Harapan Kepada Ketua Mahkamah Agung Terpilih M. Syarifuddin
By TM Luthfi Yazid
Jakarta FNN – Selasa (07/04). Di tengah keprihatinan pandemik Covid-19 atau corona virus yang belum memberikan kepastian kapan akan berakhir, Mahkamah Agung (MA) RI mengadakan sidang paripurna khusus untuk memilih ketuanya yang baru, menggantikan M Hatta Ali.
Setelah dilakukan pemilihan melalui voting oleh para hakim agung (dengan 47 kartu suara) dalam dua kali putaran. Terpilihlah Ketua Mahkamah Agung yang baru, yaitu Dr. H. M. Syarifuddin SH. MH. yang memperoleh 32 suara, meninggalkan pesaingnya Dr. H. Andi Samsan Nganro SH. MH. yang hanya mengantongi 14 suara.
Dalam pidato setelah terpilih sebagai Ketua MA dalam pemilihan yang berlangsung demokratis, M Syarifuddin, itu berjanji bahwa dunia peradilan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dunia peradilan esok harus lebih baik dari hari ini.
Syarifuddin juga berjanji bahwa kepemimpinannya bukan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan negara, namun juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Janji ini merupakan amanah dan tanggungjawab, sehingga karenanya harus diwujudkan.
Selamat kepada Dr. H. M. Syarifuddin. Beberapa tugas berat telah menunggu untuk disikapinya, sekaligus sebagai harapan publik kepada Ketua MA yang baru. Pertama, Ketua MA Syarifuddin harus melanjutkan reformasi dunia peradilan. Blue print reformasi dunia peradilan perlu diteruskan dan direalisasikan. Reformasi ini mencakup integritas personal para hakim maupun kelembagaan. Integritas personal hakim menyangkut integritas pribadi dan kapabilitas.
Soal integritas adalah persoalan yang sangat fundamental dalam pembaruan dunia peradilan. Sebab sesungguhnya norma-norma atau aturan hukum itu, kata Pitlo, hanyalah tumpukan benda-benda mati. Dan karenanya tergantung kepada hakimnya. Itu sebabnya yang utama dituntut dari seorang hakim adalah integritas. Setelah itu, baru kapabilitas.
Bukan kapabilitas dahulu, baru integritas. Karena itu seorang hakim dituntut bukan hanya memiliki kapabilitas membaca teks-teks hukum (legal text) dan menguasai teknik-teknik hukum, namun juga harus sanggup menggali jiwa keadilan (essence of justice).
Tentu saja tidak cukup syarat integritas dan kapabilitas. Melainkan harus ditambah dengan kearifan (wisdom). Seorang hakim yang memiliki integritas, kapabilitas dan wisdom inilah yang akan sanggup mendistribusikan keadilan sesuai amanat Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Hakim yang memiliki syarat lengkap seperti inilah yang sanggup menjaga independensinya terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun terhadap lembaga. Tujuannya, agar sang hakim meletakkan keadilan di atas dirinya. Dia harus bersandar hanya pada nilai keadilan dan kebenaran (truth and justice).
Kedua, Ketua MA yang baru Syarifuddin diharapkan memiliki kemampuan manajerial, termasuk meningkatkan kualitas para hakim yang jumlahnya sekitar 8.000 hakim di seluruh Indonesia, yakni bagaimana dapat melahirkan hakim-hakim yang bersih, jujur dan amanah.
Catatan gelap dunia peradilan di masa lalu, seperti pernah ditulis oleh Sabastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung) harus dikubur dan tak boleh terulang kembali. Termasuk di sini adalah bagaimana agar penumpukan perkara (backlog cases) dapat terus diminimalisasi.
Untuk itu penyelesaian perkara secara mediasi di pengadilan (court connected mediation) harus ditingkatkan keberhasilannya secara substantif. Selama ini upaya mediasi di pengadilan hanyalah sekedar pelengkap formalitas saja. Padahal di negara-negara maju keberhasilan mediasi di pengadilan prosentasenya sangat tinggi.
Ketiga, jika syarat pertama dan kedua di atas terpenuhi, maka yang akan tercipta adalah Justice Machinery System. Sistem pendistribusian keadilan yang berjalan secara otomatis. Inilah cara mendistribusikan pelayanan guna menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan sesuai mandat konstitusi Pasal 28 UUD 1945.
Keempat, Ketua MA Syarifuddin harus sanggup menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dengan tetap menjaga marwah dan independensinya sebagai lembaga utama tempat berlindung bagi para pencari keadilan (justice seeker). Pada titik inilah faktor kepemimpinan (leadership) menjadi sangat penting.
Kelima, Ketua MA Syarifuddin perlu melanjutkan kebijakan pendahulunya Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali terkait Organisasi Advokat. Bagaimana pun Organisasi Advokat adalah salah satu pilar penegakan hukum di dunia peradilan.
Dalam Refleksi Akhir Tahun, mantan Ketua MA Hatta Ali menyatakan bahwa MA tidak akan terlibat dan tidak akan berpihak kepada organisasi advokat yang ada. Hatta Ali tak akan mengintervensi soal kisruh wadah tunggal organisasi advokat. Ia menyatakan, biarkan pasar dan masyarakat pencari keadilan yang menentukan sendiri.
Kebijakan mantan Ketua MA M. Hatta Ali sudah tepat dan sudah sejalan dengan mandat konstitusi, UUD 1945. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana agar dibuat limited threshold of lawyers association, seperti parliamentary threshold dalam partai politik.
Organisasi Advokat yang tidak memenuhi threshold dan beberapa kualifikasi lainnya, maka harus didiskualifikasi. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya yang hanya membentuk single bar telah banyak menguras energi, dan dalam sejarah terbukti telah mengalami kegagalan.
Penulis adalah Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia