HUKUM
Rompi Oranye Menanti Enggartisto Lukita?
Oleh Dimas Huda Wartawan Senior Jakarta, FNN - Enggartiasto Lukita seakan memamerkan kedigdayaannya. Menteri Perdagangan ini sudah tiga kali mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Panggilan terakhir 18 Juli lalu. KPK seakan tidak berdaya. Namun belakangan beredar kabar Enggar akan dirompioranyekan KPK sebelum 17 Agustus 2019. Maknanya, pada saat para narapidana mendapatkan keringanan hukuman, KPK justru mengalungkan status tersangka kepada kader Partai Nasdem itu. Kabar yang konon dihembuskan orang dalam KPK itu bisa jadi hanya sekadar rumor. Namun, sejumlah wartawan yang mendapat bisikan itu sudah gatal ingin menurunkan berita soal itu. “Tunggu tanggal mainnya,” ujar sumber itu, mewanti-wanti untuk tidak menurunkan kabar tersebut terlebih dahulu. Akhirnya, kabar itu pun hanya jadi pembicaraan terbatas saja. Enggar dipanggil KPK sebanyak tiga kali untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap Bowo Sidik Pangarso. Panggilan pertama dilakukan pada 2 Juli 2019. Namun, ia tidak hadir dengan alasan sedang di luar negeri. Ia kembali dipanggil pada 8 Juli 2019 dan kembali tidak hadir dengan alasan menjalankan tugas lain. Nah, yang terakhir 18 Juli lalu. KPK jelas gemas dengan sikap Enggar itu. Sebab, semestinya, sebagai pejabat publik Enggar dapat memberikan contoh kepatuhan terhadap hukum. "Perlu diingat, kehadiran sebagai saksi adalah kewajiban hukum, sehingga semestinya ini menjadi prioritas," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, 18 Juli lalu. Dalam perkara ini, KPK menetapkan Bowo Sidik Pangarso menjadi tersangka penerima suap dari bagian pemasaran PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti. KPK menyangka Bowo menerima Rp2,5 miliar untuk membantu perusahaan kapal itu memperoleh kontrak kerja sama pengangkutan pupuk milik PT Pupuk Indonesia. Dalam proses penyidikan kasus itu, KPK turut menyita Rp6,5 miliar dari kantor perusahaan Bowo, PT Inersia di Pejaten, Jakarta Selatan. Uang tersebut disita dalam 400 ribu amplop yang disiapkan Bowo untuk serangan fajar pada Pemilu 2019. KPK menduga uang tersebut berasal dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jabatan Bowo sebagai anggota DPR Komisi IV. Kepada penyidik, Bowo mengatakan salah satu sumber uang itu berasal dari Enggartiasto. Enggar diduga memberikan Rp2 miliar dalam bentuk Dolar Singapura melalui utusannya pada pertengahan 2017. Bowo mengatakan Enggar memberikan uang untuk mengamankan Permendag Gula Rafinasi yang berlaku pada Juni 2017. Saat itu, Bowo merupakan salah satu pimpinan Komisi VI yang bermitra dengan Kemendag. Enggar sendiri membantah telah memberikan uang kepada politikus Partai Golkar tersebut. “Apa urusannya kasih duit? Saya yakin enggak ada, dia dari Golkar saya dari NasDem,” kata Enggar di Istana Negara, Jakarta, Senin, 29 April 2019. Bantahan Enggar kepada pers itu jelas tidak penting bagi KPK. Ia harus menyampaikan bantahan pada saat diperiksa penyidik. Tapi gaya Enggar malah mirip terpidana kasus KTP Elektronik, Setya Novanto: menghindari panggilan KPK. Setnov, saat mangkir panggilan KPK juga sebagai saksi. Akhirnya, KPK menetapkan Ketua DPR itu sebagai tersangka. Pengadilan memutus dia bersalah, lalu diinapkan di LP Sukamiskin, Bandung sampai sekarang. Impor Bawang Putih Nama Enggar kembali mengundang perhatian lagi, ketika KPK menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin impor bawang putih yang melibatkan anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Dhamantra, Kamis (8/8) kemarin. Urusan impor bawang putih adalah urusan kementerian perdagangan. Nah, itu maknanya terkait juga Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Hanya saja, sepertti yang sudah-sudah Enggar mengaku tak tahu menahu. "Saya enggak tahu, belum tahu” katanya, Jumat (9/8). Enggar mengatakan, proses perizinan impor semestinya menjadi kewenangan pihaknya di Kemendag. Tiap proses perizinan itu akan diajukan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. KPK mengungkap, suap itu diduga untuk memuluskan kuota impor sebanyak 20 ribu ton bawang putih dengan nilai fee untuk tiap kilogram sebesar Rp1.700 hingga Rp1.800. Dua tersangka di antaranya diduga bekerja sama untuk mengurus izin tersebut. Kasus terbaru itu, menghidangkan menu ke publik bahwa impor pangan lekat dengan mafia dan pejabat pemburu rente. Terlepas dari sanggahan Enggar itu, jauh sebelum kasus Bowo maupun Nyoman terbongkar, sejumlah ekonom sudah menanamkan kecurigaan terhadap tokoh yang saat lahir bernama Loe Joe Eng ini. Soalnya, kader Partai Golkar yang kini bernaung di bawah Partai Nasdem ini gemar membuka keran impor pangan, bahkan ketika panen tiba. Ekonom yang secara blak-blakan mengkritisi Enggar adalah Rizal Ramli. Ia menyebut Enggar sebagai raja impor. Bahkan eks Menko Maritim ini menyebut Jokowi tidak berani memecat Enggar. "Pola pikir ribet. Wong tinggal pecat Mendag yang raja impor. Itu saja nggak berani. Kok malah mau nambah keribetan baru. Walah, piye toh," kicau Rizal Ramli, suatu ketika, saat menanggapi wacana Jokowi yang akan membentuk menteri baru bidang investasi dan ekspor. Rizal juga pernah melaporkan Enggar ke KPK dengan dugaan korupsi impor pangan. Setidaknya ada 8 dugaan skandal yang disampaikan Rizal. "Oknum pejabatnya kecanduan impor, istilahnya import addictive. Doyan banget, kenapa? Karena tiap kali impor ada rentenya, ada keuntungan yang besar yang dinikmati importir dan oknum pejabat," tuduhnya. Pada era kepemimpinan Enggar, Kementerian Perdagangan cukup banyak mengeluarkan izin impor. Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai impor semester pertama 2018, misalnya, mencapai US$89,05 miliar atau meningkat 23,15% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. "Kita harap di era Jokowi ini dilibaslah, orang-orang yang membuat gerak ekonomi lamban," ujar ekonom Faisal Basri mengarahkan telunjuknya ke tiga nama menteri, salah satunya Enggar. Ia menganggap orang-orang ini sebagai lemak di dalam tubuh yang membuat gerak seseorang menjadi lamban. Dua menteri lainnya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri BUMN, Rini Soemarno Pemilik Banyak Perusahaan Pria yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 1951 ini terlahir sebagai Loe Joe Eng. Ia alumnus IKIP Bandung. Sudah sejak tahun 90-an malang melintang di dunia properti. Ia tercatat pernah memimpin beberapa organisasi berinduk nasional antara lain Real Estate Indonesia (REI). Enggar pemilik banyak perusahaan. Ia adalah Komisaris Utama PT Unicora Agung, Dirut PT Kartika Karisma Indah, Dirut PT Kemang Pratama, Dirut PT Bangun Tjipta Pratama, dan Direktur PT Supradinakarya Multijaya (1994-2004). Di Partai Golkar, Enggar mengawali debutnya sebagai Wakil Bendahara Umum. Melalui partai ini pula dia terpilih sebagai anggota DPR RI untuk dua periode, 1997-1999 dan 2004-2009. Namun sejak tahun 2013, ia hengkang dari Beringin dan masuk Partai Nasdem. Di partai ini, Enggar dipercaya menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri. Pada Pemilu 2014, Enggar kembali terpilih sebagai anggota DPR RI. Melalui Partai Nasdem itulah Enggar ditunjuk menjadi Menteri Perdagangan. Benarkan di kantor kemendag, Jalan Ridwan Rais Jakarta, ini akan menjadi akhir karier Enggar di dunia politik? Tunggu saja pada detik-detik 17 Agustus 2019 atau setidak-tidaknya pada hari-hari sekitar itu.
