NASIONAL
Orang Papua Balas Rasisme Monyet dengan Topeng Monyet
Leher monyet diikat dengan tali panjang. Diarak keliling kampung. Di suruh naik sepeda mini bolak-balik sepanjang talinya. Untuk menghibur warga. Si monyet tidak punya pilihan lain. Harus mengikuti perintah tuannya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Para petinggi negara bingung menghadapi Papua. Mau diambil tindakan keras, takut salah. Khawatir eskalasi situasi. Takut semakin runyam. Dengan pendekatan lemah-lembut, ketahuan pemerintah pusat lemah. Padahal memang lemah menghadapi Papua. Jakarta menjadi serba salah. Hebat dan salut kepada orang Papua. Dalam waktu 48 jam saja setelah rasisme “monyet” diteriakkan kepada mereka di Surabaya, label “monyet” itu mereka kembalikan ke Jakarta. Bahkan makna kemonyetan yang dikembalikan itu lebih tajam. Sangat menohok. Rasisme monyet yang dibalikkan ke Jakarta itu mengandung arti yang sangat rendah. Cukup hina. Orang Papua mengembalikan ucapan kasar itu bukan dengan kata-kata kasar. Mereka cukup menunjukkan isyarat menuntut penentuan nasib sendiri. Mereka kibarkan bendera Bintang Kejora di jalan-jalan Papua. Mereka buat rapat umum dengan teriakan “Papua Merdeka” atau “Kami Mau Referendum”, dan yel-yel lain yang intinya meminta agar Papua lepas dari Indonesia. Tak ada yang berani mencegah. Bintang Kejora dan semua yel-yel itu membuat para penguasa di Jakarta menjadi kecut. Mereka gamang. Para menteri Polhukam takut Timor Timur akan terulang. Yang mengidap diabetes, kadar gulanya langsung turun-naik. Khawatir tuntutan “Papua Merdeka” semakin membolasalju. Dalam situasi seperti ini, orang Papua jelas berada pada posisi di atas angin. Mereka yang memegang kendali. Secara politis, Papualah yang saat ini mendikte penguasa pusat. Saya teringat pertunjukan Topeng Monyet yang banyak dijumpai di Jakarta. Terbayang saya orang Papua yang menjadi Tuan atau pengendali si Topeng Monyet itu. Sebaliknya, si monyet melakukan semua perintah tuannya. Orang di luar Jakarta tidak begitu tahu Topeng Monyet. Yaitu, atraksi di jalan-jalan kampung yang menyalahgunakan monyet terlatih untuk cari duit alias ‘ngamen’. Leher monyet diikat dengan tali panjang. Diarak keliling kampung. Di suruh naik sepeda mini bolak-balik sepanjang talinya. Untuk menghibur warga. Si monyet tidak punya pilihan lain. Harus mengikuti perintah tuannya. Begitulah gambaran hubungan Jakarta-Papua saat ini. Orang Papua tak perlu membalas teriakan “monyet” dengan kata “monyet” juga. Cukup mereka balas dengan makna atraksi Topeng Monyet.* 24 Agustus 2019
Papua Membara, Mahfud MD Kok Bungkam ?
Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - NKRI dirongrong di Papua, Pancasila dilecehkan di Papua, sang Saka Merah Putih di bakar di Papua. Hanya, saya merasa terheran-heran kenapa Begawan BPIP semua bungkam ? Mana suara Megawati ? Mana suara Try Sutrisno ? Mana suara Syafii Maarif ? Mana suara Said Aqil Siradj ? Mana suara Ma'aruf Amin ? Mana suara Sudhamek ? Mana suara Andreas Anangguru Yewangoe ?Mana suara Wisnu Bawa Tenaya? Dan yang lebih penting MANA SUARA BEGAWAN BPIP PALING GIGIH, MAHFUD MD ? Kalau urusan umat Islam, bendera tauhid, syariah Islam, mereka ini paling cerewet berkomentar. Syafi'i Ma'arif yang sudah udzur saja, nyinyir kepada wacana NKRI bersyariah, apalagi Mahfud MD. Tuding dana dari Arab ke pesantren untuk radikslisme, tuding pesantren di Jogja dan Magelang radikal. Tapi giliran di Papua, kok Ga ada satupun kalimat Twitt Mahfud yang membara menyebut OPM radikal ? Lantas, apa solusi Pancasila untuk mengatasi masalah separatisme OPM ? Melafadzkan sila-sila Pancasila sampai lidah kelu ? Meminta OPM berbaris dan beri hormat ke bendera merah putih ? Apa pula pertanggungjawaban Jokowi untuk Papua. Bukankah suara Jokowi di Papua luar biasa besar ? Lantas, kalau mereka pro Jokowi kenapa minta referendum pisah dari NKRI ? Apa kampanye politik Jokowi di Papua dulu menjanjikan referendum dan berpisah dari NKRI sehingga suara Jokowi luar biasa besar di Papua ? Atau keributan di Papua ini dalam rangka merealisir janji politik Jokowi ? Kembali ke Mahfud MD, saya jadi kepingin tahu apa resep mujarab sang profesor ini -yang telah kalah telak melawan tantangan Prof Suteki- untuk mengatasi masalah Papua. Apa akan mengadopsi ide Jokowi, yang saat pidato kebangsaan berkoar tidak ada toleransi bagi siapapun yang mau memecah belah bangsa. Tapi begitu OPM beraksi, kok jadi lembek ? Diminta saling memaafkan ? Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Tidak mungkin lah, seorang Mahfud pergi ke Papua dalam konteks bertempur, seperti Banser. Banser saja ngeles minta payung hukum. Tapi paling tidak Mahfud kan bisa ngetwit ? Komentar, kasih perspektif Pancasila mengenai persoalan Papua. Jangan hanya menjadi kompor kebangsaan berdalih suluh kebangsaan, menebar tudingan ditengah kalangan pesantren tanpa punya rasa malu. Meskipun begitu, saya termasuk orang yang sabar menanti pernyataan Mahfud. Bagaimanapun, dia telah terima gaji BPIP. Karena itu, dia wajib bekerja dan bertanggung jawab secara moral kepada publik. Semoga, Mahfud MD diberi kemudahan dan kelancaran, agar lisannya mampu bersuara untuk Papua. Kita, sebagai sesama anak bangsa sangat menunggu peran dan kiprah Mahfud MD dalam menjaga dan membumikan nilai-nilai Pancasila.
Jangan Cemaskan Pancasila, Sejak Lama Pancasila Memang Sudah Tak Ada?
Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kehadiran BPIP dianggap sebagai respons negara atas rongrongan terhadap Pancasila. Diharapkan, BPIP mampu membina dan mengarahkan corak keberpancasilaan bangsa dan negara. Bahkan, untuk urusan ini negara merogoh kocek yang diambil dari kantong rakyat (pajak) untuk menggaji ratusan juta rupiah untuk memberi jatah bulanan Kepada begawan - begawan BPIP. Tak peduli, apakah secara subtantif BPIP bermanfaat. Yang jelas, secara formal telah melembaga, biar terlihat gagah memang semua harus di lembagakan. Biar bisa memindahkan duit dari kantong rakyat ke kantong BPIP, tentunyahhh. Tak jelas, apa tupoksi BPIP. Yang muncul, BPIP sering nyinyir terhadap umat Islam dan isu-isu keislaman. Terkait OPM, yang jelas mengancam Pancasila dan NKRI, BPIP terlihat irit komentar, jika mengeluarkan statement pun, sangat hati-hati. Sebenarnya, apakah pancasila terancam, sehingga butuh BPIP ? Apakah publik NKRI perlu mencemaskan Pancasila ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, justru kita semua, publik NKRI patut bertanya, apakah Pancasila masih ada ? Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Mari kita ulas. Menarik sekali, pernyataan Surya Paloh yang menyebut negara ini adalah negara kapitalis liberal, bukan Pancasila. Pernyataan ini, adalah pernyataan Sahih, meski motifnya karena rebutan jatah kursi menteri. Negeri ini memang sejak lama menerapkan ideologi kapitalisme sekuler, dengan berbagai corak dan varian. Saat ini, negeri ini sedang menerapkan mutan kapitalisme yang berevolusi menjadi kapitalisme liberal. Lebih liberal ketimbang kapitalisme pasar. Jika pada era Soekarno, Pancasila secara subtantif ditafsirkan dengan mahzab sosialistik dibuktikan dengan proyek nasionalisasi sejumlah aset privat milik Belanda menjadi BUMN. Era Soeharto, negeri ini telah sah menerapkan kapitalisme barat. Jadi, ketika itu pertarungan ideologi kspitalisme barat dan sosialisme China, bertarung untuk mensarah (menafsir) makna Pancasila. Secara subtantif, Pancasila tidak pernah ada. Pancasila, sejak orba hingga saat ini hanya dijadikan sebagai alat untuk menggebuk lawan politik. Dalam kasus HTI misalnya, HTI dituding anti Pancasila, sementara nilai-nilai Pancasila anti korupsi. Faktanya, yang menuding dan mencabut BHP HTI justru yang banyak kena kasus korupsi. PDIP, Golkar, PKB, PPP, semua pengalaman dalam urusan korupsi. Saat ini, misalnya, nilai Pancasila tidak pernah diterapkan sebagaimana dahulu Pancasila juga hanya menjadi slogan-slogan kosong tanpa isi. Justru, ideologi barat sekuler dan asosialisme China yang eksis dan berebut pengaruh di negeri ini. Penguasaan aset dan tambang oleh asing, Import TKA China, utang yang menggunung, kemiskinan yang akut, sulitnya akses kesehatan bagi rakyat kecil, ancaman disintegrasi Papua, dll. apalah semua ini bentuk implementasi nilai-nilai Pancasila ? Kalau iya, berarti jelek sekali Pancasila itu. Kalau bukan, berarti jelas Pancasila memang tak pernah ada dan diterapkan di negari ini. Kalau realitasnya Pancasila memang tak ada dan tak pernah diterapkan, jadi wajar saja kita tidak perlu mencemaskan Pancasila. Tak perlu pusing menjaga Pancasila dengan membentuk BPIP atau semisalnya. Biarkan, Pancasila eksis sebatas dongeng seperti cerita Sangkuriang atau Bandung Bondowoso. Saya sepakat, Pancasila tak perlu dicemaskan. Karena, Pancasila sudah sejak lama memang tak pernah ada secara kenyataan.
Membaca Kegalauan Syahganda Nainggolan Soal Papua
Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tak terlalu mewakili, apa yang saya tulis ini untuk mengkonfirmasi suasana kebathinan Dr. Syahganda Nainggolan, pemilik lembaga Sabang - Merauke Cyrcle. Isu sparatisme OPM, jika tidak dikelola secara bijak bisa berujung perpecahan. Salah satu provinsi Indonesia Paling timur Indonesia ini bisa lepas menjadi negara mandiri. Jika Papua memisahkan diri mengikuti jejak Timor Timur, terbukti untuk yang kesekian kalinya NKRI bukan harga mati, bentuk dan wilayah negara tak pernah final. Negara, jika tidak berdialektika pada sebuah perubahan yang revolusioner, tak ayal juga pasti berubah secara evolutif. Andaikan Papua lepas, Merauke bukan lagi NKRI. Karena itu, hal ini sangat mengkhawatirkan eksistensi Sabang-Merauke Cyrcle-nya Syahganda. Boleh jadi, lembaga ini beringsut menjadi Sabang - Kupang Cyrcle. Jika tak dicegah dan diselesaikan secara serius, pelan-pelan lembaga milik Syahganda ini akan terus beringsut secara evolutif, bisa juga secara revolusioner. Mungkin, berubah menjadi Sabang - Surabaya Cyrcle, Sabang - Bandar Lampung Cyrcle, atau mungkin berujung menjadi Sabang - Banda Aceh Cyrcle. Semoga saja tidak, Naudzubillah. Hanya saja, penangan krisis papua ini tidak boleh dengan cara lama seperti menangani Timor Timur (Tim-Tim). Saat itu, keran referendum di buka dengan harapan warga tim-tim dalam sebuah jajak pendapat publik mayoritas memilih pro integrasi. Sehinga, posisi Indonesia yang menjadikan tim-tim bagian wilayah NKRI lebih legitimate dimata internasional. Faktanya ? Referendum merupakan jalan lapang bagi Tim-tim menuju kemerdekaannya. Bukan merdeka, tapi memisahkan diri. Sebab, jika Timor-timur merdeka, berarti selama ini Indonesia menjajah Timor timur. Faktanya, selama kekuasan orba Tim-tim adalah provinsi anak emas Soeharto. Ketika itu, mahasiswa tim tim yang kuliah di jawa mendapat banyak fasilitas dan bantuan negara. Subsidi anggaran untuk tim-tim sendiri, terbesar diantara provinsi lainnya. Saat itu, Magewati yang juga ketua PDIP begitu getol mendorong warga bumi lorosae untuk mengadakan referendum. Tanpa perhitungan matang -juga atas tekanan internasional - referendum Timor timur terjadi dan berujung disintegrasi. NKRI ternyata bukan harga mati. Sekarang juga sama, opsi-opsi yang diantaranya opsi referendum, sebagaimana ulasan Syahganda, semoga tidak menjadi pilihan politik Pemerintah. Sebab, opsi referendum sama halnya opsi melepaskan Papua. Itu sebabnya, mahasiswa Papua yang demo di depan istana Presiden tidak menuntut merdeka atau memisahkan diri. Mereka hanya menuntut 'referendum' karena mereka paham jika opsi refeendum ini menjadi pilihan kebijakan politik Pemerintah, sama saja dengan menyetujui Papua merdeka. Itulah target sebenarnya. Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Isu utama papua itu adalah ketidakhadiran negara di Papua, baik untuk memberikan layanan kepada rakyat Papua maupun mengambil sikap tegas pada aparatis OPM. Terlebih lagi, isu Papua adalah isu internasional. Sejumlah negara begitu ngiler dengan SDA Papua yang melimpah, khususnya emas freeport. Amerika jelas punya kepentingan mendorong Papua pisah dari NKRI, karena bernego dengan pemerintahan kecil di Papua jauh lebih negosiable ketimbang bernego dengan NKRI. Yang jelas, Amerika bisa lebih banyak menghemat anggaran suap pejabat, jika Papua memisahkan diri menjadi negara kecil. Amerika tdk perlu lagi berurusan dengan orang Jakarta yang rakus. Amerika, cukup bernego dengan orang Papua dan membentuk pemerintahan boneka di Papua untuk melayani kepentingannya. Sebenarnya ada ide diluar opsi mainstream untuk menyelesaikan persoalan Papua. Solusi anti mainstream ini selain mempertahankan keutuhan wilayah NKRI juga akan menambah luas wilayah negara. Jadi, Kedepan Syahganda tidak perlu khawatir lembaga Sabang - Merauke Cyrcle dilikuidasi. Bahkan, dia bisa melebarkan sayap dengan membentuk lembaga Sabang - Maroko Cyrcle. Ya, itu hanya terwujud jika negeri ini mengambil opsi solusi khilafah. Sebuah sistem pemerintahan yang kuat yang akan menjaga keutuhan wilayah negara, bahkan akan memperluas wilayah negara dengan berbagai penaklukkan ke seluruh penjuru dunia. Kelak, wilayah kekuasan khilafah ini meliputi banyak kawasan, dari Sabang sampai Maroko. Saat itulah, lembaga milik Syahganda bermetamorfosis menjadi lebih besar dan lebih gagah : SABANG - MAROKO CYRCLE. End
Aneh, Menteri Pertanian Amran Membangkang Kepada Jokowi
Seorang menteri tidak boleh menolak atau membangkang perintah presiden. Sebab itu sangat tidak etis dan sangat aneh. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, yang menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara itu presiden. Sehingga presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Umumnya enam bulan sebelum suatu pemerintahan berakhir, pejabat pemerintah dilarang untuk membuat keputusan-keputusan penting dan strategis. Apalagi yang berkaitan dengan pengangkatan atau perpindahan pejabat eselon satu, dua dan tiga di kementerian atau lembaga negara non kementerian. Begitulah pemerintah yang punya etika dan tatakrama. Publik sering menyebut atau mengistilahkan dengan “pemerintahan yang sudah demisioner”. Pemerintahan yang sudah demisioner, biasanya sisa waktunya digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda. Meskipun demikian, enam bulan itu bukanlah angka yang sudah baku menjadi aturan hukum. Tergantung pada presidennya, boleh dilaksanakan, namun boleh juga diabaikan. Hanya masalah etika dan kepantasan saja. Sehingga waktu yang tersisa dipakai untuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan yang belum rampung. Berkiatan dengan itu, sekitar awal Agustus 2019 kemarin, Jokowi melarang para menteri dan pimpinan lembaga negara non kementerian melakukan pergantian pejabat di lembaganya sampai dengan Oktober 2019. Sementara pada hari Minggu tanggal 20 Oktober 2019 nanti adalah hari dan tanggal pelantikan Jokowi sebagai Presiden Indonesia periode kedua. Artinya, Jokowi menginginkan tidak ada pergantian pejabat negara sampai dilantik MPR menjadi presiden Oktober nanti. Selain itu Jokowi juga melarang para menteri dan pejabat pemerintah non kementerian membuat kebijakan-kebijakan strategis. Jokowi juga memerintahkan para menteri agar fokus menyelesaikan pekerjaan yang tersisa sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden Oktober 2019. Perintah Jokowi ini disampaikan ke publik oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Alasan Presiden Jokowi yang disampaikan Moeldoko adalah “saat ini pemerintah sudah masuk momen-momen kritis dalam waktu tiga bulan terakhir. Para menteri juga tidak boleh mengganti pejabat, sehingga mereka tidak punya beban sebelum transisi pemerintahan nantinya”. Larangan tersebut juga berlaku juga terhadap pergantian direksi BUMN, serta pergantian pejabat di lingkungan BUMN. Jika ada kebijakan strategis yang mau dibuat, maka wajib hukumnya untuk dikonsultasikan terlebih dahulu dengan presiden. Contohnya, Kementerian Komunikasi dan Informati tidak membuat keputusan yang berkaitan dengan pengadaan satelit lagi. Tujuan dari perintah Jokowi ini adalah, agar tidak menyulitkan para menteri anggota kabinet baru nanti. Perintah Presiden Jokowi ini, ada yang mau melaksanakan dengan tulus dan ikhlas. Sayangnya, ada juga menteri yang tidak mau melaksanakan. Bahkan bisa ditafsirkan publik sebagai bentuk pembangkangan kepada perintah presiden. Satu diantara pejabat negara yang membangkang perintah Jokowi tersebut adalah Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Amran Sulaiman berani membangkang perintah Jokowi, dengan melakukan perombakan di jajaran pejabat eselon satu dan dua Kementeraian Pertanian. Amran belum lama ini melantik empat pejabat eselon satu dan tujuh pejabat eselon dua. Diantaranya Momon Rusmono yang diangkat Amran menjadi Seketaris Jendral Kementerian Pertanian. Sebelumnya Momon Rusmono adalah Kepala Badan Pengembangan Penyuluhan dan Sumberdaya Manusia Partanian (BPPSDMP). Selain itu, Amran juga melantik Prihasto Setyanto sebagai Dirjen Hortikultura. Sebelumnya Prihato menjabat Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura. Prihasto menggantikan Suwandi, yang diangkat Amran Sulaiman menjadi Dirjen Tanaman Pangan. Sedangkan posisi kepala BPPSDMP yang ditinggal Momon, dipercayakan kepada Dedi Nusyamsi. Sebelumnya Nursyamsi menjabat Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Selain itu, Amran juga mencopot Gatot Irianto, yang sebelumnya menjabat Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian. Gatot kini ditempatkan Amran sebagai Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian. Posisi Dirjen yang ditinggalkan Gatot, sampai sekarang masih kosong. Bukan hanya di jajaran eselon satu Kementerian Pertanian. Amran Sulaiman juga ternyata melakukan perombakan di jajaran eselon dua. Tidak kurang dari tujuh pejabat eselon dua di Kementerian Pertranian yang dirotasi oleh Amran. Langkah yang ditempuh Amran ini, jelas-jelas selain melakukan pembangkangan kepada Presiden Jokowi, juga melanggar prinsip-prinsip dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab untuk mempromosikan atau mendemosi seorang pejabat ASN, harus didahulai dengan pemeriksaan dan evalusi internal terhadap pejabat tersebut. Bila hasil pemeriksaan, ditemukan si pejabat tersebut bersalah, maka wajib hukumnya terkena demosi. Namun bila pejabat tersebut tidak bersalah, bahkan berprestasi dalam tugas yang dibebankan kepadanya, maka wajib juga untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Paling kurang tidak didemosi dari jabatan yang sedang dipercayakan kepadanya. Kalau mau dipindahkan, maka seharusnya pada jabatan dengan tugas dan bobot kerja pada eselon yang sama. Seorang menteri tidak boleh menolak atau membangkang perintah presiden. Sebab itu sangat tidak etis dan sangat aneh. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, yang menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara itu presiden. Sehingga presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Menteri mutlak harus tunduk dan patuh kepada perintah yang dibuat oleh presiden. Menteri juga tidak boleh bertindak di luar dari pengarahan yang sudah diberikan oleh presiden. Kalau Menteri Amran telah nyata-nyata melakukan pergantian eselon satu dan dua di Kementerian Pertanian, maka presiden seharusnya memberikan teguran keras kepadanya. Jokowi harus memanggil Menteri Amran untuk mengklarifikasi masalah ini. Sebab sikap Amran Sulaiman ini memberi indikasi, “tidak patuh kepada perintah dan arahan presiden”. Peristiwa ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi periode berikutnya. Sebaiknya menteri tidak asal main copot pejabat ASN. Kalau menteri ingin mencopot atau menaikan seorang pejabat, maka harus berpijak dan berbasis pada kinerja dari pejabat tersebut. Kinerja adalah salah satu bentuk keadilan administrasi yang dilembagakan di dalam undang-undang ASN. Tujuannya, agar pegawai ASN tidak mudah untuk didemosi atau dirotasi sesuka hati oleh menteri. Jika pencopotan tersebut di luar basis kinerja, maka Amran Sulaiman telah bersikap dengan sewenang-wenang. Bahasa kerennya otoriter atau suka-suka hati sang menteri. Padahal, pola-pola lama yang sok berkuasa seperti ini sudah tidak cocok lagi dipakai di era roformasi sekarang. End
Please, Jangan Bermain-main dengan Isu Ustad Abdul Somad
UAS saat ini menjadi idola dan panutan dari sebagian besar umat Islam. Bukan hanya di Indonesia. Kehadirannya juga sangat dinantikan di negara-negara jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri puluhan, bahkan ratusan ribu jamaah. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Bangsa kita tampaknya ditakdirkan menjadi bangsa yang gaduh. Ada saja yang bisa dijadikan bahan kegaduhan. Apalagi di era digital. Hanya saja perlu diingatkan, kalau hal ini terus berlanjut: KITA TIDAK AKAN PERNAH KEMANA-MANA! Ketika banyak ahli di berbagai negara melakukan eksplorasi kecerdasan buatan ( artificial intellegence/AI). Mengaplikasikannya untuk membuat hidup manusia lebih mudah, kita asyik ribut sendiri sesama anak bangsa. Ketika China sedang mengembangkan matahari dan bulan buatan, kita sibuk berkutat dengan isu-isu rasialisme, dan agama. Ketika China menyerbu pasar kita dengan berbagai produk mereka, menggelontor negara dengan utang dan barang modal mereka, kita malah sibuk bertikai. Selain kasus di Papua, dalam beberapa hari terakhir ada yang sibuk menggoreng video ceramah Ustad Abdul Somad (UAS). Mengipas-ngipasi, sehingga api kebencian itu membesar dan membakar kesumat. Rupanya ada sekelompok orang yang kerjanya mengorek-ngorek sampah. Mengorek lubang tinja sebagai modal untuk membuat kegaduhan, keributan. Dan yang lebih mengerikan mengadu antar-sesama anak bangsa. Bagaimana mungkin tiba-tiba video lama UAS menjadi viral. Sejumlah orang dan lembaga kemudian mengadukannya ke polisi. UAS dinilai menghina dan mendeskreditkan patung salib dan Jesus Kristus. Sebagaimana klarifikasi UAS, video itu merupakan potongan ceramahnya pada kajian Sabtu pagi di masjid Annur, Pekanbaru. Sekitar tiga tahun lalu. Ceramah tersebut dilakukan di tempat tertutup. Dengan jamaah terbatas. Khusus umat Islam. Dan UAS menjawab pertanyaan jamaah. Ceramah itu juga tidak dipublikasikan melalui media, ataupun media sosial. Satu hal lagi yang perlu dicatat, jawaban UAS kendati disampaikan secara jenaka, rujukannya sangat jelas Al Quran dan Al Hadits. Sebagai penceramah, UAS mempunyai ciri khas mempersatukan. Dia tidak pernah mempertentangkan antara satu madzhab dengan madzhab yang lain. Karena itu UAS bisa diterima umat islam secara luas. Dengan latar belakang sebagai nahdliyin —dia pernah menjadi pengurus NU di Riau—dia bisa diterima kalangan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Al Wasliyah Dll Posisinya cukup jelas. Bukan Ustad tukang cari-cari masalah. Tukang provokasi, apalagi membuat gaduh. Tugas seorang ustadz— termasuk para pemuka agama lainnya— untuk menjaga iman dan aqidah para jamaahnya. Soal ini seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dipertentangkan. Tinggal dikembalikan kepada kebijakan masing-masing. Kapan, dimana, kepada siapa disampaikan, serta bagaimana cara menyampaikannya. Dengan pemahaman semacam itu, sangat dimengerti bila UAS menolak untuk minta maaf. Permintaan maaf karena tekanan dari kelompok, atau perorangan tertentu akan berdampak serius terhadap doktrin dan aqidah umat Islam. Selain itu permintaan maaf UAS akan berdampak makin bersemangatnya para pengorek lubang tinja ini mencari-cari kesalahan para pemuka agama. Tolong dicatat! Bukan hanya Islam, tapi juga pemuka-pemuka agama lainnya. Bisa dibayangkan betapa sibuknya aparat Polri. Betapa gaduhnya bangsa ini, bila itu terjadi. (Cabut dan tolak) Melihat kronologis dan setting peristiwanya, tidak berlebihan bila kita curiga ada kelompok-kelompok tertentu yang menggoreng isu ini. "Kita menduga ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut,” kata Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau Datuk Seri Syahril Abubakar. UAS saat ini menjadi idola dan panutan dari sebagian besar umat Islam. Bukan hanya di Indonesia. Kehadirannya juga sangat dinantikan di negara-negara jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri puluhan, bahkan ratusan ribu jamaah. Jadwal ceramahnya padat sepanjang tahun. Mulai di mushola kecil, masjid, stadion, sampai lapangan terbuka semua dilayani. Video ceramahnya beredar luas di media sosial. Pengikutnya di medsos jumlahnya jutaan. Bersaing, bahkan mengalahkan para pesohor lainnya. Selain ustad, dia adalah selebriti. Mempersoalkan UAS, apalagi mengadukannya ke polisi dipastikan akan memancing kegaduhan besar. Apalagi jika sampai diperiksa polisi dan disidangkan ke pengadilan. Kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Bangsa kita akan kembali terjerembab dalam huru-hara dan keributan besar. Energi bangsa akan terkuras habis. Saat ini saja sudah banyak beredar video-video dari pendeta Kristen yang dinilai menghina Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Banyak kelompok, maupun pengacara yang menyatakan akan membela UAS. Bagi pemerintahan Jokowi, kasus ini bila diteruskan, akan sangat tidak menguntungkan. Umat Islam akan semakin merasa dimusuhi. Stigma bahwa Polri menjadi lembaga yang digunakan untuk kriminalisasi umat dan ulama akan kian kuat. Tidak ada gunanya meneruskan kasus ini. Kepada para pelapor, segera cabut laporannya. Anda tidak menyadari dampak buruk yang akan dihadapi bangsa ini, bila masih ngotot meneruskan kasus ini. Polri juga bisa bersikap pro aktif. Sebagai penegak hukum punya kewenangan tidak memproses dan meneruskan kasus ini. Apalagi delik dan dasar hukumnya tidak kuat. Please, jangan bermain-main dengan isu UAS. Anda tidak sadar tengah bermain-main dengan api. Api yang bisa membakar diri Anda sendiri dan lebih berbahaya lagi membakar ramah besar Indonesia. End
Mungkinkah Papua Merasa Bukan Bagian dari Indonesia?
Bagi saya, peristiwa kerusuhan di Manokwari dan Sorong, plus aksi damai di halaman kantor Gubernur Papua di Jayapura, Senin, 19 Agustus 2019, menyeruakkan sesuatu yang suram dan seram. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Banyak dugaan dan pernyataan tentang penyebab kerusuhan di Papua Barat, khususnya di Manokwari dan Sorong. Dugaan yang paling banyak diyakini adalah bahwa penggerebekan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang merupakan penyulut kerusuhan itu. Masyarakat Papua merasa tersinggung. Para pelaku penggerebekan itu meneriakkan kata-kata yang sifatnya rasis. Penghinaan. Mereka tak terima orang-orang yang mendatangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya disebut ‘monyet’ , dlsb. Berbagai julukan yang menyakitkan. Ucapan yang tak pantas itu memang dikaui telah terucapkan. Salah seorang yang mendatangi asrama itu mengakuinya dan meminta maaf. Kapolri dan pejabat-pejabat lain pun sepakat bahwa penggerebekan asrama Papua di Surabaya dan Malang menjadi penyulut kerusuhan. Tetapi, apakah kita merasa cukup sekadar menemukan penyebab kerusuhan Manokwari itu? Tidakkah kita perlu menerawang lebih jauh dari ucapan-ucapan rasis tadi? Boleh jadi sangat perlu. Perlu melihat sisi lain Papua yang mungkin tidak kita anggap penting lagi. Karena kita mengambil sikap “take for granted” (sudah terjamin) bahwa Papua (yang terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) secara de-jure adalah bagian dari NKRI. Buktinya, bendera Merah-Putih tetap berkibar di kedua provinsi itu. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi di sana. Struktur administrasi pemerintahan tidak berbeda dengan bagian lain Indonesia. Semuanya sudah Indonesia di Papua. Tidak ada yang tidak Indonesia. Kontrak Freeport diperpanjang oleh pemerintah Indonesia. TNI dan Polri ada di sana. Bahkan, “orang Indonesia” pun bisa hidup berdampingan secara damai dengan “orang Papua”. Tapi, belakangan ini mengapa Papua menjadi sangat sensitif bagi penguasa di Jakarta? Dan, sebaliknya, mengapa Papua kelihatan lebih percaya diri untuk menyatakan bahwa Jakarta yang perlu Papua, bukan Papua yang perlu Jakarta? Mungkinkah Papua merasa mereka bukan anak kandung Indonesia? Mungkinkah mereka merasa bukan bagian dari Indonesia? Bagi saya, peristiwa kerusuhan di Manokwari dan Sorong, plus aksi damai di halaman kantor Gubernur Papua di Jayapura, Senin, 19 Agustus 2019, menyeruakkan sesuatu yang suram dan seram. Dari sini, semakin terang bahwa orang Papua belum terintegrasi sepenuhnya ke dalam Indonesia. Ini yang saya baca dari jauh. Ini cukup suram. Seolah tersimpan jawaban “iya” untuk kedua pertanyaan di atas. Orang di bagian lain Indonesia dan para pemuka Papua sendiri boleh-boleh saja mengatakan bahwa Papua adalah NKRI. Masih NKRI. Tetapi, bagi saya, peristiwa terbaru kemarin ditambah dengan sejarah gerakan separatis Papua memberikan gambaran bahwa rakyat Tanah Cendrawasih tidak sepenuh hati berada di dalam NKRI. Mari kita telusuri beberapa gejala ringan tetapi bercerita tentang sesuatu yang berat. Pertama, ada rekaman video yang menunjukkan dialog antara (kelihatannya) aparat kecamatan plus anggota ormas dengan sejumlah mahasiswa Papua di dalam komplek asrama mahasiswa di Surabaya tentang pemasangan bendera Merah-Putih. Aparat dan anggota ormas membujuk agar mahasiswa memasang bendera nasional. Tetapi, secara diplomatis para mahasiswa tidak mengikutinya. Sampai akhirnya terjadi kegaduhan. Nyaris bentrok fisik. Kedua, dalam wawancara dengan tvOne setelah kerusuhan di Manokwari, Gubernur Papua Lukas Enembe menggunakan kalimat-kalimat yang mengesankan seolah Papua dan Indonesia adalah dua entitas yang berbeda. Seakan sama-sama entitas negara. Beberapa kali Gubernur Enembe mengatakan, “Orang Indonesia tidak boleh memancing emosi orang Papua.” Kalimat seperti ini jelas memunculkan arti bahwa Papua berada di luar Indonesia. Kalau dia katakan, “Orang Jawa tidak boleh memancing emosi orang Papua,” barulah jelas bahwa Jawa dan Papua sama-sama bagian dari Indonesia. Mengapa Enembe berucap seperti itu? Hanya beliaulah yang tahu. Saya hanya bisa menduga bahwa Enembe mungkin sedang mewakili perasaan orang Papua pada umumnya perihal keberadaan mereka di dalam NKRI. Maksud saya, Enembe sendiri sepertinya tidak 100% merasa bagian dari Indonesia. Sehingga, sadar atau tak sadar, dia menggunakan kalimat yang mempertentangkan Indonesia dengan Papua. Tak mungkin Enembe lupa bahwa yang sedang bertikai sekarang ini adalah sesama anak bangsa. Bukan insiden antara dua negara. Hebatnya lagi, Gubernur Enembe bisa dengan entengnya mengkuliahi para penguasa di Jakarta. Tak terbayangkan seandainya gubernur Riau atau gubernur Sulawesi Selatan yang bicara ceplas-ceplos seperti Enembe. Pastilah kedua gubernur itu akan dibully oleh para menteri dan buzzer bayaran. Barangkali, inilah yang menunjukkan orang Papua yakin betul bahwa Indonesialah yang perlu dengan Papua. Bukan sebaliknya. Ketiga, ketika berorasi di halaman kantor gubernur Papua di Jayapura, beberapa hari lalu, seorang ibu yang tampak sangat intelek menyampaikan keberatannya terhadap perlakuan rasis di Surabaya. Menariknya, di akhir orasi dia meneriakkan yele-yel “Papua” yang kemudian dijawab massa dengan pekikan “Merdeka”. Sampai tiga kali. Ini tak bisa dianggap sepele. Orasi itu mencerminkan aspirasi orang banyak. Keempat, sejak beberapa tahun belakangan ini warga Papua perantauan di Jawa percaya diri berdemo menuntut penentuan nasib sendiri. Tepatnya menuntut referendum. Lokasi demo itu pun juga di Surabaya. Kelima, perjuangan kemerdekaan Papua semakin mendapatkan perhatian serius di level internasional. Sudah sampai ke markas PBB. Dari berbagai gejala ini, tidaklah berlebihan kalau ada yang menyimpulkan bahwa aspirasi Papua Merdeka akan semakin mengeras. Persoalannya, kalau tuntutan merdeka itu digiring atau tergiring ke konflik fisik, tentunya Indonesia tidak akan membiarkan. Pasti Indonesia tidak akan rela. Inilah skenario yang menyeramkan. Pertumpahan darah menjadi tak terelakkan. Jakarta pasti akan mati-matian menumpas gerakan separatis. Seram. Sekarang, wajarkah Papua merasa bukan bagian dari Indonesia? Perlakuan pemerintah pusat dalam 40 tahun belakangan ini memang membekaskan luka dan kemarahan orang Papua. Mereka merasa bumi Papua dikuras habis oleh Jakarta dan tidak banyak yang dikembalikan ke rakyat mereka. Ketidakadilan merajalela terhadap warga Papua. Dan sebetulnya juga terhadap banyak warga Indonesia lainnya. Ini membuat orang Papua dari waktu ke waktu semakin jauh dari induknya. Boleh jadi mereka merasa bukan anak kandung Indonesia. Tidak merasa bagian dari Indonesia. (Penulis adalah wartawan senior) 21 Agustus 2019
Melawan Megawati, Jokowi Terpapar Radikal?
