Serunya Operasi KPK Kasus Romy, Anti Klimaxnya di Pengadilan.
By Dr. Maiyasyak Johan
Jakarta FNN – Jum’at (01/05). Seorang teman Presiden ditangkap KPK di Jawa timur. Sebut saja mantan Ketua Umum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy. Biasa dipanggil dengan sebutan Rommy. Bagi orang Indonesia, berita ini bagaimana pun masih dianggap luar biasa. Apalagi ternyata yang ditangkap itu seorang Ketua Umum Partai pendukung penguasa.
Diketahui, bahwa kasus mantan Ketua umum PPP yang ditangkap itu, tidak ada kaitannya dengan Presiden. Namun pengaitan itu tidak lebih hanya pandangan masyarakat yang melihat bahwa selama ini bila teman penguasa tertentu saja susah ditangkap, apalagi teman Presiden. Tentu agak mustahil bisa ditangkap. Begitulah opini umum masyarakat kebanyakan.
Berdasarkan data, pernah ada yang dekat dengan Presiden ditangkap KPK. Apa yang terjadi kemudian? KPK-nya menjadi bulan-bulanan. Semua borok orang-orang KPK dibuka. Akibatnya KPK pun menjadi sempoyongan. Dengan kata lain, ternyata KPK juga tak bersih-bersih amat.
Karena itu, tidak heran bila sampai ada temen Presiden, yang Ketua Umum Partai sampai ditangkap. Apalagi dengan tuduhan korupsi. Sangat memalukan sekali. Alibinya sangat klasik, yakni memanfaatkan pengaruh untuk melakukan jual-beli jabatan. Tetapi walaupun kecil dan klasik, itu adalah pintu masuk.
Untuk itu, patut diduga atau cukup masuk akal bila ada motif politik dari orang yang berusaha untuk menyingkirkan Romy. Yang punya motif ini telah mempelajari kebiasaan Romy sejak lama, sehingga niat kelompok orang ini untuk menyingkirkannya menjadi terbuka luas.
Operasi untuk penyingkiran Romy bisa terjadi, karena ada pintunya yang sudah terbuka lebar. Semua itu bisa terjadi, mungkin karena yang di sekitar Presiden suah ada yang mulai gerak dengan sepak-terjang Romy. Demikian juga di internal partai. Bahkan bisa jadi juga gang kecilnya pun melihat Romy sudah terlalu liar. Dianggap bisa mengganggu peluang anggota gang yang lain.
Mereka yang di sekeliling menganggap, akan lebih baik bila Romy. Logika ini dalam berbagai novel bisa dijalankan ketika di sekitar dikuasaan ada orang atau kelompok yg meriang atas kedekatan Rommy dengan sang Presiden. Lalu kerjasama dua kelompok itu pun terjadi. Maka tersingkirlah Romy.
Semua itu bisa terjadi karena memang kelakuan Romy ternyata memang masih suka untuk ngerampok yang kecil-kecil. Tetapi ada yang bilang itu hukum karma. Karena dia mengkhianati Ketua Umum PPP sebelumnya Surya Darmay Ali, yang telah membesarkannya. Benarkah demikian? Tak ada yang tau. Sebab itu cuma bisik-bisik saja. Kita juga tak tahu, setelah ini siapa yang akan tertulah berikutnya.
Berikutnya, persekongkolan teman satu gang dengan orang luar gang dalam kekuasaan pun berjalan . Romy masuk penjara. Lalu teman seiring yang dulu satu gang pun menggantikannya. Kawan Presiden tadi, dan seorang temannya yang menjadi menteri agama akhirnya tersingkir.
Teman Rommy yang naik menggantikannya menjadi Ketua Umm PPP. Lalu naik lagi menjadi menteri. Cukup beruntung. Karena oleh KPK cuma diperiksa. Tidak dijadikan sebagai tersangka sekalipun ruang kerjanya sempat dibeslah. Dalam laci meja kerjanya ditemukan tumpukan uang dalam jumlah banyak. Begitu seperti yang diberitakan oleh media massa.
Mereka adalah anggota gang yang sama. Meraka juga sama-sama memanipulasi keadaan di dalam Partai. Sehingga meraka berhasil menghancurkan partai tersebut dari dalam. Banyak yang berduka, tetapi banyak yang tidak mengerti atau menerima kehancuran akhlak di sana.
Semuanya bermula dari muktamar PPP di Ancol. Terus melalui serangkaian pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip perjuangan partai, terjadi perpecahan. Juga tragedi kekerasan dari pengurus partai, seperti main ancam kepada pengurus di bawah dan merekayasa susunan pengurus.
Peristiwa itu menjadikan PPP dikuasai oleh politisi Orde Baru, dan pengkhianat baru. Itu yang akhirnya yang membuat PPP menjadi juara memasukkan pejabat partainya ke penjara. Setidaknya pada tingkat pusat, sudah dua Ketua Umum PPP yang menjadi pasien lembaga pemasyarakatan sebagai narapidana korupsi. Sedangkan di daerah tidak usah disebut, karena malu.
Yang mengherankan, bagaimana bisa mereka kok sama-sama kelakuannya dengan partai-partai sekuler? Dari dua Ketua Umum PPP yang telah menjadi pasien KPK, kedua-duanya merupakan kawan dari Presiden. Hanya saja dengan periode yang berbeda. Sungguh miris sekali.
Bukan cuma miris atas apa yang dialami oleh PPP. Partai ini kemudian terpecah, dan menjadi kerdil. Aktor yangg mengkerdilkannya sukses menjadi pejabat serta menempati posisi tanpa sedikit pun pernah bicara tentang umat dan nilai-nilai perjuangan partai.
Selian itu, miris juga melihat KPK dan Pengadilan dalam proses penegakan hukumnya yang terkesan sangat jauh dari spirit politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi. Bisa dikatakan “ada korupsi dalam pemberantasan korupsi”. Sungguh, ini sangat luar biasa miris.
Luar biasanya kasus ini bisa dilihat dari proses penangkapan yang dilakukan KPK. Kejadiannya sangat menegangkan. Ada adengan kejar-kejaran, pertengkaran, adu mulut. Sementara kameraman dan blizt terus menyala. Kita juga tak tahu siapa mereka, apakah mereka itu jurnalis? Kalau iya, dari media mana? Atau mereka petugas KPK? Bila mereka dari media, bagaimana media bisa tahu dan ada di sana?
Setelah kejar-kejaran sejenak, akhirnya terlihat petugas KPK berhasil membekuknya. Kabarnya, sempat terjadai adu mulut, tetapi itu tidak berlangsung lama. Seperti biasa, media mainstream, baik TV, cetak serta online secara nasional terus-menerus menyiarkan beritanya. Heboh dimana-mana.
Sejumlah tempat, mulai dari kantor partai, termasuk kantor kementerian, rumah dan berbagai tempat digeledah petugas KPK. Sejumlah dokumen dan uang berhasil disita petugas KPK. Sejumlah nama kemudian mulai masuk daftar untuk diperiksa oleh penyidik KPK.
Anehnya, ada sejumlah nama yang muncul, termasuk yang di meja kerjanya petugas KPK menemukan tumpukan uang, belum juga ada kelanjutannya sampai sekarang. Padahal pemberi uangnya sudah ditahan. Ketika itu publik yakini pasti diadili, namun sampai sekarang tidak ada kabar beritanya dari KPK. Padahal tanpa dukungan keputusan KPK, mustahil peristiwa hukum yang dituduhkan bisa terjadi. Ini memang keanehan yang luar biasa, dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Ternyata antara kehebohan dan keanehan di proses penangkapan dan penyidikan, berlanjut ke proses peradilan dan pemberian putusan di tingkat banding. Kita tidak bisa memahami logika pengadilan tinggi dari substansi kasusnya. Padahal aktor yang melakukannya, jelas merupakan pidana korupsi yang serius.
Dampak korupsi yang sangat serius itu berupa rusaknya birokrasi, khususnya sistem karir dan promosi jabatan pada sebuah departemen atau kementerian. Sehingga keputuskan untuk menjatuhkan hukuman satu tahun itu melukai rasa keadilan. Juga menghancurkan kredibilitas peradilan. Bahkan mungkin cukup alasan hukum untuk menduga ada penyalahgunaan atas kebebasan subtantif hakim dalam putusan itu.
Semakin menjadi jelas, bila hukuman atas dua mantan Ketua Umum PPP yang berurusan dengan KPK itu bosa kita bandingkan. Dan jelas sangat berbeda. Walau kasusnya tidak sama. Tetapi yang ingin kita katakan bahwa kasusu itu ada dalam dua periode penguasa yang berbeda.
Yang tidak kalah menarik adalah, apa yang dibuktikan, dan tidak ditariknya mereka yang bersekongkol untuk diproses hukum. Yang seperti ini sama, baik Ketum Pertama maupun yang Kedua. Ada yang masih lolos, dan belum ditarik KPK sebagai tersangka. Ini kebiasaan KPK yang sangat menarik utk dikaji.
Kembali pada keanehan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Keanehan-keanehan putusan tersebut secara substansial dan juridis terlihat dari beberapa aspek. Pertama, putusan itu tidak sedikit pun mempertimbangkan nilai dan spirit politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi. Apalagi bila dilihat dari kasus Ketum Pertama.
Kedua, putusan itu tidak memiliki nilai yang membuat terhukum jera.Juga sangat tidak mendidik, sehingga jauh dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Ketiga, putusan tersebut membuat kredibilitas pengadilan menjadi semakin rendah. Juga menjadikan reformasi badan peradilan terlihat cuma sebagai live service semata.
Keempat, bila pengadilan tidak yakin bahwa terdakwa atau terpidana bersalah, mengapa tidak diputuskan bebas saja? Menyatakan bahwa dakwaan dan tuntutan penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakin? Jika pertimbangan hukumnya masih berpegang pada “terdakwa terbukti bersalah sabagaimana tersebut dalam surat dakwaan dan tuntutan”, maka sungguh putusan itu merupakan ironi dan lelucon yang sangat merendahkan lembaga peradilan.
Kelima, putusan itu merupakan anti klimaks yang membuka pintu utk mendesak dilakukannya audit atas semua putusan Pengadilan Tipikor yang diluar kepatutan dan rasa keadilan publik.
Sebagai penutup, perlu kami ingatkan kepada semua anak bangsa bahwa, hancurnya suatu bangsa bermula dari tidak tegaknya hukum dan keadilan. Karena itu siapa pun yang mempermainkan hukum, mereka adalah orang-orang yang menghancurkan bangsa dan negara.
Penulis adalah Advokat dan Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI