HUKUM
Jika Kritik Dipidana, Demokrasi Akan Tumbang
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (04/05). Diantara ciri negara demokrasi itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, negara tak lagi layak disebut sebagai penganut demokrasi. Entah apalah namanya. Yang pasti bukan negara demokrasi. Bukan kebebasan tanpa batas. Ada undang-undang sebagai dasar aturan. Siapa yang buat undang-undang? Tentu saja anggota DPR yang terhormat. Soal ini, di buku SD sudah dipelajari. Hanya saja, anak-anak SD nggak pernah tahu kelau "banyak oknum" anggota DPR suka terima order ketika lagi buat undang-undang. Dari mana? Banyak pengusaha berseliweran di sana. Anak SD belum sampai kesitu otaknya. Yang mereka tahu semua anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Baru sadar ketika anak-anak SD itu sudah berada di kampus. Kuliah maksudnya. Tapi, ketika sudah jadi mahasiswa, mereka harus berhadapan dengan rektor. Saat ini, rektor sudah "semacam" jadi titipan dan tangan panjang pemerintah. Kampus juga sepertinya palan tapi pasti sudah memastikan posisinya menjadi Kantong Cabang Pemerintah. Ini karena para rektor dipilih oleh menteri. Dan menteri adalah pembantu presiden. Berani macam-macam, rektor bisa ambil tindakan terhadap mahasiswa. Bisa keluarkan dari kampus. Demokrasi di kampus juga akhirnya terkubur. Sejauh menteri pilih rektor, rektor pilih dekan, dan dekan bersama rektor awasi mahasiswa, maka demokrasi out dari kampus. Yang tersisa tinggal pers. Tapi, media milik para pengusaha. Soal pajak, banyak juga yang bermasalah. Berani macam-macam kepada pemerintah, pasal tentang manipulasi dan tunggakan pajak bisa jadi malapetaka. Nurut pasti lebih selamat. Sekarang tampil rakyat yang tanpa identitas. Mereka lebih berani melakukan kritik. Tapi ingat, ada banyak pasal yang juga mengintai mereka. Kepeleset dikit saja, anda akan bernasib seperti Jonru dan Ahmad Dani cs. Bisa masuk sel. Makanya Jangan ceroboh! Tidak mudah hidup dalam situasi dimana demokrasi sedang banyak masalah. Silahkan kritik, tapi harus waspada. Anda pasti paham maksud saya? Jangan asal menyerang tanpa menghitung pertahanan. Jangan pakai emosi, tapi gunakan akal sehat. Dan tetap mengutamakan obyektifitas. Lihat saja kasus Said Didu. Minta maaf, atau proses hukum? Said Didu yang berdah Bugis-Maksar ini pilih menghadapi proses hukum. Wajah tegak berdiri karena merasa benar. Gentel sekali Said Didu! Hukum harus ditegakkan. Sepakat itu. Tetapi, jangan sampai atas nama penegakan hukum, martabat dan keadilan diabaikan. Atas nama hukum atau kekuasaan? Tanya saja publik. Soal martabat? Itu harus. Seorang pejabat, tidak boleh tidak bermartabat. Diantara ciri pejabat yang bermartabat adalah tahan banting terhadap kritik. Anies Baswedan adalah contoh pejabat bermartabat itu. Kritik, fitnah, bullyan dan caci maki, semua dilewati Anies dengan senyum. Semua itu diterima Anies sebagai vitamin yang menyegarkan imun tubuh. Anies menghadipinya dengan terus bekerja dan menatap masa depan. Jika di otak seorang pemimpin berisi tentang nasib rakyat, maka dipastikan tak ada tempat yang tersisa di kepala untuk mengurusi cacian dan hinaan terhadap dirinya. Begitu kata pepatah. “Saya tidak khawatir dibully, dikritik, diftinah dan dicaci maki. Medsos itu umurnya pendek. Hari ini dicaci, besok sudah berganti lagi. Tapi saya takut kalau berbuat salah, karena akan dicatat oleh sejarah dan dibaca oleh generasi bangsa. Begitu kata Anies”. Sebagai pejabat publik, bersiaplah-siaplah anda untuk setiap saat dikritik. Bahkan siap pula untuk difitnah dan dicaci-maki. Fitnah tak akan menjatuhkan anda jika anda punya data untuk klarifikasi. Beres itu. Publik akan menaruh simpati dan mengapresiasi anda. Reaksi berlebihan terhadap kritik hanya akan menghancurkan martabat anda sebagai seorang pejabat. Anda kehilangan martabat bukan karena kritik dan fitnah. Tapi anda akan kehilangan martabat jika anda berlebihan merespon kritik dan fitnah itu. Sekali anda laporkan pengkritik itu, rakyat akan berada di belakang dan membela sang pengkritik. Saat itulah anda akan kehilangan martabat dan simpati dari rakyat. Ketika Walikota Surabaya, Risma melalui Biro Hukumnya melaporkan seorang ibu dari Bogor yang "diduga" menghinanya, saat itu pula nama Risma tenggelam. Rakyat yang balik menghukumnya. Begitulah kalau pejabat yang resiten terhadap kritik dan hinaan. Nama yang baik dan harum saja bisa hancur jika anda rapuh terhadap kritik. Apalagi mereka yang dikenal tak punya nama baik di mata rakyat. Pasti akan makin berantakan. Saya tidak kasihan sama Said Didu. Mantan sekmen BUMN ini. Ia sadar risiko perkataan dan sikapnya. Apalagi rakyat memberinya dukungan. Jalani saja... Rasa kasihan justru layak ditujukan kepada pihak pelapor. Di mata publik, pasti martabatnya sebagai pejabat akan dipertaruhkan. Lebih kasihan lagi jika pelapor pun tak peduli soal martabat itu. Ada cara yang lebih bijak dan bermartabat. Pertama, klarifikasi. Kalau anda punya data, cukup klarifikasi. Clear. Masalah selesai, dan anda bisa tersenyum karena dapat simpati. Dan ini yang terus berulang dilakukan Anies Baswedan. Hasilnya, Anies dibanjiri simpati. Kepada para pejabat, belajarlah menghadapi kriti, fitnah, bullyan dan caci-maki kepada Anies jika ingin punya karir yang lebih baik ke depan. Jika ingin bermartabat dan harum di mata rakyat. Bagi seorang pejabat, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap. Kedua, memaafkan. Ini cara yang paling diapresiasi oleh publik. Siapapun senang melihat seorang tokoh punya kematangan seperti ini. Lapang dada untuk setiap kritik terhadapnya. Itulah ciri dari pejabat yang bermartabat, berkelas, bernilai dan mengagumkan. Jangan hanya karena ada undang-undang, kita bisa tuntut "siapa saja yang lemah" tanpa memikirkan bagaimana nasib demokrasi di negeri ini. Kalau semua pejabat terlalu tipis telinga, maka satu persatu orang-orang yang kritis akan tumbang. Rakyat tidak hanya takut, tapi akan kehilangan simpati dan kepercayaan. Saat itu, demokrasi mati dan negara akan semakin rapuh. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Serunya Operasi KPK Kasus Romy, Anti Klimaxnya di Pengadilan.
By Dr. Maiyasyak Johan Jakarta FNN – Jum’at (01/05). Seorang teman Presiden ditangkap KPK di Jawa timur. Sebut saja mantan Ketua Umum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy. Biasa dipanggil dengan sebutan Rommy. Bagi orang Indonesia, berita ini bagaimana pun masih dianggap luar biasa. Apalagi ternyata yang ditangkap itu seorang Ketua Umum Partai pendukung penguasa. Diketahui, bahwa kasus mantan Ketua umum PPP yang ditangkap itu, tidak ada kaitannya dengan Presiden. Namun pengaitan itu tidak lebih hanya pandangan masyarakat yang melihat bahwa selama ini bila teman penguasa tertentu saja susah ditangkap, apalagi teman Presiden. Tentu agak mustahil bisa ditangkap. Begitulah opini umum masyarakat kebanyakan. Berdasarkan data, pernah ada yang dekat dengan Presiden ditangkap KPK. Apa yang terjadi kemudian? KPK-nya menjadi bulan-bulanan. Semua borok orang-orang KPK dibuka. Akibatnya KPK pun menjadi sempoyongan. Dengan kata lain, ternyata KPK juga tak bersih-bersih amat. Karena itu, tidak heran bila sampai ada temen Presiden, yang Ketua Umum Partai sampai ditangkap. Apalagi dengan tuduhan korupsi. Sangat memalukan sekali. Alibinya sangat klasik, yakni memanfaatkan pengaruh untuk melakukan jual-beli jabatan. Tetapi walaupun kecil dan klasik, itu adalah pintu masuk. Untuk itu, patut diduga atau cukup masuk akal bila ada motif politik dari orang yang berusaha untuk menyingkirkan Romy. Yang punya motif ini telah mempelajari kebiasaan Romy sejak lama, sehingga niat kelompok orang ini untuk menyingkirkannya menjadi terbuka luas. Operasi untuk penyingkiran Romy bisa terjadi, karena ada pintunya yang sudah terbuka lebar. Semua itu bisa terjadi, mungkin karena yang di sekitar Presiden suah ada yang mulai gerak dengan sepak-terjang Romy. Demikian juga di internal partai. Bahkan bisa jadi juga gang kecilnya pun melihat Romy sudah terlalu liar. Dianggap bisa mengganggu peluang anggota gang yang lain. Mereka yang di sekeliling menganggap, akan lebih baik bila Romy. Logika ini dalam berbagai novel bisa dijalankan ketika di sekitar dikuasaan ada orang atau kelompok yg meriang atas kedekatan Rommy dengan sang Presiden. Lalu kerjasama dua kelompok itu pun terjadi. Maka tersingkirlah Romy. Semua itu bisa terjadi karena memang kelakuan Romy ternyata memang masih suka untuk ngerampok yang kecil-kecil. Tetapi ada yang bilang itu hukum karma. Karena dia mengkhianati Ketua Umum PPP sebelumnya Surya Darmay Ali, yang telah membesarkannya. Benarkah demikian? Tak ada yang tau. Sebab itu cuma bisik-bisik saja. Kita juga tak tahu, setelah ini siapa yang akan tertulah berikutnya. Berikutnya, persekongkolan teman satu gang dengan orang luar gang dalam kekuasaan pun berjalan . Romy masuk penjara. Lalu teman seiring yang dulu satu gang pun menggantikannya. Kawan Presiden tadi, dan seorang temannya yang menjadi menteri agama akhirnya tersingkir. Teman Rommy yang naik menggantikannya menjadi Ketua Umm PPP. Lalu naik lagi menjadi menteri. Cukup beruntung. Karena oleh KPK cuma diperiksa. Tidak dijadikan sebagai tersangka sekalipun ruang kerjanya sempat dibeslah. Dalam laci meja kerjanya ditemukan tumpukan uang dalam jumlah banyak. Begitu seperti yang diberitakan oleh media massa. Mereka adalah anggota gang yang sama. Meraka juga sama-sama memanipulasi keadaan di dalam Partai. Sehingga meraka berhasil menghancurkan partai tersebut dari dalam. Banyak yang berduka, tetapi banyak yang tidak mengerti atau menerima kehancuran akhlak di sana. Semuanya bermula dari muktamar PPP di Ancol. Terus melalui serangkaian pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip perjuangan partai, terjadi perpecahan. Juga tragedi kekerasan dari pengurus partai, seperti main ancam kepada pengurus di bawah dan merekayasa susunan pengurus. Peristiwa itu menjadikan PPP dikuasai oleh politisi Orde Baru, dan pengkhianat baru. Itu yang akhirnya yang membuat PPP menjadi juara memasukkan pejabat partainya ke penjara. Setidaknya pada tingkat pusat, sudah dua Ketua Umum PPP yang menjadi pasien lembaga pemasyarakatan sebagai narapidana korupsi. Sedangkan di daerah tidak usah disebut, karena malu. Yang mengherankan, bagaimana bisa mereka kok sama-sama kelakuannya dengan partai-partai sekuler? Dari dua Ketua Umum PPP yang telah menjadi pasien KPK, kedua-duanya merupakan kawan dari Presiden. Hanya saja dengan periode yang berbeda. Sungguh miris sekali. Bukan cuma miris atas apa yang dialami oleh PPP. Partai ini kemudian terpecah, dan menjadi kerdil. Aktor yangg mengkerdilkannya sukses menjadi pejabat serta menempati posisi tanpa sedikit pun pernah bicara tentang umat dan nilai-nilai perjuangan partai. Selian itu, miris juga melihat KPK dan Pengadilan dalam proses penegakan hukumnya yang terkesan sangat jauh dari spirit politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi. Bisa dikatakan “ada korupsi dalam pemberantasan korupsi”. Sungguh, ini sangat luar biasa miris. Luar biasanya kasus ini bisa dilihat dari proses penangkapan yang dilakukan KPK. Kejadiannya sangat menegangkan. Ada adengan kejar-kejaran, pertengkaran, adu mulut. Sementara kameraman dan blizt terus menyala. Kita juga tak tahu siapa mereka, apakah mereka itu jurnalis? Kalau iya, dari media mana? Atau mereka petugas KPK? Bila mereka dari media, bagaimana media bisa tahu dan ada di sana? Setelah kejar-kejaran sejenak, akhirnya terlihat petugas KPK berhasil membekuknya. Kabarnya, sempat terjadai adu mulut, tetapi itu tidak berlangsung lama. Seperti biasa, media mainstream, baik TV, cetak serta online secara nasional terus-menerus menyiarkan beritanya. Heboh dimana-mana. Sejumlah tempat, mulai dari kantor partai, termasuk kantor kementerian, rumah dan berbagai tempat digeledah petugas KPK. Sejumlah dokumen dan uang berhasil disita petugas KPK. Sejumlah nama kemudian mulai masuk daftar untuk diperiksa oleh penyidik KPK. Anehnya, ada sejumlah nama yang muncul, termasuk yang di meja kerjanya petugas KPK menemukan tumpukan uang, belum juga ada kelanjutannya sampai sekarang. Padahal pemberi uangnya sudah ditahan. Ketika itu publik yakini pasti diadili, namun sampai sekarang tidak ada kabar beritanya dari KPK. Padahal tanpa dukungan keputusan KPK, mustahil peristiwa hukum yang dituduhkan bisa terjadi. Ini memang keanehan yang luar biasa, dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. Ternyata antara kehebohan dan keanehan di proses penangkapan dan penyidikan, berlanjut ke proses peradilan dan pemberian putusan di tingkat banding. Kita tidak bisa memahami logika pengadilan tinggi dari substansi kasusnya. Padahal aktor yang melakukannya, jelas merupakan pidana korupsi yang serius. Dampak korupsi yang sangat serius itu berupa rusaknya birokrasi, khususnya sistem karir dan promosi jabatan pada sebuah departemen atau kementerian. Sehingga keputuskan untuk menjatuhkan hukuman satu tahun itu melukai rasa keadilan. Juga menghancurkan kredibilitas peradilan. Bahkan mungkin cukup alasan hukum untuk menduga ada penyalahgunaan atas kebebasan subtantif hakim dalam putusan itu. Semakin menjadi jelas, bila hukuman atas dua mantan Ketua Umum PPP yang berurusan dengan KPK itu bosa kita bandingkan. Dan jelas sangat berbeda. Walau kasusnya tidak sama. Tetapi yang ingin kita katakan bahwa kasusu itu ada dalam dua periode penguasa yang berbeda. Yang tidak kalah menarik adalah, apa yang dibuktikan, dan tidak ditariknya mereka yang bersekongkol untuk diproses hukum. Yang seperti ini sama, baik Ketum Pertama maupun yang Kedua. Ada yang masih lolos, dan belum ditarik KPK sebagai tersangka. Ini kebiasaan KPK yang sangat menarik utk dikaji. Kembali pada keanehan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Keanehan-keanehan putusan tersebut secara substansial dan juridis terlihat dari beberapa aspek. Pertama, putusan itu tidak sedikit pun mempertimbangkan nilai dan spirit politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi. Apalagi bila dilihat dari kasus Ketum Pertama. Kedua, putusan itu tidak memiliki nilai yang membuat terhukum jera.Juga sangat tidak mendidik, sehingga jauh dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Ketiga, putusan tersebut membuat kredibilitas pengadilan menjadi semakin rendah. Juga menjadikan reformasi badan peradilan terlihat cuma sebagai live service semata. Keempat, bila pengadilan tidak yakin bahwa terdakwa atau terpidana bersalah, mengapa tidak diputuskan bebas saja? Menyatakan bahwa dakwaan dan tuntutan penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakin? Jika pertimbangan hukumnya masih berpegang pada “terdakwa terbukti bersalah sabagaimana tersebut dalam surat dakwaan dan tuntutan”, maka sungguh putusan itu merupakan ironi dan lelucon yang sangat merendahkan lembaga peradilan. Kelima, putusan itu merupakan anti klimaks yang membuka pintu utk mendesak dilakukannya audit atas semua putusan Pengadilan Tipikor yang diluar kepatutan dan rasa keadilan publik. Sebagai penutup, perlu kami ingatkan kepada semua anak bangsa bahwa, hancurnya suatu bangsa bermula dari tidak tegaknya hukum dan keadilan. Karena itu siapa pun yang mempermainkan hukum, mereka adalah orang-orang yang menghancurkan bangsa dan negara. Penulis adalah Advokat dan Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Tahukah Hakim MK, Cara Kerja Wall Street di Perpu Corona?
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (25/04). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keungan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Masa Allah. Dalam sejarah, ini judul Perppu terpanjang di dunia untuk sebuah UU. Karena terlampau panjang, maka saya akan menyebut Perpu ini dengan “Perpu Corona.” Perpu yang “ngaco” ini telah dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa kelompok masyarakat. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dengan Bonyamin Saiman sebagai bosnya berada di satu sisi sebagai kelompok pemohon ke MK. Dan Pak Amien Rais, Pak Din Syamsudin, Pak Srie Edi Swasono, dan kawan-kawan berada di sisi lain juga sebagai kelompok masyarakat yang memohonkannya. Argumentasi spesifik mereka, sejauh ini belum diketahui. Tetapi dapat diduga argumentasi primer mereka pasti tidak jauh dari penilaian Perpu ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Seluruhnyakah atau sebagian yang nyata-nyata atau potensial bertentangan? Dugaan saya pasti diuraikan dalam permohonan mereka. Pasal 27 dan 28 Perpu ini memang membuat nalar orang sehat pening sepening-peningnya. Tetapi saya ingin mengenal satu hal yang, dalam penilaian saya cukup menarik. Hal yang menarik itu adalah Bank Indonesia diberi kewenangan lain dalam Perpu ini. Bagi saya ini menarik, karena sejumlah alasan. Apakah ada sistem keuangan di dunia, yang bertuan pada tuan “takur - Amerika” dengan “Wall Streetnya” yang tidak pernah stabil? Adakah sistem keuangan di dunia ini yang tidak terjalin dengan standar mata uang? Uang kertas yang beredar? Tingkat suku bunga kredit? Jual beli bank note? Kegagalan bayar kredit karena berbagai faktor dan sejenisnya? Bila jawabannya tidak ada, maka soalnya adalah adakah sistem keuangan di dunia yang, sekali lagi, stabil? Bila ada, mengapa gold dan silver ditolak sebagai standar mata uang? Dipukul telak dengan taktik licik oleh jagoan-jagoan Wall Street, yang dimotori oleh JP. Morgan, Rockeffeller, Jacob Schift dan Paul Moris Warburg? Tidakkah sistem keuangan khas jagoan-jagoan ini dalam “esensinya” memang elastis dan dinamis? Tidakkah sistem keuangan khas jagoan-jagoan ini dimaksudkan untuk terus-menerus memproduksi inflasi dan deflasi? Bahkan juga memproduksi krisis? Lalu setelah krisis,menerpa keuangan negara, bank sentral muncul menjadi bukan lending of last resort, tetapi juga mengatur kebijakan ekonomi nasional? Perspektif membantu siapapun memahami judul Perpu ini. Sekali lagi, tidak ada sistem keuangan yang dibuat stabil, tetapi mau distabilkan. Karena begitulah sifat bawaan sistem keuangan, maka unintended expected di Perpu ini tidak jauh dari “mengonsolidasi ketidakstabilan” sistem keuangan itu. Mengapa begitu? Karena pemerintah, bukan “corporasi” yang dibebani tanggung jawab mengurus rakyat. Kerja perusahaan ya cari untung, untung dan untung. Begitulah cara berpikir J.P Morgan, Rockeffeller, Jacob Schif dan Paul Morizt Warburg. Orang-orang yang merancang terciptanya The Federal Reserve, The Fed’s. Krisis datang, maka korporasi meminta uluran tangan pemerinah. Begitu seterusnya cara mereka melipat gandakan perampokan uang negara. Cara pandang ini memang tidak dibayangkan oleh Alexander Hamilton, Menteri keuangan pertama di Amerika Serikat. Alexander Hamilton, dapat disebut sebagai bapak pencipta Bank Sentral Amerika. Pada mulanya Bank Of England. Bukan Reicsbank Swedia dan Jerman, yang ditunjuk Hamilton dalam merancang Firts American Bank. Bank ini, dalam rancangan Hamilton, hanya dimaksudkan untuk menampung perolehan pajak, serta memudahkan pembiayaan perang. Dalamm pandangan Hamilton, itulah fungsi awal Bank of England. Itulah yang Hamilton kehendaki dari Bank yang mati-matian ia perjuankan pembentukannya, yang kelak dikenal dengan sebutan Bank Sentral. Hamilton memang mendapat tantang sangat keras oleh Thomas Jefferson dan James Madison. Tetapi Presiden Amerika ini kalah. Lahirlah “First American Bank” yang diberi waktu operasi selama 20 tahun. Tidak lebih. Masa operasinya berakhir pada tahun 1816. Supaya operasi “First American Bank” dapat dilanjutkan, maka diciptakanlah perang tahun 1812 itu. Perang ini menjadi alasan utama agar bank itu dilanjutkan lagi operasinya. Maka lahirlah “The Second American Bank”. Masa operasinya berakhir pada tahun 1836. Mau diperpanjang lagi, tetapi Presiden mereka Andrew Jackson menolak. Jackson memveto UU baru yang akan yang memperpanjang operasinya bank ini. Veto Jackson itu mengakibatkan untuk waktu 78 tahun lamanya, Amerika tak punya Bank Sentral. Tetapi kelak tiba waktunya Amerika berjaya dengan Bank Sentral. Kejayaan itu datang setelah empat tokoh di atas menyingsingkan lengan baju masuki panggung politik. Apakah mereka menjadi Presiden? Tidak. Menjadi legislator? Juga Tidak. Mereka menggunakan politisi –capres- dan legislator serta ilmuan dari universitas-universitas ternama untuk menggolkan gagasan Bank Sentral. Itu yang mengakibatkan Oliver Mithcell Sprague, yang menulis History of Crises under The National Bank dan kelak memimpin pembentukan Harvard Graduate Schooll of Bussiness ini, tak berdaya menghadapi mereka. Sprague bersandar pada pandangan Bagehot, pencipta Bank of England sebagai Bank Sentral yang berkedudukan di Lombar Street, semacam Wall Streetnya Inggris. Bagehot menyatakan Bank of England juga menghasilkan krisis keuangan. Itu sebabnya Bagehot menghendaki agar Bank of England sebagai Bank Sentral yang berfungsi sebagai lending of last resort harus dibebani tanggung jawab sosial. Sayangnya, gagasan ini ditolak kawan-kawannya di Bank of England. Sembari bersandar pada pandangan Bagehot, Sprague dengan meyakinkan pengalaman Bank Sentral, baik Inggris maupun Amerika. Menurutnya, pengalaman kedua negra ini menunjukan bank akan memperluas stabilitas dengan cara mengawetkan asset bank besar. Menurut Sprague, ini menjadi sebab mereka gagal bergerak cepat mencegah terjadinya kepanikan keuangan. Pandangan Sprague itu, pada level tertentu disetujui Joseph French Jonhson dan Horace White. Pandangan keduanya terlihat pada saat keduanya mendiskusikan makalah Paul Warburg, pria yang menciptakan The Fed’s. Keduanya mengakui bank sentral model Eropa, memang berusaha mengindari krisis keuangan, tetapi tidak untuk krisis perdagangan. Bagi keduanya, ini disebabkan Bank Sentral lebih suka memompa liquiditas mereka ke pasar uang. Keduanya lalu mengetengahkan jalan keluarnya. Bagi mereka, bank-bank lokal harus diberi kesempatan terlibat dalam operasional Bank Sentral, sehingga mereka dapat menjaga kepentingan mereka. Masih terdapat serangkaian maneuver cukup hebat, yang berakhir dengan lahirnya satu bill tentang The Federal Reserve. Bill ini disiapkan oleh tim khusus kelompok ini di Jackyl Island. Nelson Aldrich, senator republican yang telah terkoneksi dengan Rockeffeler ada di dalamnya. Tetapi bukan Nelson Aldrich yang mengajukan bill itu ke Senat, melainkan Theoddore Burton, senator republik. Ketika diajukan ke senat, bill ini dikenal dengan “Aldrich Plan”. Dalam kenyataanya plan ini memperoleh tantangan sangat keras dari William Jennings Bryan, Senator Demokrat. Menariknya, muncul satu keadaan yang menguntungkan para reformis. Apa keadaan itu? Parker Wills diangkat menjadi asisten Carter Glass, Ketua the House of Banking and Currency Committee. Glass adalah seorang Demokrat dari Virginia. Disebut beruntung bagi para reformis perbankan, karena H. Parker Wills, selain menjadi dosen bagi dua anak Glass di Washington and Lee University, juga merupakan satu anggota Nation Leage. Nation Leage adalah sebuah tim non bankir, yang bekerja di bawah kendali Morgan dan kawan-kawan. Tugas mereka mempropagandakan gagasan Sentral Banking. Paul Warburg, disisi lain juga bekerja sama kerasnya. Figur yang menyukai model Bank Sentral Jerman inilah yang memberi nama The Fed’s. Kerja keras mereka sukses. Lahirlah The Federal Reserve pada tahun 1913. Di tengah krisis ekonomi, tepatnya pada tahun 1935, Kongres menyetujui The Banking Act. Melalui UU ini kewenangan The Fed’s diperluas, dengan dibuatnya The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Perluasan yang sangat signifikan adalah kontrol terhadap kebijakan keuangan nasional diletakan pada Dewan Gubernur The Fed’s. Enam belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1951, atas permintaan kementeran keuangan, The Fed’s secara sukarela menerima kebijakan suku bunga rendah atas government bond. Sebenarnya kebijakan ini merestorasi independensi The Fed’s dalam memonetisasi utang pemeritahan dengan bunga tetap. Tetapi pada saat yang sama kewenangan The Fed’s membuat kebijakan keuanggan nasional diperluas. Tak lama setelah itu, tepatnya tahun 1956 Kongres Amerika membuat The Bank Holding Company Act. Dalam UU ini The Fed’s diberi kewenangan baru berupa bank yang telah berbentuk holding harus mendaftar pada The Fed’s. Dewan Gubernur The Fed’s diberi kewenangan mengatur cara pendaftaran dan pengawasan atas mereka. Berhenti di titik itukah perluasan atas kewenangan The Fed’s? Tidak. Tahun 1978 terbit lagi dua UU. Pertama, The Intetrnational Banking Act 1978. Kedua, The Full Employment and Balanced Growt Act 1978. Pada The International Banking Act, The Fed’s diberi kewenangan mempromosikan kompetisi antara bank domestik dan internasional. Dan Dewan Gubernur bertanggung jawab mengatur dan mensupervisi aktifitas bank yang berbentuk holding. Pada UU yang kedua, The Fed’s diberi kewenangan untuk secara langsung mempengaruhi perekonomian nasional. Tiga tahun kemudian Kongres kembali membentuk Depository Institution Deregulation and Monetary Control Act 1980. Undang-Undang ini memperluas akses The Fed’s memeriksa semua institusi keuangan. Esensi UU ini adalah semua institusi keuangan harus mematuhi aturan The Fed’s. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 1991, Kongres membentuk lagi satu UU. Namanya The Federal Deposit Insurance Corporation Improvement Act of 1991. UU ini memperkuat kewenangan The Fed’s mensupervisi bank asing yang memasuki sistem perbankan Amerika. UU ini menguatkan pengaruh The Fed’s tidak hanya pada sistem perbankan, tetapi juga ekonomi Amerika secara keseluruhan. Delapan tahun kemudian, Kongrers membuat lagi apa yang disebut dengan Gramm-Leach-Bley Act 1999. UU ini mengatur banyak aspek dalam industri perbankan. Dari mergers hingga proteksi terhadap informasi pribadi konsumen. UU memberi kewenangan kepada The Fed’s mengatur bank dan anak perusahaan. Dalam UU ini juga diberi kewenangan hak veto kepada The Fed’s, dan Kemeterian Keuangan untuk saling memveto satu sama lainnya. Ketika Amerika dilanda krisis kuangan pada tahun 2008, Kongres membuat Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008. Dalam UU ini The Fed’s diberi kewenangan membayar kepada bank dengan tingkat suku bunga tinggi atas deposito. Pembayaran disifatkan sebagai cadangan, yang dawali pada 1 Oktober 2008 – hingga 2011 sesuai ketentuan UU. Praktis UU ini menempatkan The Fed’s sebagai bagian integral dari penyelamatan ekonomi Amerika Serikat yang sedang berlangsung, dan instabilitas di masa yang akan datang. Spektrum dan pola-pola kerja seperti The Fed’s itu terlihat cukup jelas pada materi “Perpu Corona No.1/2020”. Perpu ini memberikan kewenangan istimewa kepada Bank Sentral dan pemerintah untuk mengurus masalah ekonomi hingga tahun 2022. Ketentuan itu sangat mirip ketentuan yang terdapat dalam Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008 punya Amerika. Akankah Mahkamah Konstitusi menyingsingkan jubah kehormatannya untuk mengenal spektrum Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008 itu pada saat memeriksa “Perpu Corona No. 1/2020 ini? Mungkinkah Mahkamah Konstitusi mengabaikan kenyataan itu? Apakah Mahkamah Konstitusi hanya berkutat pada persoalan klasik Perpu, yakni kegentingan yang memaksa? Apakah Mahkamah Konstitusi hanya mengutak-atik seperlunya teori kuno John Locke tentang State Emergency? Semoga saja berkah dari Ramadhan Al-Mubarrakh bisa menyertai mereka para Hakim Yang Mulia. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.
Apa Dibalik Horor Perpu Nomor 1 Tahun 2020?
By Dr. Ahmad Yani SH. MH. (Bagian Pertama) Jakarta FNN – Kamis (09/04). Saya merasa tersentak ketika membaca secara keseluruhan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Memghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabiltas Sistem Keuangan. Dari Judul Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang begitu panjang dan menimbulkan banyak pertanyaan yg mendasar. Pertama, apakah Perppu ini mau Melindungi dan Menyelamatkan nyawa rakyat, termasuk di dalamnya tenaga medis dari ancaman Covid-19 ? Atau hanya mau melindungi dan menyelamatkan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan pemerintah? Atau mau melindungi dan menyelamatkan pemerintah yang keliru dan tidak profesional dalam tata kelola kebijakan ekonomi dan keuangan negara? Perppu Nomor 1 Tahun 2019 dapat disebut sebagai Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Adapun Istilah Pendemi Corana Virus Desease 2019 (Covid-19) hanya sebaga alasan pembenaran untuk mengeluarkan Perppu ini. Ditinjau mulai dari konsideran menimbang (fakta), batang tubuh( pasal-pasal) dan penjelasan Perppu yang menjadi tujuan utama bukan untuk menyelamatkan nyawa warga negara. Berdasarkan data resmi tanggal 8 April 2020, sudah 2.956 Positif Covid-19, meninggal dunia 240 orang dant enaga medis yang meninggal sudah 25 orang. Indonesia terbanyak diseluruh dunia tenaga medis yang meninggal. Misi yang lebih mencolok dari keluarnya Perppu ini adalah untuk mengamankan ekonomi yang sudah mengalami devisit anggaran sejak beberapa tahun terakhir, sebelum Covid-19 masuk ke Indonesia. Kenyataan ini akibat kegagalan pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang tidak benar, dan sangat berpotensi mengancam stabilitas keuangan. Kondisi ini sudah seringkali diingatkan oleh pakar ekonomi, khususnya Bang Rizal Ramli, dalam berbagai tulisan atau pandangan yang dikemukakannya dalam berbagai forum. Namun pemerintah menutup kuping dan mata. Ibarat pepatah “biarlah anjing mengonggong kafilah tetap berlalu”. Jadi bukan karena Covid-19 perekonomian dan keuangan negara ambruk. Justru sebaliknya, perekonomian dan keuangan negara sudah dalam keadaan buruk. Kondisi ini menyebabkan pemerintah gagap menghadapi Covid-19. Tanpa Covid-19, Indonesia tetap menghadapi krisis ekonomi dan ancaman resesi. Menurut saya, eknomi kita yang amburadul dan pengelolaan keuangan negara yang tidak tepat membuat kita tidak mampu menghadapi wabah ini. Persoalan utamanya adalah masalah ekonomi. Meskipun dalam Perppu tersebut, Covid-19 menjdi alasannya, namun dalam norma Perppu maupun konsiderannya tergambar jelas untuk mengatas darurat ekonomi. Oleh karenanya, Perppu ini tidak relevan dengan kondisi darurat kesehatan nasional yang sedang dialami oleh Indonesia. Dari postur Anggaran yang digelontorkan sebesar Rp 405,1 triliun, untuk bidang kesehatan sebagai pront terdepan menghadapi serangan Covid-19 hanya Rp 75 triliun. Sebanyak Rp 110 triliun untuk jaring pengamanan social. Sisanya Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pembiayaan dalam bidang kesehatan sangat kecil. Hanya 75 triliun. Sementara alasan bagi keluarnya Perppu adalah untuk menghadapi ancaman Pendemi Covid-19. Kedua, apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Telah Memenuhi Syarat-syarat Negara dalam keadaan bahaya, sehingga menimbulkan kegentingan memaksa? Dalam Pasal 22 (1) UUD 1945 disebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU yaitu: Syarat Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Syarat Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Syarat Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Apakah negara dalam keadaan bahaya dan ancaman sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 UUD? Tentu saja tidak. Karena sampai saat ini Presiden belum mengeluarkan pernyataan Negara dalam Bahaya. Dan dalam Perppu tersebut tidak menjadikan pasal 12 UUD sebagai dasar hukum (mengingat). Kertiga, apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dikeluarkan dan diterbitkan karna terjadi kekosongan hukum dalam menghadapi Ancaman dan bahaya Covid-19, serta DPR dalam masa Reses? Syarat bagi keluarnya Perppu adalah karena terjadi kekosongan hukum. Dalam menghadapi Covid-19, pemerintah telah memiliki payung hukum yang jelas. Ada undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Dimulai dengan karantina rumah, karantina pintu masuk, pembatasan sosial berskala besar dan pemungkasnya karantina wilayah. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses. Bahkan sampai hari ini DPR masih membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dan RUU Pemindahan Ibukota Negara. Artinya, Pemegang Kekuasaan pembentuk Undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya. Dari tiga hal sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK, tidak dapat dijadikan alas an. Sebab kekosongan hukum dan keadaan mendesak tidak terpenuhi. Yang lebih mencengangkan, apa yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang tentang APBN tidak boleh direvisi oleh Perppu. Bukan hanya tidak boleh, tetapi haram hukumnya. Hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan (APBN-P).Dengan Perppu No.1 Tahun 2020 kekuasaan dan fungsi Anggaran DPR sebagaimana diatur Pasal 20 A dan Pasal 23 UUD dan Pasal 28, Pasal 177 huruf C angka 2, Pasal 180 ayat 6 dan Pasal 182 UU MD3 menjadi hilang. Keempat, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bersifat Adhoc (sementara) atau Permanen? Perppu memang bersifat Adhock, tetapi dalam Pasal 22 ayat (2) dikatakan “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya”. Artinya, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011,Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan. Jadi, pembahasan Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perpu itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR. Tergantung dari DPR. Apabila Perpu itu tidak disetujui oleh DPR, maka Perppu ini akan dicabut atau dibatalkan. Yang menimbulkan persoalan hukum adalah apabila DPR menyetujui. Maka Perppu menjadi UU yang bersifat permanen. Sedangkan tujuan dan maksud Perppu diterbitkan untuk jangka waktu sementara (adhoc). Persetujuan DPR ini sangat penting. Karena DPR lah yang memiliki kekuasaan pembentukan undang-undang (legislatif), dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Kelima, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dapat mencabut kekuasaan Lembaga-lembaga Negara, seperti Lembaga Peradilan, BPK dan DPR? Padahal lembaga-lembaga negara tersebut mendapat mandatory langsung dari konstitusi UUD 1945. Dalam Ketentuan Penutup Pasal 27 dan 28 Perpu No. 1 Tahun 2020 memberikan kekebalan hukum dan membatalkan fungsi dan kewenangan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD. Lembaga Negara Inti seperti DPR, BPK dan badan Kekuasaan Kehakiman tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan Perppu ini. Saya menyebut Perpu ini begitu “sangat berkuasa”, sehingga Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, tidak dapat berbuat apa-apa dengan terbitnya Perppu ini. Padahal dalam teori cabang kekuasaan, kita mengenal Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Masing-masing bertindak menurut ketentuan hukum yang berlaku. Namun dengan Perppu ini tidak memberikan kesempatan chek and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut. Artinya, Presiden memiliki kekuasaan yang besar, yaitu kekuasaan Legislatif, Yudikatif , Eksekutif dan Kekuasaan BPK, sehingga mendapat pelindungan hukum dengan hak Imunitas dari tuntutan pidana, perdata dan TUN. Kewenangan Badan Pemeriksa Kekuangan(BPK) yang diberi amanat oleh Pasal 23E UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, tidak boleh melakukan tugasnya menurut Perppu ini. Sementara pemerintah atau perjabat seperti Menteri, KSSK, OJK dan lain-lain yang disebutkan dalam Perpu itu, berhak dengan kekuasannya menetapkan secara sepihak defisit maupun realokasi anggaran, tanpa ada persetujuan dari DPR. Luar biasa Perpu ini. Padahal UU No 17/2014 yang diubah dengan UU 13/2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) Pasal 177 huruf c. DPR dalam melaksanakan wewenangnya dapat melakukan kegiatan pembahasan laporan realisasi APBN semester pertama dan 6 (enam) bulan berikutnya, penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan. Apabila terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal, keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar-unit organisasi, dan/atau keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. Prosedur Perundang-undangan jelas. APBN itu sesuai Pasal 180 ayat (6) UU MD3 “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program”. Kebijakan APBN itu sudah terperinci tidak bisa dibuatkan peraturan seperti yang dijadikan alasan dalam Pasal 1 Perpu 1/2020 itu. Kalau terjadi perubahan asumsi ekonomi Pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan sendiri. Tetap harus melalui DPR. Ketentuan Pasal 182 UU MD3 jelas dan terang bahwa harus melalui APBN Perubahan. Bukan membuat peraturan yang setingkat UU dengan alasan menyelamatkan ekonomi. Padahal ada prosedur hukum yang jelas yang harus ditempuh. Keenam, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dapat menambah kekuasaan dan kewenangan BI, OJK, Menteri dan khususnya Menteri keuangan, serta KSSK? Banyak celah moral hazard dalam implementasinya. Sebab banyak kewenangan tambahan dan kekebalan hukum (imunitas) bagi para pengambil kebijakan dalam melaksanakan kebijakan tersebut, seperti ketentuan bagi Bank Indonesia. Pemerintah boleh meminta BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Padahal, ini dilarang oleh UU BI. Namun, Perppu No.1 Tahun 2020 tersebut membolehkannya. Aturan yang membolehkan BI bisa membeli SBN di Pasar Primer sangat membahayakan. Selama ini BI hanya diperbolehkan membeli SBN di Pasar Sekunder. Perppu ini bisa disalahgunakan seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dahulu saat krisis moneter menjerat negeri ini tahun 1998. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun, dari yang dikucurkan Rp 144,536 triliun. Kredit itu diberikan kepada 48 bank, dengan rincian 10 bank beku operasi, 5 bank take over, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi. Ketika itu, uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush, tetapi dalam kenyataannya, cuma dijadikan modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar dalam rakngka menyelamatkan grup usahanya. Wallahualam bis shawab. (Bersambung) Penulis Anggota DPR 2009-2014, Advokat, Dosen FH dan Fisip UMJ, Inisiator Masyumi Reborn.
Ngebut Omnibus Law Saat Corona, Kepentingan Siapa?
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Dalam buku yang berjudul "Conflict and The Web of Group Affiliations", George Simmel membuat teori bahwa keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkat laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok. Perintis mazhab interaksionisme simbolis ini ingin mengatakan bahwa sikap, perilaku, cara berpikir, kepentingan dan keberpihakan seseorang akan ditentukan oleh keanggotaan di dalam kelompok. Dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja, pengusaha tetap satu suara dalam kata "setuju" . Lalu berhadapan dengan buruh di sudut yang berbeda. Pengusaha dan buruh, atau dalam bahasa Marx, borjuis dan proletar selalu berada di dalam kutup kepentingan yang berbeda. Pengusaha ingin "untung besar" dengan mengurangi upah dan hak buruh. Sementara buruh ingin "upah layak" dengan mengurangi keuntungan pengusaha. Antara pengusaha dan buruh berebut hasil di tempat yang sama. Yaitu di dunia industri dimana kedua kelompok ini sama-sama berada di dalamnya untuk berebut hasil produksi. Dalam konteks ini, siapa pemenangnya? Di negara modern seperti Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan, negara hadir untuk melindungi kepentingan buruh. Regulasi dibuat agar buruh mendapatkan kelayakan upah. Upah yang tidak hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga cukup untuk biaya pendidikan, berlibur dan memenuhi kebutuhan pengembangan diri. Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, borjuis hampir selalu menang. Kehadiran negara justru seringkali berpihak dan melindungi kepentingan kapitalis. Alasannya selalu "demi menggenjok pertumbuhan ekonomi". Pertumbuhan ekonomi buat siapa? Buat si kapitalis? Tanya para buruh. Regulasi undang-undang yang mestinya dihadirkan untuk melindungi kepentingan kaum buruh yang selalu dalam posisi lemah, justru seringkali direkayasa untuk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha. Ini terjadi karena pengusaha seringkali hadir, ikut serta dan intervensi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan itu. Jadi, penindasan terhadap buruh selalu dimulai dari regulasi. Kok bisa para kapitalis itu intervensi? Setiap kapitalis ingin memanen hasil investasinya yang ditanam saat pemilu. Jadi, ada pihak-pihak yang harus bayar hutang? Tanyakan pada mereka! Musim pandemi covid-19 seperti sekarang ini adalah saat yang tepat untuk bayar hutang kepada korporasi, kata Margareto. Mumpung ada aturan "social and physical distancing". Buruh gak boleh demo, karena akan menciptakan kerumunan. Awas tertular virus! Akhir-akhir ini mulai bermunculan banyak cerita atas kehadiran para pengusaha di gedung parlemen saat penyusunan undang-undang. Salah satu cerita diungkap oleh Hamdan Zulfa, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan anggota DPR. Ia pernah menyaksikan sendiri cek yang dibawa pengusaha tercecer di lantai gedung parlemen. Beberapa waktu lalu, juga viral tulisan seorang profesor dalam obrolan dengan salah satu ketua partai terkait dengan operasi cek dan dolar di parlemen. Cerita klasik. Tapi, tetap menyedihkan. Kalau legislatif saja masuk angin, apalagi eksekutif? Jadi, dalam konteks Omnibus Law, ada dua kelompok yang tidak saja berbeda, tetapi bertabrakan kepentingan, yaitu pengusaha vs buruh. Jika ada pengusaha kok nggak setuju Omnibus Law, mengacu pada teorinya George Simmel, hampir dipastikan itu kepura-puraan. Dobol. Pengusaha adalah pengusaha. Mereka hidup dalam habitat atau kelompok yang sama dalam kepentingan. nggak mungkin menolak. Kata Karl Marx, monyet nggak mungkin memotong dahan dimana ia duduk. Maaf, itu kata Karl Marx. Buruh meradang atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Ada sembilan poin yang membuat mereka protes lalu kerahkan ribuan massa dan ancam akan mogok massal. Diantara poin yang membuat mereka meradang adalah soal hilangnya upah sektoral, pesangon dikurangi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dipermudah, Tenaga Kerja Asing (TKA) bebas bekerja di Indonesia, dan tidak ada saksi pidana untuk perusahaan. Ini mah kapitalis banget. Lalu bagaimana penyelesaiannya? Apakah dengan konflik ala Marxis? Tentu tidak. Indonesia negara Pancasila. Pancasila tak memberi ruang buat cara-cara Marxisme dan komunisme untuk digunakan. Era 1948 dan 1965 sudah berakhir. Komunisme akan selalu ditolak di negeri pancasila, meski data sejumlah Jenderal TNI AD, ada upaya membangkitkan kembali. Komunisme mestinya cukup jadi fosil sejarah di Indonesia. Komunis ditolak, apakah kapitalisme diterima? Cara yang paling damai adalah dialog dan kompromi. Dalam hal ini langkah yang harus ditempuh. Pertama, negara mesti berada di tengah. Negara adalah wasit, tidak boleh berpihak. Kedua, negara harus ajak bicara dan dengarkan suara buruh. Gak boleh budge. Ketiga, pengusaha gak boleh diberi ruang untuk intervensi dan menekan negara, meski oknum pengelola negara banyak yang berhutang budi dan dipelihara oleh pengusaha. Singkirkan oknum itu? Nggak mungkin. Terlanjur keluar duit banyak. Tapi, jangan beri ruang mereka untuk bertingkah semaunya. Negara harus kuat, tak boleh kalah dengan borjuis. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Harapan Kepada Ketua Mahkamah Agung Terpilih M. Syarifuddin
By TM Luthfi Yazid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Di tengah keprihatinan pandemik Covid-19 atau corona virus yang belum memberikan kepastian kapan akan berakhir, Mahkamah Agung (MA) RI mengadakan sidang paripurna khusus untuk memilih ketuanya yang baru, menggantikan M Hatta Ali. Setelah dilakukan pemilihan melalui voting oleh para hakim agung (dengan 47 kartu suara) dalam dua kali putaran. Terpilihlah Ketua Mahkamah Agung yang baru, yaitu Dr. H. M. Syarifuddin SH. MH. yang memperoleh 32 suara, meninggalkan pesaingnya Dr. H. Andi Samsan Nganro SH. MH. yang hanya mengantongi 14 suara. Dalam pidato setelah terpilih sebagai Ketua MA dalam pemilihan yang berlangsung demokratis, M Syarifuddin, itu berjanji bahwa dunia peradilan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dunia peradilan esok harus lebih baik dari hari ini. Syarifuddin juga berjanji bahwa kepemimpinannya bukan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan negara, namun juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Janji ini merupakan amanah dan tanggungjawab, sehingga karenanya harus diwujudkan. Selamat kepada Dr. H. M. Syarifuddin. Beberapa tugas berat telah menunggu untuk disikapinya, sekaligus sebagai harapan publik kepada Ketua MA yang baru. Pertama, Ketua MA Syarifuddin harus melanjutkan reformasi dunia peradilan. Blue print reformasi dunia peradilan perlu diteruskan dan direalisasikan. Reformasi ini mencakup integritas personal para hakim maupun kelembagaan. Integritas personal hakim menyangkut integritas pribadi dan kapabilitas. Soal integritas adalah persoalan yang sangat fundamental dalam pembaruan dunia peradilan. Sebab sesungguhnya norma-norma atau aturan hukum itu, kata Pitlo, hanyalah tumpukan benda-benda mati. Dan karenanya tergantung kepada hakimnya. Itu sebabnya yang utama dituntut dari seorang hakim adalah integritas. Setelah itu, baru kapabilitas. Bukan kapabilitas dahulu, baru integritas. Karena itu seorang hakim dituntut bukan hanya memiliki kapabilitas membaca teks-teks hukum (legal text) dan menguasai teknik-teknik hukum, namun juga harus sanggup menggali jiwa keadilan (essence of justice). Tentu saja tidak cukup syarat integritas dan kapabilitas. Melainkan harus ditambah dengan kearifan (wisdom). Seorang hakim yang memiliki integritas, kapabilitas dan wisdom inilah yang akan sanggup mendistribusikan keadilan sesuai amanat Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hakim yang memiliki syarat lengkap seperti inilah yang sanggup menjaga independensinya terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun terhadap lembaga. Tujuannya, agar sang hakim meletakkan keadilan di atas dirinya. Dia harus bersandar hanya pada nilai keadilan dan kebenaran (truth and justice). Kedua, Ketua MA yang baru Syarifuddin diharapkan memiliki kemampuan manajerial, termasuk meningkatkan kualitas para hakim yang jumlahnya sekitar 8.000 hakim di seluruh Indonesia, yakni bagaimana dapat melahirkan hakim-hakim yang bersih, jujur dan amanah. Catatan gelap dunia peradilan di masa lalu, seperti pernah ditulis oleh Sabastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung) harus dikubur dan tak boleh terulang kembali. Termasuk di sini adalah bagaimana agar penumpukan perkara (backlog cases) dapat terus diminimalisasi. Untuk itu penyelesaian perkara secara mediasi di pengadilan (court connected mediation) harus ditingkatkan keberhasilannya secara substantif. Selama ini upaya mediasi di pengadilan hanyalah sekedar pelengkap formalitas saja. Padahal di negara-negara maju keberhasilan mediasi di pengadilan prosentasenya sangat tinggi. Ketiga, jika syarat pertama dan kedua di atas terpenuhi, maka yang akan tercipta adalah Justice Machinery System. Sistem pendistribusian keadilan yang berjalan secara otomatis. Inilah cara mendistribusikan pelayanan guna menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan sesuai mandat konstitusi Pasal 28 UUD 1945. Keempat, Ketua MA Syarifuddin harus sanggup menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dengan tetap menjaga marwah dan independensinya sebagai lembaga utama tempat berlindung bagi para pencari keadilan (justice seeker). Pada titik inilah faktor kepemimpinan (leadership) menjadi sangat penting. Kelima, Ketua MA Syarifuddin perlu melanjutkan kebijakan pendahulunya Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali terkait Organisasi Advokat. Bagaimana pun Organisasi Advokat adalah salah satu pilar penegakan hukum di dunia peradilan. Dalam Refleksi Akhir Tahun, mantan Ketua MA Hatta Ali menyatakan bahwa MA tidak akan terlibat dan tidak akan berpihak kepada organisasi advokat yang ada. Hatta Ali tak akan mengintervensi soal kisruh wadah tunggal organisasi advokat. Ia menyatakan, biarkan pasar dan masyarakat pencari keadilan yang menentukan sendiri. Kebijakan mantan Ketua MA M. Hatta Ali sudah tepat dan sudah sejalan dengan mandat konstitusi, UUD 1945. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana agar dibuat limited threshold of lawyers association, seperti parliamentary threshold dalam partai politik. Organisasi Advokat yang tidak memenuhi threshold dan beberapa kualifikasi lainnya, maka harus didiskualifikasi. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya yang hanya membentuk single bar telah banyak menguras energi, dan dalam sejarah terbukti telah mengalami kegagalan. Penulis adalah Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia
Perpu Terbit, Wewenang Dari DPR BPK dan Pengadilan Hilang
Wahai Manusia, sekarang aku memimpin urusan kalian. Padahal aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebenaran, dukunglah aku. Namun, jika aku berbuat kesalahan luruskanlah aku! Ingatlah, sesungguhnya aku adalah orang yang lemah di antara kalian, Dia kuat dalam pandanganku hingga aku berikan hak kepadanya. Dan sesungguhnya orang kuat di antara kalian, dia lemah dalam Pandanganku hingga aku mengambil hak darinya. Patuhilah aku, selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan janganlah kalian patuhi aku, jika aku mengingkari Allah dan Rasul-nya! (Sayidina Abubakar As Siddiq RA) By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (07/03). Ya Allah ya Rab Al Haq. Engkau cek kualitas iman kami pada-Mu, dengan mengutus mahluk-Mu yang bernama corona. Sungguh dia menyeramkan. Kami hampir tak berdaya. Corona, mahluk tak terlihat dengan indra kasar itu. Datang dengan cara yang satu dan lainnya belum dapat dijelaskan hingga kini. Subhanallah. Mahluk tak berbentuk dan tak terlihat itu, dengan kuasa alam-Mu, membuat manusia terlihat jauh lebih kecil darinya. Tak sedikit orang di seantero dunia ini terhenyak, terdekap takut tak berujung, tak berdaya dan harus sembunyi darinya. Sungguh ini ujian, yang terlalu sulit untuk dilupakan. Orang-orang berseru tinggal saja dirumah. Jangan begini dan jangan begitu. Seruan itu membahana, memekik telinga lalai dan hati yang abai, untuk sekadar saling mengingatkan. Kematian yang tak seorangpun dapat mendekatkannya, dan tak seorang juapun yang dapat menjauhkan dari setiap mahluk yang memiliki ruh, kini menyempitkan nafas setiap orang. Itu menjadi sebab banyak hal berantakan. Ekonomi, begitu para ahli di bidang ini menyebut, berantakan. Korporasi, dengan tabiat bawaannya yang cerdas menindas dalam keadaan normal. Jago dalam urusan lobi-melobi, atur sana atur sini dengan cara yang tak dapat dijangkau orang kecil, ternyata oleng juga. Orang-orang kehilangan kerja. Duit menjauh, sebegitu jauhnya sehingg tak lagi dapat dibayangkan datangnya. Tak bisa bayar ini dan bayar itu. Utang melekat dalam setiap denyut nadi. Ia menyatu dalam setiap hentakan nafas. Sesak. Berat jadinya. Korporasi yang ahli akal-akal laporan keuangan, terpojok juga. Uang berkurang. Rugi muncul menjadi nyanyian nelangsa disepanjang waktu teror corona. Seperti anak ayam diteror elang kecil, lari meminta proteksi ke induknya. Seperti bocah yang tak mampu menghalau gangguan dengan tangisannya, lari menuju bundanya meminta perlindungan. Rakyat pun menanti uluruan tangan ihlas dan tulus pemerintah. Begitulah panorama di sepanjang teror corona ini. Sedih, sungguh sedih. Marahkah engkau Ya Rab? Sungguh alam kecil para Wali terus menyeru betapa Rahim-Mu terlalu besar. Sebegitu besarnya sehingga tak terbayangkan dibandingkan dengan marah-Mu. SayangMu, begitu seruan para Wali dengan kejuhudannya, lebih besar dari dunia dan seisinya. Sedih Ya Allah, ujian kecil-Mu ini telah mengakibatkan akal sehat sebagian orang melayang. Entah kemana. Padahal kalam-Mu mengingatkan kelak disuatu hari nanti, semua raga akan bicara. Mulut terkunci. Tiada sepatah kata pun dapat terucap sekadar meluruskan keterangan raga lain. Sungguh sedih, di tengah peringatan tak tertimbang nilainya itu, keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya amat sangat panjang itu. Ya Allah Azza wa Jallah. Kau siapkan hari akhir, hari perhitungan, hari meminta penjelasan dari hamba-hamba-Mu. Itu hari yang berat, dan menakutkan. Tetapi duhai Allah Yang Maha Tahu, Perpu ini membenarkan, memberi hak kepada beberapa pejabat untuk tidak bisa diminta pertanggung jawaban, dan bebas dari harus memberi penjelasan. DPR, yang memang sudah begitu payah, sudah begitu sulit diharapkan, juga tak bisa minta penjelasan mereka para pejabat itu. Mereka, para pejabat yang nyaring menyanyikan syair lagu transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas di sepanjang nafasnya, menurut Perpu ini, tak bisa dituntut di pengadilan perdata dan pidana. Bahkan pengadilan tata usaha negara sekalipun. Duhai Allah Yang Maha Rahman, rahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang tak terbilang. Hindarkanlah kami ya Allah dari tipuan hukum dunia ini. Tolonglah duhai Allah Yang Maha Penolong. Jauhkan kami dari hukum yang terlalu sulit untuk kami mengerti ini. Ya Allah Yang Maha Pelindung. Lindungi kami semua dari akibat yang bisa membuat kami melalaikan-Mu. Duhai Engkau Yang Maha Bijak. Hidupkanlah akal fikiran kami dalam urusan ini dengan petunjuk-petunjuk-Mu. Jangan biarkan pejabat-pejabat kami tenggelam dalam kelalaian yang membinasakan kami. Entah hadis atau ucapan Sayidina Ali Bin Abu Thalib, Jalaluddin Rumi mengutip dan memenuliskan “Barang siapa yang akalnya bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia dari malaikat. Barangsiapa yang nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang. Subhanallah. Sinarilah para pejabat yang mengurus urusan ini dengan Nur Muhammad Rasulullah Sallahi Alaihi Wasallam, kekasih-Mu yang Agung itu. Ya Allah, beritahukanlah mereka tentang bagaimana mengetahui sesuatu itu buruk, kalau tak ditunjukan sesuatu yang lain. Buruk ada karena dilawankan dengan baik. Hitam ada karena dilawankan dengan putih.Warak ada karena dilawankan dengan tamak. Kalau uang negara yang dikeluarkan untuk urusan penanganan efek Corona terhadap ekonomi dan keungan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, tak usah dijelaskan. Lalu BPK mau diapakan? Mau periksa apa? Untuk apa? Cari kerjaan apa? Jangan mengada-ada. Kan yang diperiksa adalah level dan derajat akuntabilitas pengeloaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara. Subhanallah. Ini Perpu membikin DPR tak bisa minta penjelasan mengenai rencana penambahan belanja, sumbernya, dan ruang defisit yang diperlebar lebih dari 3%. Masa Allah, pengadilan juga tak bisa cek pengelolaan dan tanggung jawab pejabat yang menangani urusan besar ini. Uang negara untuk semua biaya kebijakan ini, tak bisa dikualifikasi kerugian negara. BPK mau periksa apa? Untuk apa? Cilaka betul Perpu ini. Bagaimana tidak? Selain soal-soal di atas, soal lainnya adalah menurut UUD 1945, Perpu ini harus diajukan ke DPR pada persidangan berikut untuk mendapatkan persetujuan. Apa nalarnya? Cek argument dibalik Perpu. Untuk apa? Untuk mengetahui apakah alasan yang digunakan masuk akal atau tidak. Apa maknanya? Akuntabilitas. Titik. Praktis DPR, Pengadilan dan BPK yang menajdi tiga organ yang kewenangannya diatur dalam konstitusi. Subhanallah, semuanya dipukul telak dengan Perpu ini. Perpu ini mencabut kewenangan utama lembaga-lembaga negara itu. Ini ilmu apa? Entahlah, mungkin ilmu konstitusi ala Wall Street dari negeri kapitalistik, Amerika. Ilmu tentang pelebaran defisit anggaran kan ilmunya Harry Hopkins, Marriene Eccless, Henry Wallace, orang-orang di lingkaran utama Franklin D. Rosevelt. Ilmu ini, dalam sejarah Amerika muncul di tengah Krisis Keuangan Hebat tahun 1929-1933. Tahun 1933 itu juga Franklin D. Rosevelt dilantik jadi presiden. Memang Henry Morgenthau Jr, menteri keuangan Rosevelt mengusulkan “balanced budget”. Tetapi usul ini dikesampingkan Rosevelt. Selain orang-orang di atas, Rosevelt juga mendapat nasihat dari John Meynard Keynes, Ekonom kenamaan itu. Ilmuan ini memiliki tesis “permanent budget deficit”. Dia, Keynes dipertemukan dengan Rosevelt oleh Felix Frankfurther, penasihatnya yang ahli hukum kenamaan dari Harvard Law School. Sebelum dibawa ke Rosevelt, Felix Frankfurther terlebih dahulu jumpa Keynes, Ekonom top yang dikenal berhaluan politik Socialis Democrat. Sama dengan Rosevelt. Setelah jumpa Frankfurther, Keynes menulis satu artikel di New York Times. Materinya seputar cara menangani krisis. Artikel ini dibawa Felix Frankfurther ke Rosevelt. Dan Rosevelt menyetujuinya, lalu mengikutinya. Berubahlah Tata Negara dan ekonomi Amerika mengikuti alur gagasan Keynes, dan untuk sebagian pemain-pemain utama di Wall Street. Perpu ini tidak spesifik bicara tentang Bank Sentral. Disitulah keanehannya. Apa anehnya? Terdapat ketentuan tentang kewenangan baru Bank Sentral. Sungguhpun tidak persis sama dengan perluasan organ The Fed tahun 1935, tetapi dalam sifatnya sama. Apa samanya? Krisis itu membawa Amerika menambah kewenangan dewan Gubernur The Fed. Itu diatur dalam The Banking Act 1935. Bank sentral kita juga dapat kewenangan baru. Mirip. Kewenangan siginifikan yang dimunculkan The Banking Act 1935 adalah Dewan Gubenur The Fed diberi wewenang mengontrol kebijakan moneter nasional. Di Perpu ini, Bank Indonesia yang tidak lain merupakan Bank Sentral itu, diberi kewenangan memberi bantuan likuiditas tanpa syarat tertentu sebagaimana UU Bank Indonesia sebelumnya. Karena semuanya telah dinyatakan tidak bisa dicegah, maka tidak ada faedahnya bicara prinsip-prinsip hukum administrasi. Presumption of legalitiy, presumption of authenticity, dan presumption of veracity, dan administrative due process. Semuanya tak perlu. Tak ada gunanya. Itu sampah. Tidak berlaku di sini. Sampai kapan keadaan itu? Setidak-tidaknya sampai tahun 2022. Mengapa? Pasal 2 huruf a angka 1 mengatur durasi bahaya dan atau ancaman bahaya corona sampai tahun 2022. Itulah hukum dari ketentuan yang menyatakan defisit APBN sebesar di 3 % (tiga persen) berlaku sampai tahun 2022. Praktis sampai dengan tahun itu, semua tindakan administrasi dalam kerangka menangani bahaya dan ancaman bahaya corona tidak bisa dicek. Titik. Top Markotop. Masa Allah. Lalu bagaimana? Pemerintah sudah sedemikian kuat. DPR saudah sedemikian tak berdaya, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menghaturkan kata bjiak Ibnu As-Sammak kepada Harun Ar-Rasyid, Amirulmukinin ini. Amirulmukinin berkata kepada As-Sammak apa yang bisa engkau berikan kepadaku? Sammak menjawab “saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka”. Mendengar kata-katanya begitu tajam, seorang pelayan Harun menyela. Tapi As-Sammak tak gentar. Dengan tatapan matanya yang tajam kepada Harun, As-Samak melanjutkan “anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.” Masih ada waktu, begitu judul lagu Ebit G. Ade, lagu lama yang dilantunkan kembali bersama Andrea, anaknya. Dan baru saja dirilis. “Mumpum masih ada kesempatan buat kita kumpulkan bekal untuk perjalanan abadi.” Itulah sebait syairnya yang terlalu berat untuk diabaikan. Burung terbang dengan kedua sayapnya, seorang mukmin terbang dengan tekdanya, kata Jalaludin Rumi. Wallau A’alam Bissawab. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Saya Ini Menko, Kekuasaan Saya Besar, Kalian Mau Apa?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Ini bukan bercanda. Saya mau bertanya kepada pakar hukum pidana. Khususnya pakar pidana UU ITE. Sekaligus bertanya kepada para pakar politik dan demokrasi. Juga para pakar kebebasan berbicara. Yang ingin saya tanyakan begini. Saya duduk sebagai Menko yang memegang kekuasaan sangat besar. Dan saya juga punya bisnis yang menggurita. Saya mengurusi semua hal. Apa saja yang muncul, presiden selalu menghubungi saya dan meminta pendapat saya. Apa yang saya katakan, selalu diterima oleh persiden. Sering juga saya sendiri yang membisikkan berbagai solusi masalah kepada persiden. Dan persiden selalu setuju. Publik sudah sangat muak dengan kelakuan saya. Bahkan banyak yang jijik melihat cara saya mengendalikan pemerintahan. Cukup banyak pula yang mengatakan bahwa persiden adalah boneka saya. Sayalah persiden yang sesungguhnya. Terserah saja. Nah, sebelum pertanyaan itu saya tuliskan, ada baiknya saya akui terus terang peranan saya sebagai menteri yang memilik kekuasaan besar. Saya akui bahwa saya memang diberi wewenang eksekutif yang tidak pernah ada dalam sejarah kabinet di mana pun di dunia ini. Kekuasaan yang saya pegang itu boleh dikatakan tanpa batas sektoral. Plus, tanpa ada etika ministerial. Pokoknya, semua saya campuri. Semua saya yang atur. Semua menteri bisa saya kendalikan. Menteri bidang apa saja. Saking besarnya kekuasaan yang diberikan persiden kepada saya, saya bisa membungkam menteri apa saja. Sebaliknya, saya tidak bisa dilawan oleh menteri mana pun juga. Mereka semua harus patuh kepada saya. Resminya, saya dulu mengurusi masalah ombak laut saja. Tetapi, saya berhasil meyakinkan persiden bahwa masalah investasi pun harus saya yang urus. Siapa saja yang mau membawa modal ke sini, harus lewat saya. Yang saya utamakan adalah modal dari Cheena. Sekarang ini, apa saja yang mau dibangun harus diserahkan kepada Cheena. Pemerintah juga banyak ‘ngutang ke sana. Pokoknya, saya arahkan persiden untuk memperkuat kehadiran Cheena di sini. Tidak hanya duit Cheena yang dimasukkan ke sini. Orang-orang mereka pun dibawa untuk mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai oleh mereka. Kebetulan pula, Cheena membuat syarat bahwa semua proyek yang mereka biayai harus ditangani sendiri oleh orang mereka. Saya sebagai Menko mengikuti saja apa yang diinginkan Cheena itu. Bahkan saya bantu mereka dengan kekuasaan besar yang saya miliki. Kalau, misalnya, ada instansi yang mencoba-coba menjalankan aturan izin masuk dan izin tinggal terhadap orang-orang Cheena, saya langsung turun tangan. Semua beres. Mereka bisa masuk dan bekerja. Semua pejabat lain diam. Tak berani melawan saya. Lantas, apakah saya dapat keuntungan pribadi dari semua ini? Nah, soal ini ‘kan tidak ada bukti. Orang di luar sana banyak yang bilang saya dapat komisilah, fee proyeklah, hadiahlah, dlsb. Tapi, bisakah mereka buktikan itu? Kalau saya lihat, tidak bisa. Itulah sebabnya saya ancam orang-orang yang mengatakan bahwa saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja. Saya tersinggung. Dari mana mereka tahu bahwa saya mendapat keuntungan pribadi? Silakan mereka buktikan. Kalau tempohari ada laporan utama sebuah majalah bergengsi yang menguraikan tentang dugaan bahwa perusahaan-perusahaan saya memainkan pajak ekspor-impor, memang tidak saya layani. Saya diam saja. Kalian bisa menerka-nerka bahwa ke-diam-an saya itu pertanda isi laporan majalah itu benar. Terserah kalianlah. Ok. Kembali ke pertanyaan yang belum saya tuliskan di sini. Saya mau bertanya kepada para pakar hukum pidana, apakah labelisasi bahwa “saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja” adalah ucapan kebencian dan penghinaan? Bagi saya, itu penghinaan. Karena itu, saya mengultimatum orang yang mengatakan itu agar meminta maaf kepada saya. Kalau tidak, saya akan bawa ke ranah hukum. Saya pasti menang. Orang itu pasti masuk penjara. Karena semua orang bisa saya atur. Belakangan saya dengar banyak publik yang membela orang itu. Saya tak peduli. Silakan saja. Biar mereka tahu siapa saya. Biar mereka tahu siapa yang punya negara ini. Biar mereka tahu siapa yang mengatur persiden. Terus, apakah ucapan itu bisa disebut kritik? Bagi saya, tidak. Itu bukan kritik. Kalau para pakar demokrasi mengatakan itu kritik, saya tak perduli. Saya mau hajar itu orang. Supaya yang lain-lain tak berani lagi mengkritik saya. Kebebasan berbicara? Kebebasan berpendapat? No way. Tidak ada itu. Mau kalian bawa ke mana, silakan saja. Saya ini Menko. Kekuasaan saya besar. Saya berkuasa penuh. Kalian mau apa?[] 04 April 2020. Penulis Wartawan Senior
Tuntutan LBP Antara Reputasi dan Hak Asasi
Oleh DR. Eddy Rifai, SH., MH. Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) akan menuntut mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu (MSD), atas pernyataan yang dianggap menyudutkan dirinya. Hal itu merupakan buntut dari pernyataan Said Didu yang menyatakan Luhut dinilai mementingkan keuntungan pribadi saja tanpa memikirkan penanganan virus corona (Kompas.com, 3/4/2020). Jodi Mahardika, juru bicara LBP, melalui keterangan tertulis, membenarkan bahwa pimpinannya tersebut telah mengetahui kejadian pencemaran nama baik LBP. Maka dari itu, melalui Jodi, LBP meminta agar Said Didu menyatakan maaf secara langsung kepadanya dan melalui semua media sosialnya terhitung mulai hari ini. “Secara keseluruhan, seseorang dapat dikenakan pasal hate speech, Pasal 317 KUHP dan 318 KUHP dan juga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 terkait ITE jika menyebarkan ujaran kebencian, yaitu bisa memprovokasi, menghasut, serta penyebaran kabar atau berita bohong melalui media sosial,” tegas Jodi. Asal mula tuntutan ini terjadi dari kanal YouTube Said Didu, Muhammad Said Didu yang diwawancarai Hersubeno Arief berdurasi 22 menit beberapa waktu lalu. Dalam video tersebut, Said Didu menyoroti soal isu persiapan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru yang masih terus berjalan di tengah usaha pemerintah dan semua pihak menangani wabah Covid-19. Penghinaan dalam KUHP dan UU ITE Dalam KUHP, istilah pencemaran nama baik dikenal dengan istilah “penghinaan” yang diatur secara khusus dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 s.d. Pasal 321 KUHP. R. Soesilo menjelaskan, “menghina” dapat diartikan sebagai menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Adapun kehormatan yang dimaksud berkaitan dengan rasa malu seseorang. Penghinaan dalam KUHP dibagi menjadi 6 (enam) jenis, yakni: Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), yakni perbuatan menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu yang bertujuan agar tuduhan tersebut diketahui oleh orang banyak. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), yakni perbuatan tuduhan tersebut dilakukan secara tertulis. Fitnah (Pasal 311 KUHP), yakni apabila perbuatan yang dituduhkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 310 KUHP tidak benar. Penghinaan Ringan (Pasal 315 KUHP), yakni jika penghinaan dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina, maupun berupa perbuatan. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) dan Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP). UU ITE lebih menekankan pada media atau cara dari pencemaran nama baik tersebut dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yakni: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Adapun berdasarkan penjelasan pasal tersebut, definisi pencemaran nama baik mengacu pada pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP. Dalam UU ITE lama, pencemaran nama baik merupakan delik atau tindak pidana biasa yang dapat diproses secara hukum meski tidak adanya pengaduan dari korban. Namun, ketentuan ini telah mengalami perubahan yang telah diatur di dalam UU ITE baru (2016). Di mana, dalam UUITE baru, tindak pidana pencemaran nama baik berubah menjadi delik aduan (klacht delict) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Berdasarkan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 ketentuan pencemaran nama baik menjadi tindak pidana aduan tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di hadapan Pengadilan. Oleh karena itu, jika seseorang mendapatkan kasus pencemaran nama baik, ia harus melakukan pengaduan ke pihak yang berwenang. Karena kasus pencemaran nama baik hanya akan diproses jika pihak yang menjadi korban melakukan pengaduan kasus tersebut. Bunyi pasal 45A ayat (2) UUITE adalah “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Berdasarkan ketentuan KUHP dan UUITE, terdapat pelbagai bentuk delik pencemaran nama baik berupa penghinaan, fitnah, pengaduan fitnah dan perbuatan fitnah, juga terdapat delik penyiaran kabar bohong dan SARA. Antara Reputasi dan Hak Asasi Sebagaimana putusan MK di atas yang mengkualifikasikan delik pencemaran sebagai delik aduan, MK juga menentukan genus dari delik pencemaran terdapat dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Merujuk penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP). Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah). Dalam perkara Prita Mulyasari yang telah dibebaskan dari hukuman berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung terdapat kaedah hukum penting untuk mengkualifikasikan, apakah suatu pernyataan di dunia maya merupakan delik pencemaran atau hanya kritik yang dijamin konstitusi dan tidak dapat dipidana. Seperti diketahui, kasus Prita Mulyasari berawal dari tulisannya melalui surat elektronik atau email yang berisi tentang keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang, yang kemudian menyebar, dan berbuah gugatan perdata, dan pidana oleh pihak RS Omni Internasional. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia, selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu atas kehormatan atau reputasi. Dalam banyak kasus, Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam kebebasan berekspresi. Berdasarkan kaedah hukum di atas, apakah pernyataan MSD merupakan delik pencemaran atau merupakan kritik yang tidak dapat dipidana adalah tergantung bagaimana penegak hukum menempatkan antara reputasi dan hak asasi. Apabila reputasi didahulukan, maka hal itu merupakan delik. Sebaliknya apabila hak asasi diutamakan sebagaimana putusan PK MA, maka pernyataan MSD bukan delik dan tidak dapat dipidana.*** Penulis Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung
Perpu Corona Aneh, "Korupsi Dana Stimulus Tidak Boleh Dipidana"
Pasal 27 ayat (1) Perpu 01 tahun 2020 ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Kamis (02/04). Setelah terkesan main-main dalam menangani wabah Covid-19 selama sebulan, pemerintah akhirnya memberi stimulus Rp 405,1 triliun untuk memerangi wabah dan krisis ekonomi. Stimulus terdiri dari empta kelompok. Pertama, bidang kesehatan dapat Rp 75 triliun. Kedua, bidang kemanusiaan alias jaring pengaman sosial dapat Rp 110 triliun. Ketiga, insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat) dianggarkan Rp 70,1 triliun. Keempat, pemulihan ekonomi nasional diberikan Rp 150 triliun. Krisis ekonomi dan pemberian stimulus di Indonesia mempunyai catatan hitam. Selalu digunakan kesempatan untuk korupsi. Pertama, ketika krisis moneter dan ekonomi tahun 1998. Pemerintah, ketika itu diwakilkan Bank Indonesia (BI), memberi dana bantuan likuiditas (BLBI) Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Tetapi, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tepat sasaran hanya Rp 6,5 triliun. Sisanya, sekitar Rp 138 triliun menguap, diselewengkan dan dikorupsi. Banyak pelakunya yang sudah dihukum, tetapi banyak juga yang masih lolos dari hukuman. Karena dalam proses hukum, sering kali yang salah bisa jadi benar, sehingga lolos mereka. Kedua, krisis keuangan global tahun 2008. Bank Century pada awal Oktober 2008 mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah turun tangan memberi pinjaman dan suntikan likuiditas hingga Rp 6,7 triliun, yang kemudian ternyata bermasalah. Proses hukum berjalan hanya untuk beberapa orang saja. Yang lain sepertinya kebal hukum. Sampai sekarang, kasus ini tidak tuntas. Sisanya menguap. Melihat pengalaman di atas, masyarakat patut curiga krisis sekarang juga rentan untuk disalahgunakan. Apalagi Perpu No. 1 tahun 2020 tersebut seolah-olah sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana. Perlindungan ini tercantum di Pasal 27. Pasal 27 ayat (1) Perpu ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. Pasal 27 ini tidak pantas dan tidak layak ada di negara yang mengedepankan supremasi hukum. Negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum. Oleh karena itu, seharusnya ditolak. Karena, tidak mungkin semua biaya pengeluaran dari stimulus ini harus dianggap sah. Ini namanya aji mumpung. Pasal 27 ini jelas membuka peluang untuk pejabat negara melakukan perampokan keuangan negara. Perampokan itu melalui stimulus secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut. Seperti terbukti di dua krisis ekonmi sebelumnya tahun 1998 dan 2008. Misalnya, pengadaaan peraalatan kesehatan seperti masker, Alat Perlindungan Diri (APD), ventilator dan lainnya. Apakah biaya sebesar apapun harus diterima dan dianggap sah? Apakah proses pengadaannya boleh menyimpang dari proses normal? Kalau ternyata biayanya jauh lebih tingga dari harga normal, apakah juga dianggap sah? Kalau belinya hanya dari satu atau dua pemasok saja, apakah juga harus dianggap sah? Apakah tidak boleh diselidiki lebih lanjut tentang keungkinan ada kolusi dalam proses pengadaannya? Nilai “proyek” bidang kesehatan ini Rp 75 triliun, sangat besar, dan akan dilaksanakan secara cepat. Seluruh komponen bangsa seharusnya bersama-sama mengawasi agar stimulus yang besar ini benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia yang sedang tertimpa musibah Covid-19. BPK, DPR, Kepolisian, KPK serta semua komponen masyarakat seharusnya wajib turut mengawasi. Agar terjadi transparansi, hasil pengadaan barang harus diumumkan ke masyarakat. Berapa jumlah pembelian masker, APD, ventilator dan seterusnya? Beli dari siapa, dengan harga berapa? Dengan demikian, diharapkan tidak ada monopoli atau kartel yang bisa mengakibatkan terjadi kerugian negara. Semoga tidak ada penguasaan impor oleh sekelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dan juga, izin impor dan izin produksi barang-barang tersebut harus dibuat seterang-terangnya. Jangan usaha kecil disusahkan dan pengusaha besar dipermudah. Begitu juga dengan bantuan kepada masyarakat, baik pangan, non pangan, dan bantuan tunai. Semua harus dibuat transparan dan diumumkan secara rinci. Jumlah penerima bantuan per Provinsi, Kabupaten atau Kota dan desa. Setiap bantuan tersebut harus diketahui oleh perangkat desa sampai Provinsi. Bukan hanya oleh Kementerian terkait di pusat. Terakhir, stimulus untuk pemulihan ekonomi nasional. Anggarannya Rp 150 triliun. Belum jelas bagaimana pelaksanaannya. Sekilas, bantuan ini terkait dengan rencana penerbitan surat utang negara yang dinamakan recovery bond. Sedang diupayakan, bond ini bisa dibeli langsung oleh BI, yang menurut UU tentang BI saat ini, BI tidak boleh membeli bond secara langsung dari pemerintah. Oleh karena itu, untuk membuat BI membeli bond dari pemerintah ini mungkin atau legal, maka pemerintah harus mengeluarkan Perpu lagi, yang menghapus larangan tersebut. Hasil uang dari penerbitan surat utang recovery bond ini akan diberikan secara langsung kepada perusahaan, sebagai pinjaman dari pemerintah. Cara ini bisa bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya, pemerintah tidak boleh memberi pinjaman langsung kepada perusahaan swasta. Bantuan tersebut seharusnya melalui sektor keuangan. Kalau tidak, masyarakat bisa saja curiga bahwa bantuan stimulus hanya disalurkan kepada perusahaan dan pengusaha tertentu yang dekat dengan penguasa. Sekali lagi, demi transparansi, setiap bantuan kepada perusahaan harus diumumkan kepada public. Termasuk jumlah bantuan yang akan diberikan. Transparansi di atas sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Kemungkinan juga penyalahgunaan dana stimulus. Pasal 27 Perpu No 1 Tahun 2020 seyogyanya dihapus. Meskipun dihapus, diharapkan tidak ada yang terpidana korupsi karena transparansi di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)