Kalau Dipimpin Bandit, KPK Akan Menjadi Komisi Pelindung Koruptor
Bersiap-siaplah melihat KPK akan berubah menjadi Komisi Pemerasan dan Kongkalikong. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Proses pemilihan capim (calon pimpinan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini mendekati tahap akhir. Panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK beberapa hari lalu mengumumkan 40 orang yang lulus tes psikologi. Hasil tes ini dikritik keras oleh LSM antikorupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW). ICW merasa tak puas. Tampaknya, mereka bisa melihat tanda bahaya pada komposisi 40 orang yang lulus itu. Ada indikasi KPK hendak digiring agar dipimpin oleh orang-orang yang ditengarai akan melindungi para koruptor tertentu. Anehnya, anggota pansel, Hendardi (dari LSM Setara Institute), pasang badan. Dia balik mencela ICW. Dikatakannya, ICW nyinyir dan tidak bisa mengatasnamakan publik. Padahal, Hendardi paham bahwa ICW adalah LSM yang sudah dikenal lama dan memiliki integritas untuk berbicara tentang korupsi. ICW banyak tahu tentang korupsi. ICW juga mengerti kesulitan yang dihadapi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena itu, ICW tidak bisa dianggap memiliki kepentingan pribadi (vested interest) dalam proses pemilihan pimpinan KPK. Hendardi sangat tendensius ketika mengatakan ICW punya kepentingan pribadi. Hendardi menjadi sangat aneh. Ketika ICW mengutarakan ketidakpuasan publik terhadap ke-40 orang yang lulus tes psikologi, Hendardi menanggapinya dengan gaya yang mencurigakan. “Pansel bukan alat pemuas ICW,” ujar Hendardi. Sangat pantas banyak yang curiga terhadap bahasa Hendardi itu. Seolah dia sedang membawa misi tersendiri di pansel capim KPK. Sangat patut diduga Hendardi punya misi untuk mengantarkan orang-orang tertentu sampai ke kursi pimpinan KPK. Kali ini, entah mengapa, banyak orang kuat yang mengincar posisi komisioner di KPK. Kelihatannya, ada pihak yang sedang bekerja keras untuk menggiring agar pimpinan KPK jatuh ke tangan mereka. Ketara sekali. Mudah dibaca apa yang sedang terjadi. Tetapi, kalau para bandit itu berhasil merebut KPK, hampir pasti badan antikorupsi ini akan hancur berantakan. Akan menjadi alat pemerasan. Akan dijadikan alat untuk mencari duit besar. Bersiap-siaplah melihat KPK akan berubah menjadi Komisi Pemerasan dan Kongkalikong (KPK). Selain itu, KPK di tangan para bandit akan menjadi alat untuk melindungi berbagai kejahatan korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, dan pencoleng kekayaan negara. KPK akan menjadi pelindung koruptor. Akan menjadi Komisi Pelindung Koruptor (KPK). Karena itu, seluruh rakyat harus terus-menerus memantau manuver para bandit yang pasti akan melakukan segala cara agar pimpinan KPK bisa mereka rebut. Upaya mereka untuk mencaplok KPK harus dilawan oleh semua kekuatan publik. Termasuk para anggota DPR garis lurus dan ormas-ormas yang ‘genuine’ antikorupsi. Jangan biarkan KPK dijadikan alat untuk memeras para terduga atau tersangka koruptor. Atau sebaliknya menjadi alat untuk menghambat penyelidikan korupsi oleh orang-orang tertentu. Pansel capim KPK kali ini, pantas dipertanyakan. Banyak keanehan yang terjadi dalam seleksi administrasi. Sebagai contoh, mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, dinyatakan tidak lulus seleksi admin. Tak bisa dimengerti apa kekurangan Pak Pigai. Semua orang tahu ‘track record’ (rekam jejak) beliau. Publik tahu integritas Pigai. Bolak-balik dia menolak tawaran jabatan publik supaya dia tidak ribut. Pigai adalah orang yang tidak pernah berkompromi dengan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Ini mungkin kelemahan beliau. Saya pribadi mengenal sejumlah pengacara dengan reputasi, kapasitas dan integritas tinggi yang tak lulus seleksi. Sangat mengherankan. Tapi, bisa juga tak mengherankan kalau para anggota panselnya berkepribadian seperti Hendardi. Tak terbayangkan bagaimana jadinya KPK periode mendatang. Semoga saja masih ada waktu untuk mencegah konspirasi kekuatan jahat yang ingin merebut pimpinan KPK. (*)
Gara-gara Blackout, Korupsi Anggaran PLN Terkuak?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Indikasi adanya dugaan “sabotase” menyusul blackout total yang terjadi pada Minggu-Senin, 4-5 Agustus 2019 tampaknya sulit dibantah. Meski Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Polisi Dedi Prasetyo menyebut pohon sengon penyebabnya. Apalagi, Polri sudah membentuk tim yang dipimpin oleh Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Polisi Fadil Imran. Tim anggotanya kurang lebih ada 30 orang terdiri dari Dirtipidter, kemudian Direktorat Siber (Ditsiber). Menurut Dedi, penyidik Ditsiber dilibatkan lantaran punya cukup wawasan dan pengalaman dalam kasus mati listrik di Eropa. Kala itu, blackout di sana terjadi karena adanya serangan siber (cyber attack). “Sehingga nanti pada tahapan akhir, tim bekerja bisa menemukan apa yang menjadi faktor penyebab utama terjadinya blackout,” tutur Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, seperti dilansir Liputan6.com, Rabu (7/8/2019). Menurut Brigjen Dedi Prasetyo, Polri juga akan menggandeng para ahli dari berbagai pihak. Seperti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian ESDM, dan ahli dari luar negeri. Tim nantinya bekerja secara komperhensif bersama. Mulai dari investigasi permasalahan di hulu sampai dengan hilir, hingga ada atau tidaknya pelanggaran hukum pidana atau pun administrasi. “Tim akan menyampaikan, kalau misal ada hal dari penyelidikan bisa ditingkatkan ke level penyidikan, maka dinaikkan,” tegas Dedi. Tim ini bekerja berdasarkan surat perintah (sprin) Kabareskrim Komjen Polisi Idham Azis. Tidak ada batas waktu untuk dalam melakukan investigasi kasus mati listrik massal tersebut. Keseriusan Polri mengusut blackout total ini jelas mengindikasikan bahwa pemadaman total aliran listrik itu bukan semata karena pohon sengon. Redaksional pemberitahuan adanya pemadaman aliran listrik akibat gangguan pada sejumlah pembangkit Gas Turbin 1-6 Suralaya di Jawa yang dirilis Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN I Made Suprateka, patut disimak! Sementara Gas Turbin 7 saat ini dalam posisi mati (off). Selain itu Pembangkit Listrik Tenaga Gas Turbin Cilegon juga mengalami gangguan atau trip. Gangguan ini mengakibatkan aliran listrik di Jabodetabek mengalami pemadaman. Di Jabar, gangguan pada Transmisi SUTET 500 kV mengakibatkan padamnya sejumlah area seperti Bandung, Bekasi, Cianjur, Cimahi, Cirebon, Garut, Karawang, Purwakarta, Majalaya, Sumedang, Tasikmalaya, Depok, Gunung Putri, Sukabumi, dan Bogor. Pemadaman terjadi karena ada gangguan sirkuit pada pukul 11.48 WIB di Ungaran, dua line terjadi gangguan. Diduga, matinya listrik secara serentak dan massif di berbagai kota adalah dengan tujuan sabotase, mengingat waktunya yang nyaris bersamaan. Apalagi, pihak PLN menyebut terjadi kerusakan sekaligus pada 3 infrastruktur listrik yang 3 lokasinya berbeda: PLTU Suralaya (Banten 1), Transmisi/Jaringan Sutet, dan PLTU Paiton Pacitan. Sehingga mengakibatkan terjadi penurunan suplai listrik. Namun, anehnya, sarana Objek Vital (OBVITAL) juga terkena dampak pemadaman itu. Plt Direktur Utama PT PLN (Persero) Sripeni Inten Cahyani di depan Presiden Joko Widodo menjelaskan, pertama terjadi gangguan pada pukul 11.48 WIB di Ungaran. Dalam waktu yang bersamaan, terjadi pula pemadaman pada sirkuit yang lainnya. Ini yang menyebabkan mulai muncul jawaban dari pertanyaan: Listrik PLN mendadak padam sampai kawasan Ring 1 dan Obvital yang tidak pernah/tidak boleh kena pemadaman listrik. Telekomunikasi dan transportasi berbasis listrik seperti MRT dan KRL jadi lumpuh. Ada apa gerangan? PLTU Paiton, PLTU Suralaya, dan GSW (transmisi) tiba-tiba rusak serentak pada waktu yang sama. Catat, ini pemadaman, bukan padam karena gangguan teknis! Sabotase Politik? Meski sebelumnya dibantah pihak PLN, namun dugaan adanya “sabotase” bermuatan politik sulit dihindari. Mulai muncul desakan kepada Presiden Jokowi supaya segera menunjuk dan menetapkan Dirut PLN definitif. Adalah Alex Janangkih Sinaga, mantan Dirut PT Telkom, yang sebelumnya sempat disebut-sebut sebagai calon kuat Dirut PLN pengganti Sofyan Ba’asyir yang menjadi tersangka KPK. Konon, Alex ini “orangnya” Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Info liar beredar. Blackout total ini terkait dengan tekanan terhadap Presiden Jokowi supaya segera menetapkan Alex sebagai Dirut PLN definitif untuk menggantikan Sripeni dari jabatan Pelaksana Tugas Dirut PLN. Jadi, rasanya tidak berlebihan kalau ada kecurigaan bahwa blackout total itu adalah sabotase bermotif politik. Jika tak ada unsur sabotase tentunya PLN tidak perlu mengundang Profesor dari 7 PTN di Jawa dan Bali untuk membantu investigasi. Adalah langkah tepat, PLN telah membentuk Tim Independen Investigasi PLN khusus untuk menemukan fakta di balik kerusakan serentak PLTU Paiton Pacitan, PLTU Suralaya, dan GWS. Para pakar dari 7 PTN itulah yang diharapkan bisa menjawabnya. Setidaknya, paling lama seminggu dapat dipastikan ketemu penyebab sesungguhnya. Terus, paling lama sebulan ketemu oknum pelaku dan dalang sabotasenya. Tim Investigasi PLN ini bisa bertanya: Mengapa bisa terjadi kerusakan serentak di 3 titik berbeda? Mengapa bisa sampai blackout total? Mengapa tidak ada back up suplai untuk Obvital? Siapa PIC yang bertugas pada ketiga titip dan suplai Obvital itu? Mengapa sampai telekomunikasi ikut lumpuh. Mengapa pula pohon sengon jadi “tertuduh”? Siapa tahu dari “kriminalisasi” sengon itu bisa membuka tabir korupsi tiang (tower) SUTET yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apakah tinggi tower 40 m seperti yang di SUTET Ungaran itu sudah benar. Faktanya, tinggi tiang SUTET itu 40 m. Tapi bentangannya menggelayut dengan tinggi 18 m. Tinggi sengon itu sekitar 15 m. Jelas, ini sudah mencapai medan magnet SUTET. Mengapa tidak dipangkas hingga mencapai “jarak aman”? Itulah. Mengapa tidak boleh adanya pohon dekat SUTET (Saluran Utama Tegangan Ekstra Tinggi). Jangankan sampai nyenggol. Memasuki medan magnetnya pun sudah mengganggu. Bisa korsleting. Yang mengakibatkan arus listrik terhenti. Sudah tidak adakah anggaran pemeliharaan jaringan SUTET lagi? Siapa yang bertanggung-jawab jika terjadi blackout seperti ini? Di sinilah mengapa perlu dibentuk Tim Independen Investigasi PLN yang melibatkan pakar dari 7 PTN tersebut. Dahlan Iskan, mantan Meneg BUMN dan Dirut PLN, bertanya, mengapa sengon dibiarkan tumbuh tinggi di situ? Mengapa tidak ada yang tahu?Apakah tidak ada lagi anggaran untuk patroli pohon? Mengapa ada kebijakan anggaran ini – bahwa biaya operasi dan pemeliharaan harus di bawah anggaran SDM? Mengapa SUTET itu begitu rapuh? Hanya kesenggol satu pohon saja sudah pingsan?” tulis Dahlan Iskan di Pepnews.com. Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN I Made Suprateka sempat memastikan pohon sengon yang menjadi penyebab mati listrik berjam-jam itu. Meski pada akhirnya, penyebab ini dibantah sendiri oleh pihak PLN. “Faktanya adalah terjadi di Ungaran (Jawa Tengah), itu SUTET 500 kilovolt (kV) itu ada berdekatan dengan pohon. Pohon ini mencapai ketinggian 9 meter. Nah, ini menyebabkan adanya hubungan singkat,” ungkap Made Suprateka. “Ada kebakaran di sana, tidak besar, kecil, namun membuat jaringan rusak fatal,” ungkapnya saat ditemui di Kantor PLN Pusat, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2019). Ironis, lumpuhnya jaringan telekomunikasi mengikuti blackout adalah tidak logis. Karena, setiap BTS itu wajib punya Genset sebagai sumber listrik cadangan. Kelumpuhan jaringam Telkom kemarin bagian dari penciptaan tekanan terhadap Presiden Jokowi terkait Dirut PLN. Inilah yang dimaksud “sabotase bermotif politik” tadi. Perlu dicatat, di setiap PLTU biasanya tertulis PLTU Blablabla kapasitas 2 x 100 MW, dan seterusnya, selalu pakai “2 x ... MW”. Hal itu maksudnya, setiap pembangkit punya 2 turbin penghasil listrik yang beroperasi secara bergantian. Ini untuk menghindari terputusnya suplai listrik. Terputusnya/berkurangnya pasokan listrik karena kerusakan PLTU artinya kedua turbin mengalami kerusakan serentak. Hal ini jarang terjadi karena turbin yang sedang tidak beroperasi selalu dalam perawatan. Lebih aneh lagi jika kedua PLTU rusak serentak berarti sama dengan 4 turbin janjian rusak, seperti blackout total kemarin itu. Apalagi, semakin aneh jika GSW Sutet disebut-sebut juga ikut mengalami kerusakan. Semakin aneh ketika pasokan dari Pembangkit cadangan tidak dioperasikan. Padahal, banyak PLTD yang siap beroperasi untuk pasok listrik pengganti. Mengapa PLTD tak dioperasikan? Inilah mengapa kecurigaan adanya “sabotase” mencuat! ***
Kader Nasdem Ingatkan Enggartiasto Lukita Hormati Panggilan KPK
Jakarta, FNN - Politisi Partai Nasdem Kisman Latumakulita mengingatkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita agar menghormati panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab dengan memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa penyidik adalah kewajiban hukum setiap warga negara. Sekaligus juga merupakan bentuk penghormatan kepada penegakan hukum di tanah air. “Sebagai seorang menteri, Enggar sebaiknya jangan banyak berkilah. Menghindar dari panggilan KPK itu perbuatan sangat tidak terpuji. Tidak perlu pula membuat alasan sana-sini untuk menghindar dari panggilan KPK. Sebab itu merupakan contoh buruk dari seorang pejabat tinggi negara terhadap penegakan hukum di tanah air, “ ujar Kisman kepada wartawan di Jakarta, Kamis (02/08) Ditambahkan Kisman, seorang pejabat tinggi negara setingkat menteri seperti Enggar wajib taat dan menghormati lembaga penegak hukum. Jangan cari-cari alasan untuk menghindar dari penggilan penyidik KPK. Enggar datang saja dan jelaskan kepada penyidik KPK apa saja yang diketahui tentang permasalahan hukum yang sedang dijalani politisi Golkar Bowo Sidik Pangarso. Sampai sekarang, tercatat lembaga anti rasuah tersebut sudah tiga kali memanggil Enggar untuk diperiksa sebagai saksi. Namun sudah tiga kali pula Enggar mangkir dari penggilan penyidik KPK. Berbagai alasan pembenaran dibuat Enggar untuk tidak memenuhi panggilan KPK. Sebenarnya KPK bisa saja melakukan upapa hukum memaksa untuk menghadirkan Enggar. Sebab upaya hukum memaksa itu dibenarkan oleh sistem hukum acara yang berlaku. Namun KPK tampaknya masih memberikan kesempatan terakhir bagi Enggar untuk memperlihatkan niat baiknya. KPK tentu berharap Enggar menghormati proses hukum yang sedang dilakukan KPK. “Kesibukan sebagai Menteri Perdagangan hendakanya tidak dijadikan alasan pembenaran oleh Enggar untuk mangkir dari panggilan KPK. Datang dan jelaskan kepada penyidik KPK bahwa anda tidak bersalah. Kalau Enggar merasa tidak bersalah, ayo hadapi dan tantang itu penyidik KPK. Katakan kepada penyidik “saya tidak bersalah”. Buktinya ini bla bla dan bla, “ kata Kisman. Menurut Kisman, kalau Enggar tidak berani memenuhi panggilan penyidik KPK, bisa menimbulkan penafsiran publik yang bermacam-macam. Publik bisa saja menduga, jangan-jangan Enggar memang benar-benar bersalah, sehingga takut diperiksa KPK. Kalau memang Enggar merasa tidak bersalah, mengapa tidak berani datang ke KPK untuk diperiksa? Sebagai kader dan petinggi Partai Nasdem, Enggar seharusnya bersikap kesatria saja. Lain halnya kalau Enggar lagi sakit atau sedang dirawat di rumah sakit. Kalau tidak sedang sakit, dan sengaja mengabaikan panggilan KPK, hanya dengan alasan kesibukan sebagai Menteri Perdagangan, tentu menjadi preseden dan contoh sangat buruk bagi kader muda Partai Nasdem. Partai Nasdem mengusung gagasan besar “Restorasi atau Gerakan Perubahan”. Salah satu pilar penting dan strategis dari “Gerakan Restorasi” adalah taat dan patuth kepada hukum. Selain itu, makna restorasi juga adalah menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi lembaga-lembaga penegak hukum. Misalnya, KPK, kejaksaan, kepolisian serta lembaga peradilan. “Jika petinggi Partai Nasdem yang tidak menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi lembaga-lembaga penegakan hukum, patut diduga orang tersebut adalah kader Partai Nasdem gadungan atau oplosan. Keberadaannya hanya menjadi parasit dan benalu di Partai Nasdem. Kalau ngomong, gayanya tinggi selangit. Kata anak medan “macam paling betul saja, “ tutur Kisman. Kisman mengingatkan Enggar bahwa Partai Nasdem lahir sebagai jawaban untuk memantapkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Nasdem menolak demokrasi yang hanya merumitkan tata cara pemerintahan, tanpa memajukan kesejahteraan umum. Nasdem juga menolak demokrasi yang hanya menghasilkan rutinitas sirkulasi kekuasaan, tanpa kehadiran pemimpin yang berkualitas dan layak diteladani. Semua pesan ini bisa dibaca oleh Enggar dengan jelas dan terang di Mukadimah Anggara Dasar dan Angaran Rumah Tangga Partai Nasdem. Ciri dari negara demokrasi itu adalah ketaatan para penyelenggara negara kepada sistem hukum yang berlaku. Sedangkan perlunya kehadiran pemimpin berkualitas yang layak diteladani itu adalah pemimpin yang hormat dan taat kepada hukum positif dan lembaga-lembaga hukum yang ada. Misalnya saja KPK, kejaksaan, kepolisian dan lembaga peradilan. “Mungkin saja Enggar belum baca Mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Nasdem. Sebab prilaku Enggar yang menghindar dari penggilan KPK sebanyak tiga kali tersebut, menandakan Enggar tidak mengerti maksud dan tujuan Partai Nasdem dilahirkan. Yaa, kalau belum baca, sebaiknya Enggar baca lagi dululah pesan mulia dari Mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Nasdem, “ himbai Kisman. DPP Partai Nasdem dalam beberapa tahun terakhir, menyelenggarakan pendidikan Akademi Bela Negara (ABN). Sudah puluhan ribu kader Partai Nasdem yang mengikuti ABN ini. Salah satu poin materi penting dari kegiatan ABN ini adalah ketaatan setiap kader Nasdem kepada hukum positif yang berlaku. Sayangnya, prilaku Enggar ini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan cita-cita besar Partai Nasdem. (ahly)
Fungsi Tipikor di Jaksa & Polisi Sebaiknya Dihapus Saja
By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Peran dan fungsi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh kejaksaan dan kepolisian sebaiknya dihapuskan saja. Pemberantasan korupsi semuanya dipusatkan satu pintu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja. Toh sekarang banyak pejabat fungsional yang masih aktif di kejaksaan dan kepolisian yang berlomba-lomba melamar menjadi calon pimpinan KPK. Sekarang ini jaksa sama polisi aktif sedang berlomba-lomba jadi komisioner KPK. Kalau mereka tidak percaya lagi dengan lembaganya sendiri, ya sebaiknya tindak pidana korupsi di kejaksaan dan kepolisian dihapuskan saja. Dengan demikian semua potensi, kemampuan sumber daya manusia dan anggaran untuk kegiatan pemberantasan korupsi bisa dipusatkan ke KPK. Diharapkan hasil kerja KPK juga bisa lebih baik dan optimal. Anggaran pemberantasan korupsi tiap tahun sangat besar. Sekarang anggaran tersebut tersebar di tiga lembaga penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi. Selain di KPK,juga di kejaksaan dan kepolisian. Panitia Seleksi (Pansel) pimpinan KPK sedang menyeleksi tahapan akhir calon-calon pimpinan lembaga anti rasuah tersebut. Tercatat sebanyak sembilan anggota polisi aktif ikut mendaftarkan diri untuk menjadi calon pimpinan. Selain itu jumlah jaksa aktif yang mendaftar sebanyak lima orang. Jumlah tersebut belum termasuk pensiunan polisi dan jaksa yang tidak kalah banyaknya. Jaksa aktif yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK, ada dua Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), yaitu Kajati Sumatera Selatan, Purnomo, Kajati Sulawesi Tengah, M. Rum. Selain itu, Kepala Diklat Manajemen dan Kepemimpinan Badiklat Kejaksaan Agung, Ranu Mihardja dan Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Satu lagi koordinator pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Supardi Dari jajaran perwira tinggi polisi aktif bintang dua, ada Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wabareskrim) Polri Irjen Pol. Antam Novambar, Irjen Pol. Coki Manurung, Irjen Pol. Abdul Gofur, Irjen Pol. Juansih dan Irjen P. Dharma Pongrekun. Sementara dari jajaran bintang satu aktif, ada Brigjen Pol. Bambang Sri Herwanto, Brigjen Pol. Agung Makbul, Brigjen Pol. Sri Handayani dan Brigjen Pol. M. Iswandi Hari. Fenomena ini menggambarkan para perwira tinggi polisi aktif dan jaksa aktif tersebut tidak terlalu percaya dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi. Padahal kedua lembaga ini mempunyai unit pemberantasan korupsi. Tugas-tugas pemberantasan korupsi juga sudah dilakukan kedua lembaga ini sejak lama, sebelum KPK dua puluh tahun terakhir. Polisi misalnya punya Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Eksus di Bareskrim Polri. Sementara di tingkat Polda, ada Subdit Pidana Korupsi pada Derektorat Kriminal Khusus (Krimsus). Sedangkan di tingkat Polres, ada Unit Krimsus pada Satuan Reskrim. Semuanya bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Sedangkan di jajaran kejaksaan, ada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus atau terkenal dengan “Gedung Bundar” untuk tingkat Pusat. Sementara di tingkat Kejati atau provinsi ada Asisten Pidana Khusus, yang sering disebut Aspidsus. Kalau di Kejari atau kabupaten/kota ada Kasi Pidsus. Semua unit yang keren-keren ini dibuat ada untuk melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Sayangnya, ada kecenderungan para pejabat yang masih aktif kepolisian dan kejaksaan ini seperti sedang tidak percaya diri. Meraka sepertinya ragu sendiri bisa melakukan pemberantasan korupsi dari lembaganya masing-masing. Buktinya, mereka sekarang beramai-ramai mendaftarkan diri untuk menjadi calon pimpinan KPK. Fenomena apa yang sedang terjadi sekarang di kedua lembaga tersebut, sehingga pejabat aktifnya ramai-ramai melamar sebagai calon pimpinan KPK? Jabannya mungkin masih dibutuhkan kajian khusus. Namun yang pasti, KPK lahir sebagai jawaban antitesa terhadap lembaga kejaksaan dan kepolisian yang sangat lemah dalam permberantasan korupsi. Dampaknya korupsi begitu tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Kasus yang paling heboh dan menggemparkan di kejaksaan dan kepolisian korupsi kondensat sebesar Rp 38 triliun. Kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka ini sudah mangkrat selama empat tahun. Disidik oleh Direktorat Eksus Bareskrim Polri sejak tahun 2015. Namun sampai sekarang belum juga sampai ke pengadilan untuk disidangkan. Anehnya lagi untuk korupsi kondensat ini Jampidsus Adi Toegarisman berkali-kali sudah bilang “berkasnya sudah P-21”. Omongan Adi Toegarisman bahwa kasus kondensat sudah P-21 ini sudah disampaikan sejak awal 2018. Namun sampai sekarang tidak tahu rimbanya. Entah butuh waktu berapa lama lagi bagi Jampidus agar kasus korupsi kondensat bisa sampai ke pengailan. Sebab kabar hoax yang beredar di kalangan jaksa maupun polisi bahwa kasus kondensat ini mau digiring ke penyelesaian secara perdata. Ada kekuatan gelap dan besar di sekitar lembaga kepresidenan dan istana negara yang sedang