POLITIK
Perebutan Kursi Pimpinan DPR-MPR yang "Menjijikkan"
Kalian berpesta pora di gedung parlemen. Bagi-bagi kursi pimpinan. Ketawa-ketiwi menyambut kenyamanan hidup kalian. Menyambut peluang-peluang korupsi yang bakal bertebaran di sekitar kalian. Korupsi yang tidak akan bisa lagi ditangkap tangan oleh KPK setelah kalian lumpuhkan lembaga antikorupsi itu dengan dukungan Presiden Jokowi. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Memang kalian pantas disebut bejat. Setelah dilantik menjadi anggota DPR dan DPD, yang kalian tunjukkan di depan rakyat adalah perebutan kursi pimpinan DPR dan MPR. Kalian semua betul-betul poli-Tikus yang sebenarnya. Belum lagi teratasi ancaman terhadap nyawa para perantau non-Papua yang terlantar di Wamena dan di tempat-tempat pengungsian. Belum lagi kering tangis para keluarga korban kesadisan di Wamena. Belum lagi jelas apakah warga perantau di Papua bisa selamat kalau mereka harus bertahan karena tak punya pilihan lain. Belum lagi dibebaskan semua anak-anak yang ditahan dalam aksi unjuk rasa di Jakarta. Belum lagi hilang duka keluarga mahasiswa yang tewas di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tapi, apa yang kalian kerjakan wahai para anggota DPR-DPD? Kalian hanya kasak-kusuk memperebutkan kursi ketua DPR dan ketua MPR. Setelah kursi ketua DPR diberikan kepada orang yang paling kuat posisi politknya di Indonesia ini, sekarang kalian bercokol untuk kursi ketua MPR. Orang Golkar merasa berhak Orang Gerindra merasa pantas. Orang DPD merasa wajar. Berhak, pantas, wajar menduduki kursi ketua MPR. Kalian saling sikut. Lobi sana, lobi sini. Sedikit pun kalian tak ingat korban pembacokan sadis di Wamena. Dan para korban pembakaran hidup-hidup di kota yang horor dan teror itu. Anak kecil dikapak kepalanya oleh penyerang ‘ethnic cleansing’ di Papua. Kalian berpesta pora di gedung parlemen. Bagi-bagi kursi pimpinan. Ketawa-ketiwi menyambut kenyamanan hidup kalian. Menyambut peluang-peluang korupsi yang bakal bertebaran di sekitar kalian. Korupsi yang tidak akan bisa lagi ditangkap tangan oleh KPK setelah kalian lumpuhkan lembaga antikorupsi itu dengan dukungan Presiden Jokowi. Sangat memalukan. Memuakkan. Menjijikkan. Tak pantas kalian dijuluki “anggota dewan yang terhormat”. Tak pantas kalian disebut senator rakyat. Karena kalian tidak punya kehormatan sama sekali. Ternyata! Bagaimana mungkin rakyat menyebut kalian “tehormat” kalau begini cara kalian duduk di DPR-DPD atas nama rakyat. Kalian bergembira-ria di gedung parlemen. Senang dilantik. Senang membayangkan segala macam fasilitas dan keistimewaan yang bakal kalian sandang sebagai anggota DPR-DPD. Sungguh luar biasa kalian yang tak punya hati. Foto-foto kalian yang tersenyum lebar, sudah dilihat oleh seluruh rakyat. Sudah viral foto-foto selfie kalian itu. Tapi, tahukah kalian kalau senyum-tawa dan foto-foto itu sama seperti air garam yang kalian siramkan ke luka fisik dan luka psikis korban kesadisan di Wamena? Kalian sungguh menjijikkan Penulis adalah Wartawan Senior
Bu Megawati Kok Gitu Amat?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Video Ketua Umum PDIP Megawati mengabaikan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh viral di media sosial. Momen tersebut terjadi pada pelantikan anggota DPR RI Periode 2019-2024, Selasa (1/10) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Dalam video tersebut Megawati yang mengenakan kebaya merah, berjalan melewati sejumlah undangan di barisan kursi VIP. Dia tampak semringah dan menebar senyum manis. Hatinya sedang berbunga-bunga. Selain partainya memperoleh kursi terbanyak, putrinya Puan Maharani juga dipastikan terpilih sebagai Ketua DPR RI. Video yang diambil dari tayangan langsung Kompas TV memperlihatkan Mega menyalami seseorang di barisan depan. Barisan kedua duduk secara berjajar Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Plt Ketua DPD Partai Golkar DKI Rizal Mallarangeng, dan Surya Paloh. Ketiganya langsung berdiri bersiap menyambut. Mega menyalami Rizal, tapi lewat begitu saja di depan Surya Paloh. Dia kemudian menyalami capres terpilih Ma’ruf Amin, dan kemudian menyalami Plt Ketua Umum PPP Soeharso Manoarfa. Sebenarnya bukan hanya Surya Paloh yang dikacangin oleh Megawati. Agus Harimurti yang duduk di sebelah kiri Rizal lebih dulu berdiri sambil menangkupkan kedua tangan dan membungkuk. Melihat Rizal disalami Mega, Agus kemudian mencoba menjulurkan tangan untuk bersalaman. Tapi Mega cuek saja. Agus jadi salah tingkah. Namun dia segera menguasai keadaan. Dia kemudian kembali menangkupkan kedua tangannya dan duduk. Hanya saja dalam frame kamera, wajah Agus tak terlihat. Jadi tidak terlalu mencolok. Berbeda dengan Surya Paloh. Wajahnya sangat jelas tertangkap kamera. Untungnya sikapnya biasa saja. Dia tidak tampak mencoba menyalami Mega. Ketika Mega lewat didepannya, abai atas kehadirannya, Surya langsung duduk kembali. Video tersebut langsung viral. Sejumlah media memberitakannya dengan berbagai bumbu menarik. Di media sosial lebih heboh lagi. Umumnya menyayangkan mengapa masalah personal semacam itu harus ditampilkan di depan publik. Sikap Megawati ini adalah konfirmasi langsung atas rumor dan spekulasi pecah kongsinya partai pendukung Jokowi. Publik secara visual dapat menyaksikan sendiri, perpecahan partai koalisi pemerintah itu benar adanya. Bukan rumor, apalagi hoax. Selain itu publik juga jadi ngeh, bahwa hubungan Megawati dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum, atau tepatnya tidak akan pulih. Entah sampai kapan. Padahal Hari raya Idul Fitri lalu Agus dan adiknya Eddie Baskoro sempat sowan dan selfi bersama Puan dan Mega. Surya Paloh kini bernasib sama dengan SBY. Dijothakin, dinengke, ora diaruh-aruhi, kata orang Jawa. Dimusuhi, didiamkan, tidak ditegur dan disapa Megawati. Entah sampai kapan? Kalau belajar dari kasus SBY, setidaknya sudah berlangsung selama 15 tahun. Dimulai ketika Pilpres 2004. SBY dianggap berkhianat. Sebagai Menkopolkam pada kabinet Megawati, SBY saat itu mengaku tidak akan maju dalam pilpres bersaing melawan Megawati. Ternyata SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla menantang Megawati dan menang. Sejak itu hubungan keduanya menjadi patah arang. SBY mengaku berkali-kali minta bertemu Megawati, tapi tak ada tanggapan. Mega benar-benar memutus tali silaturahmi. Selama dua periode SBY menjadi Presiden, Megawati menolak hadir dalam acara-acara penting di istana, termasuk pada peringatan HUT Kemerdekaan RI. (Pecah Kongsi Koalisi) Bahasa tubuh (gesture) Megawati itu tidak bisa dianggap sepele. Tidak bisa direduksi hanya menjadi persoalan personal. Apalagi kemudian disederhanakan dengan nada bercanda “Ah perempuan kan biasa ngambekan. Nanti juga akan baik sendiri.” Megawati adalah penguasa partai pemenang pemilu. Dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, PDIP adalah pemilik saham terbesar. Ditambah status Jokowi sebagai petugas partai PDIP, maka Megawati bisa disebut sebagai penguasa sesungguhnya di negeri ini. Mood personal, maupun mood politiknya sangat menentukan. Sikap Megawati kian membuka mata publik, diam-diam ada bara dalam sekam, bahkan bom waktu yang setiap saat bisa meledak di dalam koalisi pemerintah. Padahal dengan menumpuknya berbagai persoalan yang kini tengah dan akan dihadapi Jokowi, diperlukan soliditas pada timnya. Andai kata kabinet kompak pun, publik bertanya-tanya: Apakah Jokowi-Ma’ruf bisa menanganinya? Secara eksternal Jokowi-Ma’ruf menghadapi situasi perekonomian dan keuangan negara yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom memprediksi Indonesia akan kembali mengalami krisis ekonomi pada pertengahan tahun 2020. Indonesia tengah dibayang-bayangi ancaman disintegrasi akibat pergolakan di Papua. Tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah anjlok. Harga kebutuhan bahan pokok terus melonjak. Tarif listrik dan BBM terus naik. Kisruh penanganan defisit BPJS. Kedodoran dalam penanganan kebakaran hutan di sejumlah provinsi, dan gelombang aksi unjukrasa mahasiswa dan pelajar di berbagai kota di Indonesia. Jokowi memerlukan tim yang kuat dan super kompak untuk mengatasi berbagai persoalan yang menghadang. Kalau diantara para pendukungnya saja sudah tidak kompak, saling curiga, saling ngotot berebut posisi penting dan basah di kabinet. Apa kata dunia!? Mega-mega biasanya mulai menyingkir, ketika surya mulai bersinar terik. Dalam politik Indonesia, kaidah alam itu ternyata tidak berlaku. End
Selamat Bekerja untuk Dewan Penipu Rakyat (DPR)
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ini terjadi di negara yang bernama Edanesia. Selama lima tahun mendatang, yang akan menipu rakyatnya buka hanya para penguasa eksekutif. Bukan hanya para piniko dan induk pinokio. Gerombolan penipu rakyat akan bertambah lagi. Tambahannya tidak sedikit. 500-an orang. Para penipu itu sudah dilantik belum lama ini. Dan sudah bagi-bagi jabatan penting dan setengah penting di lingkungan Dewan Penipu Rakyat yang disingkat DPR. Mohon maaf, singkatan ini sama dengan singkatan untuk Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia yang juga disebut DPR. Kesamaan ini hanya kebetulan saja. Sekali lagi, tulisan ini bercerita tentang DPR di negara Edanesia. Tak jauh dari Indonesia. Ketua dewan penipu adalah salah satu dari keturunan penipu besar di Edanesia. Para pimpinan lain juga penipu-penipu kawakan. Memang ada beberapa orang penipu pemula. Yaitu, mereka yang baru terpilih pertama kali. Tapi, dalam beberapa bulan saja mereka akan berubah menjadi penipu handal. Akan ada berbagai sesi pembekalan materi penipuan rakyat untuk semua anggota Dewan. Edanesia memang dihuni oleh para politsi penipu. Mereka menipu untuk segala hal. Menipu ketika menguraikan janji-janji kampanye pemilihan umum. Menipu dalam mendapatkan suara pemilih. Dan menipu pula ketika menghitung perolehan suara mereka. Bahkan, sesama calon anggota Dewan pun lumrah saling menipu. Perlu pula ditegaskan bahwa penipuan adalah profesi yang paling digemari di Edanesia. Semua yang menjadi tugas dan wewenang DPR akan dikerjakan dengan cara, atau melalui proses, penipuan. Sebut saja penyusunan anggaran kementerian, ketuk palu untuk undang-undang yang menguntungkan para penipu dari dunia usaha, sampai ke persetujuan proyek-proyek raksasa di seluruh Edanesia. Dan termasuk pula penetapan para pejabat penting lembaga negara Edanesia seperti komisaris, komisioner, direktur utama, dlsb. Sebagai lembaga yang berlandaskan asas penipuan, DPR Edanesia harus selalu menjaga agar indeks penipuan mereka selalu tinggi. Indeks penipuan itu perlu dipertahankan tetap tinggi supaya mereka boleh terus memakai kata “penipu” di nama lembaganya. Kalau DPR Edanesia gagal mempertahankan indeks penipuan, maka secara otomatis nama lembaga itu akan berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat. Karena dianggap tidak lagi menipu rakyat. Dalam arti, sebuah lembaga akan disebut Dewan Perwakilan Rakyat jika indeks penipuannya rendah sekali atau nihil. [02 Oktober 2019)
Wapres JK Jadi Kunci Nasib Jokowi!
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapa diuntungkan dari gejolak yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini? Jika melihat rekam jejak pengalaman penyelesaian konflik yang terjadi selama ini, adalah Wapres Jusuf Kalla! Itu jika Presiden Joko Widodo tidak mampu menyelesaikan. Upaya Presiden Jokowi agar mahasiswa menghentikan aksi demonya di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia dengan mengundang BEM-SI pun gagal. Karena, BEM-SI memberi syarat, pertemuan dilakukan secara terbuka dan disiarkan televisi. Ketika Presiden Jokowi mengajak bertemu BEM-SI, syarat yang mereka ajukan: pertemuan berlangsung secara terbuka, dan disiarkan secara langsung oleh media dan televisi nasional. Mahasiswa sudah menang besar atas Presiden Jokowi. Wartawan senior Hersubeno Arief mengibaratkan pertandingan sepakbola. Penolakan para Ketua BEM-SI bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana, menjadikan skor sementara 3-0 untuk BEM-SI. Penolakan mahasiswa ini di luar dugaan Istana. Hingga Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan RUU KUHP. Pemerintah juga memutuskan menunda pembahasan tiga RUU lainnya: RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Lembaga Pemasyarakatan (PAS). Presiden melemah! Bahkan, Presiden Jokowi tampaknya akan memenuhi tuntutan menerbitkan Perppu UU KPK yang sudah disahkan DPR. Bahkan, Mensesneg Pratikno mengaku sudah menyiapkan draft Perppu, antisipasi jika Presiden memutuskan menerbitkannya. BEM-SI tidak mudah lagi masuk dalam “jebakan” yang sengaja diciptakan Istana. Keputusan mahasiswa menolak bertemu Presiden Jokowo di Istana dipastikan sangat mengejutkan kubu pemerintah. Mahasiswa, belajar dari pengalaman pada 2015. Ketika itu mereka diundang ke Istana secara tertutup. Hasilnya gerakan mahasiswa terpecah. Kata Koordinator Pusat BEM-SI Muhammad Nurdiansyah, “Kami belajar dari proses ini dan tidak ingin menjadi alat permainan penguasa yang sedang krisis legitimasi publik.” “Sehingga akhirnya melupakan substansi terkait beberapa tuntutan aksi yang diajukan,” ujar Nurdiansyah yang juga Presiden Mahasiswa IPB. Hersubeno menilai, para tokoh mahasiswa yang tergabung dalam BEM-SI tidak seculun yang mereka perkirakan. “Mereka ternyata sangat taktis dan strategis,” tegas Hersubeno. Tidak mudah masuk dalam jebakan Istana (palace trap). Andai saja para Ketua BEM bersedia bertemu Presiden secara tertutup, maka mereka akan di-fait accompli. Seperti dilansir fnn.co.id, tulis Hersubeno, kartu pemerintah yang sudah mati, bisa hidup lagi. Pemerintah menjanjikan akan mengeluarkan Perppu sebagaimana tuntutan mahasiswa. Dan, mereka diminta untuk menghentikan aksinya. Bila itu yang terjadi, tidak ada pilihan lain. Mahasiswa harus menghentikan aksi-aksi mereka yang mengguncang di seluruh Indonesia. Seperti pengalaman pada 2015, keputusan tersebut dipastikan akan memecah-belah gerakan mahasiswa. Sementara, terkait aksi demo mahasiswa, dua mahasiswa di Kendari dan satu mahasiswa di Makassar sudah menjadi korban (tewas) akibat tindakan kekerasan oleh aparat polisi ketika menangani aksi demo mahasiswa di daerah tersebut. Tindakan represif polisi bukannya meredam aksi mahasiswa. Di Jakarta, gerakan demo para mahasiswa ini justru diikuti oleh pelajar dari berbagai STM dan SMA Jabodetabek. Seperti kata Nurdiansyah, pemerintah saat ini sedang berada dalam situasi terpojok. Hersubeno menyebut, pemerintah sangat menyadari aksi mahasiswa dan pelajar STM-SMA sudah masuk ke rana persoalan utama: Pengunduran diri Jokowi! Pembatalan UU KPK dan RUU KUHP hanya menjadi pintu masuk. Aksi mahasiswa dan pelajar menjadi semacam alasan untuk bergerak dan beraksi (reason to act). Alasan untuk menyatukan gerakan dan menjadikan pemerintah sebagai musuh bersama. Mahasiswa sudah menyerukan dan menuntut pengunduran diri Jokowi. Jokowi saat ini tampaknya tidak punya pilihan lain. Dengan atau tidak bertemu pimpinan mahasiswa, Perppu UU KPK tampaknya akan tetap dikeluarkan. Tarik menariknya pasti tidak mudah. Buah simalakama bagi Presiden Jokowi sendiri. Apalagi, dalam krisis Provinsi Papua, Presiden Jokowi tampak tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga menelan banyak korban dari warga pendatang tewas akibat dibantai secara kejam oleh “Orang Asli Papua” (OAP). Terutama di Wamena. Setidaknya, kerusuhan di Kabupaten Jaya Wijaya, Senin (23/9/2019), itu sudah menelan 32 orang korban tewas warga pendatang dari Minang dan Bugis. Bahkan, seorang dokter senior menjadi korban, tubuhnya disiram bensin dan dibakar. Ratusan warga pendatang pun mengungsi dan meminta agar mereka segera dipulangkan ke daerah masing-masing. Karena, kondisi di Wamena sudah tidak kondusif lagi. Jaminan atas