Presiden Joko Widodo terpapar paham radikal? Jika mengacu pada perbedaan pendapat dan berseberangan itu dianggap radikal, maka Jokowi bisa dikategorikan terpapar radikal karena berbeda sikap dengan PDIP. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rencana amandemen terbatas UUD 1945 yang sebelumnya disepakati DPR, tampaknya bakal ditolak Presiden Joko Widodo. Sikap Presiden Jokowi ini jelas berseberangan dengan PDIP, parpol pengusung5 utama saat Pilpres 2014 dan 2019. Dia mengisyaratkan menolak amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menghidupkan kembali, menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN. “Saya ini kan produk pemilihan langsung,” ujarnya saat makan siang bersama para pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019, seperti dilansir oleh Tempo.co, Rabu (14/8/2019). Jokowi menyatakan, GBHN juga tidak diperlukan lagi. Alasannya, zaman bergerak dengan cepat dan dinamis sehingga harus direspons dengan cepat. Menurutnya, GBHN tak memiliki kemampuan untuk menjawab perkembangan zaman tersebut. Jokowi kemudian menuturkan, arah pembangunan sebenarnya sudah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Nasional (RPJMN dan RPJPN).MPR merancang amendemen kelima UUD 1945 sejak tahun lalu. Rencana perubahan konstitusi didasari keinginan sejumlah parpol untuk menghadirkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mereka berpendapat GBHN penting untuk menyelaraskan visi dan misi pembangunan. Mayoritas partai di parlemen dikabarkan telah menyepakati amendemen terbatas ini. Masa jabatan parlemen periode 2014-2019 yang sudah hampir habis membuat pembahasan tersebut dilimpahkan kepada anggota MPR periode 2019-2024. Dalam rekomendasi hasil Kongres V PDIP di Denpasar, partai yang dipimpin Megawati itu juga kembali menegaskan perlunya amandemen UUD 1945 untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional dengan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, amendemen terbatas merupakan tanggung jawab partainya memberikan arah dan kepastian pembangunan nasional. Menurutnya, amendemen tersebut justru akan menjadi warisan kepemimpinan Jokowi yang visioner. “Pak Jokowi itu kader PDIP, apa yang telah dilakukan presiden justru akan menjadi dasar bagi rancangan haluan negara tersebut,” kata Hasto lewat keterangan tertulis, kemarin. Hasto juga menjamin amendemen tersebut tak akan melemahkan sistem presidensial. Ketum DPP Partai NasDem Surya Paloh menilai, wacana amandemen terbatas UUD 1945 perlu kajian lebih lanjut. Ia menyatakan, partainya di parlemen akan melihat seberapa jauh urgensi dari wacana amendemen tersebut. “Saya pikir dalam pengkajian, kalau tidak menutup kemungkinan NasDem lihat mana jauh lebih berarti,” ungkap Surya Paloh, seperti dilansir Tribunnews.com, Kamis (15/8/2019). “Kita ikut segera lakukan amendemen UUD, kita kembali ke UUD 1945 seutuhnya, atau terima model dan sistem demokrasi yang seperti ini dengan segala konsekuensi?” lanjut Surya Paloh. Satu diantara wacana amandemen terbatas adalah menghidupkan kembali GBHN. Ia menilai jika amandemen itu membuat negara lebih baik, dia akan mendukung hal itu. Sebaliknya, jika tidak baik, menurutnya, tak perlu ada yang diubah. “Jika kita anggap ini sudah paling bagus, semakin mendekati cita-cita kemerdekaan, ngapain diubah? Tapi kalau ancam negara kesatuan, kita ini hanya berikan kebebasan berserikat yang dipaparkan dengan kelompok radikalisme, sekali lagi radikalisme, dan garis keras, perlu kita kaji,” ucapnya. Sebelumnya, MPR masa kepemimpinan Zulkifli Hasan (2014-2019) akan mengeluarkan rekomendasi untuk mengamandemen terbatas UUD 1945. Khususnya, pasal yang mengatur eksistensi dan kedudukan MPR. Yang intinya agar MPR diberikan kembali wewenang untuk menetapkan GBHN atau pembangunan nasional semesta berencana. Rekomendasi tersebut nantinya akan diberikan kepada MPR periode selanjutnya, 2019-2024. “Kita sudah sepakat perlunya amandemen terbatas UUD 1945. Jadi, karyanya MPR sekarang pokok-pokok pikiran perlunya amandemen terbatas, ada bukunya, ada karyanya,” katanya, Rabu (24/7/2019). Selain amandemen soal GBHN, ternyata Presiden Jokowi juga menyatakan tidak setuju atas wacana agar pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan lagi sebagai kewenangan MPR RI, bukan dipilih langsung oleh rakyat. Wacana itu sedang membahana seiring adanya usulan UUD 1945 diamandemen agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, dan pengembalian pemberlakuan GBHN. Kata Jokowi, sistem pilpres secara langsung yang telah diterapkan sejak 2004 sudah tepat. “Saya ini terpilih jadi presiden melalui sistem pemilu langsung, jadi kenapa harus kembali ke sistem yang lama,” tukas Jokowi. Menurutnya, sistem pilpres langsung seperti kekinian sudah tepat, tak lagi perlu diubah, apalagi dikembalikan pada mekanisme perwakilan. Ia justru mengkhawatirkan, kalau sistem pilpres kembali memakai mekanisme keterwakilan via voting anggota MPR, bisa menimbulkan reaksi beragam dari berbagai kalangan sehingga membuat kegaduhan politik. *Kapitalis Radikal* Surya Paloh menyebutkan bahwa sistem bernegara Indonesia menganut sistem kapitalis yang liberal. Ia mengatakan itu ketika memberikan kuliah umum di Kampus UI, Jakarta Pusat, yang bertajuk “Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan”. “Ketika kita berkompetisi (dalam pilpres dan pilkada), wani piro. Saya enggak tahu lembaga pengkajian UI ini sudah mengkaji wani piro itu saya enggak tahu, praktiknya yang saya tahu money is power, bukan akhlak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan ilmu pengetahuan juga. Above all, money is power,” kata Surya Paloh, Rabu (14/8/2019). Artinya, lanjut dia, sebenarnya Indonesia malu-malu kucing untuk mendeklarasikan sebagai negara kapitalis yang liberal. “Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal, itulah Indonesia hari ini,” jelas Surya Paloh. Tokoh nasional ini pun menyayangkan sistem politik yang cenderung kapitalis dan liberal di Indonesia, di mana tidak mendapat perhatian para akademisi. Padahal, realitas di Indonesia saat ini bertentangan dengan Pancasila. “Tidak ada pengamat, lembaga penelitian dan lembaga ilmiah tidak memperhatikan. You tahu enggak bangsa kita ini adalah bangsa yang kapitalis hari ini. You tahu enggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini,” katanya. “Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila. Tanpa kita sadari juga, kalau ini memang kita masuk dalam tahapan apa yang dikategorikan negara kapitalis,” papar Surya Paloh, seperti dilansir Republika.co.id, Rabu (1/8/2019). Menurut dia, saat ini Indonesia terlalu bersahabat dengan pragmatisme transaksional. Kita bertikai satu sama lain. Kita dekat dengan materialistik, kita bersahabat dengan pragmatisme transaksional, kita pakai jubah nilai-nilai religi. “Tapi kita sebenarnya penuh hipokrisi (munafik),” ujar Surya Paloh. Ia juga mempertanyakan apakah masyarakat Indonesia mampu mempertahankan NKRI ini karena sistem yang tumbuh dan berkembang adalah non-Pancasila. “Ada ideologi baru yang ditawarkan, entah apa bentuknya, saya minta penelitian dari UI,” pinta Surya Paloh tanpa menyebutkan ideologi yang dimaksud. Namun, dari narasi yang sering diucapkan pejabat, biasanya khilafah. Menurut pengamat politik Dedi Kurnia Syah, penyataan Surya Paloh tentang Indonesia yang sekarang menganut sistem negara kapitalis yang liberal bukan lagi bersandar pada ideologi Pancasila. Bagian dari motif politik NasDem untuk tidak didepak dari koalisi. Jadi, pernyataan Surya Paloh ini memiliki maksud terselubung untuk menyerang pemerintah. “Hemat saya, statement SP secara konteks bisa saja benar, dan ini adalah sikap kritis politisi. Meskipun di belakang itu, ada semacam motif politik untuk menyerang pemerintah,” ujarnya. “Termasuk serangan terhadap PDIP sebagai mitra koalisi yang juga menaungi Presiden,” ujar Dedi Kurnia di Jakarta, Kamis (15/8/2019). Menurutnya, ada dua alasan dimana Surya Paloh yang secara terang-terangan berani mengeluarkan statement tersebut. “SP bicara dalam kapasitas politisi, dia memahami antara realitas dan konsep yang hanya dipahami di atas kertas,” ujarnya. Kedua, relasi Surya Paloh tengah di ambang keretakan antara Presiden Jowi dengan Nasdem itu sendiri. Terlebih, hingga saat ini baik Surya Paloh maupun Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pamer kekuatan di internal koalisi. “Secara politik menjadi penanda jika hubungan SP dan Presiden dalam kondisi tidak baik, termasuk juga relasinya dengan mitra koalisi secara khusus PDIP,” tegas Dedi Kurnia, seperti dilansir PolitikToday.com, Kamis (15/8/2019). Keditakharmonisan Surya Paloh (NasDem) dengan Megawati (PDIP) jelas akan berpengaruh pada posisi sebagai Presiden Terpilih pada Pilpres 2019. Apalagi, terkait dengan amandemen UUD 1945, Jokowi “berseberangan” dengan PDIP. Jika Jokowi tidak hati-hati, bukan tidak mungkin Megawati akan memobilisasi kekuatannya bersama parpol sevisi di DPR untuk “menghadang” Jokowi di MPR. Lho, koq bisa? Politik itu dinamis, Bro! Bisa saja petanya berubah setiap saat! ***
KSAD Akhiri Polemik, Mahfud Sayembara Tauhid!
Masalah Enzo makin melebar setelah Mahfud meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhid itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap bacaan sholat. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN -Apresiasi patut diberikan kepada KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa. Akhirnya TNI telah memutuskan untuk mempertahankan calon perwira Enzo Zenz Allie. Menurut Jenderal Andika, taruna Akmil yang dipersoalkan karena sempat dicurigai terlibat HTI ini, lulus dalam tes obyektif lanjutan yang dilakukan untuk mengukur kadar kesadaran bernegara Enzo. “Kami, Angkatan Darat, memutuskan, untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie dan semua taruna Akademi Militer yang kami terima beberapa waktu lalu, sejumlah 364 orang,” ujar Jenderal Andika di Mabes TNI AD, Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2019. Jenderal Andika menyampaikan, berdasarkan hasil tes obyektif lanjutan, indeks moderasi bernegara Enzo adalah 5,9 dari tujuh. Enzo, seorang WNI yang juga keturunan Perancis, mendapat persentase skor 84 persen. “Enzo (ketika) dilihat dari indeks moderasi bernegara, itu ternyata kalau dikonversi menjadi persentase, itu memiliki nilai 84 persen,” lanjut Jenderal Andika, seperti dilansir Viva.co.id, Selasa (13/8/2019). Menurut Jenderal Andika, tes obyektif lanjutan yang dilakukan pada Enzo, bisa dipastikan akurasi dan validitasnya. TNI telah bertahun-tahun juga menggunakan instrumen tes untuk memastikan kesadaran bernegara para taruna. “Akurasi, validasi, bisa dipertanggungjawabkan, karena sudah digunakan beberapa tahun,” ujar Jenderal Andika. Nama Taruna Enzo Zenz Allie menjadi viral ketika video percakapan menggunakan bahasa Prancis dengan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto diunggah di medsos. Fisiknya yang rupawan membuat blesteran Prancis-Indonesia itu akhirnya banyak mendapat sorotan. Video yang diunggah Puspen TNI dalam akunnya di Instagram menyebut bahwa Enzo adalah remaja yang berbakat. Putra almarhum Jean Paul Francois-Siti Hajjah Tilaria itu menguasai lima bahasa: Indonesia, Arab, Inggris, Prancis, dan Italia. Remaja 18 tahun itu juga mengantongi sejumlah penghargaan lari dan renang serta memiliki fisik kuat. Berdasarkan uji seleksi, dia dinyatakan lulus seleksi Akmil 2019. Namun, tak lama setelah itu, muncul foto Enzo dengan membawa bendera Tauhid. Foto Enzo membawa bendera Tauhid itu kemudian diunggah seorang netizen. Bendera yang “diindentikkan” dengan Bendera HTI yang dibawa cowok tampan berprestasi ini pun seketika menjadi kontroversi. Pakar Hukum Tata Negara Prof. Mahfud MD yang juga anggota Dewan Pengarah BPIP ini sampai berkomentar bahwa TNI kecolongan dengan menerima Enzo sebagai salah satu dari 364 Taruna Akmil yang lolos seleksi. Masalah Enzo makin melebar setelah Mahfud meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mungkin Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhid itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap bacaan sholat. Jadi, jauh sebelum HTI terbentuk, kalimat tauhid itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Yang terpapar paham radikal itu sebenarnya adalah yang berani membakar bendera tauhid, sebab siapapun, yang anti agama itu cuma paham komunis anti Pancasila. Kepala Sekolah Ponpes Al Bayan, Deden Ramdhani, juga membantah blasteran Prancis itu anggota HTI. Deden mengatakan, pesantren yang diasuhnya juga bercorak ahlussunnah wal jamaah (aswaja) serta menyatakan setia kepada NKRI. “Sebagai lembaga tentu pemahaman kami ahlussunnah wal jamaah dan NKRI harga mati,” kata Deden Ramdhani saat ditemui wartawan di Anyer, Serang, Banten, Rabu (7/8/2019). Deden menilai santrinya tak mungkin masuk Akmil jika punya keterkaitan dengan HTI. Sebab, seleksi di TNI begitu ketat. “Enzo sudah jelas Pancasilais dan cinta NKRI,” ujarnya. Ibunda Enzo, Siti Hadiati Nahriah, bahagia putranya lolos seleksi Akmil TNI. Karena, dia mengatakan menjadi prajurit TNI adalah cita-cita Enzo sejak kecil. Sayembara Mahfud Polemik Enzo telah membuat Mahfud MD akhirnya membuat sayembara. Di akun sosmed twitter-nya Mahfud mentwit sayembara “Mahfud MD Bakal Kasih Rp 10 Juta ke Pihak yang Bisa Buktikan Dirinya Anti-Bendera Tauhid”. Adalah Prof. Katana Suteki yang langsung merespon tantangan Mahfud. Suteki justru tantang balik Mahfud yang merasa yakin tidak pernah mempermasalahkan Bendera Tauhid. Menurut Suteki, ia sejak awal tidak pernah mempersoalkan Bendera Tauhid ini. “Kalau saya sendiri memang dari awal tidak pernah mempersoalkan Bendera Tauhid ini, tapi saya malah dituduh terpapar radikalisme dan terkait organisasi radikal. Piye jal? Pusing kan?” begitu komentar Suteki dalam akun FB-nya. “Sebagai bukti bahwa Prof Mahfudz tidak mempersoalkan Bendera Tauhid, apakah kira-kira beliau sebagai Pimpinan BPIP sanggup menyandang Bendera Tauhid di pundaknya seperti yang saya lakukan berikut ini?” tantang Suteki. Mestinya berani karena tidak ada persoalan dengan Bendera Tauhid. Mahfud ditantang, bila berani menyandang Bendera Tauhid di pundaknya seperti yang Suteki lakukan, “Akan saya “aturi hadiah” sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) – maaf sesuai dengan kemampuan saya saat ini – tunai.” Menurut Suteki, apakah dengan menyandang bendera Tauhid ini lalu dirinya akan dikatakan Terpapar Radikalisme? “Jika saya berdalih pada pendapat Prof Mahfudz, seharusnya dengan menyandang Bendera Tauhid ini tidak boleh dikatakan bahwa Prof Suteki terpapar tadikalisme. Begitu kan logika berpikir yang benar?” tegas Suteki. Sebelumnya, seorang warganet juga menantang Mahfud untuk mengibarkan Bendera Tauhid dengan imbalan Rp 18 juta. Awalnya, si pemuda ini menantang Mahfud dengan nilai sebesar Rp 12 juta, lebih besar Rp 2 juta daripada sayembara Mahfud. “Sayembara pak, sy ksh 12jt kalau bapak pake pose begini. Saya yakin bapak tidak anti kalimat tauhid. Gpp pak, sy lagi kere... Tp bslah saya carikan 12jt asal bapak buktikan dgn begini.. jadi clear bapak tdk anti kalimat tauhid,” tulis @ArLex_Wu di akun twitternya. Ia kemudian mentwit lagi jika total sayembara menjadi Rp 18 juta. “Pak @mohmahfudmd total sayembara jadi 18jt. Ada kawan2 yg ikutan nyumbang. Piye pak?” tulisnya meralat tawaran nilai sayembara yang disampaikan sebelumnya. Bahkan, belakangan, ada juga yang sampai berani menawarkan sayembara dengan nilai yang setara dengan gaji Mahfud di BPIP lebih dari Rp 100 juta. Semoga Mahfud segera sadar diri bahwa tidak sepatutnya Bendera Tauhid disayembarakan. Rasanya tidak perlu cari bukti “Dirinya Anti-Bendera Tauhid”. Karena setiap Muslim ketika meninggal nanti kerandanya pasti ditutupi kain bertuliskan kalimat Tauhid! Dan, untungnya Jenderal Andika sudah mengakhiri polemik Enzo. Bravo TNI! ***
Siapa Bilang Mereka Sudah Merdeka?
Masih banyak yang meminta-minta di jalanan. Masih banyak yang terpaksa menghuni kandang hewan. Makan seadanya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebagaimana ritual mewah-meriah setiap tahun di Istana Negara, Istana Gubernur, Istana Bupati, Istana Walikota, hari ini juga akan berlangsung peringatan kemerdekaan RI ke-74. Dengan segala tayangan kehebatan segelintir orang. Mereka itulah yang sudah lama dan sudah banyak menikmati kemerdekaan. Mereka datang ke Istana dengan kendaraan supermewah. Dengan busana serba baru dan ‘high class’. Tas tangan puluhan juta. Sepatu belasan juta. Jam tangan ratusan juta. Mereka telah lama menikmati kemerdekaan di atas penderitaan rakyat miskin. Ada yang menyandang sebutan konglomerat, pengusaha besar, presiden, mantan presiden, ketua DPR, menteri, mantan menteri, ketua MA, ketua MK, dirut BUMN, komisaris BUMN, gubernur, bupati, anggota badan-badan negara, para petinggi berbintang yang memiliki piaraan, dan banyak lagi. Mereka memiliki kekayaan tunai miliaran, belasan miliar, puluhan miliar, ratusan miliar, sampai triliunan. Mereka itulah yang sudah merdeka. Merdeka dari kekurangan. Merdeka dari kesulitan hidup. Yang telah lama merdeka dari panas terik matahari. Merdeka menikmati fasilitas perawatan medis kelas dunia. Merdeka menggunakan pesawat jet pribadi, terbang dengan first class, business class. Duduk-duduk di lounge bandara dengan sajian makanan-minuman serba mewah dan melimpah-ruah. Merekalah yang telah mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara. Cara yang halal, setengah halal, atau dengan segala cara. Banyak mereka yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang haram dan sangat tidak terhormat. Merekalah yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri. Membeli rumah atau apartemen mewah di kota-kota mahal. Memiliki rekening bank dalam dollar, pound-sterling, euru, yuan, yen, dll. Berliburan secara reguler dengan fasilitas serba luks. Merekalah yang sudah lama merdeka. Telah lama merdeka menipu rakyat, memeras rakyat, menzalimi rakyat. Tetapi, setelah 74 tahun, masih banyak rakyat Indonesia yang belum merdeka. Belum merdeka dari kemiskinan. Belum merdeka dari kesulitan hidup dan himpitan ekonomi. Belum merdeka dari profesi pemulung sampah. Belum merdeka dari status gelandangan. Masih banyak yang meminta-minta di jalanan. Masih banyak yang terpaksa menghuni kandang hewan. Makan seadanya. Tidak bisa menikmati air bersih. Masih banyak yang harus berdagang asongan pada usia sekolah. Atau terpaksa putus sekolah demi membantu keluarga. Masih banyak yang belum merdeka di tengah kemeriahan upacara dan acara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2019 ini. Petani kecil, petani buruhan, petani sawit dan karet satu hektaran atau lebih kecil lagi, masih belum merdeka dari kesewenangan harga. Semua petani kecil masih belum merdeka dari apa yang disebut dengan bangga sebagai ‘mekanisme pasar’ oleh para liberalis-kapitalis. Silih berganti pemeritah membanggakan prestasi mereka. Ada yang bangga dengan proyek-proyek infrastruktur utangan. Bangga dengan tol laut dan tol darat yang sama sekali tidak terkait dengan rakyat miskin. Bangga mengundang investor RRC yang membawa tenaga kerja mereka sendiri. Bangga dengan BUMN yang seharusnya memakmurkan rakyat tetapi malah menyusahkan. Ada yang bangga membantu bank-bank pengkhianat dengan uang BLBI, tapi akhirnya ratusan triliun lenyap begitu saja dan kasusnya dianggap kedaluarsa. Ada yang bangga membantu Bank Century 6.7 tirliun tapi ternyata sebagian besar ditilap oleh penerima bantuan. Hari ini, rakyat miskin tidak berubah. Mereka tak mampu meng-upgrade dan meng-update status hidup mereka. Mereka masih bergelut di sekitar beras 2 kilo sehari. Masih terus kucing-kucingan dengan penagih sewa rumpet (rumah petak) 600 ribu sebulan di daerah atau sejuta di Jakarta. Itulah rakyat Anda, wahai para penguasa yang sedang merayakan hari kemerdekaan. Mereka itulah saudara sebangsa dan setanah air Anda, wahai para konglomerat, wahai para pengusaha kaya-raya. Hari ini, sebagai basa-basi nasionalisme, kalian teriakkan “Merdeka!” dengan kepalan tinju. Tapi mereka, rakyat kecil itu, seseungguhnya belum merdeka seperti kalian. Siapa bilang mereka sudah merdeka? (17 Agustus 2019)