bekerja keras ke arah sana (perdata). Polisi juga tidak optimal dalam tugas utama menjaga keamanan publik. Banyaknya anggota polisi yang mengurus tidak pidana korupsi membuat tugas utama menjadi kedodoran. Tindak pidana kekerasan, seperti begal dan pencurian yang disertai pembunuhan marak terjadi. Salah satu penyebabnya adalah terlalu banyak anggota polisi yang sibuk mengurus korupsi. Kasus paling anyar dan hangat hari ini adalah penyiraman air keras ke mata dan muka penyidik senior KPK Novel Baswedan. Meskipun sudah dua tahun peristiwa ini terjadi, polisi belum juga bisa menemukan dalang dan pelaku penyiraman. Entah dibutuhkan teknologi apalagi, dan waktu berapa lama lagi bagi polisi untuk menemukan dalang dan pelakunya. Lambatnya polisi menemukan pelaku penyiraman air keras ke muka dan mata Novel Baswedan ini mendorong Presiden Joko Widodo angkat bicara. Presiden memberikan batas waktu sampai awal Oktober 2019 kepada Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian. Jika sampai awal Oktober pelakunya tidak juga ditemukan, maka Jokowi akan mengevaluasi posisi Tito sebagai Kapolri. Jika polisi tidak lagi urus tindak pidana korupsi, maka sumber daya manusia polisi bisa dioptimalkan untuk menangani tindak pidana umum. Selain itu, bisa bisa dioptimalkan untuk mencegah peredaran narkotika, pidana trafficking dan pidana ciber crime. Polisi juga bisa optimal untuk mencegah pidana kerusakan lingkungan, illegal fishing dan illegal meaning dan illegal loging. Sudah waktunya institusi kejaksaan dan kepolisian dikembalikan tugas-tugas utamanya. Jaksa bertugas melaksanakan fungsi-fungsi penuntutan di pengadilan. Selain itu, jaksa juga menjadi pengacara negara dalam rangka tugas-tugas keperdataan dan tata usaha negara. Semua perjanjian perdata dan tata usaha negara yang berkaitan dengan aset dan kekayaan negara, baik dengan pihak di dalam negeri maupun luar negeri, mutlak harus sepengetahuan jaksa sebagai pengacara negara.
Pemukulan Hakim Dorong Puslitbang MA & IKAHI Gelar Seminar Contempt of Court
Jakarta, FNN - Maraknya penyerangan dan pemukulan terhadap hakim di pengadilan belakangan ini, mendorong Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia menggelar seminar tentang Contempt of Court. Seminar ini terselenggara atas kerjasama Puslitbang MA dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Khusus Mahkamah Agung. “Pelaksanaan seminar direncanakan Kamis besok 1 Agustus 2019. Seminar yang berlangsung di daerah Kemayoran Jakarta Utara tersebut mengambil tema “Peran Contempt of Court dalam Perlindungan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri dan Bebas dari Segala Pengaruh dan Ancaman”, “ujar Kepala Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Hasbi Hasan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (30/07) Ditambahkan Hasbi Hasan, pemilihan tema Contempt of Court ini secara substansi dimaksudkan untuk menggali pentingnya aturan tentang Contempt of Court dalam bentuk perundang-undangan. Undang-undang yang secara khusus memberikan jaminan bagi kemandirian hakim memutuskan suatu perkara. Selain itu, untuk menjaga marwah dan martabat lembaga peradilan. Harus ada aturan yang secara khusus memberikan saksi pidana kepada mereka yang mengancam dan menghina para hakim dan lembaga peradilan. Jika tidak, peristiwa penyerangan dan pemukulan terhadap hakim kemungkinan bisa terulang kembali. Besar kemungkinan, hakim jadi tidak mandiri dalam memutuskan suatu perkara, kerana takut dengan ancaman dari para pihak “Diharapan kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali di waktu-waktu mendatang. Untuk itu diperlukan payung hukum yang memberikan perlindungan kepada para hakim dan lembaga peradilan. Kondisinya sudah sangat penting dan mendesak, “ujar Hasbi Hasan Berkaitan dengan itu, seminar dengan tema Contempt of Court juga menjadi sangat penting, menarik. Para pembicara atau narasumber yang dihadirkan di seminar ini adalah mereka yang ahli dan kompeten di bidangnya. Diantaranya, Prof Dr. Bagir Manan, Dr. Jaja Ahmad Jayus, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Ph.D, dan Muhammad Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI. Menurut Hasbi, para pimpinan di Mahkamah Agung sangat prihatin dengan peristiwa penyerangan dan pemukulan terhadap hakim tersebut. Pimpinan Mahkamah Agung memberikan perhatian khusus, dan berharap tidak terjadi lagi. Untuk itu diperlukan payung hukum yang mengikat semua pihak tanpa kecuali “Diharapkan hasil dari seminar ini bisa mendorong DPR agar secepatnya mengesahkan RUU Contempt of Court menjadi undang-undang. Produk hukum positif yang mengikat semua pihak. Apalagi RUU ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019, ”tutur Hasbi Hasan. (ahly)
Pentingnya Pengesahan RUU Contempt of Court
By DR. Ismail Rumadan Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Jakarta, FNN - Penasehat hukum menyerang dan memukul hakim di Pengadilan Negeri. Anda boleh percaya, dan boleh juga tidak percaya. Namun peristiwa yang sangat memalukan itu benar-benar terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kamis 18 Juli 2019 lalu Penasehat hukum yang menyerang majelis hakim yang sering disebut dengan yang mulia itu namanya Dasrizal. Kelakuan Dasrizal ini menambah deretan catatan buram berbagai bentuk tindakan penghinaan terhadap pengadilan yang terjadi sebelumnya. Pemukulan terhadap hakim di ruang sidang ini menunjukkan penghinaan terhadap pengadilan masih terus-menerus terjadi. Peristiwa ini boleh dibilang menuju tahap yang sangat mengkhawatirkan. Sebab, penghinaan bukan lagi semata tindakan verbal di pengadilan. Penghinaan sudah mengarah pada aksi kekerasan di dalam ruang sidang. Sasaran penghinaan tidak saja terhadap gedung atau sarana pengadilan, melainkan juga terhadap majelis hakim. Dalam beberapa catatan, tindakan penghinaan terhadp lembaga pengadilan yang pernah terjadi di Pengadilan Agama Sidoarjo. Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo M. Taufik dibunuh oleh mereka yang bersengketa di pengadilan. Palakunya anggota TNI AL Kolonel M. Irfan, yang digugat oleh mantan istrinya. Pelaku pembunuhan dan mantan istri ini sedang memperebutkan harta gono-gini Bukan itu saja kejadian penyerangan dan pemukulan terhadap hakim. Pada tanggal 29 Oktober 2010 lalu, sejumlah pengunjung sidang memukuli hakim Pengadilan Negeri Ende Nusa Tenggara Timur. Pelakunya adalah Ronald Masang, yang menuduh sang hakim melindungi tersangka. Keluarga korban meminta terdakwa dilepas agar dihakimi oleh mereka sendiri. Selain itu, serangan dan perusakan terhadap pengadilan negeri oleh sekelompok massa. Kejadian ini terjadi di Pengadilan Negeri Depok September 2013. Peristiwa yang sama juga terjadi di Pengadilan Negeri Bantul Juni 2018. Kasus-kasus tersebut di atas menggambarkan lemahnya pengaturan tentang contempt of court sebagai bentuk perlindungan terhadap lembaga peradilan Indonesia. Tindakan yang jelas-jelas merendahkan martabat dan wibawa lembaga peradilan mungkin saja akan terus terjadi. Bahkan tindakan penghinaan tersebut dianggap menjadi hal biasa dalam sebuh proses persidangan di peradilan. Lemahnya aturan hukum yang mengatur contempt of court ini tercermin dari belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur contempt of court. Perlu dipertegas bahwa sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap lembaga peradilan. Beberapa ketentuan yang ada sebagaimana diatur dalam Pasal 207, Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP masih sangat lemah. Belum cukup untuk mengakomodir semua jenis penghinaan terhadap lembaga pengadilan. Berbeda dengan di negara-negara lain. Banyak negara di dunia yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi, sangat memberikan perlindungan yang tinggi terhadap kewibawaan hakim dan lembaga peradilan. Perlindungan terhadap wibawa dan martabat pengadilan seharusnya diatur secara ketat dalam peraturan perundang-undangan. Pada abad ke-13, di Inggris contempt of court tergolong tindak pidana yang berat. Seperti dikatakan oleh Bracton tahun 1260, There is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to his officer. Salah satu contoh kasus di tahun 1634 pada James Williamson. James melempar batu kepada hakim yang sedang menjalankan tugasnya di ruang sidang pengadilan. James ketika itu dinyatakan bersalah hanya karena tindak pidana contempt of court. Akibatnya, James kemudian dijatuhi hukuman potong tangan. Potongan tangannya James itu digantungkan di pintu masuk pengadilan sebagai peringatan bagi anggota masyarakat luas. Hingga saat ini, di Inggris ketentuan mengenai contempt of court ini terus diberlakukan. Bahkan, pada tahun 1981, kerajaan Inggris menerbitkan undang-undang yang sangat kuat melindungi pengadilan dari pelbagai bentuk perlakuan yang dinilai dapat merendahkan harkat, martabat dan kehormatannya, yaitu ‘Contempt of Court Act 1981”. Dalam undang-undang ini, ditentukan adanya aturan pertanggungjawaban mutlak strict liability rule. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai ‘contempt of court’ yang dapat mengganggu atau mempengaruhi proses peradilan, terlepas dari ada tidaknya niat atau maksud pelaku untuk itu. Undang-undang ini mengatur secara ketat mengenai contempt in the face of the court, ‘contempt by the jurors, dan yang terpenting adalah contempt by publication. Untuk itu, dalam penerapannya, pemberlakuan Contempt of Court Act 1981 sangat berpengaruh pada pelaksanaan prinsip kebebasan pers. Bahkan di India, melalui ”Contempt of Court Act of 1971” mengatur larangan media massa mempublikasi berita yang merendahkan harkat dan martabat pengadilan sebagai suatu tindak pidana. Dalam sistem peradilan, dibedakan antara civil contempt dan criminal contempt, yaitu; a. Civil Contempt sebagai willful disobedience to any judgment, decree, direction, order, writ or other process of a court or wilfull breach of an undertaking given to a court; dan b. Criminal Contempt sebagai the publication of any matter or the doing of any other act whatsoever which: (i) Scandalises or tends to scandalize, or lowers or tends to lower the authority of, any court; or (ii) Prejudices, or interferes or tends to interfere with the due course of any judicial proceeding; or (iii) interferes or tends to interfere with, or obstructs or tends to obstruct, the administration of justice in any other manner”. Sementara itu di Hongkong tidak kalah kerasnya perlindungan kepada hakim dan lembaga peradilan. Para hakim pada semua tingkatan di Hongkong juga diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi secara langsung, dalam hal terjadi tindakan yang merendahkan martabat di pengadilan (contempt in the face of the court). Tindakan yang dipandang merendahkan martabat pengadilan seperti, insult a judge or justice, witness or officers of the court, interrupts the proceedings of the court, interfere with the course of justice. Bahkan tindakan seperti penggunaan handphone atau alat perekam tanpa izin (misbehaves in court) bisa kenakan sanksi pidana. Sedangkan di Amerika Serikat, pengaturan tentang contempt of court”dapat ditemukan dalam berbagai yurisprudensi dan perundang-undangan. Termasuk di Federal Rule of Criminal Procedure 42 dan USC 18. Contempt dapat dilakukan in the face of the court atau dilakukan secara lansgung yang disebut sebagai direct contempt of court. Namun contempt bisa juga dilakukan di luar pengadilan, yang disebut “indirect contempt of court”. Misalnya, tindakan dari pihak-pihak yang sangaja tidak menaati perintah atau putusan pengadilan. Gambaran pengaturan beragam tentang contempt of court di negara-negara yang dijelaskan di atas, menunjukan bahwa betapa pentinnya aturan hukum yang ketat terkait tindakan penghinaan terhadap pengadilan. Sudah saatnya DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Penyelenggaraan Pengadilan (Contempt of Court). Apalagi RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015- 2019. Pengesahan RUU contempt of court ini mejadi penting bagi pemerintah dan DPR. Tujuanya, untuk memberikan jaminan kebebasan dan kemandirian bagi para hakim dan lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan. Yang pada akhirnya marwah dan martabat pengadilan tetap terjaga dan dihormati oleh masyarakat.
Dilema Jokowi Hadapi Tekanan Koalisi
Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kasus Lawas Bus TransJakarta Tahun Anggaran 2013 tiba-tiba mencuat lagi, seolah memberi tahu kepada masyarakat, Presiden Joko Widodo yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta ternyata masih punya “kasus” yang belum tuntas. Lho, koq bisa? Tentu saja bisa, karena kala itu kasus TJ tersebut telah dipetieskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang Pilpres 2014. Jika sekarang muncul lagi sama dengan tekanan kepada Jokowi agar membatalkan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto. Sebuah tekanan politik yang luar biasa kepada Presiden Terpilih Jokowi. Tentunya ini sebuah pilihan yang sangat menyulitkan Jokowi sendiri. Apalagi, Koalisi Jokowi sekarang ini mulai terjadi perpecahan. Dimotori NasDem, mereka tolak rekonsiliasi. Di satu sisi, seperti ditulis Joko Edy dalam twiternya Jokoedy@joked2019 (20:50 22 Juli 19), power sharing itu sulit ditolak. “Para pemodal Cina menekan Jokowi. Mereka baru akan menurunkan dana jika Prabowo ikut di Koalisi Jokowi,” tulisnya. “Termasuk Rp 1.300 T yang belum lama ditandatangani Presiden Xi Jinping. Cina-Cina itu ketakutan terjadi gejolak, yang bisa membuat investasi mereka hangus,” lanjutnya. Di dalam negeri, “dalang” yang selama ini di belakangnya juga menekan Jokowi. Sehingga yang terjadi sekarang ini adalah pilihan pelik bagi Jokowi. Nasib rekonsiliasi kini ditentukan oleh kekuatan 2 alat sandera. Yakni hasil pertarungan antara: Bukti Pencurangan Pemilu-Pilpres 2019 versus Bukti Korupsi Bus TransJakarta TA 2013. Mana yang lebih efektif menyandera Jokowi? Keduanya jelas sangat efektif. Karena Jokowi bisa kena keduanya. Sehingga, jadinya “maju kena, mundur kena”. Menolak rekonsiliasi bisa “dihabisin” Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Sebaliknya, jika menerima rekonsiliasi, Jokowi akan berhadapan dengan Koalisi Jokowi yang dimotori oleh Surya Paloh Cs (NasDem, Golkar, PKB, dan PPP) yang tampaknya sudah buat faksi sendiri di luar PDIP yang sudah tampak “mesra” dengan Gerindra. Tak hanya itu. Bahkan, Jokowi juga akan berhadapan dengan SBY, Luhut Binsar Panjaitan, AM Hendro Priyono, dan CSIS yang selama ini menjadi penyokong Jokowi sejak menjabat Walikota Solo. Mereka akan memakai kasus korupsi Bus TJ tersebut. Apalagi, bukti dalam persidangan kasus korupsi Bus TJ itu juga mengarah pada keterlibatan Jokowi saat menjabat Gubernur Jakarta. Korupsi pengadaan bus TJ tersebut menyeret mantan Kadis Perhubungan Permprov DKI Jakarta Udar Pristiono. Dalam persidangan, Udar akhirnya divonis hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Tragis! Udar, salah satu diantara beberapa pejabat di Pemprov Jakarta yang diseret di Pengadilan Tipikor Jakarta berkat “kebijakan” Gubernur Jokowi saat itu. Dua mantan anak buahnya, Setiyo Tuhu dan Drajad Adhyaksa, juga menjadi pesakitan. Drajad Adhyaksa adalah Pejabat Pembuat Komitmen pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2013. Sedangkan Setiyo Luhu adalah Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Dishub DKI Jakarta. Jaksa menyebutkan, kasus korupsi pengadaan bus TJ pada 2013 dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah pihak. Jaksa juga menyebut nama Direktur Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi pada BPPT Prof. Prawoto. Lembaga yang dipimpin oleh Prawoto ini disebut bertanggung jawab karena berperan sebagai perencana dan pengendali teknis serta pengawas pengadaan dalam proyek TJ. Beberapa pemenang lelang juga disebut terlibat dalam kasus ini. Pertama adalah Direktur Utama PT Korindo Motors Chen Chong Kyong. Perusahaan ini merupakan pemenang lelang pada pengadaan busway articulated (bus gandeng) paket I. Kemudian ada juga keterlibatan dari Direktur Utama PT Mobilindo Armada Cemerlang, Budi Susanto, selaku pemenang lelang pada pengadaan busway articulated paket IV. Direktur PT Ifani Dewi, Agus Sudiarso, juga disebut ikut melakukan korupsi. Perusahaan tersebut adalah penyedia barang pada pengadaan busway articulated paket V dan busway single (tunggal) paket II. Jaksa menyatakan, beberapa bentuk penyimpangan proyek pengadaan bus TJ adalah tidak terpenuhinya spesifikasi teknis; Juga, harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan sodoran harga proposal dari rekanan dan diarahkannya spesifikasi pada perusahaan tertentu, serta adanya kemahalan harga. Akibat perbuatan mereka, negara dirugikan hingga Rp 392,7 miliar. Dalam persidangan beberapa kali Udar menyebut nama Jokowi, yang kini menjabat Presiden dan menjadi Presiden Terpilih pada Pilpres 2019. Udar mengklaim proses pengadaan 14 paket bus TJ pada 2013 sudah sesuai aturan. Bahkan, ia mengaku sudah melakukan prosedur pelelangan sejalan dengan kemauan dan aturan yang dibuat oleh Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat itu. Saat memberikan kesaksian Udar mengaku proses pelelangan sesuai aturan. Yakni Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta. Ia mengaku, sebagai Pengguna Anggaran (PA), Udar sudah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Drajad selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Udar mengaku cuma mengawasi penggunaan anggaran dan meneken perjanjian kontrak kerja di akhir proses. “Karena itu memang tugas saya sebagai PA,” kata Udar, seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (4 November 2014 09:10). Udar mengatakan, proses pengadaannya juga sudah sesuai dengan visi-misi Jokowi saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, ia mengaku Jokowi sangat keras mengawasi penyerapan anggaran dalam proses pengadaan. “Program pengadaan bus TransJakarta sesuai rencana daerah. Ini visi misi Gubernur DKI Jakarta,” tegas Udar. Bahkan, katanya, “Pernah diancam oleh Pak Gubernur kalau penyerapannya kecil dibatalkan saja. Karena DKI sangat ketat tentang penyerapan anggaran. Diawasi setiap minggu,” ungkap Udar. Ia mengklaim proses pelelangan bebas dari intervensi, sebab dilaksanakan secara elektronik. Udar mengatakan, ia tak menanggung seluruh wewenang pengguna anggaran lantaran sudah diwakilkan kepada anak buahnya. “Karena terjadi delegasi wewenang, maka proses selanjutnya dilakukan mereka. Pelelangan dilaksanakan melalui electronic procurement, kecuali tatap muka pada tahap akhir karena menandatangani kontrak kerja,” sambung Udar. Kasus korupsi bus TJ itulah yang kini menjadi “momok” bagi Jokowi. Di sinilah masyarakat mulai tahu. Bahwa rivalitas pendukung Jokowi akhirnya terbaca publik. Pasca Pilpres 2019 menjelang penyusunan kabinet, rivalitas ini semakin tajam. Terutama setelah berhembus kencang isu masuknya Gerindra dalam kabinet Jokowi jilid II. Luhut berulang kali minta ketemu Prabowo, ditolak. Munculnya Kepala BIN Budi Gunawan sebagai kekuatan politik baru di balik pertemuan dua pertemuan. Yakni, Pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati. Ketika pertemuan Prabowo-Megawati, SP bermanuver dengan bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan menebar kabar akan mengusung Anies sebagai Capres 2024. SP bermanuver karena khawatir jatahnya di kabinet akan berkurang bila Prabowo-Jokowi rekonsiliasi. Banyak pihak menyebut, PDIP sudah tak nyaman lagi bersama NasDem. Jaksa Agung yang dipegang oleh orang NasDem seringkali digunakan untuk “menghabisi” politisi selain NasDem. Sementara kader NasDem banyak yang ditangkap KPK. Terbaru, Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun, Ketua DPW NasDem, ditangkap KPK. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito sedang dibidik KPK kasus Bowo Sidik. Selain itu banyak pula jaksa yang ditangkap KPK sebagai simbol “perlawanan” pada Jaksa Agung M. Prasetyo. Sebagian besar komisioner KPK sendiri adalah “orang-orang” SBY Cs. Kasus-kasus yang diungkap banyak menyasar kader PDIP dan NasDem. Inilah yang membuat PDIP akhirnya tak nyaman lagi dengan keberadaan Luhut di lingkaran Jokowi. Tarik menarik antara kekuatan BG, Luhut, dan SP semakin menguat saat menjelang perebutan beberapa posisi strategis di kabinet. Jokowi dilematis. Posisi makin terjepit karena kunci truf “kemenangan” Joko Widodo-Ma'ruf Amin oleh KPU dipegang oleh BG, Luhut, maupun SP, bisa saja dimainkan oleh faksi-faksi masing-masing kekuatan untuk menekan Jokowi. Belum lagi bukti pencurangan Jokowi-Ma’ruf yang kini juga dipegang oleh “kekuatan besar” yang sewaktu-waktu bisa “meledak” hingga membuat Jokowi-Ma’ruf terjungkal dari tampuk kekuasaan yang diraihnya dengan pencurangan. Rivalitas di antara politisi pendukung Jokowi-Ma’ruf ini terlihat haus kekuasaan. Jika diadu, maka mereka akan beradu cepat membawa data ke KPK. Selain itu, mereka akan selalu siap sebagai saksi pemberatan atas rivalnya itu. Tidak disadari, pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati membuat politisi Koalisi Jokowi terpecah dan “teradu”, mereka diadu dengan tujuan untuk ungkap data korupsi lawan politik pada KPK, yang saat ini sudah siap berselancar ke KPK. Situasi itulah yang kini membuat Jokowi tertekan dalam menghadapi pilihan yang dilematis! Mungkin jawaban yang tepat adalah Mundur! ***
Dalam Kasus Kivlan Zen, Terjadi Perang Saudara antara TNI dan Polri
Oleh Mangarahon Dongoran ( Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tiga belas perwira Tentara Nasional Indonesia aktif siap memberikan bantuan hukum terhadap Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen dalam melawan Polri. Pembelaan tersebut diberikan dalam praperadilan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan mulai disidangkan Senin, 22 Juli 2019. Sedianya sidang digelar 8 Juli 2019, tapi ditunda karena perwakilan Polri tidak hadir. Kivlan Zen tidak menerima penetapannya sebagai tersangka kasus makar dan pemilikan senjata ilegal yang dilakukan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Ia pun mengajukan praperadilan. Menarik dicermati adalah dari 13 perwira militer yang memberikan bantuan hukum itu, dua di antaranya perwira tinggi berpangkat mayor jenderal dan brigadir jenderal. Selebihnya merupakan perwira menengah. Ke-13 perwia aktif itu siap memberikan bantuan hukum secara habis-habisan terhadap Kivlan, saudara kandung mereka di TNI yang sedang dizolimi oleh polisi. Mengapa mereka mendapat penugasan dari Mabes TNI untuk membela Kivlan, seorang purnawirawan TNI Angkatan Darat yang dikenal kritis, terutama menyuarakan tentang komunis yang mulai bangkit di Negara Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Menurut penuturan pengacaranya, Kivlan Zen lah yang memberikan surat kuasa hukum terhadap ke-13 perwira gabungan dari TNI AD, AL dan AU itu. Oleh karena itu, pembelaan yang akan dilakukan 13 perwira aktif itu menarik dicermati. Sebab, selain atas permintaan Kivlan, mereka semua mendapatkan restu dan penugasan dari Mabes TNI. Sepanjang yang saya lihat lewat media, penampilan mereka juga berbeda dari pengacara Kivlan yang berasal dari sipil. Tiga perwira yang hadir di PN Jakarta Selatan duduk bersebelahan dengan pengacara yang berasal dari sipil. Meski duduk sejajar, tapi mereka tampil dengan pakaian lengkap. Mereka mengenakan pakaian hijau loreng. Layaknya sedang membela militer aktif di pengadilan militer. Padahal, bukan berada di pengadilan militer. Itu artinya ada suatu pesan yang ingin disampaikan, terutama kepada Polri. Apalagi, perwira aktif yang menjadi pembela Kivlan itu berasal dari tiga angkatan, yaitu TNI AD, TNI AL dan TNI AU. Pakaian loreng itu adalah sebuah sandi bahwa mereka siap membela habis-habisan terhadap saudara kandung yang sedang dizolimi oleh Polri, khususnya Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Pakaian loreng tidak sembarang digunakan. Biasanya, pakaian itu digunakan di medan tempur atau dalam latihan. Selain itu, penggunaannya pada situasi darurat atau keadaan siaga. Misalnya, selama Pilpres, sampai putusan MK dan bahkan nanti sampai saat pelantikan Presiden 20 Oktober 2019, tentara yang bertugas di lapangan dalam rangka pengamanan, hampir semua memakai loreng, kecuali bagian intel. Betul ada hari tertentu tentara memakai loreng. Setidaknya ada dua pesan penting yang ingin disampaikan dengan kehadiran 13 perwira militer aktif itu. Pertama, kami dari tiga angkatan siap melawan polisi. Apalagi, kami berasal dari Mabes TNI, yang berhadapan dengan Polda Metro di pengadilan. Kalau bukan itu pesannya, pembela Kivlan dari militer cukup dari Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya. Itu baru selevel dengan Polda Metro Jaya. Atau cukup bantuan hukum dari Mabes TNI AD atau dari Kostrad. Tetapi, ini pengacara militer dari Mabes TNI. Kedua, kehadiran mereka tidak main-main. Dengan pakaian loreng, menunjukkan bawa tentara siap "berperang" melawan polisi secara hukum. Ya, siap "perang saudara." Meski mereka tentara, tetapi latar belakang akademisi mereka adalah sarjana hukum (SH). Sudah tentu mereka juga mahir dalam memberikan jurus-jurus silat secara hukum. Yang membedakan mereka dengan polisi sebagai penegak hukum, hanya dalam pendalaman bahwa mereka banyak belajar hukum militer. Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah dalam perang melawan polisi ini mereka akan menang? Bahwa selama ini ada perang (bentrok) fisik antara tentara dan polisi, hampir selalu dimenangkan oleh tentara. Tentu dalam kasus Kivlan Zen yang mengajukan praperadilan, kita masih menunggu putusan hakim. Akan tetapi, jika melihat kasusnya, mestinya Kivlan menang. Alasannya, semua yang ditangkap polisi dan dijadikan tersangka makar, tidak jelas rimbanya. Bahkan, mantan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Purnawirawan Soenarko sudah keluar dari tahanan. Ia juga ditangkap dengan tuduhan makar dan pemilikan senjata ilegal. Soenarko keluar dari tahanan atas jaminan 102 purnawirawan TNI AD. Sedangkan Kivlan yang juga mendapat jaminan penangguhan dari 700 orang purnawirawan TNI AD, masih tetap dikurung di tahanan POM AD Guntur. Akankah praperadilan ini juga sebagai usaha melepaskannya dari penetapan tersangka, agar kepolisian "kalah terhormat", ketimbang melepas begitu saja seperti tersangka makar lainnya? Perkiraan daya, ya. Berikut nama-nama perwira TNI aktif sebagai kuasa Tim Pembela Hukum Kivlan Zen : 1. Mayor Jenderal TNI Purnomo SH. MH. 2. Brigadir Jenderal TNI Dr. Wahyu Wibowo SH. MH. 3. Kolonel Chk. Subagya Santosa SH. MH. 4. Kolonel Chk. Azhar SH. M.Kn. 5. Letkol Chk. Wawan Rusliawan SH. 6. Letkol Chk (K) Mesra Jaya SH. 7. Letkol Laut (Kh) Marimin SH. 8. Letkol Laut (Kh). Sutarto Wilson SH. 9. Letkol Chk. Purwadi Joko Santoso SH. 10. Mayor Chk. Dedi Setiadi SH. MH. 11. Mayor Chk. Marwan lswandi SH. MH. 12. Mayor Chk. Ahmad Hariri SH. MH. 13. Mayor Sus. Ismanto. **
Buku Merah Sebaiknya Dibuka Saja, Kapolri Tito Pasti Tidak Terlibat
Jakarta fnn - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan pengacara pribadinya Alghiffari Aqsa sebaiknya membuka saja kasus Buku Merah ke publik. Apa saja permasalahan hukum yang terkait dengan isi dari Buku Merah. Siapa saja orang-orang yang terlibat, bagusnya dibuka, sehingga bisa diketahui oleh publik dengan jelas. Tidak lagi menduga-duga “Kasus Buku Merah ini, bisa dipastikan tidak melibatkan Kapolri Jendral Tito Karnavian. Alasannya, tugas dan kewajiban Kapolri adalah memastikan hukum dapat ditegakkan dengan benar, murah, cepat serta efisien tanpa membeda-bedakan siapa dan dari kelas mana pelakuknya. Dengan demikian, tidak mungkin Kapolri Tito Terlibat kasus Buku Merah, “ujar politisi Partai Nasdem Kisman Latumakulita di Jakarta Jumat (19/07) Ditambahkan Kisman, ikon yang menjadi visi misi Tito sebagai Kapolri adalah Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya). Dengan ikon Promoter yang menjadi landasan pijakan kerja utama sebagai Kapolri, maka dipastikan Tito tidak terlibat kasus Buku Merah. Kecuali Tito mau mengkhianati ikon Promoter dan institusi kepolisian. Haqul yakin itu tidak mungkin dilakukan oleh Tito Publik sudah terlalu lama saling duga-menduga, saling tuduh-menuduh dan saling fitnah-memfitnah tentang apa yang tertulis dalam isi Buku Merah. Dan ujung-ujungnya dari semua itu adalah memproduksi dosa. Untuk itu, sebaiknya dibuka saja ke publik. Janganlah sampai ada dosa diantara, “kata Kisman yang juga wartawan senior tersebut Novel Baswedan dan pengacaranya Alghiffari Aqsa meminta agar Tim Pecari Fakta (TPF) kasus Novel Baswedan menambahkan Buku Merah sebagai salah dari enam kasus yang sudah disebut TPF menjadi latar belakang penyerangan terhadap dirinya. Alasan Novel karena Kapolri Tito pernah bertemu dengannya, dan menanyakan apakah dirinya sebagai penyidik Buku Merah “Selain itu, kasus Buku Merah dikaitkan dengan dua penyidik KPK, yaitu AKBP Roland Ronaldy dan Kompol Harun yang dikembalikan ke institusi asalnya Mabes Polri. Cerita sekitar Buku Merah juga dihubungkan dengan Basuki Hariman dan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Masih banyak cerita lain yang dari Buku Merah yang belom diungkap ke publik, “tambah Kisman Sebaiknya jangan terlalu berlama-lama masyarakat diberi bahan untuk saling tuduh-menuduh, fitnah-memfitnah dan sejenisnya. Untuk itu, Buku Merah perlu dibuka saja kepada publik. Biarkan publik mengetahui tentang Buku Merah apa adanya, terutama isi bukunya. Publik berhak tahu apa saja hal-ihwal atau masalah-masalah penting yang dicatat oleh Basuki Hariman atau stafnya di buku yang bersampul merah tersebut Menurut Kisman, kalau isi Buku Merah tidak berani untuk dibuka kepada publik, maka jangan-jangan cerita yang bersileweran di masyarakat mengenai buku ini hanya dongeng atau pepesan kosong saja. Sebaliknya, cerita ini justru dijadikan alat untuk memperoleh posisi tawar, bahkan bisa untuk saling tekan-menekan diantara sesama anak bangsa. Sementara hasil yang diperoleh publik hanya dosa yang tidak pernah berakhir. Jika Buku Merah tidak dibuka Novel Baswedan dan pengacaranya Alghiffari Aqsa kepada publik, Kisman malah menduga ada kekuatan lebih besar dari Kapolri Tito yang terlibat kasus Buku Merah. Kekuatan besar inilah yang sebenarnya memperalat Buku Merah dengan cara menghembuskan tududahan dan fitnah seakan-akan Kapolri Tito Terlibat. Targe utamanya untuk mendiskreditkan institusi kepolisian dan Kapolri Tito “Dengan membuka ke publik, diharapkan kekuatan besar yang bersembunyi dibalik kasus Buku Merah tersebut bisa terlihat aslinya. Orang-orangnya juga bisa dimintai pertanggung jawaban hukum. Milsanya, apakah ada keterlibatan mereka dengan impor daging dan judicial review undang-undang yang diproses di Mahkamah Konstitusi terkait impor daging. Apakah ada keterterkaitan mereka dengan penyiraman air keras ke muka Novel Baswedan, “tutur Kisman (lohy)