keselamatan dan nyawa pendatang terkesan tak ada lagi. Meski terjadi aksi demo di mana-mana dan kerusuhan di bumi Cendrawasih, Presiden Jokowi terkesan tenang-tenang saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Makanya, acara naik sepeda sembari momong cucunya pun masih bisa dilakukannya. Jokowi seolah tidak peduli dengan nasib demonstran yang “diburu” polisi dan pendatang di Wamena yang dikejar-kejar dan diusir hingga dibunuh oleh OAP, meski ternyata masih ada OAP yang justru menyelamatkan sebagian pendatang. Jusuf Kalla Masih berlanjutnya berbagai aksi demo di berbagai daerah yang semakin marak maupun di Jakarta sendiri yang tanpa henti, menunjukkan “ketidakmampuan” Presiden Jokowi dalam menghadapi tuntutan mahasiswa dan rakyatnya sendiri. Apalagi, kerusuhan berdarah di Wamena berpotensi menjadi konflik horizontal bernuansa SARA. Penanganan krisis di Provinsi Papua dan Papua Barat itu harus dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, cinta dan kasih sayang. Itu dinyatakan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Mardani Ali Sera. Sebab, bagaimanapun Papua adalah wilayah NKRI. “Jangan pernah gunakan pendekatan kekerasan. Ingat Papua adalah merah putih,” ujar Mardani kepada wartawan, Jumat (30/8/2019). Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengharapkan agar Presiden Jokowi segera membentuk satuan tugas (Satgas) khusus Krisis Papua. Komandonya ada di tangan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang pengalaman dalam mengatasi konflik di tanah air. Sebab kerusuhan yang saat ini terjadi di Papua tidak boleh dibiarkan berlama-lama. “Saya mendesak Pemerintah membentuk Satgas khusus yang dipimpin langsung oleh Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla,” katanya, seperti dilansir JawaPos.com. Satgas Krisis Papua bisa melakukan dialog langsung kepada aktor-aktor yang menyulut krisis ini melalui pendekatan humanistik. “Karena itu kita serahkan Wapres JK yang sudah punya pengalaman menyelesaikan masalah konflik di Aceh,” paparnya. JK, sosok penting di balik penanganan tiga konflik besar di Tanah Air, beberapa tahun silam. Yakni kerusuhan sosial di Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi Tengah), dan konflik bersenjata berkepanjangan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Krisis politik dan sosial yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini berpotensi “jatuhnya” Presiden Jokowi. Apalagi, tuntutan dari massa aksi mahasiswa maupun rakyat sudah pada tuntutan “Jokowi Mundur”. Dan, tuntutan ini semakin meluas. Sehingga nasib Jokowi kini ada di tangan Wapres JK. Jika Jokowi “jatuh” seperti peristiwa Presiden Soeharto (1998) dan Presiden Abdurrahman Wahid (2001), maka Wapres JK akan menggantikannya dan menyatakan negara dalam “kondisi darurat”. Dengan pernyataan tersebut, JK dapat menerbitkan Perppu yang mengarah pada perbaikan-perbaikan penanganan kondisi negara yang sedang memasuki fase force majeur. Perppu itu nantinya dapat dipastikan berjumlah lebih dari satu. Yang paling utama adalah membekukan kabinet dan membentuk kabinet baru; mengadakan rangkaian pemilu yang bersih dalam jangka waktu tertentu (6 bulan) sekaligus membekukan komisioner/pimpinan dan anggota sejumlah lembaga negara; Juga, sejumlah produk hukum lainnya dalam kerangka penataan pemerintahan di masa-masa transisi tersebut. Jika memang demikian yang terjadi, maka dapat dikatakan JK benar-benar dapat menjadi kunci perjalanan sejarah Indonesia di era kini. Dan saat ini, JK menjadi kunci bagi nasib Jokowi pada akhir periode I.
Langkah Lanjutan Membidik Anies
Saking begitu pedulinya dengan kehidupan warga miskin kota, dikalangan warga miskin kota Anies dikenal sebagai Gubernur kaum jelata. Belum lagi ditambah dengan sederet penghargaan terkait prestasi kinerja pemerintah daerah dari berbagai lembaga dalam maupun luar negeri, ketokohannya begitu kuat. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Salah satu judul berita yang muncul pada harian Kompas, 26 September 2019 bunyinya begini: “Polisi : Lima Ambulans Pemprov DKI Angku Batu dan Bensin Saat Rusuh”. Sekilas judul berita itu biasa. Tapi jika dibaca terus, dalam berita yang diangkat dari hasil saduran itu terekam sebuah peristiwa yang menghebohkan. Mengutip sumber berita dari @TMCPoldaMetro, Kompas melansir pernyataan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, Polda Metro Jaya mengamankan lima mobil ambulans berlogo Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI karena mengangkut batu dan bensin saat terjadi aksi kerusuhan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Kompas tampaknya kurang teliti dan terkesan membiarkan berita itu beredar luas. Terbukti, berita serupa juga ditanyangkan dalam jaringan group berita milik Kompas seperti berita online maupun KompasTV. Berita itu sejatinya tak berdiri sendiri. Ada desain framing yang sengaja dikemas guna memojokkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Bawesdan. Bukan kali ini saja dia dikerjain, Adalah Denny Siregar, seorang provokator pegiat online yang kerap memposting artikel bermuatan fitnah, sebagai pihak yang lebih dulu mengunggah konten soal ambulans ketimbang akun polisi di @TMCPoldaNet. Denny diketahui mengunggah video pada pukul 01.24 WIB, Kamis (26/9). Dia juga menyertakan kalimat dalam cuitannya itu. “Hasil pantauan malam ini.. Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta," tulis Denny melalui akun Twitter @dennysiregar7. Budaya Bentrok Belakangan ini, publik disuguhkan berita-berita bentrokan aparat, negara dan massa. Dalam banyak peristiwa itu terjadi dalam berbagai lingkaran. Di kalangan pedangan kaki lima, pengemudi online, petani, buruh bahkan lingkaran lembaga pemerintahan. Kalangan mahasiswa tak perlu disebut. Budaya bentrok sudah lazim dalam setiap aksi mahasiswa. Bentrokan antara massa aksi dengan aparat keamanan merupakan pemandangan yang lazim dijumpai. Kesannya, tak afdol apabila aksi massa tak diselipkan dengan bentrokan. Tak heran, bila kini aparat keamanan turut “berrmain” meramaikan jagad kekerasan. Maraknya bentrokan dalam aksi demonstrasi belakang ini, apakah bisa bermakna the end of the nation state? Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh teori Max Weber yang mengatakan, Negara memegang the monopoly of the legitimate use of physical force, bukan kelompok warga sipil (masyarakat) yang boleh memakai kekerasan kecuali (aparat) negara. Teori Weber ini bukan hanya bertujuan menjaga kedaulatan negara. Tapi sekaligus menjaga ketertiban di masyarakat. Ketertiban di masyarakat akan hancur jika tak ada monopoli pemakaian kekerasan. Teori tinggal teori. Lazimnya, dalam praktik sudah pasti ada pergeseran. Monopoli itu tekesan sudah mulai diselewengkan ketika terjadi perselingkuhan antara penguasa dengan kaum oligarki (pengusaha). Satu abad silam Karl Marx pernah mengingat bahaya perselingkuhan itu. Dia ingatkan, negara sudah kehilangan legitimasinya ketika sudah dijadikan executive committee of the bourgeoise class. Kelas borjuis dengan kemampuan finansial yang besar dapat “membeli” negara dan menjadikan negara tak ubahnya sebagai panitia yang menjalankan perintah atas kehendak pemodal. Dengan bahasa yang sedikit keras, negara menjadi boneka permainan para pemodal. Dalam banyak kasus seperti rancangan UU Minerba, agraria, ketenagakerjaan dan terakhir revisi UU-KPK yang disahkan oleh DPR bersama pemerintah, rancangan dibuat guna melindungi kepentingan publik tapi dibelokkan sehingga menjadi pelindung bagi kepentingan kaum pemodal. Begitu pula dengan monopoli negara atas kekerasan tadi. Mudah diselewengkan yang semula untuk menjaga stabilitas ketertiban umum, diarahkan guna membidik lawan atau seteru politiknya. Kembali pada peristiwa kriminalisasi ambulans. Apa yang terjadi pada peristiwa kamis dini hari (26/9/2019) adalah rentetan yang berawal dari dan disebabkan oleh kontestasi politik yang tak berkesudahan. Publk menduga peristiwa kriminalisasi ambulans adalah peristiwa yang punya muatan politik. Suatu peristiwa yang sengaja diproduksi guna memojokkan Anes Bawesdan. Andai kita hendak rekonstruksi peristiwanya jelas benar aroma rekayasanya. Banyak faktor bisa dirujuk. Pertama, dalam banyak peristiwa politik yang terjadi di Jakarta, selaku Gubernur DKI Jakarta, Anies Bawesdan kerapkali selalu hadir melakukan advokasi warganya baik dalam hal memberi ruang partisipasi yang cukup besar sehingga kegiatan itu bisa terselenggara dengan aman. Dalam pemahaman selaku pemimpin suatu wilayah, Gubernur bukan hanya memberikan pelayanan terbaik bagi warganya dan memastikan kegiatan pembangunan berjalan sesuai aturan. Tapi mesti pula hadir di tengah-tengah warganya. memberikan pemahaman aparaturnya maupun warga sipil yang terlibat bahwa unjuk rasa sebagai wujud ekspresi yang dijamin oleh konstitusi.. Dia mesti memastikan kegiatan unjuk rasa yang dilakukan warga berlangsung sesuai koridor demokratis tanpa diwarnai dengan tindakan anarkhisme. Pesan-pesan itu dalam beberapa kesempatan, disampaikannya secara langsung dengan mendatangi lokasi unjuk rasa atau lewat pesan media sosial. Kedua, kedekatannya dengan warga. Selain menyampaikan pesan-pesan optimisme, Anies juga begitu perhatian dengan warga miskin kota. Setidaknya dalam sepekan, dia sempatkan waktu mengunjungi warga yang sakit atau mendapat musibah kematian. Beberapa kali dia terekam kamera sedang mengangkat keranda jenasah warganya yang wafat. Termasuk selalu memberikan layanan kepada pendemo dan memerintahkan agar setiap RSUD mengratiskan pengobatan bagi peserta unjuk rasa yang menjadi korban kekerasan. Saking begitu pedulinya dengan kehidupan warga miskin kota, dikalangan warga miskin kota Anies dikenal sebagai Gubernur kaum jelata. Belum lagi ditambah dengan sederet penghargaan terkait prestasi kinerja pemerintah daerah dari berbagai lembaga dalam maupun luar negeri, ketokohannya begitu kuat. Semua itu membuat Anies lebih popular dan teratas dalam survey capres 2024 yang dirilis dari beberapa lembaga survey. Popularitasnya yang terus meroket itu, bagi sebagian seteru politiknya dirasakan cukup meresahkan. Atas sebab itu ketokohannya mesti disudahi. Caranya? Terus produksi citra buruk terhadap dirinya dan kampanyekan dia sebagai sosok yang berseberangan dengan Presiden Jokowi. Rekrutmen Pemimpin Penulis pernah jumpai beberapa tukang ojek online dan menyodorkan beberapa nama tokoh yang paling potensial sebagai pemimpin ke depan. Mayoritas menyodorkan nama Anies sebagai sosok yang layak dipilih. Jika secara common sense pengakuan tukang ojek line itu dianggap sebagai suatu sinyalemen, bisa jadi peta pertarungan koalisi parpol akan terbelah. Saat itulah polarisasi pendukung yang kini masih kental akan menyatu lantaran absennya petahana dan kemunculan pemimpin-pemimpin muda dipercaya akan menyudahi poarisasi itu. Ilustrasi semcam itu memberi gambaran bahwa wacana Anies sebagai pemimpin baru lagi muda tampaknya sudah menelusup ke relung-relung hati tak hanya warga Jakarta saja tapi juga global. Dia menembus kebuntuan perekrutan dan kaderisasi parpol. Itu artinya, pada tingkat tertentu kelak bangsa ini akan melampaui kesadaran politik sehingga pencarian pemimpin alternatif menjadi suatu keharusan sejarah ketika kondisi kehidupan bernegara kita tak juga kunjung membaik. Berawal dari Pilkada DKI Jakarta dua tahun silam. Kala itu, Anies unggul dari Ahok yang sebelumnya telah disiapkan dengan matang sebagai sosok muda berprestasi dan tegas dalam memimpin Jakarta. Tampilnya Anies sebagai Gubernur ternyata juga membenamkan impian para pemodal terutama dalam menguasai lahan-lahan dan reklamasi pulau. Ketika awal dilantik, Anies melakukan moratorium proyek-proyek reklamasi terhadap pulau strategis buatan di sepanjang pantai utara Jakarta. Semua strategi pembangunan di Jakarta tak hanya dipersoalkan tapi juga koreksi total karena strategi pembangunannya dinilai salah dalam mengantarkan kemakmuran yang berkeadilan bagi warga Jakarta. Menurutnya, dengan mengusung jargon Maju Kotanya Bahagia Warganya strategi pembangunan mesti diganti. Caranya, dengan membuka seluas mungkin partisipasi warga dalam setiap kegiatan pembangunan. Hentikan dominasi pengembang dalam turut cawe-cawe menata ibukota yang ujungnya lebih mementingkan keuntungan gurita bisnisnya ketimbang kemakmuran bagi mayoritas warga. Tapi rupanya masih ada saja pihak yang tak ingin polarisasi dan kehidupan bernegara ini membaik. Polarisasi yang meruncing dikala pilkada Jakarta dipercaya oleh seteru Anies akan terjadi hingga Pilpres 2024. Kiprah Anies harus disumbat. Beragam kampanye negatif disebar. Mulai dari tuduhan Anies dinilai membawa kepentingan aspirasi ideologi Islam radikal hingga akan menumbangkan gurita politik oligarki. Simbiosis kepentingan penguasa dengan pemodal bakal dipangkas. Wajah Anies yang begitu tegas memimpin Jakarta memang sudah terbukti ketika sikapnya tak kompromi dengan kepentingan pemodal. Tak heran, bila kriminalisasi ambulans adalah mata rantai dari permainan politik dalam rangka membentuk citra buruk Anies. Publik curiga dengan sikap Polisi yang terkesan diskriminasi. Desakan agar buzzer Denny Siregar dan ketua Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, segera diperiksa tak ditanggapi. Malah terkesan justru Polisi melindungi keduanya. Tak salah bila sikap diskrimintatif itu menguatkan peristiwa itu bagian dari operasi pembusukan itu. Meski kesimpulan yang ditarik secara linear itu masih perlu pembuktian. Namun yang pasti, operasi pembusukan semacam ini takkan berhenti dan terus berlangsung hingga pamor Amies pudar. Wallahu’alam bi sawab
DPD Baru dengan Etika Baru
Praktis Senat tertahbiskan sebagai organnya orang-orang terhormat, para bourjuis –“borough” atau “city” – orang-orang kota, bukan daerah. Mereka yang mewakili daerah, dalam kasus Inggris misalnya disebut satria. Tempat mereka adalah House of Common, lower horuse untuk membedakannya dengan House of Lord sebagai upper house. Dua organ ini menandai dua kamar parlemen pada negara berbentuk kesatuan. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Calon anggota Dewan Perwakilkan Daerah (DPD) terpilih akan segera memasuki babak baru. Besok tanggal 1 Oktober, mereka akan diambil sumpahnya, dilantik atau diresmikan statusnya menjadi anggota DPD. Pelantikan mereka akan dilangsungkan di gedung Nusantara 5 MPR, dipimpin oleh Prof. Dr. Hatta Ali, SH, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mereka yang akan diremsikan keanggotaannya itu berjumlah 136 (seratus tiga puluh enam) orang. Latar belakang mereka cukup beragam. Sebagian di antara mereka tetapi bukan yang dominan adalah incumbent. Sebagian lagi adalah mantan gubernur, bupati dan walikota, serta anggota DPR. Satu orang malah pernah memimpin Mahkamah Konstitusi. Itulah mereka. Merekalah orang-orang yang diandalkan daerah untuk ikut bersama-sama, tidak hanya dengan DPR, tetapi juga Presiden merumuskan kebijakan-kebijakan politik yang memungkinkan orang-orang daerah menemukan makna hakiki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari merekalah orang-orang daerah meletakan harapan memiliki kepastian hendak mendapat keadilan politik di negara kesatuan ini. Asal-Usul Segera setelah dilantik, mereka akan menyandang panggilan “senator.” Panggilan merupakan kreasi politik yang khas, bukan sebutan yang dinyatakan secara eksplisit di dalam UUD, termasuk UU MPR, DPR dan DPD, yang telah beberapa kali diubah. Tetapi apapun itu, sebutan ini terasa kian terasa akrab dalam perbincangan-perbincangan politik dan hukum ditengah masyarakat, dimanapun di Indonesia. Sebutan senator itu, dalam sejarahnya disematkan kepada anggota Senat atau senatum. Organ ini dijadikan tempat berkumpulnya, apa yang sekarang dikenal dengan sidang orang-orang terhormat