POLITIK

Prabowo, antara Emak Banteng dan Emak-Emak

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Wajah Ketua Umum PDIP Megawati tampak cerah, berseri-seri. Pada pidato pembukaan Kongres PDIP di Bali Ahad siang (8/8) dia banyak tersenyum, melucu, menggoda dan meledek para hadirin, terutama tamu undangan yang hadir. Yang paling banyak diledek dan disebut namanya, siapa lagi kalau bukan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Padahal banyak tamu undangan lain, termasuk para ketua umum partai koalisi Jokowi-Ma’ruf. Mega memanggil Prabowo dengan panggilan “pak,” “situ” dan “mas.” Menunjukkan hubungan keduanya sangat dekat. Mega mengungkap cerita seputar Pilpres 2019 lalu. Dia mengaku capek bertarung melawan Prabowo di Jawa Tengah. "Aduh, capek juga, Pak, situ sih bikin-bikin capek saya, ha…ha…ha….., ” Ujarnya menyinggung pemindahan posko BPN Prabowo-Sandi ke Solo, Jawa Tengah. "Bener loh, Pak, Mas. Saya manggilnya Mas, Mas Bowo. Makanya kalau, kalau nanti... ya nggak tahu dong, tolong deket-deketin saya ya ha-ha-ha. Aduh. Ya masak sih serius terus, ya boleh jugalah," ucap Megawati. Mendengar guyonan Megawati, kendati tak begitu jelas apa maksudnya, Prabowo langsung berdiri dan memberi sikap hormat. Wajar saja bila Megawati tampak sangat happy dengan kehadiran Prabowo. Dia menjadi tamu super penting. Kehadirannya sangat ditunggu-tunggu dan diistimewakan. Sebelum kongres berlangsung, secara khusus Megawati mewanti-wanti, agar para peserta jangan sampai berbuat sesuatu yang bisa membuat Prabowo tidak nyaman. "Jangan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung undangan, apalagi ada undangan terhormat seperti Pak Prabowo yang hadir. Jadi jangan sampai ada yang bilang, huuu…… Jangan begitu," kata DPD PDI-P Bali I Wayan Koster menirukan ucapan Megawati. Posisi duduk Prabowo juga sangat spesial. Dia duduk berderet dengan Megawati, Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, dan Wapres terpilih Ma’ruf Amin. Berbeda dengan Megawati —“Emaknya” partai banteng —yang tampak berbahagia-ria, emak-emak pendukung Prabowo melihat kehadiran jagoannya itu di kongres PDIP dengan sikap beragam. Ada yang marah, tidak peduli alias egepe (emang gua pikirin), mendukung, tapi ada juga yang sikapnya mendua. Semula mendukung, tapi menjadi sebel melihat gaya Mega mencandain Prabowo. Bahasa tubuh dan ucapan Mega dinilai tidak menunjukkan sikap respect. Menghormati tamu undangan spesial. Padahal bila melihat secara kronologis, ada kesan yang sangat kuat, Megawati dan Jokowi lah yang lebih membutuhkan Prabowo. Bukan sebaliknya. Mulai dari pertemuan di MRT, dilanjutkan dengan jamuan nasi goreng, sampai undangan menghadiri kongres. Semua inisiatifnya datang dari kubu Megawati-Jokowi. (Benci tapi rindu) Soal perasaan para pendukung, khususnya emak-emak militan, baik Megawati, apalagi Prabowo, harus benar-benar berhati-hati. Bila sampai salah penanganannya, skenario yang mereka susun secara cantik, bisa hancur berantakan. Ngototnya kubu 01 menggandeng Prabowo tidak lepas dari realitas dilapangan dan problem legitimasi pemerintahan Jokowi. Mereka sangat berkepentingan merangkul Prabowo. Targetnya mematahkan perlawanan kekuatan sosial pendukung 02, sekaligus memperkuat legitimasi Jokowi sebagai presiden terpilih. Silakan berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan termasuk di berbagai kota di Jawa. Semangat perlawanan dari para pendukung Prabowo-Sandi masih sangat tinggi. Mulai dari kalangan ulama, purnawirawan, relawan dan jangan tanya lagi di komunitas emak-emak. Mereka tidak pernah merasa kalah, tapi dikalahkan! Banyak yang masih merasa bahwa yang harus menjadi presiden Prabowo, bukan Jokowi. Para relawan ini menjadi sangat kesal, sebel, jengkel, marah ketika Prabowo bersedia bertemu dengan Jokowi. Kemudian bertemu Megawati, dan sekarang malah hadir di kongres PDIP. Mantan Wamenhan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin bersama sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI yang tengah berada di Surabaya, kebagian “getah” pelampiasan unek-unek dari para relawan. Padahal Sjafrie bukan tim sukses, apalagi anggota BPN Prabowo-Sandi. Sebagai purnawirawan TNI, teman satu angkatan Prabowo di Akabri (1974) dia tampaknya diharapkan dapat menyampaikan pesan dan unek-unek mereka. Hubungan Prabowo dengan para relawannya ini bila dicermati adalah hubungan BENCI tapi RINDU! Mereka masih berharap—entah bagaimana caranya— Prabowo-Sandi yang dilantik sebagai presiden dan wapres. Bukan Jokowi-Ma’ruf. Sebuah harapan yang tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya. Soal ini harus benar-benar disadari oleh Prabowo dan orang-orang di sekitarnya. Dia harus mau meluangkan waktu bertemu para relawan. Harus punya kesabaran ekstra menjelaskan mengapa dia akhirnya mau bertemu dan kemungkinan besar bergabung dengan Jokowi. Kegagalan menjelaskan manuver politiknya yang tidak lazim, akan berdampak serius bagi Prabowo. Dia akan ditinggalkan para pendukungnya. Mereka akan mencari figur baru. Bila ini yang terjadi, yang rugi bukan hanya Prabowo, namun juga Jokowi dan Megawati. Basis legitimasi rakyat yang diinginkan, tidak akan terwujud. Prabowo dan kekuatan sosial yang mendukungnya adalah satu paket. Salah besar bila mengambil kesimpulan: cukup rangkul Prabowo, otomatis para pendukungnya akan mengikutinya. Kepentingan dan aspirasi para pendukung 02 juga harus diakomodasi. Hapus kebijakan yang menimbulkan perasaan diperlakukan tidak adil (perceived unjustice) di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Tunjukan bahwa rekonsiliasi itu bukan hanya terjadi di kalangan elit, tapi juga melibatkan rakyat. So Bu Megawati tidak boleh terlalu cepat senang. Sudah berhasil memenangkan pertempuran. Pandai-pandailah memahami dan menjaga perasaan para pendukung 02. Kecuali bila targetnya memang hanya sekedar memisahkan Prabowo dari para pendukungnya.

Strategi Prabowo Makin Mantap

Dengan strategi rekonsiliasi dan koalisi, Prabowo melakukan banyak hal sekaligus. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Benar juga, ternyata. Benar bahwa Prabowo Subianto adalah ahli strategi yang luar biasa hebat. Mula-mula dia memberikan legitimasi kepada Jokowi. Bersalaman di stasiun Lebak Bulus. Banyak orang yang ribut. Bahkan mencela dia. Kemudian, Prabowo melakukan rekonsiliasi. Setelah itu, siap menerima ajakan berkoalisi. Ajakan bagi-bagi kekuasaan. Para pendukung setia Prabowo wajar kagum. Sang idola memang pintar memporak-porandakan Kubu 01. Bersalaman dengan Jokowi, kemudian mendatangi rumah Megawati untuk makan nasi goreng. Setelah itu, Prabowo semakin jauh melakukan penetrasi ke jantung lawan. Beginilah keyakinan para pendukung. Mereka percaya, Prabowo akan menang. Strategi hebat itu berlanjut. Prabowo diundang oleh Megawati untuk menghadiri Kongres ke-5 PDIP di Bali, hari ini (7/8/2019). Semakin dihormati oleh Banteng. Semakin disegani oleh Megawati. Itulah strategi Prabowo. Orang lain tak mampu memahaminya. Tak mampu membaca strategi cemerlang itu. Tetapi, Bu Mega meminta para kader PDIP agar tidak menyoraki Prabowo sewaktu memasuki ruang kongres. Mega meminta agar semua kader menghormati tamu. Tampaknya, Bu Mega kurang yakin juga kalau semua orang PDIP senang kepada Prabowo. Di Bali, Prabowo akan mengobark-abrik Kongres PDIP. Begitulah, mungkin, bayangan tentang strategi Prabowo. Dia akan menggiring para petinggi Banteng agar menekan Jokowi supaya memberikan kekuasaan sebesar mungkin kepada orang-orang 02. Pokoknya, kongres di Bali akan menjadi panggung Prabowo. Boleh jadi, begitulah yang harus diyakini oleh para pendukung 02. Ketum Gerindra akan membuat Adian Napitupulu tersipu-sipu. Selama ini dia habis-habisan melecehkan Prabowo. Kali ini, Adian akan dibuat tak berkutik. Dia tak akan berani lagi menyebut-nyebut keterlibatan Prabowo dalam huruhara 1998. Kelihatannya, Adian akan datang meminta maaf kepada Prabowo. Selama ini, Adian berkali-kali mengatakan Prabowo itu penculik. Sekarang, dengan strategi rekonsiliasi dan koalisi, Prabowo melakukan banyak hal sekaligus. Dia akan dihormati. Dia akan mendapatkan kekuasaan besar. Prabowo akan dipulihkan nama baiknya oleh PDIP. Para pemilih Prabowo seharusnya tidak usah khawatir. Harus percaya Prabowo akan berhasil menghancurkan Jokowi dan para sekutunya. Para pendukung Prabowo diimbau agar yakin bahwa semua orang di Kubu 01 itu bisa diacak-acak oleh mantan Danjen Kopassus itu. Pokoknya jangan ragu. Dia itu ahli perang. Ahli mengepung dan melumpuhkan musuh. Jadi, Anda semua perlu terus bersabar. Bisa jadi nanti Prabowo yang, akhirnya, dilantik menjadi presiden. Percayalah, kalau Prabowo sampai memutuskan untuk mengambil posisi yang semakin dekat ke Bu Mega, itu artinya ada sesuatu yang besar yang sedang dipersiapkan untuk Prabowo. Memang kita semua harus sama-sama menonton episode yang cukup membingungkan. Bingung karena Prabowo sekarang bergerak sendirian. Tapi, tidak apa-apa kebingungan sebentar demi strategi yang jitu. ***

Koalisi Teuku Umar Bikin Merinding Trio Ubur-ubur Wiranto, SBY & Paloh

By Luqman Ibrahim Soemay (Bagian Pertama) Jakarta, FNN - Kerja politik Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan berbuah manis dan indah. Kalau ibarat barang dagangan, kerja Budi Gunawan ini bisa dibilang meraih sukses besar atau untung besar. Wajar bila ada yang memperkirakan kesepakatan itu sudah mencapai 90%. Megawati dan Jokowi bakal berkoalisi dengan Prabowo. Jadilah koalisi nasionalis sejati antara Megawati, Jokowi, dan Prabowo. Koalisi ini pasti bakal membuat banyak pihak yang blingsatan. Mereka seperti mimpi di siang bolong. Penolakan paling keras pasti datang dari mereka, khususnya elit politik yang selama ini manjadikan Prabowo sebagai musuh abadi. Bahkan mungkin sampai di dalam kubur sekalipun mereka tetap saja memusuhi Prabowo. Penyebabnya hanya karena Prabowo terlalu banyak tahu tentang sepak terjang mereka selama masih aktif menjadi tentara. Mereka umumnya menunggangi dan menjadikan jabatan untuk kepentingan pribadi. Namun berlaga seperti orang yang paling berpihak kepada kepentingan rakyat. Selain Prabowo, Megawati adalah orang paling tahu tentang kepalsuan dan kebusukan mereka selama ini. Kubu pertama yang paling resisten dengan lahirnya koalisi Mega Jokowi Prabowo adalah “Trio Wekwek”. Personilnya adalah AM. Hendropriyono, Luhut Binsar Pandjaitan dan Gories Mere. Sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa Trio Wekwek ini salah satu hobinya adalah membenturkan pemerintah Jokowi dengan kelompok Islam kanan. Pendukung Prabowo, hampir dua pertiga adalah kelompok Islam kanan. Trio Wekwek berhasil memframming wajah Islam Indonesia yang identik dengan Islam teroris, Islam ekstrim, Islam radikal dan Islam intoleran. Trio Wekwek banyak mendapatkan manfaat dari memframming wajah Islam seperti ini. Kelompok elit politik lain yang sangat terpukul dengan lahirnya koalisi Teuku Umar ini adalah Trio Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Surya Paloh. Saya namakan mereka bertiga dengan sebutan “Trio Ubur-ubur”. Berbeda dengan Trio Wekwek dalam bekerja di lapangan. Trio Wekwek sering bekerja secara tim. Meskipun mempunyai musuh bersama, yaitu Prabowo, namun Trio Ubur-ubur ini tidak bekerja secara tim. Personil Trio Ubur-ubur cenderung bekerja sendiri-sendiri dalam menjegal atau menghadapi Prabowo. Mereka lebih nyaman bekerja menghalangi Prabowo dengan menggunakan tim-tim kecilnya sendiri, daripada bersama-sama. Syahwat kekuasaan yang paling menonjol dari Trio Ubur-ubur ini adalah memperjuangkan kepentingan pribadi mereka dan anak-anaknya saja. Trio Ubur-ubur jarang sekali berjuang untuk kepentingan kelompok atau teman-teman dekatnya. Boleh dibilang tidak terlintas sedikitpun di benak Trio Ubur-ubur untuk memikirkan kepentingan dan keselamatan bangsa. Laga-laganya seperti hidupnya hanya untuk bangsa dan negara. Sebaliknya, Trio Ubur-ubur selalu berusaha dengan segala cara menunggangi bangsa dan negara untuk kepentingan pribadi mereka. Wiranto misalnya, kalo meminjam sinyalemen mantan Kasum TNI Letjen TNI (Purn.) J. Suryo Prabowo menjadi spesialis penjilat kekuasaan. Wiranto mulai menjilat kekuasaan sejak eranya Presiden Soeharto. Setelah itu dilajutkan dengan menjilat B.J. Habibie. Saat Gus Dur menjabat presiden, Wiranto menjilat Gus Dur untuk menjadi Menkopolhukam. Namun dipecat oleh Gus Dur di tengah jalan. Bahkan Gus Dur memecat Wiranto dari dalam pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari Amerika menuju Jakarta. Sekarang giliran Wiranto kembali menjilat Jokowi untuk masuk dalam pusat kekuasaan. Saat menjabat sebagai Panglima TNI dan Menhankam, Presiden Habibie pernah melamar Wiranto untuk menjadi wakil presiden di Pemilu 1999, jika pertanggung jawaban presiden mandataris MPR diterima Sidang Umum MPR. Namun ketika itu Wiranto menolak ajakan Habibie. Padahal sejatinya ajakan Habibie kepada Wiranto adalah perintah dari seorang Presiden/Penglima Tertinggi Angkatan Bersenjata—sekarang TNI. Alasan Wiranto menolak permintaan Habibie adalah memilih berada di tengah-tengah semua kelompok politik dan masyarakat. Wiranto mengatakan, “dalam kondisi seperti sekarang ini, tempat yang terbaik bagi saya adalah berada dan berdiri di tengah-tengah semua kelompok masyarakat”. Sayangnya diam-diam Wiranto punya rencana lain. Dengan bermodalkan Fraksi ABRI, Fraksi Utusan Daerah dan Fraksi Golkar di MPR, Wiranto berharap dirinya yang dicalonkan sebagai presiden oleh MPR. Wiranto ketika itu berharap pertangung jawaban Presiden Habibie sebagai Presiden Mandataris ditolak oleh MPR. Dengan demikian Habibie tidak lagi maju sebagai calon presiden periode 1999-2004. Hasil Sidang Umum MPR memang menolak pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Mandataris. Akibatnya Habibie juga batal untuk mencalonkan diri lagi sebagai Presiden. Namun bukannya Wiranto yang dicalonkan oleh fraksi-fraksi di MPR, tatapi Gus Dur dan Mewagati dicalonkan dan dipilih MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1999-2004. Keputusan menolak perintah Habibie sebagai Presiden/Panglima Tertinggi TNI bukanlah yang pertama kali bagi Wiranto. Pada tahun 1998, Wiranto juga menolak perintah Presiden Soeharto untuk melakukan langkah-langkah pemulihan keamanan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 16 tahun 1998. Jawaban Wiranto kepada Presiden Soeharto ketika itu adalah “Saya tidak bisa melaksanakan Inpres ini Pak”. Dijawab lagi oleh Soeharto kepada Wiranto “Dasar kamu memang jenderal banci. Saya sudah tahu kamu tidak mampu melaksanakan Inpres ini”. Mengomentari sikap Wiranto menolak Inpres Nomor 16 Tahun 1998 tersebut, seorang pensiunan Jenderal TNI mengatakan, “Waktu itu Panglima ABRI-nya bukan Wiranto, tetapi Wiranti. Pastilah tidak punya nyali dan keberanian. Kalau saya yang dikasih kewenangan Inpres tersebut, pasti sudah saya sapu besih itu gedung DPR, “ujar sang pensiunan. Menolak perintah Presiden/Penglima Tertinggi Militer adalah tindakan insubordinasi bagi seorang prajurit TNI. Perbuatan Wiranto ini, termasuk katagori pelanggaran paling berat di militer, karena dapat membahayakan kepentingan negara. Hukumannya juga dipilih hukuman yang paling memberatkan. Beberapa negara tertentu menerapkan sanksi hukuman mati atau penjara seumur hidup untuk pelanggaran seperti ini. Untuk masuk dalam kekuasaan, Wiranto tidak peduli siapa presiden yang sedang berkuasa. Wiranto akan melakukan segala cara, daya, dan upaya untuk menjilat presiden yang berkuasa. Targetnya diterima masuk dalam kekuasaan. Wiranto juga sepertinya tidak bisa survive di tengah-tengah masyarakat tanpa manyandang label bagian dari kekuasaan. Wiranto bukan saja lihai dan jago dalam menjilat penguasa. Untuk mewujudkan ambisinya, mantan ajudan Soeharto ini bisa juga menjadi raja tega. Wiranto bisa dengan sadar rela mengorbankan teman-teman dekatnya demi memuluskan ambisi masuk dalam kekuasaan. Lihat saja, berapa banyak teman-teman lamanya ketika masih aktif di TNI bisa bertahan berada di samping Wiranto sekarang? Kalaupun masih ada, ya bisa dihitung dengan jari. Paling-paling hanya satu dua orang yang bisa bertahan mengikutinya. Yang masih bertahan ikut Wiranto tinggal Jendral TNI (Purn.) Fahrul Rozy, Jendral TNI (Purn.) Subagyo HS dan Marsekal Madya TNI (Purn.) Daryatmo. Selain itu, jenderal-jenderal loyalis Wiranto pada kabur meninggalkan Wiranto. Sebut saja Letjen TNI (Purn.) Suadi Marasabessy, Komjen Polisi (Purn.) Nugroho Djajusman, Letjen TNI (Purn.) Sarwan Hamid, Letjen TNI (Purn.) Agus Wijoyo, Letjen TNI (Purn.) Djamari Chaniago, Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman dan Letjen TNI (Purn.) Sudi Silalahi. Lihat kelakuan Wiranto untuk bisa masuk menjadi Menkopolhukam. Dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dua kadernya dari Partai Hanura yang sedang menjabat menteri. Mereka adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yudi Chrisnandi dan Menteri Perindustrian Saleh Husein. Hanya orang gila kekuasaan yang rela korbankan kadernya demi ambisi pribadinya. Dan manusia langka itu hanya Wiranto Wiranto juga dengan sangat sadar rela mengorbankan Partai Hanura yang didirikannya lima belas tahun lalu. Saat itu Jokowi mempunyai kebijakan, para menteri tidak boleh merangkap Ketua Umum Parpol. Wiranto lalu menyerahkan Partai Hanura bulat-bulat ke Oesman Sapta Odang (OSO) yang bukan kader Hanura. Kabarnya OSO bisa menjadi Ketua Umum Hanura dengan sejumlah cerita miring adanya angka-angka keberuntungan yang menyertainya. Hasil Pemilu Legislatif 2019 cukup jelas dan nyata bagi Wiranto. Partai Hanura terjun bebas dari gedung DPR Senayan. Hanura tidak lolos ambang batas Parliamentary Threshold di DPR, yang dipatok minimal empat persen. Akibatnya, untuk pertama sejak kelahirnya, Partai Hanura tidak lagi mempunyai kursi di perlemen senayan. Wiranto memang sukses menggusur Partai Hanura keluar dari DPR demi memenuhi syahwat dan ambisi pribadinya. Selain tidak bisa eksis tanpa menjilat penguasa, Wiranto juga tak bisa hidup tanpa embel-embel jabatan “ketua”. Mau “ketua” apa saja tidaklah penting. Yang terpenting nama dari jabatan tersebut adalah “ketua”. Jabatan “ketua” itu menjadi penting karena akan dijadikan Wiranto sebagai bargaining positioning dan pintu masuk menjilat kekuasaan. Seorang teman sambil bergurau mengatakan, Wiranto itu kalau malaikat pencabut nyawa “Malaikat Izrail” mau menjemputnya, Wiranto masih sempat-sempatnya bertanya dulu, “Sabar malaikat. Kalau di akherat sana, saya bisa punya jabatan sebagai ketua apa?" Terakhir Wiranto juga masih sempat bertanya kepada Malaikat Izrail, “Nanti saya bisa diterima ngga menjadi bagian dari penguasa di sana? Jabatan apa saja oke okelah, yang penting bisa masuk ke dalam kekuasaan. Syukur syukur bisa jadi Menkopolhukam lagi”. (bersambung ke SBY & Paloh).

Rekonsiliasi Fatamorgana

Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh. Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. (Politisi dan Praktisi Hukum) Jakarta, FNN - Perdebatan tentang ideologi tidak akan pernah berhenti karena adanya pertemuan politik diantara para elit politik. Juga Perbedaan tentang konsep dan cara jalan untuk mencapai tujuan politik tidak akan selesai dengan rekonsiliasi. Perbedaan akan tetap hidup dan menjadi warna bagi sebuah bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang lahir dari kemajemukan. Sulit untuk "mendamaikan ide" hanya dengan rekonsiliasi. Meningkatkan intensitas silaturrahim politik sangat positif, tetapi menganggap silaturrahim itu sebagai rekonsiliasi dua perbedaan ide yang mendasar sangat tidak mungkin. Itu hanya sebatas fatamorgana. Dari sisi konsep dan ide, Prabowo dan Jokowi sangat jauh berbeda. Seperti dalam masalah kebijakan Hutang luar negeri, kebijakan Impor pangan, gaji TNI/Asn, Perusahaan Starup/Unicorn, Pengeloaan SDA dan mineral dll, yang disampai secara terbuka dalam kampanye maupun debat, sebagaimana di nukilkan kembali oleh Akbar Faisal dalam Acara ILC. Kemesraan kedua tokoh politik di MRT itu adalah bagian dari rasa saling membutuhkan. Ada semacam "transaksi materi" sebagai upaya untuk saling memegang komitmen politik. Nuansa transaksi politik dari pertemuan itu tidak bisa kita hindari, sebab, pertemuan politik menghasilkan kesepakatan politik. Entah itu Jokowi ingin mengajak oposisi untuk berada disampingnya, atau oposisi meminta Jokowi untuk mengakomodir kepentingan politiknya. Meskipun oposisi akan berkoalisi, tetapi oposisi terhadap kekuasaan tidak akan berakhir, pun tidak ditentukan oleh dua orang tersebut. Begitu pula dengan perbedaan ide dan cara pandang bernegara, tidak akan berakhir hanya karena pertemuan ataupun rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Apakah setelah Prabowo bertemu Jokowi dan Megawati, oposisi telah selesai? Bagi saya, oposisi akan tetap ada dan mengakar dalam gerakan civil society. Secara kelembagaan ada lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat yang akan menjadi bagian dari oposisi. Posisi anggota DPR sangat strategis untuk menyuarakan aspirasi rakyat, baik secara sendiri-sendiri melalui jalur parlemen maupun secara bersama-sama dalam bentuk fraksi, komisi, maupun DPR secara keseluruhan. Eksistensi DPR sebagai lembaga, maupun Anggota DPR secara individu, adalah merupakan pengontrol kekuasaan eksekutif. Dalam sistem presidensialisme, kekuasaan presiden begitu sangat besar, sehingga untuk mengawasi kekuasaan yang besar tersebut tidak disalahgunakan, maka DPR memiliki peran penting untuk mengotrol eksekutif. Secara singkat dapat dikatakan DPR itu adalah lembaga oposisi, sedangkan Anggota DPR dipilih oleh rakyat untuk menjadi oposisi pemerintah, mengoreksi segala kebijakan lewat penyusunan UU, penyusunan Anggaran, dan kebijakan pemerintah lainnya. Lembaga Perwakilan itu diberikan kekuasaan yang cukup strategis untuk melakukan pengawasan, dan menginterupsi segala kebijakan pemerintah lewat saluran parlemen. Kekeliruan tradisi yang dibangun partai politik selama ini, menganggap anggota DPR dianggap sebagai wakil partai, sehingga dengan mudahnya partai memecat dan menghentikan jabatan publik individu hanya karena alasan perbedaan sikap dengan partai merupakan langkah yang tidak dibenarkan. Anggota DPR adalah wakil Rakyat yang direkomendasikan oleh partai politik. Pelaksanaan fungsi pengawasan, fungsi anggaran, fungsi legislasi adalah pelaksanaan fungsi "oposisi" DPR kepada pemerintah untuk mengawasi penggunaan fungsi kekuasaan eksekutif. Karena itu, dalam negara demokrasi dengan sistem presidensialisme, keberadaan DPR sebagai lembaga pengawas dan penyeimbang (cheks and balance) bukan hanya sebagai stempel karet eksekutif (koalisi) tetapi kehadiran DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang baik dan benar. Rekonsiliasi Atau Jatah Kursi? Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi, seakan-akan oposisi terhadap kekuasaan eksekutif sudah hilang. Lembaga DPR akan menjadi corong kekuasaan dan kasarnya stempel karet eksekutif. Dengan alasan, bahwa apabila semua partai berkoalisi, maka pengawasan terhadap pemerintah tidak ada, dengan demikian segala tujuan kekuasaan dapat diwujudkan tanpa kritik. Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi-Megawati, publik menilai bahwa pemerintahan Jokowi memegang DPR di atas 70%. Jadi tidak ada kesulitan lagi bagi Jokowi menjalankan segala apa yang menjadi keinginan dan tujuannya, bukanlah koalisi Jokowi sudah hampir sempurna menguasai parlemen? Sebenarnya ini menjadi bahaya tersendiri bagi Demokrasi. Dengan kata Rekonsiliasi Jokowi telah mampu merangkul kekuatan utama oposisi. Pertemuan kedua elit itu adalah untuk mendamaikan perseteruan politik. Lebih tepatnya untuk menyatukan kembali perbedaan. Bahwa selama ini, ada anggapan bahwa Indonesia terpecah, ada perkelahian sengit, dan lain sebagainya. Tetapi dalam demokrasi dan panggung politik hal tersebut lumrah. Pemaknaan rekonsiliasi semacam itu bukan hanya salah, tetapi juga mengandung nilai hoax yang tinggi. Karena perbedaan dan perseteruan dalam politik niscaya adanya. Dalam demokrasi hal tersebut adalah merupakan keberkahan, sebab negara demokrasi tanpa perbedaan berarti ada totaliter yang hidup. Terlepas dari apa yang menjadi agenda pertemuan antara oposisi (Prabowo) dan Koalisi (Jokowi-Megawati), bahwa pemberian nama terhadap pertemuan itu sebagai rekonsiliasi demi bangsa menjadi naif adanya. Tidak sulit untuk membaca hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Rocky Gerung, "Kalau dua orang bertemu, ada pihak ketiga yang mau disingkirkan". Artinya selain persoalan saling mendepak dalam koalisi Jokowi, pertemuan tersebut Bukan rekonsiliasi melainkan percakapan tentang materi. Seperti yang saya kemukakan di atas, tidak mungkin merekonsiliasi perbedaan ide dan konsep, yang direkonsiliasi hanyalah berupa program-program yang sifatnya materi. Artinya ada transaksi politik dibalik kata "rekonsiliasi demi bangsa" yang diedarkan ke publik. Saya tertarik dengan pandangan Sandiaga Salahuddin Uno, bahwa kepada pemenang silahkan memerintah, dan yang kalah siap menjadi Oposisi. Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh. Supaya rakyat tidak terlalu diberikan janji, sebaiknya Jokowi melaksankan program-program-nya saat ini, tdk harus menunggu dilantik untuk periode yg kedua. Masih banyak program pemerintah yang belum terlaksana dan masih ditagih oleh publik. Jadi kesibukan mengurus koalisi dan oposisi yang tidak henti-hentinya, tentu akan merugikan rakyat. Prabowo Bertemu, Ulama Ber-Ijtima Setelah pertemuan antara oposisi dan penguasa, koalisi pemenang menjadi gundah gulana. Reaksi bermunculan, hingga Nasdem mengadakan pertemuan dengan Anies Baswedan di Kantor DPP Nasdem Gondangdia. Pengamat menilai, Surya Paloh memberikan reaksi atas pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati. Dalam keadaan koalisi pemenang yang sedang gamang, kekuatan umat yang di Komando oleh ulama tetap bertahan menjadi oposisi. Pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati, tidak menggoyangkan semangat 212, dan tetap mengucapkan, rakyat dan umat bersama ulama mengambil jalan "kami oposisi". Kekuatan civil Society khususnya 212 begitu sangat besar untuk melakukan protes meskipun semua partai telah berada dibarisan koalisi pemerintah. Komitmen untuk menjadi mitra kritis kekuasaan, menempatkan 212 sebagai gerakan penentu perubahan sosial politik Indonesia. Dengan bertahannya 212 maka, muncul kata "kami oposisi". Ini menandakan bahwa kekuatan Islam dengan logo 212 yang telah menjadi monumen penting, meminjam Rocky gerung, sebagai teks sosial bangsa Indonesia tidak bergerak hanya karena Prabowo, tetapi menjadi icon pejuang, khususnya dalam menengakkan amar Ma'ruf nahi munkar. Gerakan 212 yang sampai hari ini masih berada dalam komando ulama, wabil khusus Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab, masih menjadi kekuatan independen dengan identitas gerakan politik Islam yang tidak membawa sekat-sekat organisasi dan sekat politik. Adapun dukungan kepada calon tertentu karena kesamaan cara pandang terhadap kondisi bangsa. Gerakan 212 Adalah momen sejarah, yang menjadi reinkarnasi pertentangan ideologi dalam sejarah politik Indonesia. Pertentangan ideologi itu tidak mungkin berakhir dengan rekonsiliasi elit tertentu, ia akan tetap ada. Bagi ideolog, ideologi itu harus diperjuangkan menjadi cita-cita dan tujuan bersama. Hadirnya 212 mengakomodir ulang aspirasi umat Islam yang selama ini terbengkalai. Kehadiran 212 menambah kuat Perdebatan Islam dan Politik. Sejarah mencatat, bahwa Islam adalah bumbu yang memberikan penyedap rasa bagi perjalanan politik Indonesia. Tanpa Islam, politik Indonesia menjadi hampa, tanpa makna. Maka, agak naif kalau menganggap bahwa rekonsiliasi adalah mendamaikan pikiran, hal itu mustahil terjadi. Sulit bagi Jokowi untuk memperoleh legitimasi 212, karena ia tidak memiliki cara pandang yang sama dengan ide 212 itu sendiri. Meskipun Prabowo menyatakan bergabung dengan pemerintah, 212 akan menjadi oposisi yang berjalan diatas roh kebenaran dan keadilan. Untuk melanjutkan gerakan tersebut, para ulama akan mengadakan kembali musyawarah Ulama atau Ijtima' Ulama dalam rangka untuk membicarakan agenda 212 selanjutnya. Agenda itu tidak terlepas dari perkembangan politik yang terjadi pasca MK memenangkan Jokowi. Ulama sedang mencari formula dan penerima mandat baru untuk meneruskan ide, konsep dan cita-cita perjuangan umat Islam yang belum tercapai dalam konteks sosial politik kebangsaan sekarang ini. Oleh karena itu Ijtima Ulama IV akan mencari formula baru bagaimana menempatkan 212 sebagai kekuatan kontrol sosial bangsa ini. Dengan demikian, rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi serta Megawati bukan akhir dari perjuangan umat dan ulama, melainkan memberikan kesempatan baru bagi umat dan ulama untuk menyatakan sikap yang lebih terarah lagi. Karena itulah maka 212 sebenarnya adalah kelompok penentu, bukan pengekor, 212 adalah wajah baru politik Islam yang menjadi awal mula bangkitnya solidaritas umat dalam membangun peradaban politik yang mengedepankan nilai-nilai profetik Wallahualam bis shawab.

Politik Cakaran Ayam

Pemenangan Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi memaksa politisi kita menciptakan politik cakar ayam untuk mengatasi landasan yang lembek. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Di dunia konstruksi, teknik “cakar ayam” sudah lama ditemukan. Penemunya adalah Prof Dr Ir Sedijatmo. Tahun 1961. Teknik ini menghapus frustrasi pembangunan gedung beton bertingkat di atas tanah lembut atau rawa-rawa. Sebagai gambaran singkat, teknik fondasi cakar ayam menggunakan kerangka besi pelat yang di bawahnya diperkuat oleh tancapan pipa-pipa beton. Lazimnya mirip bentuk cakar ayam. Cara ini mampu menahan tekanan turun yang berbeda-beda akibat bobot bangunan, dst. Cukup ruwet bagi saya yang tak paham ilmu konstruksi. Seacara tak sengaja, rupanya, teknik “cakar ayam” sedang teradopsi ke dunia politik Indonesia. Tetapi, cakar ayam di sini lebih pas disebut “cakaran ayam” bukan “cakar ayam”. Ada kemiripan kondisi ketika Prof Sedijatmo menciptakan teknik cakar ayam dengan kondisi “politik cakaran ayam” era Jokowi pasca-pilpres 2019. Kemiripan kondisi itu terletak pada kata “lembek”. Sang Profesor menghadapi masalah “tanah lembek” ketika mau membuat pondasi di kawasan rawa-rawa. Sedangkan Jokowi menghadapi masalah “alas kekuasaan yang lembek” setelah dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi dan partai pendukung terbesar, PDIP (khususnya Ketum Megawati), merasa ada yang mengganjal. Alas kemenangan Jokowi dirasakan lemah (lembek). Mirip tanah lembut untuk pondasi gedung. Yang membuat Prof Sedijatmo berpikir keras menciptakan teknik cakar ayam. Sama halnya, fondasi kekuasaan Jokowi perlu diperkuat. Tidak ada cara lain kecuali membongkar fondasi (koalisi) yang ada. Mereka akhirnya mengusahakan rekonsilisasi dengan Prabowo yang diyakini banyak orang sebagai “pemenang asli” pilpres 2019. Prabowo menyambut ajakan rekonsiliasi. Bahkan sepakat untuk berkoalisi. Setuju bagi-bagi kekuasaan. Sama sekali di luar dugaan. Tapi, rekonsiliasi dan koalisi itu tidak semudah yang dibayangkan. Harus dikais-kais dari segala arah. Harus dicakar-cakarkan ke sana ke ini. Bagaikan ayam mencakar tanah untuk mencari makanan yang tak pasti. Inilah metode “politik cakaran ayam”. Dunia politik Indonesia menjadi jungkir balik. Bagai taman roller coaster. Kawan menjadi lawan. Musuh menjadi teman. Tak ada lagi mata angin politik konvensional. Yang di utara pindah ke selatan. Yang biasa di timur bergeser ke tenggara. Yang biasa dominan menjadi ‘letoi’. Yang selama ini di dalam, sekarang diusir keluar. Persis seperti hasil cakaran ayam. Berserakan ke mana-mana. Tak lagi konvensional. Tidak mudah dipahami dan tidak pula menggunakan cara berpolitik yang terhormat. Lebih kental kesan sesuka hati. Seperti ayam yang tak perduli bagaimana hasil cakarannya. Yang biasa memegang semua urusan, tiba-tiba merasa dekat ke liang kubur. Yang merasa menjadi hulubalang Queen Maker sekarang terpental. Mengamuk. Tak terima dijauhkan dari pusat kekuasaan. Parpol-parpol yang merasa bisa menentukan berapa kursi menteri untuk mereka, sekonyong-konyong merasa terkekang. Orang yang semula tidak