnya, apakah BPIP memiliki kriteria dan penalaran yang khas tentang itu? BPIP, mesti mempertimbangkan apakah logis “bekerja jam-jaman”? Tetapi kepada pekerja tidak diberikan, misalnya hak pensiun atau pesangon? Andai dianggap logis. Tidak diberi hak pensiun atau pesangon, karena sifat kerjanya adalah yang jam-jaman. Bukan bekerja secara permanen, maka soal idiologis segera muncul. Apa itu soalnya? Soalnya adalah beradabkah membangun sistem kerja yang tidak berkepastian bagi pekerja? Beradabkah menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang memasukinya, tetapi tidak memilki dasar untuk membayangkan, apalagi merencanakan kehidupan masa depannya? Konseptualisasi kerja jam-jaman, harus diakui, telah menjadi hal biasa dalam tatanan kerja universal. Terlihat jelas pola itu disajikan sebagai salah satu cara paling tepat dan unggul. Yang memungkinkan sebagian negara, terutama liberal ke level ekonomi hebat. Liberalisasi tenaga kerja asing terlihat biasa saja dalam konteks ini. Korporasi, asing maupun dalam negeri, akan menerima sistem ini sebagai sistem yang hebat. Mereka terbebas dari berbagai kewajiban yang selama ini teridentifikasi memberatkan. Masalahnya, pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945 menggariskan prinsip khusus yang harus dituruti oleh pemerintah. Pasal 27 mengharuskan pemerintah menomorsatukan Warga Negara Indonesia. Menyediakan mereka pekerjaan yang layak bagi perikemananusiaan dan perikeadilan. Perikemanusiaan dan perikeadilan yang dibayangkan sebagai cara menghasilkan kehidupan yang beradab dan bermartabat. BPIP harus dapat memastikan bahwa pemerintah merealisasikannya. Tidak itu saja. BPIP harus pada setiap saat memastikan pemerintah membangun sistem ekonomi yang selaras dengan konsep kekeluargaan, ya "gotong royong". Tidak yang lain. Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas dalam soal itu. Pasal ini juga jelas membebani pemerintah dengan kewajiban menciptakan sistem ekonomi yang tidak merusak lingkungan sekitar, termasuk tidak merusak masyarakatnya. Lebih jauh menurut pasal 33 UUD 1945, juga mengharuskan pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efisien. Tetapi efisiensi yang digariskan pasal 33 UUD 1945 adalah efisiensi yang tidak “memberangus” nilai keadilan. Efisiensi tipikal ini tidak memiliki makna lain selain “efisiensi” yang menghidupkan perikemanusiaan. Praktis ini eifisiensi berkarakter idiologi Pancasila. Efisiensi jenis itu jelas bukan efisiensi liberal. Bukan juga efisiensi klasik maupun modern, yang bertumpu pada kebebasan berkontrak. Konsep kekebasan berkontrak, khas liberal, klasik maupun modern bertumpu pada otonomi individu. Dalam konsep ini, otonomi individu tertakdir menjadi genusnya dan kekebasan berkontrak menjadi sui generisnya sendiri, dan hanya itu dalam karakter ikutannya. Ini bukan pola hubungan hukum hubungan kerja khas yang dikehendaki oleh pasal 33 UUD 1945. Bila BPIP memiliki kehendak memasuki isu hukum, maka menarik menantikan bagaimana BPIP menjelaskan dengan langgam kongklusif nama RUU ini. Namanya RUU Cipta Kerja, tetapi isinya mencakup berbagai isu. Itukah yang menjadi soal? Tidak. Yang menjadi soal adalah bagaimana BPIP menjelaskan genus RUU ini, dan sui generisnya. Sesuai namanya, maka cipta kerja harus dianggap dan diterima sebagai genus RUU ini. Tetapi mengapa terdapat pengaturan mengenai investasi, izin dan lain sebagainya ikut menjadi materi muatan yang bersifat integral dalam RUU ini? Apakah pemerintah menggunakan penalaran berdasarkan genus proximum et diferentiam spesificam? Terus terang nalar ini cukup sulit diterapkan dalam RUU ini. Mengapa? Izin lingkungan, Amdal, dan sertifikasi halal misalnya, jelas bukan satu bentuk terdekat sui negeris. Bukan pula “diferentiam spesificam” pada konsep cipta kerja. Sungguh terlihat banyak kekaburan penalaran menyertai RUU ini. Soal ini logis dibayangkan sebagai masalah dasar RUU ini. Mengapa? RUU ini, kelak setelah menjadi UU tidak bakal menghasilkan kepastian hukum. Padahal kepastian hukum menjadi jantung dari hukum. Watak objektif dari hukum terletak ada kepastian hukum. Sekali watak ini hilang, maka yang muncul adalah tindakan sewenang-wenang. BPIP pada titik itu, logis untuk memasuki isu ini. Tentu saja dengan menggunakan atau menyodorkan pertimbangan dan penalaran idiologis yang berbasis Pancasila. Pancasila yang tidak mungkin memberi toleransi pada kesewenang-wenangan. Pasti itu tidak mungkin. Tetapi kesewenang-wenangan itu sangat mungkin bisa terjadi, karena kekaburan konsep dasar dari RUU ini. BPIP mau tidak mau harus menemukan cara. BPIP harus keluar untuk menyelaraskan RUU ini, khususnya materi muatan dalam pasal, ayat dan huruf, dengan nilai-nilai kebesaran Pancasila. BPIP tidak boleh hanya jago dalam berwacana sekitar radikalisme dan intoleransi. BPIP harus mengerti lebih dari siapapun di Indonesia bahwa UU merupakan cara sebuah bangsa menciptakan tatanan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya ada hak dan kewajiban yang menemukan bentuknya yang kongkrit. Akhirnya mari menantikan pikiran-pikiran BPIP tentang Pancasila yang terkait dengan RUU ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
DPR Provinsi Papua Bentuk Pansus Kemanusiaan, “Terobosan Penting”
By Marthen Goo Jakarta, FNN - Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan di Papua terjadi sejak pertama kali Trikora digelar. Trikora dicanangkan oleh Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Setelah itu, diiukiti dengan pendudukan militer yang melakukan berbagai operasi militer di Papua. Tentu dari berbagai operasi militer yang dilaksankan di Papua, tidak sedikit rakyat Papua menjadi korban. Tidak hanya berhenti sampai pada tahun 1963. Ketika Papua diserahkan ke Indonesia oleh UNTEA. Namun kejahatan hak asasi manusia masih terus berlangsung hingga Pepera 1969. Anehnya lagi, dalam implementasi Pepera, kejahatan terhadap hak asasi manusia masih dilakukan. Bahkan, dalam Pepera 1969 tidak ada proses demokrasi. Kejahatan terhadap kemanusian di Papua masih terus berlangsung dari tahun 1969 hingga 1998. Tahun 1998, di Indonesia dikenal sebagai puncak dari implementasi demokrasi. Pemilihan Presiden di era demokrasi dilaksanakan tahun 1999, dan memilih Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Gus Dur yang memimpin Indonesia, sejak tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001 cukup berhasil membuat tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Walau demikian, rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia belum diselesaikannya. Gus Dur telah meletakan peradaban baru dengan gaya kepemimpinannya yang tidak ada lagi ditemukan pelanggaran hak asasi manusia. Selama kepemimpinan Gus Dur tidak ada pelanggaran HAM. Sayangnya, setelah setelah Gus Dur dilengserkan, palangaran HAM di Papua kembali terjadi. Walau tidak memenuhi kepastian hukum, karena belum dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi, Papua kemudian dibuat dasar hukum baru. Dasar hokum baru itu dikenal dengan istilah “Desentralisasi Asimetrik”. Dalam regulasinya dikenal dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sejak diberlakukan Otonomi Khusus Papua tersebut, sampai tahun ini, tidak menghilangkan kasus kejahatan kemanusiaan. Banyak kasus kejahatan kemanusiaan terjadi walau Papua dikenal dengan Propinsi yang berstatus Otonomi Khusus. Kasus di Nduga adalah kejahatan kemanusiaan yang serius, jika merujuk pada pasal 8, dan 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Patut diduga pelanggaran HAM yang terjadi di Papua saat ini telah memenuhi pasal 8 dan 9 UU No.26 Tahun 2000. Untuk kasus Nduga, tentu butuh penyelidikan Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas untuk menyimpulkan kasus tersebut. Selain kasus Nduga, kini rentetan kasus terjadi kembali, seperti di Intan Jaya, dimana ada warga sipil menjadi korban kekerasan. Tidak Boleh Melupakan Sejarah Tidak sedikit tokoh nasional dengan gagah dan percaya dirinya menyampaikan “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yan tidak Boleh Meninggalkan Sejarahnya”. Begitu kata Soekarto tentang pentingnya mengingat sejarah. Tentu saja pernyataan itu sangat kren dan berkelas. Kemudian pengertian itu dibuat dalam istilah “Jas Merah”. Yang artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan berpegang pada pernyataan “jangan pernah melupakan sejarah” tersebut, tentu kejahatan kemanusiaan pun harus dilihat sebagai kejahatan sejarah kelam. Apalagi jika proses hukum tidak pernah dilaksanakan. Kasus pelanggaran HAM di Papua harus dilihat sebagai catatan buruk terhadap negara yang wajib hukumnya untuk diselesaikan. Tentu Indonesia sebagai negara, harus melihat bahwa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan adalah masalah serius negara. Setiap pelakunya harus dihukum. Para pelakunya juga harus berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan kejahatan terhadap kemusiaan sejak sekarang dan seterusnya. Tujuannya, untuk membersihkan sejarah kelam bangsa. Karena setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi saat ini, akan terus menjadi sejarah buruk dalam berbangsa dan bernegara. Juga akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Negara. Negara harus berani, jujur dan terbuka untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Tidak hanya di Papua. Tentu saja termasuk untuk kasus Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti. Jika kata-kata Soekarno tentang sejarah bisa diartikan dalam prespektif yang mengakar, maka bisa dibuat istilah “Pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain itu, mematikan kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia”. Apresiasi DPR Propinsi Papua Tentu kita tahu bahwa undang-undang tentang HAM di Indonesia dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, lembaga yang diberi kewenangan merumuskan dan menetapkan kasus pelanggaran HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Yang disayangkan sikap dari Komnas HAM sekarang adalah “pasif”. Pengertian pasif dalam sifat Komnas HAM adalah menunggu datangnya lapora. Setelah itu barulah dilakukan tindakan lanjut sesuai dengan laporan. Jadi, jika tidak ada laporan ke Komnas HAM, terkadang Komnas HAM kesulitan untuk mencari kasus-kasus HAM yang terjadi di seluruh Indonesia. Karena Komnas HAM lebih pada menunggu laporan, sementara rentetan pelanggaran kasus HAM jalan terus, seperti di Papua, maka, langkah kongkrit harus dipikirkan untuk dilakukan. Terkait dengan Pansus Kemanusiaan oleh DPR Provinsi Papua tersebut, ada dua hal yang bisa tercapai, dan itu membantu Komnas HAM dan Negara adalah; Pertama, membantu Komnas HAM mengumpulkan fakta tentang berbagai kasus HAM di Papua. Setelah itu dibuatkan laporan pengaduan, agar Komnas HAM bisa mulai melakukan pekerjaannya. Selain itu, sebagai tugas pokok DPR untuk memproteksi warga negara. Kedua, membantu negara, agar bisa memproteksi rakyat dari kejahatan kemanusiaan. Selain itu, menghapus kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia. Sekali lagi, patut untuk mengapresiasi langkah kongkrit sebagai tahapan awal yang sudah dilakukan DPR Papua, dengan membentuk Pansus Kemanusiaan. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Sebab bisa dijadikan sebagai sarana memproteksi rakyat. Langkah ini juga bagian dari tujuan nasional yang kongrit, yakni melindungi segenap rakyat. Karena melindungi rakyat itu adalah bagian dari tujuan nasional kita dalam berbangsa dan bernegara, maka, semua pihak wajib memberikan apresiasi kepada DPR Provinsi Papua. Selain itu, memberikan mendukungan, agar kerja-kerja Pansus Kemanusiaan DPR Provinsi Papua bisa berjalan dengan lancar. Yang Bisa Dilakukan Pansus Dari pikiran luar biasa yang dilahirkan oleh DPR Provinsi Papua, lahirlah Pansus Kemanusiaan.Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai proses kerja Pansus. Misalnya, Pansus Kemanusiaan segera melakukan Forum Group Discussion (FGD)dengan berbagai stakeholder guna mendengarkan masukan-masukan sebagai dasar dan bijakan kerja Pansus. Pansus Kemanusiaan bisa mendorong pembentukan Pansus Kemanusiaan di Setiap Kabupaten atau Kota di Papua. Namanaya Pansus DPR Daerah untuk di seluruh Kabupaten atau Kota. Tujuannya, untuk mempermudah hubungan kerja dan investigasi setiap kasus. Merumuskan tahap-tahapan Advokasi. Selain itu, membuat laporan tahunan tentang kasus pelanggaran HAM di Papua. Setelah itu, evaluasi dan publikasi kepada publik setiap hasil kerja Pansus. Tentu dengan kerja-kerja kongkrit Pansus tersebut, diharapkan akan meminimalisir kejahatan kemanusiaan di Papua. Jika kejahatan kemanusiaan di Papua dapat diminimalisir, bahkan hilang dari Papua, maka tujuan nasional yakni melindungi segenap warga negara akan terwujud. Mari kita dukung kerja-kerja Pansus Kemanusiaan untuk memproteksi kemanusiaan di Papua. Harapnnya, kerja Pansus Kemanusiaan ini bisa berjalan maksimal. Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Pansus Kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dari Papua
Kontrak Pecatur Irene Kharisma Sukandar Contoh Nyata Korupsi Dana Hibah KONI
Jika memang benar telah terjadi dugaan korupsi “kontrak atlet” tentunya harus ada pihak yang bertanggung jawab! Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Lembaga Penegak Hukum seperti KPK, Kejaksaan, maupun Polri, mulai menyelidiki dugaan penyalahgunaan Dana Hibah Olahraga KONI Jawa Timur ketika PON XIX/2016 di Bandung. Salah satunya terkait “Kontrak Atlet” pecatur nasional. Dilansir Liputan6.com (10 Jul 2013, 03:25 WIB), pecatur nasional Grand Master Wanita (GMW) Irene Kharisma Sukandar dipastikan batal pindah ke Jatim, setelah PB Percasi dan KONI Jabar melakukan pertemuan membahas terkait kasus mutasi atlet itu. “Ya KONI Jabar sudah bertemu dengan PB Percasi terkait masalah Irene, intinya PB Percasi menyatakan Irene atlet Jabar,” ungkap Ketua Umum KONI Jabar H Azis Syarif di Bandung, Selasa (9/7/13). Pertemuan yang berlangsung di sebuah hotel di Kota Bandung tersebut dihadiri oleh Ketua PB Percasi Hasyim Djojohadikusumo, Wakil Ketua PB Percasi Utut Adianto, Ketua KONI Jabar H Azis Syarif, Ketua II KONI Jabar M Yudha Saputra, Ketua Pengda Percasi Jabar Syarif Bastaman serta orang tua Irene, Singgih H. Dalam pertemuan itu, kata Azis Syarif, memastikan tidak ada kepindahan Irene ke Jatim, meski sebelumnya atlet nasional itu telah melakukan penandatanganan kerja sama dengan KONI Jatim pada 2012, serta mendapat bantuan dana pembinaan. “Dalam pertemuan itu sudah jelas posisinya, Irene tetap atlet Jabar dan akan memperkuat dalam berbagai kejuaraan dan PON XIX/2016,” kata Azis Syarif. Terlepas dari gagalnya kepindahan Irene ke Jatim, kata Azis Syarif, KONI Jabar tidak merasa menang. Ini karena yang terpenting aturan main telah ditegakkan dan semuanya bisa menerimanya, termasuk atlet yang bersangkutan. “Bukan kalah menang dalam hal ini, namun hal yang baru terjadi itu harus menjadi pelajaran bersama, kepindahan atlet itu harus ditempuh melalui mekanisme yang benar. KONI Jabar selama ini memperjuangkan karena selama ini turut memberi dukungan dan membina Irene Kharisma,” kata Azis Syarif. Terkait kewajiban atlet yang bersangkutan mengembalikan dana kepada KONI Jatim, kata Azis Syarif, menjadi tanggung jawab atlet yang bersangkutan. Namun, ia mengapresiasi PB Percasi yang menyatakan siap mendukung Irene Kharisma dalam berbagai kegiatan. “Kami apresiasi semua pihak bisa melihat permasalahan ini sesuai dengan yang seharusnya, sesuai mekanisme. Dan ke depan Irene akan menjadi tumpuan dan harapan Jabar termasuk di ajang PON XIX/2016,” kata Azis Syarif. Sumber di KONI Jatim mengakui, Irene memang belum mengembalikan dana pembinaan PON 2016. Secara hukum Irene salah tidak mengembalikan dana. Namun, KONI Jatim juga salah. Telah mengalirkan dana pembinaan ketika kesepakatan kontrak belum selesai. Jadi, jelas melanggar hukum. Penyelewengan anggaran dana Hibah Olahraga. Belum kembalinya dana pembinaan Irene, telah jadi rahasia umum. Semua pengurus KONI Jatim yang terlibat dalam PON 2016 sudah tahu ini. Demikian pula, KONI Kabupaten/kota dan Pengprov Percasi Jatim. Ironisnya mereka semua diam. Kabarnya, soal “kontrak atlet” Irene ini yang salah satu bahan pendalaman lembaga hukum. Karena, kontrak belum pasti, dan pindahan belum jelas, tapi KONI Jatim sudah berikan dana pembinaan. Nilainya lumayan besar sekitar Rp15 juta/bulan. Dan. sudah dibayar sekitar 2 tahun lebih. Juga, sebagian dana transfer yang nilainya sama, sekitar Rp500 juta. Menurut Advokat Subagyo, SH, suatu pembayaran dari pihak ke pihak lain itu ada dasar atau alasannya. Apakah itu hibah, atau karena prestasi tertentu, atau karena janji tertentu. Tinggal dilihat kontrak atau perjanjian antara Irene dengan KONI Jatim. Jika misalnya kontraknya adalah agar Irene menjadi atlet Jatim, dan itu tidak bisa terealisasi, berarti kan kontraknya batal. Secara hukum, jika kontraknya batal kan dikembalikan pada posisi semula. Irene harus mengembalikan dana itu ke KONI Jatim. Lalu bagaimana jika dana itu tidak dikembalikan atau Irene tidak mampu mengembalikan? “Ya unsur melawan hukumnya terpenuhi, karena Irene tidak memenuhi kewajiban untuk mengembalikan uang yang bukan haknya kepada KONI Jatim,” tegas Subagyo. Pasal 1360 KUHPerdata jadi dasar kewajiban Irene mengembalikan uang dari KONI Jatim tersebut. “Jika uangnya dari uang negara ya bisa jadi kasus korupsi. Pengurus KONI Jatim yang terlibat ya juga bisa jadi pelaku penyerta dalam kasus korupsinya,” lanjutnya. Sekarang tinggal diperiksa saja terhadap pembayaran itu apakah Irene sudah menjalankan prestasi menurut kontraknya. Terlebih lagi jika penggunaan dana dengan cara pembayaran kepada Irene itu menyalahi peraturan peruntukannya ya bisa jadi perkara. Melihat keseriusan aparat penegak hukum menelusur dugaan penyelewengan penggunaan dana hibah olahraga KONI Jatim ini, sebaiknya Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa segera melakukan klarifikasi ke KONI Jatim. Jika memang benar telah terjadi dugaan korupsi “kontrak atlet” tentunya harus ada pihak yang bertanggung jawab! *** Penulis wartawan senior.
Periodesasi Jabatan Hakim, Logika Menyesatkan Atas Kekuasaan Kehakiman
Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. By Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Jabatan hakim adalah suatu jabatan yang dijamin kebebasan dan kemerdekaannya. Hakim yang harus bebas itum baik di dalam konstitusi maupun prinsip- prinsip universal kekuasaan kehakiman. Article A.1-A.2 International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence,1982, menyebutkan bahwa, “hakim harus mendapatkan independensi personal dan independensi substantif." Independensi personal, mengartikan bahwa syarat dan kondisi pelayanan peradilan dijamin secara memadai. Harus dipastikan bahwa hakim tidak tunduk pada kontrol eksekutif. Sedangkan Independensi substantif, mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi yudisialnya, hakim tidak tunduk pada tekanan apapun selain hukum dan hati nuraninya. Untuk itu, kekuasaan kehakiman secara keseluruhan harus mendapatkan otonomi dan independensi. Berkaitan dengan itu, patut dipertanyakan apa rasio legis yang digunakan oleh pihak yang mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, terkait dengan masa jabatan hakim Agung? Logika yang dibangun oleh pihak yang mengajukan JR terhadap UU Mahkamah Agung adalah sebuah logika yang sangat dangkal dan minim landasan filosofis. Logika yang dibangun tak lain hanya bersandarkan kepada kepentingan praktis semata. Apalagi dengan membandingkan jabatan hakim dengan jabatan yang lain, seperti jabatan Presiden dan Jabatan Wakil Presiden, yang dipilih lima tahun sekali. Sangat dangkal sekali. Setelah itu, Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali dalam periode berikutnya, untuk jangka waktu lima tahun. Tanpa melihat pada apa karakter dan jenis kewenangan yang melekat pada kekuasaan kehakiman tersebut. Membandingkan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden dengan kekuasan kehakiman adalah penyesatan yang mengada-ada. Jika dibandingkan dengan kekuasaan lain, seperti Presiden dan DPR. Secara esensial, masing-masing jabatan memiliki karakter yang berbeda-beda. Dari sisi fungsi dan kewenanganya, juga masing-masing berbeda. Tidak dapat disamakan, atau dicoba untuk disamakan. Demikian juga dengan cara pengisian jabatan terkait kekuasaan kehakiman. Berbeda dengan cara pengisian jabatan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, Begitu juga dengan kekuasaan DPR. Kekuasaan Kehakiman adalah suatu kekuasaan yang dikonstruksikan sebagai kekuasaan yang merdeka. Yang terbebas dari segala bentuk intervensi dan campur tangan kekuasaan lain. Oleh karena itu, di Amerika Serikat misalnya, masa jabatan Hakim Agung itu seumur hidup. Setelah ditetapkan atau dipilih oleh Kongres, Hakim Agung dapat menjalankan tugas dan kewenangannya selama seumur hidup. Kewenangan ini diberikan, agar Hakim Agung yang terpilih tidak terikat atau tergantung dengan kepentingan politik apapun. Pada tahun 1953, ada usaha untuk mengubah masa jabatan Hakim Agung, termasuk hakim Negara Federal. Dari sebelumnya dari seumur hidup, menjadi usia 75 tahun melalui amandement Konstitusi Amerika Serikat. Usul ini diajukan oleh American Bar Association yang diterima oleh Senat tahun 1954. Akan tetapi upaya ini kemudian ditolak oleh Hose Representative, sehingga upaya amandement untuk mengurangi masa pensiun Hakim Agung itupun tidak berhasil. Upaya pembatasan masa jabatan Hakim Agung ini ditolak. Penolakan semata-mata untuk menjaga agar independensi keluasaan kehakiman tetap terjaga. Para hakim terbebas dari tekanan politik. Para hakim juga harus bebas dalam menguji undang-undang sebagai produk Kongres dan tindakan-tindakn kekuasaan Eksekutif yang bertentangan dengan Kinstitusi. Sudah dapat dipastikan jika saja hakim agung diseleksi setiap lima tahun sekali, maka sangat rawan dan rentan akan intervensi politik. Hakim Agung yang diseleksi sangat memiliki ketergantungan secara politik dengan kekuasaan maupun partai-partai politik yang ada di DPR. Jika kondisi ini yang terjadi, maka para hakim tidak bebas dan tidak mandiri dalm menjalankan kekuasaan kehakiman. Dapat dikatakan bahwa kekuasan yudikatif terbelenggu oleh kekuatan dan tekanan politik dari kekuasan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. Pada kondisi semacam inilah, sangat dikhawatirkan akan terjadi penyalagunaan kewenangan. Korupsi bisa terjadi di setiap sektor pelayanan publik. Bahkan tindakan-tindakan zolim bisa saja terjadi setiap saat kepada masyarakat. Jaminan akan kepastian hukum dan keadilan bagi warga masyarakat pencari keadilan tak kunjung diperoleh akibat lemahnya kekuasaan kehakiman. Sekali lagi, patut diduga bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki, agar pelaksanaan fungsi checks and balances system antar pelaksana kekuasaan dalam mengontrol jalannya pemerintahan tidak berjalan normal sebagaimana mestinya. Penulis adalah Dosen Fakuktas Hukum Universitas Nasional Jakarta
RUU Omibus Ciptakan “Fasilitas Kerja Untuk Korporasi”
By Dr. Margarito Kamis (Bagian Pertama) Jakarta FNN - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus (artinya semua – multi aspek, multi faset, ragam materi) Cipta Kerja, yang telah diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama Presiden, sejauh ini disebut-sebut bertujuan mengakselerasi investasi. Tetapi tujuan ini, nampaknya bukan tujuan tunggal. Ini disebabkan Airlangga Hartarto, Menteri kordinator Ekonomi, menyatakan RUU ini menghindarkan Presiden dari kemungkinan pemakzulan. Pemakzulan akibat dari kesalahan menterinya, (RMol, 20/2/2020). Andai benar inilah tujuan utamanya, maka masalahnya apakah cara ini tepat, dan perlu? Tidakkah cara ini memilki potensi jebakan? Presiden, tentu lebih mengerti. Presiden Pusat Kontrol Tetapi terlepas dari logis atau tidaknya pernyataan Airlangga. Baik juga untuk menerimanya. Entah tujuan atau apapun namanya, otoritatif RUU ini. Ini menarik. Dimana letak menariknya? Hal-hal menarik itu akan ditunjukan sejauh yang bisa pada uraian selanjutnya. Tetapi simpan sebentar analisis teknis atas norma. Mari mengenal nalar. Tentu saja yang terlihat dibalik gagasan menjadikan presiden sebagai pusat kontrol pemerintahan dibidang investasi. Pointnya adalah presiden muncul sebagai pusat kontrol. Inilah point strategisnya. Sebagai pusat kontrol, presiden dari waktu ke waktu di sepanjang hari dalam menyelengarakan pemerintahan harus memperoleh laporan terbaru tentang hal-ihwal investasi. Presiden, dengan demikian, dari hari ke hari juga harus mengeluarkan seluruh energi politik dan teknisnya memastikan kelangsungan investasi. Menteri-menteri, suka atau tidak, dari hari ke hari harus memberi kepastian informasi pasti dan terbaru kepada Presiden bahwa tindakan-tindakan administrasi mereka tidak teridentifikasi menjadi barir investasi. Ini logis. Mengapa? Presiden, menurut pasal 166 dan 170 RUU ini diberi kewenangan khusus, eksklusif mengubah semua peraturan perundangan yang dinilai bertentangan dengan UU ini. Selain menteri, para investor dapat, tentu saja dengan cara dan argumen mereka, memberi informasi terbaru. Strategis atau tidak, apapun yang mereka hadapi atau alami, informasih itu perlu sampai kepada Presiden. Ini logis. Mengapa? Toh kewenangan memutus, bahkan mengatur telah diletakan pada Presiden. Logis para investor memberi informasi langsung ke Presiden. Sampai dititik itu, pola pemberian kewenangan kepada Presiden terlihat rasional menurut sudut pandang konsititusi. Polanya eksplisit. Diatur dan dinyatakan dalam undang-undang. Bukan implisit, yakni ditarik dari fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan. Sebagaimana terbiasa digunakan oleh Presiden Soeharto di masa lalu dan presiden-presiden Amerika sejak era Abrahan Lincoln. Mereka menggunakan executive order. Kebijakan dalam RUU ini dengan tegas menguatkan Presiden. Bukan Wakil Presiden. Presiden menjadi satu-satunya figur tata negara dan adinistrasi negara yang menentukan arah kebijakan investasi. Wapres Pak Kiyai Ma’ruf Amin mungkin saja bisa ikut memikirkan, tetapi tidak bisa mengambil tindakan bersifat decisive. Wapres Pak Ma’ruf tidak bisa berperan layaknya Pak JK dimasa lalu. Pada saat menjadi Wakil Presidennya Pak Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), Pak Jusuf Kalla (JK) pernah menangani Excon Mobil yang beroperasi di Natuna. Tahu mengapa Pak JK berkeras harus mengubah konrak itu? Karena formula bagi hasinya tidak adil menurut Pak JK. Tahu bagaimana komposisi bagi hasilnya? 80 untuk Exon dan 20 untuk Indonesia. Timpang sekali menurut Pak JK. Niat Pak JK itu disampaikan ke eksekutif Exon ketika Pak JK berada di Amerika. Eksekutif Exon bereaksi, dalam nada yang menolak. Tetapi Pak JK, pria Bugis yang cerdas nan lincah ini bertahan pada sikapnya. Apa yang terjadi? Eksekutif Exon menempuh cara khasnya, melobi Pak JK. Tetapi Pak JK tidak mau dilobi. Pak JK memberi alasan mau ke Arab menunaikan ibadah umrah. Eksekutif Exon, tidak patah arang. Eksekutif ini mau menyertai Pak JK ke Arab. Pak JK menolak. Pak JK mengatakan ini urusan pribadi. Tetapi Eksekutif Exon tetap kukuh. Si eksekutif bilang kalau begitu di Jakarta saja. Hebat, Pak JK tidak mau. Pak JK bilang dia mau langsung ke Makassar. Pada satu kesempatan, yang menurut saya ini menarik. Pak JK mengatakan kalau saja dirinya suka uang, pastilah “imannya” goyang dengan lobi Exon itu. Tetapi karena konsisten dengan apa yang dilakukannya, semata untuk negara dan bangsa, JK sepelekan lobi Exon tersebut. Hebat Pak JK. Pada kasus lain, khususnya penjualan gas di Lapangan Tangguh ke Cina, yang menurt identiikasi Pak JK sangat murah itu sasngat mengusik Pak Jk. Karena itu, Pak JK berencana mengubah kontraknya. JK menyampaikan niatnya itu ke Wapres Cina pada satu pertemuan. Sang Wapres Cina terkaget-kaget. Tetapi Pak JK segera menenangkan sang Wapres. Pak JK memberi kepastian dukungan suplai tidak dikurangi. Mendapat jaminan itu, Wapres Cina pun sepakat untuk mencari cara mengubah kontrak tersebut. Hanya saja Wapres Cina menyatakan, dalam arti memberi syarat harus dilakukan melalui perundingan antara pemerintah atau G to G (Lihat JK Ensiklopedia, 2012:305-307). Kecuali diotorisasi secara khusus oleh Presiden, cara tipikal Pak JK dalam pemerintahan Pak SBY ini jelas tidak bisa dilakukan oleh Pak Wapres Ma’ruf. Ini, sekali lagi merupakan akibat logis dari wewenang eksklusif di bidang ini telah diletakan, dikonsentrasikan hanya kepada Presiden. Berurusan dengan pemegang otoritas eksklusif jauh lebih masuk akal, dibanding berurusan dengan pejabat lain, apapun fungsi mereka. Toh pejabat lain tidak bisa memberi keputusan. Karena wewenang untuk memutuskan telah dikonsentrasikan secara eksklusif pada Presiden. RUU Omnibus ini, sejauh pasal-pasal yang telah dikenali secara terbuka, cukup jelas dalam satu hal. Hal itu adalah menciptakan iklim yang lebih bersahabat dengan investasi. Untuk alasan apapun, RUU in jelas disukai oleh korporasi. Mereka, dengan tabiat ekspansifnya, terus menemukan ladang usaha baru, apapun itu. Dengan nalar logis, tidak mungkin mengeritik RUU ini. Kasus Exon yang diceritakan Pak JK hanya satu di antara sejumlah kasus tentang korporasi. Prilaku koporasi yang meraup untung dari kebijakan investasi, yang didahului pembentukan UU. Freeport juga muncul diujung lain dalam spektrum itu. Hak eksklusif mereka dalam menambang dibenarkan oleh UU Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan Tahun 1967. Di luar kebijakan-kebijakan investasi yang diatur melalui UU, Indonesia dalam rute liberalisasi ekonomi tahun 1980-an, mengandalkan hukum-hukum administrasi untuk tjuan itu. Singkatnya, keputusan-keputusan Presiden dindalkan dalam rute ini. Dalam konteks ini, maka spirit RUU Omnibus sama dalam esensinya dengan spirit kebijakan-kebijakan liberalisasi Orde Baru. Rezim Orde Baru menempatkan Presiden sebagai pusat kontrol kebijakan itu. Tetapi yang diandalkan adalah Kepres. Bukan Perpres. Masalahnya adalah, seberapa potensial kebijakan-kebijakan investasi di tangan presiden dirancang dan dimanifestasikan menurut kaidah dan spirit transparansi? Jangan lupa, soal ini gagal dimanifestasikan oleh orde baru. Dan disitulah masalahnya. David Bouchier dalam artikel “Magic Memos, Collusion and Judges With Attitude, dalam buku Law Capitalism and Power in Asia dengan Kaniskya Jayasuriya (ed) di masa orde baru, koneksi politik muncul menjadi faktor penting dan determinan menentukan keberhasilan usaha. Anna Erliyana disisi lain, dalam studi doktoralnya di Fakultas Hukum UI tahun 2004 menyuguhkan satu kasus menarik. Gugatan dari Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara yang dioreguister dengan Nomor Register 091/G.TUN/1998/PTUN-JKT tanggal 30 September 1998. Di antara 15 (lima belas) Kepres yang dijadikan objek gugatan, satu di antaranya adalah Kepres Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura Tentang Pengembangan Sumber-Sumber Air di Provinsi Riau dan Pemasokan Air dari Indonesi ke Singapura. Dalam pelaksanaannya, tulis Anna, Keputusan Presiden itu memberikan hak khusus kepada perusahaan patungan yang dimiliki kelompok Salim. Grup Salim diberikan diberikan mandat eksklusif untuk mengusahakan pengembangan dan pemasokan air baru dari setiap sumber di Riau (Anna Arliyana, 2004: 128). Pada isu lain, khusus impor berbagai jenis di bawah kategori baja dan besi, menunjukan adanya kebijakan pemberian hak yang eksklusif itu. Rizal Malarangeng mencatat PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam semula diberi hak eksklusif untuk mengimpor. Setelah tahun 1985, Rizal menulis semua perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama disingkirkan, kecuali PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam. Dengan nada tanya yang kritis, Rizal menulis siapa yang menguasai perusahaan yang disebut terakhir? Ternyata Lim Sio Liong, Sudwikatmono dan rekan-rekan bisnis mereka (Rizal Malarangeng, 2002: 162). Inilah bahaya nyata dari konsentrasi kewenangan untuk banyak urusan teknis pada Presiden. (bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate
Novel Baswedan, Orang Buta Dalam Obor Kehidupan