sebanyak 100 orang sebagai wakil dari suku-suku, centuria. Mereka disebut terhormat bukan karena isi kepanya, melainkan hartanya. Perilaku orang-orang ini, umumnya digambarkan santun, karena lingkungan pergaulan, cara hidup dan pilihan katanya. Mereka inilah yang bersidang (commitia centuriata), baik karena diminta atau tidak, untuk merumuskan nasihat yang akan atau harus diberikan kepada kaisar atau konsul. Mereka tidak punya hak, karena tidak diberikan oleh Kaisar membuat hukum dan keputusan lain, apapun yang bersifat mengikat kaisar. Tidak. Praktis mereka hanya berfungsi sebagai pemberi nasihat kepada hakim yang akan memutus suatu perkara. Fungsi ini persis sama dengan Lord di Inggris, yang sampai sekarang mamsih memiliki kewenangan yang bersifat judicial. Kelak setelah Romawi menjadi republik, muncul lembaga baru. Lembaga baru ini dinamakan Tribun sebagai tempat orang biasa bersidang membicarakan kepentingan-kepentingannya. Pada fase ini Senat dari consultum menjadi Senat sebagaimana Senat Amerika saat ini. Mereka dengan perubahan itu telah diberi kewenangan membentuk hukum. Berbneda dengan Senat, plebs tidak punya kewenangan itu. Tetapi mereka telah dimungkinkan memberi saran – pertimbangan – kepada senatum untuk mengoreksi hukum yang dibuatnya. Praktis Senat tertahbiskan sebagai organnya orang-orang terhormat, para bourjuis –“borough” atau “city” – orang-orang kota, bukan daerah. Mereka yang mewakili daerah, dalam kasus Inggris misalnya disebut satria. Tempat mereka adalah House of Common, lower horuse untuk membedakannya dengan House of Lord sebagai upper house. Dua organ ini menandai dua kamar parlemen pada negara berbentuk kesatuan. Ini berbeda dengan dua kamar parlemen pada negara Serikat. Gagasan dasar pembentukan parlemen dua kamar parlemen adalah memastikan keadilan politik. Begini kongkritnya pertimbangan itu. Ada daerah yang padat penduduk dan ada daerah yang jarang penduduknya. Bila parlemen hanya satu kamar, bahkan bila dua kamar sekalipun tetapi wakil-wakinya ditentukan secara proporsional, maka parlemen itu didominasi wakil dari daerah padat. Formula ini dianggap tidak adil. Pikiran ini menjadi dasar perbedaan formula jumlah anggota House of Representative dan Senat, termasuk penyamaan jumlah perwakilan seitap negara bagian. Praktis jumlahnya dibuat sama, sehingga integritas teritorial negara terjaga. Itulah sekelumit percikan sejarah tentang senat dan senator, serta pikiran dan impian dibalik itu. Untuk memastikan keadilkan itu pulalah yang menjadi dasar keduanya organ ini diberi sifat yang sama sebagai organ legislatif. Pembedaannya hanya terletak pada ragam dan jangkauan kewenangan. Tidak lebih. Itulah cara para pembentuk UUD mereka mencegah satu organ tidak berubah menjadi tiran terhadap organ lain. Mereka berpendapat manakala satu organ menjadi tiran terhadap organ lain, maka tidak akan tercipta keadilan. Pikiran ini pulalah yang menjadi dasar internal chek pada organ legislatif. Cermin Kehormatan Diri Bagaimana dengan DPD? Betul ada kehendak para pembentuk UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan dibalik pembentukan DPD itu. Tetapi mereka gagal dalam mengintroduksi seluruh pemikiran formula konstitusionalisme Amerika Serikat. Itu sebabnya DPD tidak diberi kewenangan legislatif khas Senat Amerika. DPD sejauh ini hanya diberi kewenangan ikut membahas pembentukan UU yang secara langsung memiliki sifat penyelenggaraan otonomi daerah. UU Pembentukan daerah otonomi baru, penggabungan atau penghapusan daerah otonomi, UU Pajak Daerah, UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, pengeloaan sumberdaya alam, perikanan, dan lainnya. UU lain itu harus dikerangkakan secara konstitusional pada penyelenggaraan otonomi daerah atau yang sifatnya berkaitan langsung terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Tetapi harus diakui DPD hanya bisa ikut membahas. Mereka tidak bisa ikut memberi persetujuan atau memutus. Selain kewenangan itu, DPD juga diberi kewenangan pengawasan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya. Juga ikut memberi pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK. Hanya itulah ragam kewenangan DPD, dan hanya itu pulalah jangkauan kewenangan DPD. Ragam dan jangkauan kewenangan itu sepenuhnya bersifat formil, bukan materil. Inilah yang mengakibatkan DPD terlihat berbeda dengan DPR. Ini pula yang mengakibatkan DPD terlihat tak cukup berpengaruh dalam perumusan kebijakan dan pembentukan keputusan nasional yang dapat mengubah, dalam makna mengubah tatanan politik, sosial dan ekonomi di daerah. Tetapi apapun itu anggota DPD, suka atau tidak, dituntut untuk mendinamisir eksistensi mereka. Ini bukan persoalan normatif. Pada titik inilah anggota DPD, suka atau tidak, diharuskan memiliki kepekaan dan kesadaran etik kelas tinggi khas senator. Anggota DPD mesti, tanpa bermaksud mengajari, memandu dan menuntun dirinya ketemuan-temuan kreatif dalam bingkai kewenangan konstitusionalnya. Orang terhormat tidak menggunakan sidang paripurna sebagai panggung adu tingkah laku tak senonoh. Beradu mulut secara urakan, melempar kursi, menaiki panggung tempat pimpinan sidang memimpim persidangan, dan tindakan lainnya yang sejenis, mesti disadari sebagai tindakan tidak terhormat. Setidak-tidaknya tindakan itu harus dilihat sebagai pantulan tipisnya bobot rasa etik. Kesadaran, kepekaan dan kepatuhan etik, untuk alasan apapun, merupakan kekuatan terbesar setiap orang. Itu cermin derajat dignity. Itu sebabnya demokrasi menunjuknya sebagai norma non hukum, yang menjadi kekuatan penggerak utama yang tak ternilai dalam mendinamisir dan menjaga kesehatan kehidupan sosial politik, ekonomi dan hukum suatu bangsa. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Tampal Sulam Tatib DPD
Semangat perubahan tatib tidak boleh terkesan dipaksakan hanya untuk mengakomodir kepentingan subjektif pihak tertentu. Perubahan dan pengesahan tatib tidak boleh dilakukan secara ‘serampangan’. Harus melihat urgensi kebutuhan dan semangat kepentingan semua pihak di lembaga DPD Oleh Dr. Ahmad Yani SH, MH. Jakarta, FNN - Tinggal menghitung hari. Moment pelantikan anggota legsilatif, baik yang terdiri dari unsur perseorangan (DPD) maupun dari unsur partai politik (DPR) akan segera dilaksanakan. Dari beberapa isu krusial yang menyelimuti momentum suksesi peralihan yang ada, ikhwal tambal sulam peraturan tata tertib di internal DPD RI menjadi salah isu polemik yang cukup mengemuka. Tentu, DPD sebagai sebuah lembaga yang memiliki mandat secara konstitusional. DPD seharusnya mengalihkan prioritas kepada hal yang lebih strategis terkait dengan fungsi, peran dan kewenangan kelembagaan. Jangan malah terjebak kepada dinamika isu sektoral atau local. DPD sudah seharusnya menjadi lembaga negara yang mengedepankan isu-isu strategis. Bukan sebaliknya, terjebak di dalam pragmatism yang ada di tubuh DPD itu sendiri. Sebab dilihat dari banyaknya konflik internal, berupa perebutan kursi pimpinan beberapa waktu yang lalu, justru menjerumuskan citra dan marwah dari DPD sebagai Lembaga Tinggi Negara. Melalui tulisan singkat ini, penulis hanya coba berusaha mendorong agar lembaga DPD dapat bertransformasi secara konstruktif. Dalam arti meminimalisir dinamika perselisihan dan konflik internal yang terjadi. DPD harus lebih fokus kepada isu strategis ketatanegaraan kita. Peran, kedudukan dan posisi lembaga DPD yang harus diperjuangkan. Selama ini DPD banyak dipersepsikan sebagai lembaga negara ‘yang tidak dianggap’. DPD tidak memiliki arti penting dalam struktur ketatanegaraan yang ada (powerless). Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana beberapa fungsi staregis DPD dalam UUD 1945. Kasus yang paling update adalah peran DPD dalam hal memberikan pertimbangan terkait seleksi calon anggota BPK. Jika dikaitkan dengan pasal 23F UUD 1945, maka DPD sepertinya tidak memiliki arti dan nilai sama sekali dalam pengambilan keputusan terkait seleksi anggota BKP. Bukan itu saja. Dari beberapa periode peralihan atau pemilihan anggota BPK, pertimbangan yang diberikan oleh DPD melalui proses fit and proper test di Komite IV ternyata tidak dihiraukan. Tidak lebih hanya sekedar formalitas belaka. Begitupun dengan beberapa kewenangan lain yang ada berdasarkan mandat dari UUD 1945. Merujuk pada mandat kontitusi ini, maka DPD tidak lain hanya sebagai lembaga ‘pelengkap penderita’ semata. Hanya menjadi beban kelembagaan di dalam kamar cabang kekuasaan legislatif (trimakeral). Kenyataan lain yang tidak kala relevan dengan isu kemandirian anggota DPD, ialah bagaimana lembaga ini dapat berperan dalam mengatasi konflik yang saat ini terjadi di Wamena Papua. Disini terlihat anggota DPD sama sekali tidak memiliki posisi tawar yang kuat. DPD sama sekali tidak turut berpartisipasi dalam meminimalisir konflik horizontal yang terjadi. Meskipun secara prinsip terdapat unsur ‘separatisme’ di dalam konflik Papua. Namun sama sekali tidak terdengar bagaimana upaya rekonsilisiasi dan konsolidasi yang diinisiasi oleh anggota DPD. Tentu saja ini sangat ironi. Padahal nggota DPD yang merupakan wakil resmi daerah-daerah diharapkan mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balanced power) di dalam kamar kekuasaan legislative. DPD harusnya memperjuangkan kepentingan daerah atau wilayahnya. Sekarang DPD justru terkesan pasif. Penyebabnya, karena DPD tidak memiliki kekuatan mengambil langkah atau tindakan strategis. Kenyataan ini disebabkan terbatasnya kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki oleh DPD. Ilustrasi singkat tersebut tentu harus menjadi titik koreksi, sekaligus evaluasi menyeluruh bagi DPD ke depan. Lembaga DPD harus mampu berbalik arah secara konstruktif dan progresif dalam merangkai format kelembagaan yang ideal di struktur ketatanegaran. Baik itu yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi, kewenangan, status kelembangaan, maupun hal strategis lainnya. Terobosan inilah yang harus ada, dan menjadi mindset bagi anggota DPD ke depan (forward looking). Bukan malah terjebak pada isu-isu lokal sektoral kepentingan DPD semata. Jangan hanya sibuk dengan ‘tampbl sulam’ tata tertib internal DPD, khususnya yang terkait pemilihan kursi panas pimpinan DPD. Sangat disayangkan kalau DPD hanya sibuk dengan urusan internalnya. Bagaimana tidak. Beberapa hari terakhir ini ada upaya penggiringan opini untuk kembali mengutak-atik metode pemilihan pimpinan DPD yang akan datang. Padahal upaya ini hanyauntuk memenuhi syahwat dan ambisi personal DPD tertentu. Kenyataan ini patut untuk dikritisi. Sebab perubahan regulasi internal tata tertib DPD telah diatur dan ditetapkan. Harusnya tidak diubah secara sepihak dengan mudah. Terdapat persyaratan yang harus dipenuhi secara prosedural untuk membuka kembali perubahan tatib DPD. Semangat perubahan tatib tidak boleh terkesan dipaksakan hanya untuk mengakomodir kepentingan subjektif pihak tertentu. Perubahan dan pengesahan tatib tidak boleh dilakukan secara ‘serampangan’. Harus melihat urgensi kebutuhan dan semangat kepentingan semua pihak di lembaga DPD. Jikalau di flash back, pengesahan tatib DPD itu sendiri terakhir dilakukan dalam Sidang Paripurna Luar Biasa DPD RI pada Rabu, 18 September 2019 yang lalu. Dimana dalam tatib tersebut tersebut terdapat 10 (sepuluh) point pokok perubahan. Bunyi poin pertama pada tatib sebelumnya yakni, 'provinsi Kalimantan Utara (provinsi baru hasil pemekaran) hanya disebutkan diawal. Akibatnya, wakil Kalimantan Utara tidak bisa ikut dalam pembagian alat kelengkapan DPD'. Kemudian diubah menjadi 'Provinsi Kalimantan Utara secara teknis diatur pada semua alat kelengkapan. Secara otomatis kedudukan wakil Kalimantan Utara dalam alat kelengkapan sama dengan provinsi lain'. Kedua, 'pengambilan perjalanan dinas tidak bisa dilakukan sebelum terbentuk alat kelengkapan PURT'. Perubahannya, 'anggota DPD bisa langsung mengambil perjalanan dinas'. Poin ketiga, pada periode 2014 – 2019, 'anggota DPD tidak punya kewenangan menentukan anggaran DPD, karena Ketua PURT adalah pimpinan DPD (Ex Officio)'. Periode selanjutnya bunyinya menjadi 'anggota DPD mempunyai kewenangan mengatur anggaran DPD, karena anggota berhak menjadi pimpinan PURT'. Poin keempat, 'anggota DPD pada alat kelengkapan tidak dapat melakukan kunjungan keluar negeri'. Perubahannya, 'semua anggota DPD di alat kelengkapan manapun dapat melaksanakan kunjungan kerja ke luar negeri'. Poin kelima, 'untuk DPD yang melaksanakan perjalanan dinas ke provinsi yang bukan dapilnya hanya mendapatkan uang perjalanan dinas dan tidak mendapatkan uang kegiatan'. Lalu dirubah menjadi 'anggota DPD yang melaksanakan perjalanan dinas diluar dapilnya, mendapat uang perjalanan dinas dan uang kegiatan'. Poin keenam, 'untuk Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat tidak diakomodir pengawasan Perdais, Qanun, Perdasi dan Perdasus (PULD)'. Diubah menjadi 'untuk Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat telah diatur agar dapat mengevaluasi rancangan Perdais, Qanun, Perdasi dan Perdasus'. Sementara poin ketujuh, pembagian alat kelengkapan menjadi tidak berimbang. Karena tidak ada aturan yang tegas. Hal ini menimbulkan kecemburuan anggota DPD dalam satu provinsi'. Kemudian dipersingkat menjadi 'anggota DPD dibagi merata disemua alat kelengkapan'. Poin delapan, yang cukup penting dan termaktub Pimpinan DPD dapat tidak melaporkan kinerja setiap tahun'. Dirubah menjadi 'Pimpinan DPD wajib melaporkan kinerja setiap tahun dalam sidang paripurna'. Poin sembilan, yang sebelumnya berbunyi 'DPD berpotensi dipimpin oleh tersangka seorang pelanggar kode etik, orang yang malas mengikuti kegiatan DPD'. Dirubah bunyinya menjadi 'DPD akan dipimpin oleh pimpinan yang negarawan, tidak cacat etika dan bukan merupakan tersangka'. Untuk poin terakhir yaitu, 'anggota lembaga pengkajian MPR bisa bukan berasal dari DPD', dan perubahannya adalah 'anggota lembaga pengkajian MPR wajib berasal dari DPD'. Dari sepuluh point pokok tersebut, terlepas pro dan kontra, tentu dapat dilihat bahwa senyatanya hal tersebut telah disahkan. Dan akan berlaku untuk keanggotaan DPD mendatang. Penting menjadi catatan sebelum mengakhiri tulisan ini, bahwa sudah seharusnya DPD RI, secara kelembangaan dan keanggotaan mendatang lebih menitikberatkan, mencurahkan segala pikiran, tenaga dan daya upaya yang ada guna merevitalisasi lembaga DPD. Langkah ke arah dengan jalan amandemen kelima UUD 1945. Rasanya hal tersebut lebih urgent (vital) dan penting. Dibandingkan dengan ‘gegap gempita’ tampal sulam perubahan tatib DPD RI yang bermotif subjektif dan memenuhi syahwat kekuasaan perorangan semata. Sekian ! Penulis adalah Praktisi Hukum, Dosen Pengajar di Fak. Hukum dan Fak. Ilmu Sosial Politik UMJ
DPD Diharapkan Tampil Atasi Persoalan Daerah
