POLITIK
NU: Wapres Itu Setara dengan Seluruh Menteri
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah Ulama dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) kultural sangat prihatin dengan permintaan “jatah” menteri oleh PBNU kepada Presiden Joko Widodo yang “memenangkan” kontestasi Pilpres 2019, 17 April 2019. Perlukah Presiden Jokowi kabulkan? Isu NU meminta jatah menteri ke Presiden Terpilih Jokowi mendapat kritik dari tokoh NU. KH Salahuddin Wahid alias Gus Solah mengatakan, NU saat ini sudah bermain politik dan sekarang NU sudah terlalu jauh untuk masuk ke dalam kegiatan politik. “Saya pikir organisasi NU terlalu jauh bermain politik. Bahkan sekarang NU minta jatah politik, itu adalah jatah partai. Kalau begitu NU mending jadi partai politik saja,” kata Gus Solah, seperti dilansir Tribunjateng.com, di Pekalongan, Rabu (17/7/19). Pernyataan Gus Sholah itu disampaikan saat menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan Khittah 1926 di Gedung Koperasi Batik Pekajangan, Pekalongan. Menurutnya, politik NU bukanlah politik kekuasaan melainkan politik kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Halaqoh yang diadakan ini dimaksudkan untuk Ngaji Bareng tentang Khittah NU. “NU itu didirikan untuk melayani umat Islam di Indonesia, bukan untuk menguasai umat, yang dimaksud dangan kembali ke khittoh seperti itu,” jelasnya. Gus Solah bersama sejumlah tokoh penting NU seperti KH Nasihin, Kiai Thoha, Kiai Rozi dan yang lainnya menghadiri acara Halaqah Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926 ke-9 digelar di Gedung Koperasi Batik Pekajangan. Putri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid, sendiri sudah mengingatkan petinggi NU tidak terjebak dalam politik praktis, terlebih soal jatah menteri. Hal itu disampaikannya di Silang Monas, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019). “Saya mengimbau pada petinggi NU untuk tidak terjebak pada retorika seolah dipahami kita menuntut kursi kabinet dan sebagainya,” katanya, usai menghadiri HUT Bhayangkara ke-73. Yang terpenting bagi NU adalah suara mereka didengar pemerintah. Apalagi hampir 50% lebih umat Islam mengaku berafiliasi ke NU. “Banyak lembaga survei menunjukkan hampir 50% lebih umat Islam berafiliasi dengan NU. Artinya ketika kader NU ditunjuk di kabinet, ya itu jadi representasi dari sebagian besar umat,” ujarnya. NU, kata Yenny, tetap menjaga sinergi dengan pemerintah ke depan, baik dengan memiliki kader di kabinet atau tidak. Dia memastikan NU akan tetap memberikan masukan dan kritik yang membangun bagi kemajuan bangsa dan negara. “Ketika pemerintah siap, NU harus mampu kerja sama dan mampu menjaga jarak sehat,” kata Yenny. Sebelumnya, Wasekjen PKB Daniel Johan minta jatah kursi menteri partainya dengan NU dalam kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II, dipisah porsinya. “Karena memang PKB itu dilahirkan oleh NU, tapi kan PKB bukan NU, tentu itu suatu yang terpisah,” kata Daniel dalam diskusi Polemik di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/7/2019). Baik NU maupun PKB sama-sama bekerja keras dalam kampanye Pilpres 2019. Sehingga merupakan hal wajar jika keduanya mendapat porsi bagian dalam struktur kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II. “Karena NU juga menjadi bagian yang sangat bekerja keras kemarin sehingga itu dua hal yang berbeda,” ungkap Daniel. Tapi meski menyarankan jatah kursi PKB dengan NU dipisah, Daniel menyerahkan seluruh keputusan ke tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif. “Pada akhirnya kita serahkan kepada pak Jokowi,” lanjut Daniel. “Kami hanya menyediakan Kader terbaik, tapi nanti itu akan melalui hasil pertimbangan mendalam,” tambahnya. Sebelumnya, PKB secara terang-terangan meminta jatah 10 kursi menteri masuk ke dalam komposisi kabinet IKI jilid II periode 2019-2024. Beberapa pos menteri yang dimintanya: Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga Menteri Pertanian. Namun, khusus soal kursi Menaker, Daniel menjelaskan belum mendengar pembahasan itu di internal partai. “Mendes mungkin karena memang sudah berjalan. Kalau menaker nggak tahu belum dengar. Mudah-mudahan basis nahdliyin, yaitu petani dan nelayan,” ungkapnya. Untuk posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tampaknya PKB tidak berminat lagi. Daniel mempersilakan pos Menporan itu diberikan kepada mereka yang masih dan punya jiwa muda. “(Menpora?) Kasih yang muda saja,” katanya sambil tertawa. Apakah karena Menpora yang dijabat kader PKB Imam Nahrawi belakangan terseret kasus suap pengucuran dana hibah KONI. Diketahui, dalam KIK pemerintahan Jokowi saat ini, pos menteri yang diisi oleh kader PKB, diantaranya Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi, dan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo. Sedangkan Menristekdikti Mohammad Nasir kerap disebut representasi PKB. Posisi Wapres Akankah semua permitaan PKB maupun NU itu dipenuhi Presiden Jokowi? Kalau akhirnya format rekonsiliasi Prabowo Subianto yang sudah bertemu Presiden Jokowi dan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu terealisasi, rasanya tidak mungkin. Jokowi pasti akan memasukkan juga orang-orang yang dipercaya Prabowo untuk masuk juga dalam KIK jilid II Jokowi bersama Wapres Terpilih Ma’ruf Amin. Apalagi, syarat yang telah diajukan itu berdasarkan prosentase perolehan suara Pilpres 2019, 55:44. Bagi parpol Koalisi Jokowi-Ma’ruf, ajuan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Jatah kursi menteri mereka dapat dipastikan akan berkurang banyak. Ditambah lagi, NU juga meminta jatah kepada Presiden Jokowi. Jelasnya, ini sangat berlebihan. “NU kan sudah dapat jatah Wapres (Kiai Ma’ruf Amin) yang tokoh ulama-kiai NU ternama. Masa’ masih saja kurang,” ujar ulama NU dari Jatim KH Rozy Shihab kepada Pepnews.com. Jabatan Wapres itu bisa disetarakan dengan semua posisi menteri. Artinya, posisi Wapres yang bakal dipegang Ma’ruf Amin, setelah dilantik, bisa dianalogikan sama dengan jabatan seluruh menteri dalam KIK. Jadi, sebenarnya NU sudah mendapatkan semua posisi menteri dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Sedangkan posisi Presiden, itu bisa saja dianalogikan sama dengan jabatan Wapres bersama semua posisi menteri. Jadi, NU tidak perlu meminta-minta lagi jabatan kepada Jokowi. Jadi, NU tidak perlu datang dan minta-minta ke Presiden. “Justru presidenlah yang harus datang ke NU. Karena, sesuai Khittah 1926, NU itu bukanlah partai politik. Ini yang harus dicamkan,” tegas Kiai Rozy Shihab, mengingatkan. Hal serupa disampaikan KH Abdul Malik Madani. Khittah NU itu politik kebangsaan, bukan politik praktis. NU itu ormas Islam terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang mengawal NKRI. “NU itu seharusnya tidak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau politik kekuasaan,” ujarnya. Hal itu disampaikan mantan Katib Aam PBNU ini saat menyampaikan pandangan umum soal Khittah NU di Ponpes Tebuireng 8 Serang, Banten. Acara itu merupakan rangkaian Halaqah ke-8 Komite Khittah NU 1926 (KKNU 26). Dalam kesempatan itu, Kiai Malik menyampaikan pesan dari almarhum KH Ahmad Sahal Mahfudz. “Dalam Rapat Pleno PBNU di Universitas Ilmu Al-Qur’an (Unsiq) Kelibeber, Wonosobo, Kiai Sahal mewanti-wanti agar NU tidak bermain-main dalam politik rendahan (siyasah safilah) tetapi NU bermain dalam politik tinggi (siyasah aliyah),” ungkapnya. Yang dimaksud dengan politik tinggi di sini, lanjut Kiai Malik, bahwa NU tidak main pada tatran politik praktis, tetapi menjalankan tiga hal yang merupakan politik tingkat tinggi. Tiga hal itu adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik. “Politik kebangsaan menuntut NU proaktif membentengi NKRI sebagai bentuk final bagi umat Islam,” jelasnya, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 Nahdlatul Ulama”. Sementara itu, politik kerakyatan menuntut NU agar proaktif menyadarkan rakyat atas hak-haknya sebagai rakyat supaya tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit politik. “Sedangkan etika politik, NU aktif menyebarluaskan ajaran Islam tentang etika berpolitik, termasuk menolak politik uang, suap, korupsi, dan lain-lain,” ungkap Kiai Malik. Kalau NU sudah masuk pada tataran politik kekuasaan, maka di dalamnya sarat dengan kepentingan. Selain itu, juga akan menimbulkan gesekan antara struktural dengan kultural, sehingga tidak akan pernah ada ittifaq (kesepakatan), yang ada hanya ikhtilaf (perselisihan). PBNU ketika Pilpres 2019 secara terang-terangan maupun terselubung, memobilisasi warga NU, struktur NU pada tingkatan PW sampai MWC guna mendukung salah satu paslon, penggiringan itu, menurut Kiai Malik, merupakan pelanggaran atas Khittah NU 1926. Melihat itu semua, apakah NU masih tetap ngotot ingin minta jatah jabatan kepada Presiden Jokowi, meski sudah dapat posisi Wapres? Ingat, jabatan Ma’ruf Amin di PBNU adalah Rois Syuriah! (Bersambung). ***
Mega,"Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi"
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Sumringah. Bahagia. Tidak ewuh pakewuh. Saling lempar senyum lepas. Itulah suasana yang tampak saat berlangsung pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, seperti halnya ketika Presiden Joko Widodo bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Kepala BIN Budi Gunawan. Ada yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Mega di Jl. Teuku Umar ini. Memang, bersamaan dengan pertemuan Teuku Umar itu, Rabu (24/7/2019) Presiden Jokowi sedang menyambut kedatangan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti Nasdem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum Nasdem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Pertemuan digelar di kantor DPP Nasdem, Senin (22/7/2019). Melansir Tribunnews.com, dalam pertemuan itu, selain Surya Paloh sebagai tuan rumah, hadir Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Suharso Monoarfa. SP menyebut Mega tidak ikut hadir, karena pertemuan tersebut berlangsung secara spontan tanpa diagendakan sebelumnya. “Ya memang kalau bisa hadir bersama bisa lebih baik. Tapi ini spontan saja kebetulan sedang kumpul di kantor Nasdem,” katanya. Ia mengakui memang tak mengundang perwakilan PDIP untuk datang ke kantornya. Namun SP menyebut tiga ketum parpol yang datang juga tak diundang. “Memang yang datang tidak diundang. Itu semua spontan datang kebetulan sekali mereka adik-adik saya,” ujarnya. Menurut SP, dalam pertemuan itu tak ada pembahasan spesifik. Masing-masing ketum parpol hanya saling bertukar pikiran terkait konsolidasi politik yang dilakukan pasca Pilpres 2019. Terkait pimpinan MPR, SP sepakat bahwa dalam paket yang diusung harus diisi oleh parpol koalisi Jokowi-Ma'ruf, bukan parpol oposisi. Hal ini disampaikan SP menanggapi Gerindra yang juga mengincar kursi Ketua MPR. “Kursi MPR idealnya tetap paket partai pengusung pemerintahan Jokowi saat ini,” katanya. Namun, terkait siapa yang mendapat jatah Ketua MPR dan tiga Wakil Ketua MPR, belum diputuskan. Seluruh parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf harus membahasnya lebih lanjut. “Kalau masing masing mau jadi ketua ya susah,” kata bos Media Group ini, seperti dilansir Kompas.com, Senin (22/7/2019). Apa yang sebenarnya terjadi di balik itu semua? Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, jika ada yang khawatir dengan pertemuan Prabowo-Mega, Rabu (24/7/2019), itu bisa jadi partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf. Soalnya, pertemuan ini semakin membuka peluang Gerindra masuk ke dalam koalisi. “Jika Gerindra masuk koalisi, jatah menteri partai koalisi Jokowi bisa berkurang,” ungkap Ujang, seperti dikutip Tirto.id. Faktanya, jumlah partai yang mesti diakomodasi atau minimal diperhatikan Jokowi tahun ini lebih banyak. Pada Pilpres 2019 paslon nomor urut 01 ini didukung oleh 10 partai. Sementara pada Pilpres 2014, Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla hanya diusung koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Golkar, PPP, dan PAN baru bergabung belakangan. Apalagi jika kursi menteri berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg. Gerindra hanya kalah dari PDIP sebagai pemenang pileg. Gerindra mendapat suara 17,5 juta atau setara 12,57 persen total suara. Kabarnya, Gerindra itu mengincar kursi Kementerian BUMN dan Pertanian. Dengan kondisi demikian, tak heran jika partai pendukung Jokowi menolak Gerindra bergabung masuk dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Penolakan atas Gerindra dan parpol seperti Demokrat-PAN telah disampaikan PKB, Golkar, Nasdem, dan PPP, empat partai pendukung Jokowi selain PDIP yang lolos ambang batas parlemen. Keempat partai itu sudah berkali-kali meminta jatah menteri dari Jokowi, meski hingga kini belum jelas siapa yang akan ditunjuk Presiden Jokowi. Muhaimin bilang, selayaknya PKB dapat jatah 10 menteri. Sementara fungsionaris Nasdem Taufiqulhadi mengatakan, semestinya partainya dapat lebih banyak karena suara di pileg lebih besar. Golkar dan Nasdem pun serupa. Masing-masing dari mereka disebut-sebut meminta jatah empat dan dua kursi menteri. Ketum empat partai ini, Muhaimin, Airlangga, SP, dan Suharso, saat bertemu menyatakan sikap bahwa koalisi tak perlu diperlebar. Kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate, empat ketum partai ini satu suara agar sebaiknya “koalisi yang ada diperkuat saja”. Pernyataan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari semakin menegaskan kalau pertemuan empat ketum partai itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan bergabungnya Gerindra. Eva bilang, pertemuan itu hanya reaksi dari keresahan partai koalisi atas hak prerogatif presiden dalam memilih kabinet. “Mereka sudah tahu risiko atau konsekuensi dari hak prerogatif presiden,” katanya. Selain menteri, kata Ujang, bergabungnya Gerindra juga menipiskan peluang pimpinan legislatif dipegang partai koalisi Jokowi. Gerindra terang-terangan mengincar kursi MPR. Nama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dimunculkan sebagai kandidat. Muzani dimajukan karena dia dianggap diterima semua fraksi. “Empat partai tersebut sedang 'mengunci' Gerindra, sebab kursi Ketua MPR bisa saja diperebutkan dengan partai itu,” ujar Ujang. Dalam ayat (2) pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket. Artinya, Gerindra memang bisa mendapat kursi itu setelah disetujui koalisi. Sejauh ini Gerindra juga belum membuat pernyataan resmi soal posisinya di pemerintahan Jokowi. Anggota badan komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan semua akan diputuskan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) September mendatang. “Arah koalisi Gerindra akan diambil pada September dalam Rakernas. Di situlah sikap resmi Gerindra akan diambil,” ujar Andre pertengahan Juli lalu. Namun, jika menyimak pertemuan Prabowo-Mega di Teuku Umar, tampaknya membawa “pesan khusus”. Setidaknya, selain ditujukan kepada empat parpol Koalisi Jokowi yang tidak dilibatkan dalam pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Teuku Umar, pesan khusus ini juga ditujukan pada Jokowi. Jika menolak rekonsiliasi, maka posisi Jokowi bisa rawan. Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Taruhannya adalah Jokowi-Ma’ruf gagal dilantik sebagai Presiden-Wapres 2019-2024. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Versi KPU, paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional, tapi menang di 26 provinsi, dan tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi ini sama saja dengan melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Buah simalakama bukan? Kedua, pemilihan ulang. Kalau pemilihan ulang rasanya tidak mungkin. Selain tak ada biaya, banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo-Sandi. Maka, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Di sinilah Mega piawai dalam membaca strategi politik Prabowo sejak “dikalahkan” oleh KPU yang dikuatkan oleh MK dan MA. Sebaliknya, dengan format mengikuti hasil rekapitulasi KPU berdasar prosentase 55:54, telah membuat Koalisi Jokowi sedikit goyang. Apalagi, saat pertemuan Prabowo-Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga Teuku Umar, tidak melibatkan mereka. Sebelumnya, Prabowo bersama Dewan Pembina disebut menyiapkan konsep terkait opsi soal ketahanan pangan dan ketahanan energi. Jika konsep itu diterima oleh pihak Presiden Jokowi, maka Gerindra bersedia masuk ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Apabila tidak disetujui, Gerindra akan tetap menjadi oposisi. “Tapi sebaiknya menurut saya Mas Bowo ngomong sendiri saja sama Pak Jokowi. Sehingga yang namanya dialog itu sangat diperlukan,” kata Megawati, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (24/7/2019). “Semua keputusan nanti ada di presiden terpilih karena pada Beliaulah (Presiden Jokowi) hak prerogatif itu ada, bukan pada saya,” ucap Presiden kelima RI itu. Tentunya termasuk format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo? Mengikuti Surya Paloh Cs atau Megawati! ***
Budi Gunawan, Orang Kuat Baru Indonesia
Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Indonesia punya orang kuat baru. Orang itu bernama Budi Gunawan. Saat Ini dia menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Fakta itu mencuat menyusul bertemunya Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, dilanjutkan dengan kunjungannya ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. BG—begitu dia dipanggil— hadir dalam dua pertemuan tersebut. Kehadiran BG yang cukup menonjol terlihat dalam jamuan makan siang di kediaman Megawati. Yang hadir sangat terbatas. Megawati ditemani dua orang anaknya Muhammad Prananda Prabowo dan Puan Maharani Mensekab Pramono Anung, plus BG. Hal itu menunjukkan posisinya yang spesial. Kehadiran BG sempat tak dikenali. Dia tampil klimis, tanpa kumis hitam rapih yang menjadi ciri khasnya. Sejumlah tokoh yang mengerti cerita dibalik keberhasilan “operasi rahasia” itu juga mengkonfirmasi penting dan krusialnya peran BG mewujudkan semuanya. “Beliau bekerja tanpa ada suara. Alhamdulillah apa yang dikerjakan hari ini tercapai," kata Pramono Anung seusai pertemuan MRT, Sabtu (13/7/2019). Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan BG menjalankan semua peran itu atas penugasan Presiden Jokowi. Tak heran bila banyak kalangan yang memuji keberhasilan BG menjalankan “mission impossible” itu. Politisi PKS Aboe Bakar Al-Habsyi termasuk yang kagum. Agak sulit sebelumnya membayangkan Prabowo bersedia bertemu Jokowi, mengingat kontestasi politik yang sangat keras sepanjang pilpres lalu. Yang terjadi bukan hanya bertemu. Prabowo tampak ketawa-ketiwi, makan siang dalam suasana yang sangat hangat dan personal dengan Megawati. Lebih dari itu, dua kubu itu tampaknya sampai pada satu kesepakatan bakal bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Sebuah praktik politik yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah dunia, di negara demokrasi. Dua capres yang berkontestasi. Terlibat perseteruan dahsyat. Sampai bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Ratusan korban tewas, baik dari para petugas penyelenggara pemilu dan pendukung, tetiba mereka kemudian sepakat memerintah bersama. Sebuah praktik demokrasi out of the box, bahkan di luar nalar pikiran kita semua. Beyond our imagination. Semua hil yang mustahal ini bisa terwujud berkat peran seorang aktor utama bernama BG. Fakta itu menunjukkan BG mempunyai otoritas, kekuatan jaringan, kemampuan, sumber daya, dan yang paling penting: Dipercaya. Baik oleh kubu Jokowi, khususnya Megawati maupun kubu Prabowo. Tangannya menjangkau jauh ke dalam partai politik, dan pengambil keputusan di dua kubu yang berseteru. Dua kekuatan yang dalam setahun terakhir saling bertentangan secara diametral. Dua kubu yang membelah Indonesia menjadi cebong dan kampret. Dengan perannya itu, kita tidak perlu kaget bila dalam beberapa tahun ke depan BG akan memegang posisi penting dan memainkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan Jokowi. Dia akan menggantikan peran-peran tokoh yang selama ini mendominasi pentas politik nasional seperti Luhut Panjaitan. Menjadi orang kepercayaan dan tangan kanan Jokowi. Perannya bahkan akan lebih kuat, mengingat kedekatannya dengan Megawati. Melalui PDIP Megawati adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Tidak Terduga Barangkali banyak yang tidak menduga, BG akan mencapai posisi sentral seperti sekarang. Karirnya nyaris habis ketika dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal masa jabatan Jokowi (2015). Saat itu Jokowi sudah menominasikannya sebagai Kapolri dan DPR menyetujuinya. Jokowi ternyata menolak melantik BG ketika dia berhasil memenangkan gugatan pra-peradilan atas KPK. Dia kemudian harus “menyingkir” menjadi Kepala BIN. Jabatan sebagai Kapolri akhirnya diberikan kepada juniornya Tito Karnavian. Dengan peran baru sebagai Kepala BIN, BG lebih banyak bekerja di balik layar. Justru dengan posisinya itu dia bisa lebih banyak melakukan kerja-kerja politik, lepas dari sorotan publik. Sebuah peran yang tak mungkin dia jalankan bila menduduki posisi Kapolri. Hubungannya yang sangat dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati, membuat BG punya akses dan peran istimewa di dunia politik. Bagaimanapun PDIP adalah partai terbesar. Partai pemenang pemilu. Jokowi, seorang kadernya, seorang petugas partai menjadi presiden. Jadi Megawati menjadi semacam Godmother. Pemegang kekuasaan sesungguhnya secara informal dan secara organisasi berada di atas Jokowi. Sebagai mantan ajudan ketika Megawati menjadi presiden, kini peran BG berubah menjadi seorang “partner.” Peran yang melengkapi dan mengisi kekosongan yang dulu diperankan oleh suami Megawati, almarhum Taufik Kiemas (TK). Semasa Kakak TK —begitu dia biasa dipanggl kalangan dekatnya—masih hidup, dia menjadi semacam jembatan politik bagi Megawati. Dia bisa mempertemukan berbagai kekuatan yang berseberangan, duduk dalam satu meja. Termasuk tokoh-tokoh Islam yang sering berposisi diametral dengan PDIP dan Megawati. Latar belakang kakak TK sebagai anak tokoh Masjumi di Palembang, membuatnya tidak kesulitan menembus sekat-sekat itu. Megawati tampaknya sudah menemukan partner baru. Partner menjalankan peran yang dimainkan TK di masa lalu. Dilihat dari usia BG (60 th), jauh lebih muda dibanding Megawati (72 th), dia bukan hanya berperan sebagai partner, tapi juga bisa menjadi salah satu kader penerus kekuasaannya. Kemunculan BG di publik dan momen-momen politik penting, bisa dilihat sebagai tahap awal pengenalannya (brand awareness) kepada publik pemilih Indonesia. Jika BG dipersiapkan sebagai the next leader, dia tidak boleh terus berada di dunia remang-remang. Dunia intelijen di balik layar. Dia harus lebih sering tampil di muka publik. Dalam marketing politik dikenal rumus baku : Popularitas, disukai (likeness) dan elektabilitas. Kalau mau terpilih haruslah populer terlebih dahulu, dan kemudian disukai publik. Peta dunia persilatan politik Indonesia bakal tambah seru dan menarik. Kita sudah bisa membayangkan serunya persaingan Pilpres 2024 sejak dari sekarang. Selamat datang Pak BG. Semoga beruntung. end
Beda Makan Siang Anies-Surya Paloh dengan Makan Siang Prabowo-Megawati
Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rabu (24/7) ada dua peristiwa politik penting yang menyedot perhatian publik. Pertama, pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Kedua, pertemuan antara Gubernur DKI Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Lokasinya berjarak tidak terlalu jauh. Jika ditarik garis lurus, barangkali tidak mencampai satu kilometer. Masih dalam jangkauan jarak bidik. Hanya sepelemparan batu. Yang satu dihelat di Jalan Teuku Umar, kediaman Megawati. Satunya lagi dihelat di kantor Nasdem di Jalan Gondangdia. Dua-duanya berada di kawasan Menteng. Kawasan paling elit di Jakarta. Ada persamaan dan perbedaan diantara kedua pertemuan itu. Persamaan yang paling kasat mata, kedua pertemuan dilakukan sambil makan siang. Karena acara makan siang itu dilakukan oleh para politisi papan atas, tak salah bila kemudian publik dan media menafsirkan secara politis pula. Sudah menjadi pemahaman umum, ada adagium yang sangat populer “tidak ada makan siang yang gratis.” Apalagi dalam politik. Jadi mau dibantah. Dijelaskan panjang lebar sampai berbusa-busa, sulit untuk menyebut hal itu hanya silaturahmi biasa. Apalagi hanya sekedar menyebutnya silaturahmi para tokoh bangsa yang kebetulan sudah bersaahabat lama. Konfigurasi baru peta politik Dilihat dari dampaknya secara politik, harus diakui pertemuan antara Anies dengan Surya lebih mengejutkan ketimbang pertemuan Prabowo dengan Megawati. Pertemuan Prabowo dengan Megawati, kendati mendapat liputan media dalam skala besar, namun tone-nya landai. Maklumlah pertemuan itu dihelat setelah Prabowo bertemu dengan Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus. Publik sudah tidak lagi terlalu kaget dan mahfum, Prabowo dan Gerindra hampir pasti merapat ke istana. Hanya saja kali ini langkahnya semakin dekat. Dia bertemu Megawati sebagai pemilik saham dan aset terbesar dalam partai koalisi pendukung Jokowi. Ini semacam fatsoen politik dan adanya sebuah kepastian: Prabowo diundang dan diterima dengan tangan terbuka! Situasinya jelas sangat berbeda dengan pertemuan Anies-Surya Paloh. Boleh dibilang ini adalah sebuah kejutan besar! Pasca pertemuan di stasiun MRT, massa pendukung 02 sangat kecewa dan bersiap move on. Mereka sedang mencari-cari figur baru penantang Jokowi. Anies termasuk dalam daftar teratas yang dielus-elus sebagai jago baru. Kendati pernah menjadi tim sukses dan kemudian menjadi anggota kabinet Jokowi, dalam polarisasi politik Indonesia, dia diposisikan berseberangan dengan Jokowi. Makanya ketika Anies bertemu Surya Paloh, publik dan media menangkap ada sesuatu yang tengah terjadi. Sesuatu yang akan membuat perubahan kostelasi politik sangat besar. Media kemudian beramai-ramai membuat judul : Surya Paloh Siap Usung Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Situs MetroTVnews.com milik Surya Paloh termasuk yang mengunggah judul itu. Jelas ini berita besar. Layak masuk kategori Breaking News! Kabinet baru belum terbentuk, kok tetiba Surya Paloh sudah mengumumkan gacoan baru! Publik menangkap ini semacam sinyal perlawanan dari Surya Paloh. Dia tak sepakat atas rencana Jokowi dan Megawati menggandeng masuk Prabowo ke kabinet. Dua hari sebelumnya Surya Paloh juga bertemu dengan para Ketua umum partai pendukung Jokowi tanpa dihadiri wakil PDIP. CLBK (Cinta lama bersemi kembali) antara Prabowo dengan Megawati, membuat Surya Paloh Dkk patah hati. Ada yang berkhianat, mendua hati. Pesta pernikahan berupa pengumuman kabinet belum dihelat, kok sudah ada yang main mata dengan gacoan lama. Karena itu signal politik yang tegas dan keras harus disampaikan. Anies merupakan medium yang paling pas dan tepat untuk menyampaikan pesan itu. Kalau sampai Jokowi dan Megawati meneruskan langkahnya, maka mereka akan berhadapan dengan Surya Paloh Dkk. Belakangan Nasdem secara resmi membantah ada pernyataan itu. Menurut mereka media salah menafsirkan statemen Surya Paloh. Media kemudian ramai-ramai meralat beritanya. Ada “kesalahan” berjamaah, termasuk media milik Surya Paloh. Bila kita cermati rekaman pernyataan Surya Paloh, benar tidak ada kata secara eksplisit dia akan mengusung Anies Baswedan. Namun momentum pertemuan, dan statemen-statemen yang disampaikan, secara implisit mengisyaratkan Surya Paloh sedang “mempertimbangkan” dan menilai Anies layak didukung sebagai capres pada 2024. Media dan publik tidak sepenuhnya salah. Dalam politik, kita tidak boleh hanya memahami apa yang tersurat, tapi juga yang tersirat. Simbol, gestur tubuh, momentum, pilihan lokasi, siapa bertemu siapa, siapa bicara apa, haruslah turut diperhatikan. Ada panggung depan dan panggung belakang. Sekali lagi pertemuan Anies dan Surya Paloh tidak boleh hanya dipahami sebagai pertemuan biasa. Juga bukan sekedar pertemuan sahabat lama, pertemuan antara seorang kakak dan adik seperti dikatakan Surya Paloh. Penjelasan bahwa Anies merupakan salah satu deklarator Ormas Nasdem, makin menguatkan dugaan: sedang terjadi perubahan konfigurasi besar dalam formasi politik Indonesia saat ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan kacamata lama dalam bingkai dua kubu besar, kubu paslon 01 dan palson 02. Formasinya mulai mencair dan bisa membentuk beberapa konfigurasi baru. Bila meminjam analogi dunia silat, manuver Surya Paloh bertemu Anies bisa dilihat sebagai jurus kembangan. Seorang pesilat biasanya menggunakan jurus ini untuk menjajaki dan memancing lawan, sebelum melakukan serangan telak dengan jurus inti yang mematikan. Semuanya sangat bergantung pada reaksi Jokowi dan terutama Megawati. Memilih kembali ke Cinta Lama yang Belum Kelar (CLBK) dengan Prabowo, tetap bersama koalisi partai pendukung Jokowi, atau mengambil jalan tengah, poligami politik. End