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Saya benar-benar Bangga. Saya telah bangga sebelumnya, ketika mengetahui akan dipanel dengan Novel Baswedan kemarin sore dalam pengajian di sebuah daerah di pondok bambu Jakarta Timur. Subhanallaah, Alhamdulillaah. Novel dikenal sebagai penegak hukum tangan besi bagi para koruptor. Novel juga berani mengambil resiko besar terhadap ke hidupnya yang selalu terancam mati. Matanya sendiri sudah disiram air keras sejaK dua tahun lalu. Itulah resiko perjuangan yang harus ditanggung Novel. Dr. Ahmad Yani MH, ahli hukum dan bekas anggota DPR RI bercerita kepada saya tentang Novel. Dalam sebuah pertemuan kebetulan dengan Novel di sebuah bandara, beberapa waktu bahwa “mata Novel yang buta atau hampir buta saat itu”. Novel bertanya kepada Yani, coba tebak, mata mana saya yang masih bisa melihat? Yani melihat, lalu mengatakan mata kanan. Jawaban Yani salah. Kenapa? Jawaban yang benar adalah mata kiri yang terlihat buta, justru masih bisa sedikit melihat. Sedang mata kanan yang kelihatan normal, justru sudah buta. Karena disiram dengan air keras. Kemarin, saya telah berbincang-bincang dengan Novel Baswedan selepas sholat Maghrib sambil menunggu Isya. Sekalian makan nasi kebuli. Karena acara kemarin akan berlangsung habis sholat Isya. Pertemuan itu mengupas berbagai kejahatan korupsi di negara ini. Novel, misalnya, mengingatkan hati-hati tentang Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Nanti bisa jadi, akan lebih gampang lagi kejahatan pengurasan sumber daya alam bangsa Indonesia. Untuk bayar biaya politik. Saya celetuk, "bukankah biaya politik sudah selesai dengan Jiwasraya?" Kebanggaan saya sirna setelah sholat Isya. Acara dimulai dengan paparan pertama dari Novel Baswedan. Setelah Novel menegaskan bahayanya korupsi di Indonesia serta tantangannya yang lebih besar saat ini. Novel menutup ceramahnya dengan berkata “sesungguhnya saya harus memberitahu anda semua, tadinya mata kiri saya masih bisa melihat secara samar. Namun, mata inipun sudah buta. Saya tidak dapat lagi melihat anda semua". Hilangnya kebanggaan saya setelah saya mengetahui bahwa Novel Baswedan tidak pernah melihat sosok siapa Syahganda Nainggolan itu. Novel Baswedan “is a Blind Man”. Panjang lebar perbincangan saya sebelumnya, antara Maghrib dan Isya, "hanyalah"pada orang yang tidak bisa melihat saya”. Itu membuat saya sama sekali tidak bangga. Tentu awalnya. Buta Mata, Terang di Hati Untuk memulihkan kebanggaan saya bertemu dengan Novel yang buta, saya harus membaca cerita-cerita tentang orang buta. "The Blind Man and The King", "The Blind Man and The Lamp", "The Blind Man and The Lame", "Jesus and the Blind", "Nabi Isa dan Orang Buta, Cerita tentang Si Buta Dari Gua Hantu, dan cerita orang butan lainnya. Orang buta ternyata bukanlah orang buta. Itu pertama ketika pernyataan terkahir Novel Baswedan dalam ceramahnya. "Mata saya telah menjadi buta. Namun, saya tidak akan pernah menyesalinya. Saya lebih takut kalau saya memilih jalan yang salah". "Tale story" maupun "true story" tentang orang buta yang banyak berguna bagi kehidupan kemanusian. Ternyata mengartikan buta sama dengan "jalan yang salah". Kebutaan yang benar-benar buta adalah jalan sesat. Jalan kejahatan. Manusia-manusia yang matanya benar-benar buta sesungguhnya manusia-manusia yang hidup dalam kesesatan, seperti koruptor-koruptor itu. Novel Baswedan awalnya matanya terang dan hatinya bersinar. Namun, mafia-mafia perampokan asset bangsa dan boneka-bonek nya telah memerintahkan penyiraman air keras kepada Novel. Kita tahu ketika Novel keluar dari Masjid sehabis Subuh di dekat rumahnya, pelaku pembutaan menyiramkan air keras ke mata Novel. Untuk mempertahankan matanya, sehabis kejadian 11 April 2017, Novel di bawa ke Eye Center Jakarta kemudian dirawat di Singapore General Hospital. Setelah hampir tahun tahun, Novel akhirnya buta. Matanya sudah tidak bersinar lagi. Namun, hati Novel tetap bersinar terang. Sebab Novel tidak menyesali resiko matanya . Novel berkata tadi, "saya lebih takut kalau berada dijalan yang salah". Artinya dia lebih takut kalau hatinya tidak bersinar, bukan matanya. Dan Novel, dalam ceramahnya, mengatakan, "Saya akan berjalan sendiri, jika memang kalau itu harus sendiri, dalam melawan kezaliman para koruptor-koruptor" Tantangan Kita Novel adalah petugas resmi negara. Bertahun-tahun penyiram air keras ke Novel raib tak ditemukan. Mirip Harun Masiku. Meski akhirnya ada dua opsir polisi yang mengaku beberapa bulan lalu. Pengakuan itu tidak menghilangkan misteri. Karena rakyat percaya bahwa penyiram mata Novel adalah sebuah kejahatan besar dari "organisasi mafia" besar yang terlibat. Pada saat Novel disiram air keras, matanya, KPK masih berjaya. Namun, saat ini KPK telah tersandera. Menggeledah sebuah kantor partaipun sudah kesulitan. Berbagai kasus atau 36 kasus, akhirnya di SP3 alias “dipetieskan”. Era pemberantasan korupsi, sebagai ikon perjuangan paska reformasi kelihatannya berakhir saat ini. Mati felan-felan Lalu bagaimana tantangan pemberantasan korupsi ke depan? Tentu saja "kematian" KPK bukan kematian rakyat dalam mengawasi korupsi dan melawan koruptor2 itu. Dukungan besar kepada KPK sepanjang sejarahnya, selama ini ditunjukkan dengan aksi rakyat ke KPK, aksi simpati. Sampai-sampai Jubir Jokowi, Fadjroel Rachman, tercatat dalam sejarah membotakkan kepalanya di KPK, disorot semua TV. Padahal semua aktifis ITB tahun 80an pernah botak kepalanya karena ikut OS, Ospek. Plonco. Hanya Fadjroel yang dulu tidak ikut Plonco, sehingga belum pernah gunduli kepala. Nah, dukungan rakyat pada pemberantasan korupsi saat ini akhirnya tidak punya saluran lagi. Kita lihat massa rakyat dalam tema anti korupsi Jumat kemarin sudah ke istana negara. Bukan lagi ke KPK. Begitu juga berbagai aktifitas para aktifis dalam menyuarakan anti korupsi, selain ke jalan, saat ini memenuhi ruang media sosial dan diskusi publik. Sekitar sepuluh ribu massa tumpah ruah kemarin di depan istana. Itu adalah sebuah langkah awal rakyat yang baik menyoroti korupsi. Menyalurkan aspirasi langsung ke istana. Dan Mahfud MD, Menteri Kordinator Polhukam, mengapresiasi isu dan aksi tersebut. Pola