Oleh Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN – Berbagai gejolak politik dan sosial di masyarakat saat ini sangat membutuhkan perhatian serius dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Besama dengan lembaga legislative lainnya DPD dilantik hari ini 1 Oktober 2019. Namun berbagai persoalan kini telah menanti DPD di depan mata Munculnya berbagai permasalahan di daerah-daerah seperti, kabut asap di sumatera yang tidak kunjung reda akibat kebakaran hutan. Ada konflik sosial secara horisontal dan vertikal di Papua yang semakin memanas dengan pembatantain terhadap para pendatang non-Papua di Wamena. Masalah pengungsi akibat gempa yang terjadi Ambon. Masalah lainnya adalah merebaknya aksi demontrasi mhasiswa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Semua persoalan ini tentu saja sangat membutuhkan perhatian serius dari semua pihak terkait. Pemerintah seperti tampak kewalahan menyelesaikan manangani dan menyelesaikan masalah-masalah ini. Untuk itu, peran penting dan strategis dari DPD sebagai lembaga yang mewakili kepentingan daerah-daerah sangat diperlukan Aksi-aksi deminstrasi mahasiswa yang muncul dan marak di Jakarta dan daerah belakangan ini, lebih banyak menyoroti dan mempersoalkan sikap pemerintah dan DPR mengenai revisi undang-undang KPK. Pemerintah seperti kewalahan dan kebingungan menemua jalan keluas untuk menghentikan aksi-kasi deminstrasi mahasiswa. Malah belakangan pelajar SMA dan SMP mulai ikut-ikutan berdemonstrasi. Pemerintah hari ini terkesan gagal memahami inti permasalahan yang terjadi didaerah. Akibatnya, terkadang langkah atau kebijakan yang ditempuh utuk mengatasi permasalaahan di daerah tidak tepat. Pemerintah tidak mampu menyuguhkan solusi yang tepat bagi penyelesaian permasalahan di daerah. Oleh karena itu, harapan sepenuhnya kini sesungguhnya mulai tertuju pada para senator daerah yang baru terpilih. Karena mereka para anggota DPR sesunghuhnya merupakan representasi dari daerah-daerah sebagaipemilik sebenarnya daerah-daerah Indonesia. DPD tentu saja lebih mengerti dan memahami kondisi dan kepentingan daerah-daerah saat ini. Jangan sampai di kemudian anggota DPD yang baru terpilih ini terjebak pada kepentingan politik praktis sematar. Sehingga hal-hal yang tidak perlu untuk diributkan atau diperdebatkan diantara DPD, malah menjadi perdebatan sengit yang tidak berkesudahan. Berbagai permasalahan yang kini muncul dan berekembang daerah yang seharusnya menjadi perhatian para anggota DPD, malah tidak diperhatikan. Sekarang terlihat masihg adanya perdebatan para anggota DPD terkait soal tata tertib (Tatib) Anggota DPD. Padahal Tata Tertib ini sudah disepakati dan ditetapkan melalui beberapa kali persidangan. Perdenatan-perdebatan yang tidak perlu ini sebaiknya dihindari. Kesepakan yang sudah dicapai melalui keputusan Pleno Badan Kehormatan, sudah seharusnya dipatuhi. Toh kesepakatan yang sudah dicapai mengenai tata tertib tentu saja melalui pembahasan-pembahsan yang panjang. Tujuannya baik, demi untuk perbaikan kinerja kelembagaan DPD ke depan. Arah dan perubahan tatib ini dapat dipahami sebagai untuk memaksimalkan tugas dan fungsi anggota DPD kedepan. Jika ada kekurangan, tentu dalam prosesnya nanti dapat diperbaiki. Inti permasalahannya adalah bagaimana agar anggota DPD ini bisa bergerak cepat merespon permasalahan-permasalahan daerah yang kian komplieks. Saat ini oleh emerintah terkesan tidak mampu mengatasinya. Pada kondisi seperti inilah peran penting dan strategis dari DPD sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. DPD sudah sharusnya tampil untuk mengambil momentum saat ini. DPD harus menunjukan jati dirinya kepada masyarakat dan daerah bahwa DPD ada hadir untuk mereka. Jangan sampai DPD masih terkesan hanya sebagai lembaga pelengkap saja tanpa punya fungsi dan kontribusi di tengah masyarakat. DPD harus menjadi corong bagi kepentingan rakyat di daerah. Karena DPD diisi oleh para tokoh penting dari daerah masing-masing. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berkualitas dan dipercaya masyarakat. Mereka mempunya pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu para anggota DPD jangan sampai terjebak pada perdenatan-perdenatan yang tidak sustansial. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
Indonesia Menuju Police State
Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri. Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Apa itu ‘police state’? Terjemahan langsungnya adalah ‘negara polisi’ atau ‘negara kepolisian’. Terus, apa defenisinya? Menurut kamus Oxford, negara polisi adalah “a totalitarian state controlled by a political police force that secretly supervises the citizens' activities”. Lebih kurang artinya adalah, “sebuah negara totaliter yang dikuasai oleh kepolisian yang politis, yang secara rahasia mengawasi aktivitas warga negara”. Dan menurut Wikipedia, “A police state is a government that exercises power arbitrarily through the power of the police force.” Artinya, “negara polisi adalah suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kekuasaan kepolisian.” Apakah Indonesia saat ini bisa disebut ‘police state’? Jawabannya, masih belum. Tetapi, sedang dalam perjalanan menuju ke sana. On the way menuju negara polisi. Indikasinya apa? Indikasinya bisa anda lihat apakah kepolisian di Indonesia sudah memiliki karakteristik (ciri) yang tersurat maupun yang tersirat di dalam kedua definisi di atas. Di dalam definisi pertama (Oxford), kata kuncinya adalah “politcal police force”. Yaitu, “kepolisian yang politis”. Maksudnya adalah, ‘kepolisian yang terkooptasi ke dalam kegiatan politik dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa’. Apakah Polri di bawah pimpinan Jenderal Tito Karnavian cocok dengan definisi ini? Apakah Polri telah menjadi ‘political police force’? Menurut hemat saya, iya. Coba saja anda buat check-list (daftar) keanehan sepak-terjang kepolisian dalam agenda politik nasional. Berpolitikkah polisi, atau tidak? Memihakkah polisi kepada misi pribadi Jokowi, atau tidak? Tak usahlah kita elaborasikan jawaban untuk dua pertanyaan ini. Anda semua pasti bisa merasakan. Anda telah menyaksikan sendiri ‘behaviour’ (perilaku) kepolisian di masa kepresidenan Jokowi. Coba Anda ingat kembali bagaimana perilaku para petugas kepolisian di semua level dalam menyikapi proses pemilihan presiden 2019. Mulai dari masa prakampanye sampai masa kampanye pilpres. Kapolri membawa polisi memihak Jokowi. Tidak semua personel kepolisian setuju memihak, tetapi mereka tidak bisa menentang secara terbuka. Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri. Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka. Sekarang, coba kita cermati definisi ‘negara polisi’ menurut Wikipedia. Yaitu, “pemerintah yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kepolisian”. Nah, menurut anda, apakah Polri hari ini pas dengan definisi itu? Agaknya sulit untuk dibantah memang. Lihat saja apa yang dilakukan oleh polisi dalam menghadapi orang-orang yang beroposisi. Polisi suka menggunakan pasal-pasal ITE untuk hal-hal sederhana. Sedikit-sedikit hoax. Sedikit-sedikit ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Belakangan, definisi versi Wikipedia ini tampak dari cara polisi menangani aksi-aksi protes damai apalagi yang tak damai. Kita masih ingat cara polisi menangani aksi 21-22 Mei 2019. Mereka menggunakan cara-cara yang brutal, dengan alasan diserang oleh demonstran. Hebatnya, pernyataan seperti ini diterima begitu saja oleh media massa mainstream. Begitu juga dalam menghadapi rangkaian unjuk rasa revisi undang-undang KPK, RKUHP dan beberapa RUU lainnya dalam sepekan ini. Sekian banyak rekaman video menunjukkan kekajaman dan kebrutalan polisi terhadap para pendemo, yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar. Polisi menjadi sangat arogan. Termasuk ketika mereka mengejar para pendemo di Makassar, sampai ke dalam masjid. Sejumlah personel kepolisian masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu mereka. Meskipun mereka meminta maaf, kasus ini menunjukkan kepongahan polisi. Ini semua memperlihatkan bahwa Indonesia di masa sekarang ini sedang dalam proses menuju “negara polisi” (police state). Para penguasa cenderung sewenang-wenang. Kesewenangan itu dijalankan, antara lain, melalui kekuasaan kepolisian. Persis seperti yang didefinisikan oleh Wikipedia tadi. Kalau praktik-praktik kekuasaan seperti hari ini berlanjut, bisa jadi Indonesia akan terperangkap menjadi “police state”. Bahaya ini bisa dicegah oleh DPR kalau mereka benar-benar membawa suara rakyat. Sayangnya, DPR juga membiarkan proses menuju “negara polisi” itu. Media massa juga seharusnya bisa ikut mencegah, kalau mereka berfungsi dengan baik dan senantiasa independen. Sayangnya, 90 persen media massa membuang akal sehat mereka mengenai masalah ini. Penulis adalah Wartawan Senior
Dilema UU KPK, Jokowi Tinggal Sendirian atau "Lengser"?
Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketika berlangsung demonstasi mahasiswa di Jakarta, diantara corat-coret yang ada di jalan, terlihat sebuah coretan menarik: “Jokowi Kemana??” Pertanyaan nakal pun muncul. Apakah Jokowi sudah meninggalkan Jakarta? Ach, tak mungkin! Jokowi yang dimaksud adalah Presiden Joko Widodo. Jika melihat aksi demo yang menolak beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditolak rakyat tersebut, apakah Jokowi bakal mundur sebagai Presiden periode 2014-2019, yang berakhir pada 19 Oktober 2019? Ataukah malah tetap memaksa bertahan hingga bersama Ma’ruf Amin, Jokowi akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024? Saya pernah menulis, “Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!” di Pepnews.com. Dasar hukumnya adalah pasal 6A UUD 1945. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi. Selian itu, tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang kurang dari ataiu di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut versi KPU dan MK), tapi keduanya menang di 26 provinsi. Tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang dua point versi UUD 1945. Sedangkan Jokowi hanya satu poin. Solusinya:,MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo – Sandi. Bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Jika MPR ngotot melantik Jokowi, itu jelas melanggar UUD 1945. Rangkaian pertemuan Prabowo dengan Presiden Jokowi, dilanjutkan pertemuan Prabowo dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Setelah itu, dengan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Pasti ada tujuannya. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu. Meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019. Namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena itu, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sumber hukum. Sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada perintah UUD 1945, karena kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua undang-undang, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 1945, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas ketika pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Tak hanya itu. Melansir Tribunnews.com, Kamis (15 Februari 2018 09:54), anggota BPIP Mahfud MD yang juga pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta dalam sebuah talkshow di televisi swasta menyatakan “kalau sudah mendapat cemoohan masyarakat, menurut TAP MPR No.6 Tahun 2001, seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya masyarakat, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi, enggak usah menurut hukum, saya belum salah gitu. Mundur!” Begitu pula halnya yang tercantum dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Persoalan etika, moral dan norma harus ditempatkan di atas kaidah-kaidah hokum yang berlaku. Bakan yang terjadi sebaliknya. Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata karma. Dalam perilaku politik yang toleran. Tidak berpura-pura, tidak arogan, serta jauh dari sikap munafik. Tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Jokowi Sendirian Tidak salah, kalau dalam demo mahasiswa terkait Revisi undang-undang KPK dan sebagainya itu, kemudian terselip tuntutan agar Jokowi mengundurkan diri. Dan, untuk tuntutan terkait undang-undang KPK, sepertinya Jokowi akan terbitkan Perpu KPK. Isinya membatalkan revisi undang-undang KPK atau menuundanya. Legislasi reviews dan judicial reviews kemungkinan besar tidak jadi direkomendasi. Artinya, yang akan dilakukan untuk meredam demo mahasiswa adalah tetap diterbitkan Perpu KPK. Salah satu alasan politiknya, presiden tidak tahu jika revisi undang-undang KPK tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Karena Prolegnas merupakan syarat hukum untuk proses penerbitan undang-undang dan revisi undang-undang. Sampai disini, yang kalah adalah DPR. Konsekuensi dan resiko jika penerbitan Perppua adalah Jokowi akan ditinggalkan oleh partai-partai pengusungnya. PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan NasDem sebagai parpol yang memotori revisi undang-undang KPK akan membelakangi Jokowi. Sampai disini Jokowi berpotensi akan sendirian dalam memimpin pemerintahnya lima tahun ke depan. Apalagi, seperti disampaikan Megawati sebelumnya bahwa “PDIP lebih nyaman dengan koalisi barunya”. Partai Gerindra adalah koalisi barunya PDIP. Makanya, pertemuan Prabowo dengan Megawati tersebut merupakan sinyal bahwa Jokowi akan ditinggalkan oleh PDIP. Mantan Ketua KPK yang juga Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, persetujuan Istana terhadap DPR untuk revisi undang-undang KPK sebagai bukti tindakan radikal. Sikap ini juga sebagai bentuk penghianatan Presiden bersama DPR terhadap daulat rakyat. Wajar jika kemudian ada tuntutan Jokowi harus turun. Karena dianggap telah melakukan pengkhianatan bersama DPR. Dalam tiga pekan terakhir ini isu politik memang berpusat di DPR dan Jokowi. Misalnya, isu revisi undang-undang KPK, RUU KUHP, RUU Pesantren, RUU P-KS, RUU Pertanahan dan beberapa RUU sensitif lainnya, yang menuai banyak perdebatan. Demonstrasi mahasiswa juga tak hanya di Jakarta, tetapi merambah di beberapa kota besar Indonesia. Korban berjatuhan. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari Immawan Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi korban tewas. Mereka berdua ikut demo dan unjuk rasa mahasiswa yang digelar di depan DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019). Sebelumnya, dalam aksi mahasiswa di DPR RI, seorang korban mahasiswa Universitas Al Azhar bernama Faisal Amir, kini masih dirawat di RS Pelni Petamburan, Jakarta. Faisal disebut-sebut sebagai keponakan dari Menham Ryamizard Ryacudu. Kembali ke soal undang-undang KPK di atas. “Mengapa undang-undang KPK hasil revisi dibatalkan?” tanya Ketum DPP IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Bambang Sulistomo kepada Pepnews.com. Menurut putra Pahlawan Bung Tomo itu, adanya badan pengawas sebenarnya menisbikan sendiri hasil seleksi yang ketat dari kehormatan dan integritas sebuah panitia seleksi, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga kepresidenan. “Artinya, pimpinan KPK hasil seleksi itu dianggap tidak dipercaya oleh lembaga-lembaga yang memilihnya sendiri. Sudah pasti badan pengawas akan mencampuri pokok-pokok perkara yang akan digarap KPK,” tegasnya. Mas Bambang menilai, ini sangat berbahaya. Sebab tidak ada contoh di manapun, sebuah badan pengawas bisa mencegah penegak hukum untuk mengumpulkan bukti-bukti tindakan korupsi. Apalagi, kelahiran undang-undang KPK hasil revisi tersebut dianggap para pakar hukum sudah cacat konstitusi. “Mumpung undang-undang KPK hasil revisi itu sampai hari ini belum ada informasi telah ditandatangani oleh lembaga kepresidenan, sebagaiknya batalkan saja demi keutuhan NKRI!” Sebuah pilihan yang sulit bagi Jokowi. Diteruskan akan berhadapan dengan mahasiswa! Tak diteruskan dengan Perpu KPK, bakal ditinggal Parpol Koalisi. Apalagi, BEM se-Indonesia menolak undangan pertemuan dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini sebagai pertanda Jokowi sudah tidak dihargai lagi sebagai Presiden. Tentu, lebih bijak jika Jokowi mundur. Karena kepemimpinannya sudah “dicemooh oleh rakyat sendiri”. Penulis adalah Wartawan Senior