Megawati Mau Pisahkan Prabowo dari Umat Islam, Tendang LBP, Cegah SBY
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pada hari Rabu (24 Juli 2019), berlangsung pertemuan Prabowo dan Megawati di kediaman mantan presiden kelima itu, di Jalan Teuku Umar. Semula diberitakan pertemuan ini akan dihadiri oleh Jokowi. Tetapi, akhirnya, hanya berlangsung antara Prabowo dan Bu Mega. Menyusul pertemuan Stasiun Lebak Bulus antara Jokowo dan Prabowo (13 Juli 2019), pertemuan Teuku Umar semakin memperjelas arah yang ingin ditempuh para penguasa politik. Semakin jelas apa yang hendak mereka lakukan. Mereka sedang berusaha merangkul Prabowo dan Gerindra. Lalu, apa tujuan mereka merangkul? Banyak yang bisa dibaca dari pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar. Tujuan pertama dan utama adalah upaya untuk memisahkan Prabowo dari umat Islam. Tujuan ini tidak samar-samar. Sangat gamblang. Bisa dilihat dari sejumlah isyarat yang ditunjukkan secara terbuka oleh para politisi yang terlibat di dalam proses rekonsiliasi antara Kubu 01 dan Kubu 02. Prabowo, tampaknya, dianggap sudah terlalu jauh berfusi (menyatu) dengan umat Islam (i.e. umat garis lurus). Para politisi sekuler-nasionalis anti-Islam di semua kekuatan politik melihat kedekatan Prabowo dan umat serta para ulama bisa membentuk kekuatan besar yang akan menggusur mereka. Kentalnya fusi Prabowo dan umat terbukti dalam kampanye pilpres 2019. Kampanye Prabowo-Sandi yang selalu gegap-gempita di mana-mana. Kemudian, silaturahmi keliling Indonesia yang dilakukan Sandiaga Uno selama enam (6) bulan sebelum kampanye, juga meledak di mana-mana. Fakta-fakta inilah yang membuat proyeksi kemenangan Prabowo-Sandi menjadi sangat diyakini akan terjadi. Tapi, akhirnya, proyeksi kemenangan itu kandas di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemenangan Prabowo akan menjadi simbol kemenangan umat Islam. Pantas diduga proyeksi kemenangan itu membuat para penguasa politik dan para penguasa institusi yang sama-sama anti-Islam, menjadi resah. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau terasa ada yang “tak wajar” dalam proses yang berlangsung di KPU dan tahap-tahap berikutnya di luar KPU. Para pendukung Prabowo yakin ada kekuatan yang merancang proses di lembaga penyelenggara pemilu ini. Kepala BIN Budi Gunawan (BG) pasti punya banyak informasi tentang dukungan kuat umat garis lurus kepada Prabowo. Pak BG juga pasti tahu tentang fakta-fakta pilpres 2019. Tak mungkin tidak, beliau juga memiliki detail perolehan suara Jokowi dan Prabowo. Pengetahuan Pak BG tentang perolehan suara itulah yang membuat dia berinisiatif merangkul Prabowo setelah muncul reaksi keras pendukung 01 terhadap keputusan KPU. Membiarkan Prabowo kesal dan rundung dalam kekalahannya diperkirakan akan semakin memperkuat aliansi dia dengan umat Islam dan para ulama. Kekuatan yang “dikalahkan” ini dikhawatirkan akan bergejolak terus seperti perut gunung berapi. Karena itu, mencabut Prabowo dari pusaran gejolak itu menjadi prioritas. Mereka perkirakan, mencabut Prabowo dari umat akan melemahkan perlawanan. Dan ternyata taktik memisahkan Prabowo dari gerbongnya, sejauh ini, cukup ampuh. Umat Islam pendukung Prabowo terbelah-belah akibat ucapan selamat dari Prabowo untuk Jokowi di Lebak Bulus. Terpecah menjadi tiga. Pertama, kelompok yang setuju dengan langkah Prabowo menerima rekonsiliasi bahkan berkoalisi dengan Jokowi. Kedua, kalangan yang menentang keras rekonsiliasi/koalisi. Ketiga, mereka yang diam saja. Mayoritas adalah kelompok kedua, yaitu mereka yang menentang keras. Tetapi, suara mayoritas itu menjadi tidak efektif dan malahan para pentolannya dijadikan target kriminalisasi. Prabowo terus “dihibur” dengan skenario yang menyenangkan. Setelah Lebak Bulus, hiburan itu dilanjutkan dengan makan nasi goreng di rumah Mega. Pertemuan ini akan menumbuhkan keyakinan di dalam diri Prabowo bahwa dia sedang “dihargai”. Sedang “dihargai” ini bisa juga punya arti yang tersirat. Salah satu kemungkinan maknanya adalah “diberi harga”. Kedua arti itu seharusnya paralel. Sulit dibantah. Menafikan ini akan sama dengan menolak dalil absolut bahwa setiap makhluk hidup pasti perlu makan ketika ia lapar. Sekali lagi, itulah tujuan pertama dan utama pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar. Yaitu, mencabut Prabowo dari pendukungnya yang mayoritas umat Islam (garis lurus). Tujuan pertama ini tampak dari gelagat yang terjadi. Yang mengumumkan pertemuan Prabowo-Megawati adalah FX Arief Poyuono. Dia adalah salah seorang dari faksi alergi-Islam di tubuh Gerindra. Faksi inilah yang sekarang banyak berperan sebagai ‘jurubicara’ Prabowo. Faksi alergi-Islam di Gerindra menjadi dominan menjelang Lebak Bulus. Saat ini, faksi Poyu harus diakui paling kuat pengaruhnya terhadap Prabowo. Cuma, untuk meredam kecurigaan umat, Poyuono tidak diikutkan di Teuku Umar. Sebagai tambahan, catatan sejarah menunjukkan FX Arief Poyuono pernah menjadi kader PDIP. Besar kemungkinan ‘darah PDIP’ yang mengalir di tubuh Poyu membuat dia lebih lincah berkomunikasi dengan Kubu 01. Dan juga dengan pimpinan PDIP. Benarkah ada gejala anti-Islam di Gerindra? Kecenderungan itu tidak sulit untuk diidentifikasikan. Antara lain dapat terbaca dari hubungan yang mulai renggang dan semakin melebar jaraknya antara Prabowo (plus faksi Poyu) di satu pihak dengan para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 di pihak lain. Pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar hampir pasti berlangsung tanpa komunikasi dengan para ulama yang selama ini menyertai Prabowo. Tujuan kedua. Mencabut Prabowo dari umat Islam sekaligus mengirimkan sinyal kepada umat garis lurus bahwa mereka sedang dialianisasikan. Proses pengucilan sudah dimulai. Mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi. Diperkirakan, akan banyak kebijakan dan tindakan langsung Presiden yang ditujukan untuk melemahkan umat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Selanjutnya tujuan ketiga. Merangkul Prabowo ke Kubu 01 sekaligus memberikan isyarat ‘tendang out’ untuk Luhu Binsar Pandjaitan (LBP). Sejak Lebak Bulus, LBP paham bahwa dia akan dibuang dari lingkaran Jokowi. Sebetulnya, Mega sudah lama ingin mendepak LBP. Namun, selalu tak punya alasan kuat untuk disampaikan kepada Jokowi. Tidak mudah menyingkirkan LBP. Sekaranglah saat yang tepat. Mega bisa meyakinkan Jokowi bahwa LBP lebih banyak menjadi masalah ketimbang solusi. Tujuan keempat. Dengan merangkul Prabowo, Megawati menunjukkan bahasa tubuh kepada SBY dan Partai Demokrat bahwa mereka sebenarnya tidak disukai masuk ke lingkaran Jokowi. Sejak Lebak Bulus, dan sekarang pertemuan Teuku Umar, SBY dan orang-orang Demokrat paham betul bahwa mereka tidak akan diberi ruang untuk bermanuver. Mega pastilah melihat jauh ke pilpres 2024. Kalau dia berhasil merangkul Prabowo dan Gerindra (sebagai partai nomor dua di DPR), itu berarti rencana yang sedang disiapkan Mega untuk pilpres lima tahu lagi kemungkinan besar akan sukses. Tujuan kelima. Megawati merangkul Prabowo untuk mengatakan kepada partai-partai lain di Kubu 01 bahwa bukan mereka yang mengatur Jokowi. Bukan mereka yang menentukan kabinet baru Jokowi. Bu Mega ingin menegaskan bahwa beliau dan BG-lah yang sekarang menjadi episentrum kekuasaan Jokowi periode kedua. Mega mengirimkan isyarat bahwa partai-partai koalisi Jokowi harus menerima kalau Prabowo dan Gerindra ikut masuk kabinet. Begitulah lebih kurang kemungkinan tujuan Megawati dan Jokowi merangkul Prabowo. Tetapi, harus ada disclaimer bahwa bisa saja Prabowo akan mengalami pengelabuan seperti yang pernah dialaminya lewat Perjanjian Batu Tulis 2009. Waktu itu, Megawati mangkir janji untuk mendukung Prabowo di pilpres 2014. (25 Juli 2019)
Makan Siang Megawati-Prabowo: Bukan Sekadar CLBK Biasa
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Makan siang Megawati-Prabowo Rabu (24/7) siang memberi banyak isyarat dan tafsir politik. Mulai dari siapa saja yang hadir. Menu makanan yang disajikan. Dan tentu implikasi politik dari pertemuan tersebut. Pertama, dari sisi yang hadir. Tuan rumah Megawati hanya ditemani keluarga inti, dan orang-orang dekatnya, khususnya PDIP. Mega ditemani dua orang anaknya Prananda, Puan Maharani, dan Kepala BIN Budi Gunawan. Sementara dari PDIP hadir Sekjen DPP Hasto Kristiyanto dan mantan Sekjen Pramono Anung yang kini menjadi Menseskab. Sementara Prabowo juga ditemani dua fungsionaris Partai Gerindra yang sudah lama dekat dan mendampingi Prabowo. Sekjen Ahmad Muzani dan Wakil Ketua Umum Edy Prabowo. Dua orang ini sudah dekat dengan Prabowo bahkan sebelum Gerindra berdiri. Apa artinya? Ini benar-benar pertemuan terbatas. Hanya mereka yang benar-benar punya kedekatan secara personal yang boleh hadir. Megawati dan Prabowo sudah mempunyai hubungan personal cukup lama dengan Megawati. Secara idiologis mereka juga sama. Jalur nasionalis dan kebangsaan. Pada Pilpres 2009 mereka bahkan pernah berpasangan sebagai capres-cawapres. Sayangnya mereka kalah ketika berhadapan dengan capres inkumben Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Budiono. Menurut klaim kubu Prabowo ketika itu ada semacam perjanjian tertulis, bahwa Megawati akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014 sebagai capres. Kesepakatan itu dikenal dengan nama Perjanjian Batutulis. Sesuai dengan nama Istana Batu Tulis, Bogor yang menjadi lokasi perjanjian ditandatangani. Kemesraan hubungan keduanya terus berlanjut pada Pilkada DKI 2012. Berkat kegigihan Prabowo meyakinkan Megawati, pasangan Jokowi-Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI. Namun gegara Jokowi lah hubungan Megawati dengan Prabowo secara politik menjadi terganggu. Megawati pada Pilpres 2014 memutuskan mendukung Jokowi dan mengingkari kesepakatan Batu Tulis. Ironisnya Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla kemudian mengalahkan Prabowo-Hatta. Perseteruan politik keduanya terus berlanjut dan tensinya malah meninggi ketika berlangsung Pilpres 2019. Sempat ada upaya menjodohkan Prabowo sebagai capres Jokowi. Namun usulan itu ditolak Prabowo. Seperti kita ketahui, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno kembali dikalahkan oleh Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Perseteruannya sangat keras. Prabowo bahkan sempat menolak mengakui hasil pilpres dan menuding Jokowi melakukan kecurangan. Kedua, dari sisi makanan yang disajikan. Secara simbolis dan semiotis bermakna politis sangat tinggi. Ada menu khusus dengan bumbu bawang putih spesial. Bawang putih adalah bumbu makanan dari sisi kesehatan dapat menyembuhkan penyakit aliran darah yang tersumbat (kolesterol) dan darah tinggi. Jadi secara simbolis tampaknya Megawati menginginkan agar komunikasi politik diantara mereka yang tersumbat, dapat lancar kembali. Sementara tensi politik yang meninggi akibat perseteruan di pilpres dapat diturunkan. Soal ini tampaknya tidak sulit dilakukan. Mengingat kedekatan dan kemesraan hubungan politik keduanya di masa lalu. Ini semacam CLBK. Cinta Lama Bersemi Kembali. Cinta Lama Belum Kelar. Hal itu terbukti ketika Budi Gunawan salah satu orang terdekat Megawati berhasil mempertemukan Prabowo dengan Jokowi, dan sekarang dengan Megawati. Padahal sebelumnya Luhut Panjaitan salah satu tangan kanan Jokowi sudah berupaya keras. Namun selalu ditolak Prabowo. Ketiga, impilikasi politik. Pertemuan Prabowo dengan Megawati ini kian menegaskan tengah terjadi power struggle (perebutan pengaruh/kekuasaan) di sekitar Jokowi pasca pilpres. Megawati tengah melakukan konsolidasi pengamanan aset politiknya menuju Pilpres 2024 dengan melibatkan Prabowo. Mari kita cermati beberapa fakta berikut : Sabtu 13 Juli 2019 Jokowi bertemu dengan Prabowo di stasiun MRT Lebak Bulus. Acara itu dilanjutkan dengan makan siang di Satay House FX Sudirman, Jakarta. Tidak ada wakil dari parpol koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf yang hadir. Jokowi justru didampingi Budi Gunawan dan Pramono Anung. Pertemuan ini adalah keberhasilan lobi politik kubu Megawati melalui operasi intelijen yang dilakukan Budi Gunawan. Sebelumnya Luhut Panjaitan sudah melakukan berbagai cara mencoba mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Namun selalu mentok. Senin 22 Juli Ketua Umum Nasdem Surya Paloh bertemu dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Soeharso Monoarfa di kantor Nasdem Gondangdia. Tidak ada wakil PDIP yang hadir. Surya Paloh menjelaskan bahwa pertemuan tersebut tidak direncanakan. Para Ketum itu juga tidak diundang. Mereka, kata Surya hadir karena tahu dua hari sebelumnya Surya ulang tahun. Bagi yang paham dunia politik alasan Surya ini sangat naif. Dalam dunia politik dikenal jargon, “ tidak ada yang kebetulan.” Kalau toh ada kebetulan, kata Presiden AS Franklin D Roosevelt, maka itu pun direncanakan. Para Ketum ini sebelumnya sempat terlibat dalam polemik soal jatah kursi di kabinet. Masing-masing merasa berhak mendapat jatah kursi yang banyak. Kehadiran para Ketum di markas Nasdem ini harus dilihat sebagai konsolidasi. Jaga-jaga dan atur strategi jangan sampai jatah mereka berkurang, bahkan diserobot Prabowo. Mereka pantas khawatir Prabowo bersiap-siap memotong di tikungan. Sebab seperti dikatakan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, Prabowo sudah mengajukan power sharing 45-55 persen seperti hasil perolehan suara pilpres. Senin sore 22 Juli 2019 Luhut Panjaitan tiba-tiba memposting tulisan panjang di akun facebooknya. Dia bercerita kegiatan pribadinya berziarah ke makam mantan Menhankam/Pangab LB Moerdani. Tulisan itu banyak ditafsirkan sebagai isyarat bahwa Luhut bakal tersingkir dan meninggalkan hiruk pikuk dunia politik. Dalam tulisannya dia menyatakan : Seberapa kaya seseorang. Betapa berkuasa sewaktu masih hidup, maka bila meninggal dunia yang tersisa hanya gundukan tanah seluas 1X2 meter. Berbagai rangkaian peristiwa diatas, dan khususnya pertemuan Megawati-Prabowo menunjukkan secara politik, faksi Megawati menguat dan mulai memainkan kontrolnya. Pada periode kedua Jokowi, Megawati jelas tak ingin lagi kecolongan dan kehilangan kontrol seperti pada masa periode pertama. Pada periode pertama figur seperti Surya Paloh dan Luhut Panjaitan terlihat sangat dominan dan memainkan peran penting di pemerintahan Jokowi. Sebagai petugas partai, Jokowi adalah aset politik terpenting PDIP. Aset politik yang harus benar-benar dalam kendali partai bila Megawati ingin memperpanjang kekuasaannya untuk periode berikutnya. Pilpres 2019 ternyata belum usai. End
Jokowi Terancam Gagal Dilantik, Jika PDIP Tolak “Power Sharing”
Oleh Moch. Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hal yang mengejutkan dari pembicaraan Amien Rais dan Prabowo itu adalah terungkapnya syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo kepada Jokowi. Apa yang bakal terjadi jika PDIP menolak power sharing yang diajukan Prabowo Subianto sebagai syarat rekonsiliasi seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan PAN Prof. Amien Rais saat bertemu dengan Prabowo, Selasa (16/7/2019)? Dapat dipastikan, upaya rekonsiliasi yang diinginkan Presiden Joko Widodo akan terancam gagal tidak bisa dieksekusi. PDIP tak sepakat dengan konsep rekonsiliasi Amien Rais yang meminta jatah kursi 55 persen untuk koalisi dan 45 persen untuk oposisi. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, tidak ada jatah-jatahan kursi di pemerintahan Presiden Jokowi. “Kita bernegara bedasarkan konstitusi, tidak ada jatah-jatahan menteri, dengan pengertian itu hak prerogatif (presiden) sepenuhnya,” katanya. Melansir RMOL.com, Sabtu (20/7/2019), parpol pendukung berkedudukan sebagai pengusul sosok yang diperlukan presiden untuk menjabat posisi menteri. Namun, kata dia, kewenangan untuk mengambil menteri ada di tangan presiden, bukan partai politik. “Presiden punya kewenangan untuk memilih siapa yang pas karena menteri bukan petinggi biasa, menteri seorang yang menguasai hal ikhwal kementerian yang dipimpinnya. Menteri harus sosok negarawan, bukan yang berjuang demi kepentingan kelompoknya,” tegasnya. Oleh karenanya, ia tidak sependapat dengan pemikiran Amien Rais soal syarat rekonsiliasi agar oposisi bisa bergabung dengan pemerintah. “Tentu saja (tidak setuju) kita tidak bicara berapa persentasenya,” tegasnya. “Kita bicara mana anak bangsa yang punya kemampuan menjadi pendamping Pak Jokowi,” lanjut Hasto. Syarat lain yang disampaikan Amien Rais adalah kesediaan Jokowi untuk menerima ide dan program Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Memang, pasca pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, peluang Partai Gerindra masuk gerbong pemerintahan Jokowi jilid II semakin besar. Diperkuat lagi dengan pernyataan Prabowo yang siap membantu. Pernyataaan Ketua Umum Gerindra Prabowo “kami siap membantu jika diperlukan” ketika bertemu dengan Jokowi di Jakarta pada 13 Juli 2019, diyakini sebagai isyarat, Gerindra siap bergabung dalam pemerintahan baru Jokowi. Kabarnya, setelah pertemuan di Stasiun MRT itu, bakal ada lagi pertemuan lanjutan antara Jokowi dan Prabowo. Pertemuan tersebut disebut-sebut untuk menjajaki kerja sama politik yang lebih matang dalam lima tahun ke depan. Jika pembicaraan sudah ketemu, Jokowi bisa mengakomodir gagasan dan program Prabowo, dan lebih maju lagi, Gerindra bisa menempatkan kadernya di kabinet Jokowi II. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, Prabowo juga mewarnai kepemimpinan Jokowi. Posisi Prabowo dalam pemerintahan Jokowi mendatang inilah yang tentunya membuat tidak nyaman Partai Demokrat (baca: Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono). Pasalnya, sejak awal Demokrat yang sudah menyatakan siap membantu Jokowi. Namun, sejak ada upaya rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo itu, hubungan SBY dan Jokowi mulai “renggang”. Paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin itu dan parpol pendukungnya saat ini dikabarkan tidak melirik lagi Demokrat dan SBY. Alasannya, Jokowi dan parpol pendukungnya lebih nyaman dan tenang bekerja sama dengan Prabowo plus Gerindra, daripada Demokrat yang abu-abu. Posisi Demokrat di pemerintahan diibaratkan seperti “duri dalam daging” atau “jempol kaki cantengan”. Konsekuensi dari rekonsiliasi Jokowi – Prabowo di antaranya, yaitu Jokowi selaku Presiden RI akan mendelegasikan sebagian besar tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Pemerintahan kepada Prabowo. Sehingga, Jokowi hanya sebatas sebagai Kepala Negara. Wapres Jusuf Kalla dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, konon, sudah setuju dengan format ini. Keduanya nanti sebagai penasehat aktif pemerintah. Inilah yang membuat para "Dalang" yang selama ini berada mengendalikan Jokowi meradang. Pasalnya, jika format rekonsiliasi dengan komposisi 55 : 54 untuk Jokowi : Prabowo, mereka tidak bisa “berkuasa” lagi atas Presiden Jokowi. Syarat power sharing itu sesuai dengan hasil Pilpres 2019 versi KPU dan MK yang diamini MA. Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais bertemu dengan Prabowo, Selasa (16/7/2019) . Pertemuan ini digelar pasca pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT, Sabtu (13/7/2019) lalu. Amien Rais menjelaskan isi pertemuannya dengan Prabowo. “Saya tadi ada pertemuan dengan Pak Prabowo, bukan di 04 atau 06, bukan di sini, tadi di tempat lain. Berlangsung sekitar 25 menit,” kata Amien Rais di kediamannya, Kompleks Taman Gandaria Blok C Nomor 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019). Hal yang mengejutkan dari pembicaraan Amien Rais dan Prabowo itu adalah terungkapnya syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo kepada Jokowi. Syarat ini nampaknya sangat berat untuk bisa dipenuhi pihak Jokowi. Kalau syarat ini disetujui pihak Jokowi, maka bakal terjadi rekonsiliasi. “Yang kedua ini saya bocorkan, bahwa Prabowo mengatakan yang namanya rekonsiliasi itu memang betul-betul harus objektif,” ungkap Amien Rais kepada wartawan. “Kemudian peta politik ke depan bagaimana, kalau pro dengan kedaulatan pangan, energi, air, ketahanan bangsa, pro pada rakyat, pro pasal 33 UUD 1945, maka rekonsiliasi dapat dipertimbangkan,” lanjut Amien Rais. “Dan tentu kekuatannya (power sharing/bagi-bagi kekuasaannya) seperti tercerminkan sesuai hasil Pilpres menurut keputusan KPU dan putusan MK, yakni 55:45 power sharing. Kalau memang betul mau rekonsiliasi,” tegas Amien Rais. Menurutnya, kalau tak ada power sharing 55:45, maka itu bukan rekonsiliasi, tapi kooptasi. “Dan jelas kalau tidak dipenuhi syarat power sharing 55:45, maka jelas sekali akan memilih menjadi oposisi,” tambahnya. Jika itu terealisasi, cita-cita NKRI menjadi adil makmur akan segera terwujud. Karena, para koruptor juga akan berpikir panjang jika akan korupsi. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh para “Dalang” pengendali Jokowi selama ini. Format seperti itulah yang ditolak mentah-mentah oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tadi. “PDIP itu tergantung Bu Mega dan Prananda Prabowo. Hasto itu cuma radio rusak, Mas!” ungkap sumber PepNews.com. Jika Hasto dan PDIP ngotot menolak format rekonsiliasi seperti yang diajukan Prabowo, ini justru akan menyulitkan paslon 01 sendiri. Jokowi – Ma’ruf bisa terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024. Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Meski Paslon 02 Prabowo – Sandi tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 point. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR dan DPR. Kini, pilihan ada di tangan Jokowi dan PDIP, bukan “radio rusak”! ***
Ada Sedikit Persamaan Jokowi dengan Pak Harto
Oleh Bagus Ra Kuti (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - "Lamun sira sekti, aja mateni". Begitu falsafah Jawa yang diunggah ke akun media sosial Presiden Joko Widodo, mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram, Sabtu (20/7). Falsafah itu ditampilkan dalam sebuah gambar bergerak berlatar belakang warna coklat yang menunjukkan adanya tokoh pewayangan sedang memberikan padi ke sosok petani. "Zaman sudah semakin maju, tapi kita tetap mengingat pesan-pesan bijak dan agung para leluhur," tulis Jokowi dalam kolom caption. Ini adalah kali kedua bagi Jokowi memublikasikan falsafah yang dianutnya. Pada 25 Mei lalu, ia juga mengungkapkan tiga falsafah Jawa yang menjadi pegangannya di salah satu televisi swasta. Tiga falsafah ini, menurutnya, ia jalankan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat memerintah negara Republik Indonesia. “Lamun sira sekti, ojo mateni. Meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan," ucap Jokowi. “Lamun siro banter, ojo ndhisiki. Meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului. Lamun sira pinter ojo minteri. Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar," lanjutnya. Falsafah yang menjadi pegangan Presiden Jokowi ini diajarkan Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq sejak dahulu kala. “Yen sira landep aja natoni, yen sira banter aja nglancangi, yen sira mandi aja mateni“ Jika diterjemahkan secara bebas ajaran Sunan Kudus itu; “Jika dirimu tajam, jangan melukai, jika dirimu kencang jangan menyalip, jika dirimu sakti jangan membunuh”. Falsafah ini mengajarkan tentang sikap kerendahan rendah hati, sopan santun, menghormati orang lain, tidak mementingkan diri dan sikap tidak menang sendiri serta penghargaan atas hak-hak orang lain, serta toleransi. Falsafah tersebut juga terkorelasi dengan ajaran para orang tua kepada anak-anaknya yang berbunyi: “Aja adigang, adigung, adiguna”. Dalam kamus Bahasa Jawa “Bausastra Jawa-Indonesia” susunan S. Prawiroatmojo (1980) dijelaskan bahwa: Adigang: Membanggakan kekuatannya Adigung: Membanggakan kebesarannya Adiguna: Membanggakan kepandaiannya Jadi aja adigang, adigung, adiguna bermakna jangan membanggakan kekuatan kebesaran, dan kepandaian. Kembali ke falsafah Jawa pegangan Jokowi, lamun sira sekti, aja mateni. Eko Sulistyo mencoba membedah falsafah itu. "Bila dialihbahasakan, lamun sira sekti, aja mateni itu artinya, dia punya kekuasaan, tapi tidak lantas kemudian akan bertindak semena-mena," ujar Eko seperti dikutip Kompas Senin (22/7). Apabila dikaitkan dengan konteks situasi politik hari ini, lanjut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) ini, artinya Presiden Jokowi berikrar tidak akan bertindak semena-mena meskipun ia adalah pemenang Pilpres 2019. “Presiden tidak merendahkan rivalnya yang kalah, Prabowo Subianto,” lanjut pria yang sudah merasa dekat dengan Jokowi semenjak Presiden itu masih menjabat Wali Kota Solo. Jokowi ingin menekankan bahwa sebagai pemenang pilpres, ia tidak akan berlaku sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. "Bagaimanapun juga kekuasaan tidak boleh dipakai untuk menindas," tambah Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto. “Sudah seharusnya kekuasaan dipakai untuk merangkul seluruh elemen masyarakat.” *Falsafah Soeharto* Bicara tentang falsafah Jawa, mengapungkan ingatkan kita tentang Presiden Soeharto. Dialah presiden yang paling kental menjalankan falsafah hidup orang Jawa. Pandangan hidup Pak Harto sangat dipengaruhi pergulatan perjalanan hidupnya; dari seorang anak petani sampai menjadi presiden. Tekadnya yang terus belajar dan selalu vokus dalam memperjuangkan masa depannya menjadikan Pak Harto bisa meraih apa yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. “Pada waktu itulah saya mengenal ajaran tiga ‘aja’,” ujar Pak Harto dalam buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya; otobiografi seperti yang dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH. “Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang); yang kelak menjadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.” “Tidaklah perlu kita kaget sesuatu yang seolah-olah merupakan keistimewaan pada seseorang, tidaklah menyebabkan kita heran. Tidaklah perlu kita terbelalak dibuatnya sampai mengucapkan wah hebat sekali. Kembalilah hal itu kepada Tuhan dan kita ‘aja gumunan’ (jangan heran). Kalau kita mempunyai kedudukan, kekayaan, mempunyai sesuatu yang lebih, jangan lupa, bahwa sewaktu-waktu hal itu bisa berubah, kalau Tuhan menghendakinya. Sebab itu, ‘aja dumeh’ (jangan mentang-mentang) kedudukan tinggi, terus bertindak sewenang-wenang, aja dumeh mempunyai kekayaan yang berlimpah-limpah lalu lupa daratan.” Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, juga merekam banyak sekali falsafah Jawa yang dianut Pak Harto. Falsafah itu tertulis di dinding, tiang-tiang, di foto berbingkai, dan lainnya. Salah satunya ada falsafah Jawa yang berbunyi sugih tanpa banda, nglurug tanpa bala, sakti tanpa aji, menang tanpa ngasorake. Falsafah ini tertera di salah satu foto Pak Harto yang sedang tersenyum. Falsafah tersebut banyak yang menyebut sebagai catur paradoks Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung Raden Ajeng Kartini. Makna dari sugih tanpa banda adalah kaya namun tidak bergantung pada harta benda. Nglurug tanpa bala, menyambangi musuh tanpa bantuan orang lain. Digdaya tanpa aji bisa diartikan sakti mandraguna tanpa bergantung pada senjata, dan menang tanpa ngasorake menang tetapi tidak sampai merendahkan yang dikalahkan. Mereka yang memegang falsafah ini adalah orang yang sudah tahu dan menyadari sepenuhnya tujuan hidup. Jika harus berkompetisi, bahkan berperang sekalipun, ia tidak akan pernah merasa terancam dan tidak pula berlaku sewenang-wenang, karena menyadari sepenuhnya bahwa dirinya hanyalah perpanjangan dari tangan Tuhan yang Maha Kasih. Prinsip-prinsip falsafah Jawa yang dilakoni Pak Harto membuat kabinetnya kuat dan semua anak buahnya segan pada dirinya. Menghafal falsafah tidaklah sulit, tapi bagaimana menerapkan ajaran luhur tersebut dalam keseharian tidaklah mudah. Selanjutnya, begitu Jokowi mulai berfalsafah, maka publik diharap bisa manggut-manggut. Ternyata, pemilu 2019 yang dianggap penuh kecurangan oleh banyak orang itu, telah melahirkan pemimpin yang memegang prinsip "Lamun sira sekti, aja mateni". Prinsip yang boleh jadi membuat Prabowo Subianto bertekuk lutut.
Rekonsiliasi, Upaya Jokowi Lepas dari "Dalang?"
Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Fakta bahwa selama ini Presiden Joko Widodo berada dalam “kendali” para dalang yang ada di belakang kekuasaan politiknya, sudah bukan rahasia lagi. Sebagian rakyat juga sudah tahu siapa saja “dalang” penyokong kekuasaan Presiden Jokowi. Meski pada awalnya Jokowi menolak ide rekonsiliasi, namun akhirnya mantan Walikota Solo ini menerimanya setelah mendapat tekanan dari “kekuatan besar” yang pegang data dan bukti pencurangan Pemilu (Pileg dan Pilpres), 17 April 2019 lalu. Mau buktinya? Republika.co.id, Selasa (Selasa 02 Jul 2019 17:33 WIB) menulis berita: Ketua KPU Tegur 12 Provinsi yang Belum Selesaikan Situng. Namun, anehnya, pada 21 Mei 2019 dini hari KPU sudah mengumumkan pemenang Pilpres 2019. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, tak masuk akal jika pengisian data situng belum tuntas 100 persen. Sebab, TPS didirikan dan data dari TPS pun ada. “Jadi, kenapa kok tidak bisa selesai 100 persen? Kenapa berhenti di tengah-tengah,” ujarnya. “Semuanya saya tegaskan harus selesai 100 persen. Supaya untuk Pilpres 2024 nanti juga bisa selesaikan 100 persen,” tegas Arief. Dia melanjutkan, ada 10 provinsi lain yang belum 100 persen menyelesaikan situng,” ungkapnya kepada wartawan. Yaitu: Kepulauan Riau (99,6 persen), Jabar (99,7 persen), Jatim (99,7 persen), Kalsel (99,8 persen), Sulut (99,9 persen), Maluku (75,9 persen), Malut (99,1 persen), Papua (71 persen) dan Papua Barat (79,9 persen) dan Sumut. Sangat janggal bukan? Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan upaya mencari keadilan dari paslon 02. Apakah keputusan Bawaslu menolak pemeriksaan perkara pelanggaran TSM yang diajukan paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu adalah benar berdasarkan UU? Dapatkah Bawaslu menolak pemeriksaaan sebuah laporan dari peserta pemilu yang merasa dirugikan? Mengapa Bawaslu tidak bersedia memeriksa perkara tersebut? Apakah Bawaslu dibenarkan menolaknya dengan alasan perkara tak dilengkapi dengan bukti pendukung? Bukti pendukung apa yang dimaksud oleh Bawaslu?Apakah bukti DPT Papua yang 3,5 juta, sedangkan jumlah penduduk Papua hanya 3,3 juta tidak merupakan bukti pendukung? Fakta bahwa pelanggaran pemilu secara TSM sudah menjadi pengetahuan publik. Fakta bahwa Prabowo – Sandi meraih suara pemilih terbanyak. Fakta bahwa aparat, KPU, Bawaslu, MK tidak netral, berpihak pada paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan koalisi partai pengusung 01. Fakta bahwa hasil pemilu dimanipulasi. Fakta Bawaslu berpihak ke 01 dan menjadi bagian dari pelanggaran TSM/pencurangan pemilu terlihat jelas pada keputusan Bawaslu menolak pemeriksaan perkara yang diajukan 02. Fakta bahwa Bawaslu membiarkan pelanggaran TSM oleh KPU, yang seharusnya menjadi tugas/kewajiban Bawaslu mencegahnya. Contoh pelanggaran TSM oleh KPU yang dibiarkan Bawaslu: Penetapan DPT 2019 sebesar 193 juta pemilih, di mana adanya dugaan terdapat sedikitnya 17,5 juta pemilih ilegal sudah disampaikan oleh paslon 02 ke KPU, namun tidak ditanggapi KPU. Seharusnya Bawaslu memeriksa KPU atas penetapan DPT 2019. Contoh Pelanggaran TSM oleh KPU yang diabaikan Bawaslu. Penetapan rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak transparan, pada pukul 01.00 dini hari, tidak didukung bukti C1 TPS, tidak disetujui paslon 02, kolutif dan manipulatif Tidak Diperiksa oleh Bawaslu. Contoh Pelanggaran TSM oleh KPU yang tidak diperiksa Bawaslu. Penyajian Rekap hasil pemilu pada Situng yang telah terbukti mengandung banyak kesalahan, sudah dilaporkan dan dibuktikan 02, namun tetap diteruskan oleh KPU. Fakta bahwa Situng sampai hari ini Gagal menuntaskan Rekap Pemilu. Banyak contoh pelanggaran TSM oleh kubu 01 yang sudah dilaporkan ke Bawaslu dan sebagian sudah diperiksa di MK, di mana pemeriksaan di MK itu jadi sia-sia karena MK dalam putusan menyatakan pelanggaran TSM itu kewenangan Bawaslu. Jadi, untuk apa MK periksa jika sebut Bawaslu yang berwenang. Alasan KPU menetapkan DPT 193 juta dan Rekap Pemilih 2019 sebesar 199,3 juta adalah menjamin hak pilih warga negara sudah terbukti sebagai alasan palsu. Padahal, alasan sebenarnya adalah agar KPU mudah memanipulasi hasil pemilu yang bisa merugikan 02 dan partai-partai tertentu peserta pemilu. Alasan KPU menetapkan 267 ribu TPS tambahan untuk memudahkan dan mempercepat proses PSU dan penetapan Rekap hasil pemilu sudah terbukti adalah alasan palsu. Hingga hari ini KPU tidak bisa menyajikan rekap 813.336 TPS berdasarkan rekap C1 yang sah. Padahal, alasan KPU sebenarnya dalam penetapan 267 ribu TPS Tambahan adalah: Pertama, sebagai sumber puluhan juta suara siluman yang ditambahkan untuk 01, PDIP, dan Nasdem; Kedua, untuk mencegah paslon 02 membuktikan pencurangan/manipulasi karena mustahil 02 dapat menyediakan 267 ribu saksi di TPS tambahan. Penetapan KPU menambah 267 ribu TPS baru sangat merugikan 02 dan hampir semua partai peserta pemilu, incasu penyediaan minimal 267 ribu saksi dengan waktu-sumber daya yang sangat terbatas. Penambahan 267 ribu TPS ini adalah bukti pelanggaran TSM oleh KPU, tapi dibiarkan oleh Bawaslu. Itulah sebagian pencurangan yang data dan buktinya telah dipegang oleh “kekuatan besar” tadi. Dengan fakta yang disodorkan ini, Jokowi hanya pasrah. Lepas Dalang Meski paslon 01 telah ditetapkan KPU berdasarkan putusan MK dan MA, tampaknya Jokowi dan TKN Jokowi – Ma’ruf belum yakin benar dengan “kemenangan” yang dipegangnya. Ini terlihat dari betapa risaunya mereka sebelum Jokowi bertemu Prabowo. Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus bisa disebut sebagai upaya rekonsiliasi yang dirancang bersama Teuku Umar (diwakili Budi Gunawan), Cendana, dan Hambalang (Prabowo). Ini lepas dari “Dalang” Penyokong Utama Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan AM Hendro Priyono adalah tiga jenderal purnawirawan penyokong utama Jokowi sejak menjabat Walikota Solo, selain CSIS. Ketiganya adalah tokoh utama di balik keberhasilan Jokowi menjadi presiden 2014-2019 dan penguasa sebenarnya di balik rezim Jokowi. Namun, posisi SBY adalah primus inter pares di antara tokoh-tokoh tersebut. Hendro, tokoh penemu, perekrut, dan pembina awal Jokowi sejal 2006. Luhut adalah tokoh penyandang dana segala pencitraan Jokowi pada masa-masa awal (2007-2011) melalui aliran uang puluhan miliar dari PT Toba Sejahtra ke PT Rakabu Sejahtera. Namun, SBY adalah tokoh terakhir namun menentukan. Selain ketiga jenderal itu, juga ada nama Letjen TNI Agus Widjojo (sekarang Gubernur Lemhanas) yang sudah terlibat dalam persiapan menjadikan Jokowi sebagai “presiden proksi”. Masih ada puluhan jenderal lain eks kelompok Begawan yang sejak 2011 turut membantu kemenangan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Jadi, wajar saja jika masih ada sebagian jenderal yang “setia” di belakang Jokowi. SBY tetap primus inter pares di antara semuanya. Posisinya sebagai presiden, strategi politik yang luar biasa, deception tiada tara, sumber daya yang lebih dari cukup dan lain-lain sudah menjadi jaminan keberhasilan Jokowi menang Pilkada 2012 dan Pilpres 2014. Catat, tanpa SBY, Jokowi bukan siapa-siapa! Sebagai primus inter pares, SBY memperoleh konsesi politik jauh lebih besar bila dibandingkan Hendro, LBP, dan yang lainnya dalam pemerintahan Jokowi. SBY adalah pemegang saham terbesar rezim Jokowi. Dari Singapura, SBY melempar gagasan untuk segera membuka ruang dialog antara Jokowi dengan Prabowo. Lantas, dilanjutkan dengan kecamannya kepada pihak-pihak tertentu yang melarang keras dan mengharamkan Prabowo bertemu Jokowi. Semua ini terjadi pasca pembatalan Prabowo untuk menemui SBY di Singapura. Pembatalan pertemuan Prabowo – SBY di Singapura adalah langkah tepat. Belakangan, saat takziyah di Puri Cikeas, SBY malah mendesak agar Prabowo “mengalah” lagi. Tak seperti pasca Pilpres 2014, kali ini Prabowo dengan tegas menolak permintaan SBY itu. Pasalnya, banyak data dan bukti terjadi pencurangan Pilpres 2019. Apalagi, saat persidangan PHPU di MK, persoalan pencurangan itu dilihat dan didengar rakyat. Meski pada akhirnya dikalahkan oleh MK dan dikuatkan MA, toh tampaknya Jokowi belum yakin benar dengan kemenangannya itu. Makanya, Jokowi dan kubunya sangat ingin bertemu dengan Prabowo. Akhirnya, bertemulah keduanya di Lebak Bulus itu. Menariknya, pertemuan Jokowi – Prabowo itu tidak dihadiri oleh Luhut yang selama ini setia mendampingi Jokowi. Apakah ini pertanda Jokowi ingin melepaskan diri dari kendali Luhut Cs untuk rekonsiliasi bersama Teuku Umar, Cendana, dan Hambalang? Kehadiran BG dalam pertemuan itu sangat mencolok. Boleh jadi, BG-lah yang ikut mengatur pertemuan Jokowi – Prabowo tersebut. Selain sebagai Kepala BIN, BG bisa dianggap sebagai tokoh yang “mewakili” Megawati Soekarnoputri (Teuku Umar). Tidak hadirnya Luhut yang selama ini digambarkan sebagai The Real President RI tersebut setidaknya bisa menjadi bukti adanya faksi dalam internal penyokong dan pendukung paslon 01. Sudah sejak 2015 Rencana Pilpres Jokowi vs Prabowo disiapkan. Penunggangan KPK – KPU – Bawaslu – MK disiapkan. Semua harus memenangkan Jokowi segala cara. Mastermind-nya SBY – Luhut – Hendro – CSIS. Kini, Jokowi mau lepas diri? ***
Membaca Langkah Politik Prabowo Saat Bertemu Jokowi
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi Prabowo Subianto diundang untuk mencoba MRT oleh Presiden Joko Widodo. Dus, sebagai warga negara yang baik Prabowo, maka saat mendapat undangan dari Kepala Negara sebisa mungkin akan hadir, apalagi jika menyangkut kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Prabowo hanya menerima undangan, tidak mengadakan perkumpulan ataupun acara bersama. Satu hal yang ingin ditekankan bahwa tidak ada pembicaraan mengenai deal-deal politik apa pun. Karena bagaimana pun Prabowo menolak segala bentuk kecurangan. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Namun demi merah putih dan bangsa Indonesia tidak ada ruang untuk perasaan pribadi. “Kami berharap seluruh pemilih Pak @prabowo dan @gerindra mempercayai keputusan dan tindakan yang dilakukan Pak @prabowo. Karena selama hidupnya Pak @prabowo tidak pernah dan tidak akan pernah mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara,” tulis panca_pww. Benar, pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) pukul 10.00 WIB, setidaknya telah memantik kemarahan relawan dan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Dampak politik pertemuan kedua capres (saya tetap menyebut capres, karena Jokowi yang dimenangkan oleh MK dan ditetapkan KPU belum dilantik sebagai Presiden Terpilih pada Oktober 2019) sangat luar biasa Prabowo di-bully pendukungnya. Bahkan, wartawan senior sekaliber Asyari Usman sampai perlu membuat tulisan berjudul, “Inilah Induk Segala Pengkhianatan”. “Prabowo Subianto, hari ini kau khianati ratusan juta pendukungmu. Kau tusuk perasaan mereka,” tulisnya. “Dengan entengnya. Dengan mudahnya. Tanpa rasa bersalah,” lanjutnya. “Prabowo, hari ini kau hancurkan perasaan ratusan juta rakyat Indonesia. Kau mungkin punya alasan tersendiri untuk menemui dia,” ungkap Bang Asyari. “Tapi, apa pun alasan kau, pertemuan itu menyakitkan hati rakyat yang mendukungmu mati-matian. Dan memang banyak yang benar-benar mati. Hilang nyawa,” tegas Bang Asyari yang tulisannya viral di medsos dan WA Group. Bukan hanya Bang Asyari saja yang kecewa. Bahkan, wartawan senior sohib saya semasa di EDITOR Hersubeno Arief sampai menulis artikel berjudul, “Sayonara Pak Prabowo”. Hersu mengutip penggambaran narasi lukisan Pangeran Diponegoro. Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro beredar luas di berbagai platform media sosial. Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda. Netizen menyamakan, “Pertemuan di Magelang yang semula dijanjikan sebagai silaturahmi, berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dijebak. Berakhirlah Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830).” Benarkah peristiwa tersebut? Memang demikian yang tertulis dalam buku sejarah yang bersumber dari Belanda. Padahal, ada bukti prasasti Batu Tulis di Asta Tinggi, Kompleks Pemakaman Raja-Raja Sumenep, mencatat bahwa yang ditangkap itu Mohammad Jiko Matturi. Jiko Matturi, salah satu komandan pasukan yang “menyamar” sebagai Pangeran Diponegoro untuk memenuhi “undangan” Belanda itu. Feeling “pemberontak” yang oleh Belanda disebut Khalifatullah Ing Tanah Jawi ini bermain: Jebakan Belanda! Maka, dikirimlah Jiko Matturi yang bertugas juga sebagai telik sandi. Ingat, selama masa itu, Belanda tidak pernah melihat langsung wajah Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan Joko Matturi ke Magelang, Pangeran Diponegoro ke Sumenep. Di Sumenep, Pangeran Diponegoro menemui Sultan Abdurrahman, untuk meminta bantuan. Bersama Raja Sumenep inilah ia sedang menyiapkan Perang Diponegoro II. Namun, keburu ajal menjemput. Semua itu tercatat dalam prasasti di Asta Tinggi. Jika melihat fakta prasasti di Asta Tinggi itu, menjadi jelas, justru Pangeran Diponegoro yang berhasil mengelabuhi Belanda. Jadi, jasad yang dimakamkan di Makassar hingga kini adalah Mohammad Jiko Matturi, bukan Pangeran Diponegoro! Bagaimana dengan Prabowo ketika bertemu Presiden Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut? Mengapa harus di area stasiun dan dalam MRT? Terlepas apakah semua ini sudah direncanakan atau tidak, Prabowo tentu sudah “berhitung”. MRT, Mari Rekonsiliasi Terbuka! Pertemuan Jokowi-Prabowo di Statiun MRT Lebak Bulus itu sudah seharusnya ditempatkan pada best interest rakyat, bangsa, dan negara. Itulah yang ingin dicapai Prabowo. Penolak rekonsiliasi itu sendiri sebagian adalah mayoritas kubu Jokowi yang takut Prabowo masuk dalam sistem dan menjadi The Real Presiden RI, seperti Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini disebut-sebut punya kewenangan sejajar Presiden. Prasyarat rekonsiliasi yang selalu dilontarkan kubu Jokowi itu ada dua. Pertama, Prabowo Cs masuk dalam sistem; Kedua, Abolisi, amnesti, grasi, deponeering bagi semua pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Jangan terjebak pada prasyarat parsial – individual. Kalau ada yang menolak rekonsialiasi, pertanyaannya: siapa yang menjamin tidak terjadi lagi atau semakin menggila penindasan/penzaliman terhadap rakyat-umat Islam? Siapa yang bisa menjamin kedaulatan dan kekayaan negara tidak dirampok China-Cukong-Antek? Sebab, pasca Jusuf Kalla lengser dari jabatan Wapres, tanpa eksistensi Prabowo dalam sistem pemerintahan, dipastikan penzaliman terhadap rakyat-umat semakin menggila. Perampokan kedaulatan/kekayaan negara makin menghebat. Siapa bisa mencegahnya? Oposisikah? Dalam sejarah politik Indonesia, selama ini tidak ada oposisi! Ada cara agar kedaulatan rakyat dan negara diselamatkan selain melalui rekonsiliasi? Ada! MA kabulkan Permohonan PAP Prabowo atau Revolusi! Opsi Revolusi apakah mungkin dan realistis? Rasanya tidak mungkin berjalan. Karena bakal banyak korban rakyat tidak berdosa. Demo 21-22 Mei 2019 saja “dibuat” rusuh sehingga ada korban jiwa dan “orang hilang” segala. Rakyat jadi korban! Jangan mimpi people power jika tidak ada tokoh ikon pemersatu seperti Habieb Riziq Shihab. Reformasi 98 bukan people power, tapi aksi mahasiswa yang di-design, ditunggangi agenda politik cukong-china-jenderal merah untuk menggulingkan Presiden Suharto. Saat itu Pak Harto sangat mesra dengan mayoritas Islam. Opsi lainnya adalah Rekonsiliasi. Pedoman utama dalam menentukan sikap dan pilihan adalah kepentingan terbesar rakyat, bangsa, dan negara. Hanya dengan rekonsiliasi kita tidak akan tersesat atau disesatkan. Apakah ide rekonsiliasi yang dilontarkan itu berasal dari Jokowi atau TKN paslon 01? Tidak! Bahkan, konon, Jokowi pun sebenarnya ogah rekonsiliasi, namun terpaksa dilakukan agar dia dapat tetap sebagai pemenang pilpres meski dari hasil manipulasi suara. Jika tidak ada “kekuatan besar” yang memaksa, mustahil ide rekonsiliasi dilontarkan. Pihak kekuatan besar ini memegang data dan bukti pencurangan pemilu/pilpres, namun memahami sepenuhnya Prabowo tidak realistis untuk jadi Presiden RI untuk saat ini. Sebab, stigma Prabowo terlalu buruk di mata dunia. Rekonsiliasi menjadi win-win solution. Tentu saja dengan terpenuhnya minimal 2 prasyarat tadi. Prabowo cs masuk dalam sistem; Abolisi, amnesti, grasi, deponeering semua kasus pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Idealnya Prabowo Kepala KSP dengan kewenangan KSP seperti 2014-2015 semasa dipegang LBP. Ide rekonsiliasi ini untuk menyelamatkan posisi Jokowi, sekaligus harus mengakomodir kepentingan Prabowo dan rakyat, bangsa, dan negara di atas segalanya. Jika tidak demi rakyat, bangsa, dan negara, mending tidak usah rekonsiliasi! Anda perhatikan siapa yang panik dengan gagasan rekonsiliasi: Ki Dalang, CSIS, Negara China, Partai koalisi Jokowi kecuali PDIP, Cukong, Antek JIL, LGBT, PKI, dan lain-lain. Pemimpin sejati tahu yang terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara. Berani untuk tak populer karena harus mengambil keputusan terbaik. Dan, pada saat nanti, rakyat akan membuktikan sendiri bahwa keputusan itu adalah benar. Pada saat itu dukungan rakyat akan membesar dan terus membesar. Jangan dikira penyokong Jokowi berdiam diri melihat rencana rekonsiliasi ini. Mereka akan gunakan segala cara untuk menggagalkan rekonsiliasi, jika Prabowo pemegang utama kekuasaan. Politik adalah perjuangan merebut kekuasaan. Tanpa kekuasaan mustahil aspirasi rakyat bisa terwujud. Aspirasi rakyat pendukung Prabowo hanya bisa terwujud dengan Prabowo sebagai pemegang utama kekuasaan pemerintah di pemerintahan Jokowi. Prabowo akan menjadi the real president jika semua pengkhianat ditumpas. Penolakan atas rekonsiliasi oleh sebagian rakyat itu adalah hal yang wajar. Penolakan itu tetap dibutuhkan Prabowo agar seluruh prasyarat rekonsiliasi segera dipenuhi Jokowi. Bagaimana dengan oposisi jika Prabowo dan PKS masuk kabinet? Yang perlu dicatat, oposisi tidak pernah eksis dalam sistem politik kita. Yang ada hanya pseudo oposisi. Tapi, kalau mau oposisi, tinggal suruh saja PD, PAN, Hanura, PBB, dan PSI yang jadi oposan. Jika minimal 8 kursi kabinet dipenuhi, Prabowo wajib alokasikan minimal 3 untuk kader atau proksi PKS. Mengapa Prabowo perlu masuk pemerintahan? Bahwa selama ini hanya JK yang mampu menandingi kehebatan jenderal penyokong Jokowi dalam berpolitik. Politisi sipil lain memble. Terus menerus jadi korban politik jenderal penyokong Jokowi sejak Reformasi ’98. JK sudah menjadi Solusi masalah negara selama ini. Energi Rakyat Dalam perjuangan terkadang kita harus melakukan langkah-langkah yang mungkin tak cocok dengan perasaan kita sendiri maupun dengan rekan-rekan seperjuangan. Perdamaian tersebut hanya bisa terwujud jika posisi kedua pihak sama-sama kuat. Seimbang. Jika satu pihak lebih kuat dari pihak lain, maka yang terjadi adalah penguasaan, penaklukan, dan penjajahan, bukan perdamaian. Ungkapan rasa kecewa, marah, sakit hati, dan kesedihan emak-emak maupun pendukung 02, karena merasa dikhianati, itulah energi rakyat yang diusung Prabowo ke gerbong MRT untuk bertemu capres petahana Jokowi. “Jadi saya sarankan kepada kader kader struktural pro 02 nggak usah buat rasionalisasi dan pembenaran atas pertemuan MRT. Hanya agar untuk meredakan amarah emak-emak. Nggak perlu,” ujar Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. Menurutnya, Prabowo yang dekat dengan Rachmawati Soekarnoputri, pasti bisa menghayati istilah yang kerap diungkap Bung Karno: RODINDA. Dalam perjuangan itu harus berpadu antara Romantika, Dialektika, dan Dinamika. “Kemarahan emak-emak itu adalah human passion. Gairah kemanusiaan. Romantika,” lanjut Hendrajit. Bagi para politisi yang garing dan miskin imajinasi dan citarasa, romantika kerap diabaikan. Menurutnya, masalahnya itu bukan tidak boleh ketemu, bukan tidak boleh damai, karena itu adalah kemuliaan membina hubungan kebangsaan dan silaturahmi. Tapi dalam kasus Jokowi ada masalah yang harus diselesaikan. “Ada kejahatan yang perlu klarifikasi dan ada ancaman penjajahan yang menekuk kehidupan rakyat ke depan, harus ada jaminan pembicaraan yang terbuka tentang masalah ini,” ungkap Hendrajit kepada Pepnews.com. Tetapi, Prabowo mengingkarinya, bikin pertemuan diam-diam sana-sini dengan orang yang menyakiti rakyat, sementara Prabowo dipilih mewakili rakyat untuk memperjuangkan mereka untuk atasi masalah itu tetapi dia tinggalkan rakyat pemilihnya. “Karena dia berpikir ini hanya urusan dia dengan tim kampanyenya atau bahkan hanya antara dia dengan beberapa orang dekatnya, sementara pemilihnya dicuekin. Ini masalahnya,” lanjut Hendrajit. Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi, lebih baik mati mulia daripada hidup dalam kehinaan dan lain lainnya”. “Ternyata cita-cita Prabowo hanya bisa ketemu Jokowi di atas kereta dan foto-foto tanpa akuntabilitas atas amanat suara pemilihnya,” tegasnya.