baru tuntutan massa rakyat ini akan membutuhkan ujian serius. Apakah suara mereka didengar para penguasa atau tidak? Jika praktek korupsi tetap merajalela, maka massa itu mungkin bukan lagi sepuluh ribu, bisa jadi bergerak ke angka aksi 212, yakni sepuluh juta jiwa. Penutup Kebanggaan saya berkenalan dengan Novel Baswedan yang awalnya sirna, ketika mengetahui bahwa beliau telah buta total.Novel tidak lagi mengenali audiens, berangsur membuat saya bengga kembali bangga kembali. Karena ternyata buta mata Novel bukanlah buta mata hatinya. Kebutaan mata fisik hanyalah bagian kecil dari perjuangan Novel. Dia lebih takut jika mata hatinya yang buta. Novel memastikan perjuangannya melawan korupsi dan mafia-mafia akan terus berlanjut. Menurutnya, buta itu adalah berada di jalan yang sesat. Dan dia memilih tidak di jalan yang sesat itu. Setelah Novel pergi dari majelis pengajian kemarin malam, dan saya mulai berbicara. Saya sampaikan "perjuangan ideologis itu bukanlah mempertentangkan Pancasila vs Agama. Namun, perjuangan ideologis adalah seperti Novel Baswedan. Mengambil resiko buta, tapi memilih hidup dijalan yang benar. Novel menyatakan “tidak akan kompromi dengan koruptor dan mafia-mafia itu”. Atas keberanianya, Novel mendapat peghargaan internasional dari Perdana Internasional Anticorruption Champion Foundation (PIACFF) tahun 2020. Kita harus belajar tentang kehidupan dari Novel Baswedan, "Orang Buta Yang Menjadi Obor Kehidupan". Bravo, Novel! Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Kasus Imam Nahrawi, Pintu Masuk Skandal KONI Daerah!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 16,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, serta Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum 2 tahun delapan bulan penjara, sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara 1 tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/7/2019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Fantastis nilainya! Total uang Rp 26,5 miliar yang disangkakan sebagai gratifikasi yang telah diterima mantan Menpora Imam Nahrawi sepanjang tahun 2014 hingga 2018 itu tentu bukan hanya dipakai Imam pribadi. Pasti juga mengalir ke pihak lain. Jum’at (14/2/2020) Imam mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dalam perkara suap KONI itu, KPK menetapkan Imam dan asisten pribadinya Miftahul Ulum sebagai tersangka. Imam disangka menerima uang sebesar Rp 26,5 miliar. Uang itu diduga merupakan imbalan atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora TA 2018, imbalan sebagai ketua Dewan Pengarah Satlak Prima, dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam sebagai Menpora. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait. Dalam rentang 2014-2018, Menpora melalui Ulum diduga telah menerima uang sejumlah Rp 14,7 miliar. Menurut Jaksa KPK Ronald Worotikan, selain penerimaan uang, dalam rentang waktu 2016-2018, Imam diduga juga meminta uang sejumlah total Rp 11,8 miliar. Imam dan Ulum disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Melansir Tempo.co, Jumat (14 Februari 2020 13:13 WIB), Imam menyebut bahwa dakwaan yang dibacakan JPU KPK fiktif. “Banyak narasi fiktif di sini, nanti kami akan lihat,” kata Imam usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/2/2020). Hibah Daerah Skandal korupsi Dana Hibah KONI yang menjerat Imam Nahrawi Cs tersebut berpotensi merembet ke daerah. KONI Provinsi yang berpotensi dijaring KPK dan Kejaksaan, yaitu yang banyak melakukan Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016. Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Kalau lembaga penegak hukum tak mampu mengungkap dan seret Pengurus KONI Provinsi ke penjara, berarti ada sistem hukum yang “salah urus”. Karena, ada banyak atlet provinsi lain yang ditransfer untuk PON. Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain. Kasus korupsi Imam Nahrawi itu hanya sebagai pintu masuk. Karena nilainya kecil. Ini justru yang terbanyak itu terjadi di daerah. Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkendok permainan kontrak pemain. Tapi, kebocoran yang terjadi mencapai ratusan miliar rupiah pada setiap tahun. Konon, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” ini. KONI Daerah yang jadi target pengungkapan korupsi Dana Hibah Olahraga dari Pemprov itu adalah: tiga besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar Fee Transfer dan kontrak pemain. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet! Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga. Kalau mulus tanpa manuver politik, semua KONI Daerah siap-siap dijerat terkait Dana Hibah yang diselewengkan untuk fee transfer atlet. Modusnya, pengembalian Sisa Dana dari Kwitansi tersebut menggunakan Rekening Pribadi Bendahara Umum KONI Provinsi. Tujuannya, supaya tidak terlacak. Kwitansi berstempel KONI Provinsi itu Bernilai A, yang diterima atlet 1/3A - 1/2A, sisanya wajib dikembalikan. Kabarnya, bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum. Termasuk Kwitansi dan Rekaman Video. Indra Gunawan, 31 tahun, adalah salah satu atlet renang nasional yang pada PON 2016 lalu membela kontingen Jawa Timur. Ia dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto. Mengutip Kompas.com (11/02/2016, 20:07), Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas di nomor 50 meter gaya dada. Indra Gunawan yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara adalah salah satu bukti adanya kontrak atlet antar provinsi. Penulis wartawan senior.