punya kuasa besar, sekarang bakal menjadi king maker baru. Menjadi orang kuat baru. Bahkan berpeluang menjadi king-nya sendiri. Itulah politik cakaran ayam. Prof Sedijatmo pastilah tak menyangka kalau solusi pondasi tanah lembek berupa cakar ayam akan dipakai dalam bentuk cakaran ayam ketika menghadapi pondasi politik lembek pasca-pilpres 2019. Politik cakaran ayam Megawati-Jokowi sama tak lumrahnya dengan pondasi cakar ayam Prof Sedijatmo. Karena itu, banyak yang bisa segera menjadi doktor politik dengan objek penelitian di seputar “politik cakaran ayam” itu. Perlu secepat mungkin dan sebanyak mungkin mahasiswa S-3 studi politik membuat tesis-tesis yang isinya mematahkan politik cakaran ayam. Supaya metode ini tidak dikembangbiakkan atau didaur-ulang oleh para politisi yang tak memiliki alas kemenangan pemilu yang kuat. Politik Cakaran Ayam seperti yang sedang tayang hari ini harus dicegah. Karena satu-satunya produk yang dihasilkannya adalah kemunduran dunia poltik dan degradasi sistem demokrasi. **

Pusing 212: Negara dengan 80 Juta Teroris?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini, para pengamat politik gencar membahas tentang apa yang akan terjadi terhadap gerakan 212. Gerakan ini terkenal dengan aksi damainya, terutama di ibukota. Aksi-aksi damai yang muncul dan langsung besar di pengujung 2016 dan awal 2017 itu, sama sekali tidak mengganggu Jakarta. Tetapi, ada pihak yang merasa sangat terbebani oleh 212. Ada beban politik yang sangat berat akibat keberhasilan 212. Beban itu secara natural tertimpakan kepada orang-orang yang resah melihat kebangkitan Islam politik. Sebelum dilanjutkan, perlu ditanya dulu apakah valid menteorikan bahwa 212 identik dengan kebangkitan Islam politik? Pertanyaan ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan juga. Kalau bukan kristalisasi kebangkitan Islam politik, mau disebut apa gerakan itu? Sekadar kumpul-kumpul saja? Sangat absurd! Baik. Kita teruskan. Sebagian pemerhati politik berpendapat 212 akan menjadi tak relevan lagi setelah Prabowo digiring masuk ke kubu 02. Tidak ada lagi pemimpinnya. Ada pula pengamat yang memperkirakan 212 akan meredup dan kemudian sirna. Yang lain memperkirakan 212 akan menjadi “anak ayam kehilangan induk” setelah kepergian Prabowo ke kubu 01. Akan tercerai-berai. Tetapi, semua teori atau dugaan itu tidak akan ada yang tepat. Memperkirakan 212 akan lenyap adalah kekeliruan berpikir yang disengaja. Mengatakan 212 akan selesai, hanya menunjukkan frustrasi Anda melihat Islam politik yang semakin matang dalam berstrategi. Gerakan 212 tidak tergantung pada Prabowo. Sebaliknya, 212-lah yang mengajak Prabowo berjuang melawan kesewenangan. Ke depan, gerakan ini juga tidak akan tergantung pada tokoh personalitas seperti Habib Rizieq, dsb. Gerakan ini cukup dipimpin oleh seorang koordinator yang mirip dengan “admin” di grup-grup WA. Kenapa? Karena 212 diramaikan oleh lapisan intelektual dan kelas menengah. Mereka ini semua memiliki pemahaman yang komplit tentang gerakan 212, tentang tujuannya dan cara-cara yang digunakan. Semua pendukung 212 mengerti bahwa gerakan 212 adalah Islam politik yang akan selalu damai. Semua praktisi 212 tahu bahwa mereka berkumpul di kelompok umat garis lurus. Yang paling gerah terhadap gerakan 212 adalah orang-orang yang sedang berkuasa. Para penguasa itu tidak bisa tidur nyenyak. Mereka serasa dikejar oleh sosok yang menakutkan bagi mereka. Tetapi tidak menakutkan bagi orang lain. Mereka tahu 212 adalah isyarat kebangkitan Islam politik. Yang diprakarsasi dan diisi oleh umat Islam garis lurus. Yaitu, kumpulan umat yang berasal macam-macam ormas dan orpol. Umat garis lurus memiliki tekad untuk menegakkan keadilan bagi semua dan melawan kezaliman. Sejauh ini, umat garis lurus dipimpin oleh orang-orang yang tidak serakah tetapi tegas. Ketegasan mereka dalam melawan kezaliman membuat para penguasa gerah dan resah. Mereka sekarang menggunakan segala cara untuk melemahkan dan melenyapkan gerakan 212. Salah satu cara ampuh yang mungkin akan dilakukan adalah mendemonisasikan (menjelekkan) 212. Memberikan label yang buruk dan menakutkan. Sangat mungkin 212 akan dikait-kaitan dengan paham radikal. Merekan boleh jadi akan disusupi dengan elemen-elemen jahat yang kemudian akan merusak nama baik 212. Sangat mungkin pula pihak tertentu menyusupkan orang-orang yang akan “diatur” untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa-bawa nama 212. Termasuk melakukan tindakan terorisme. Sehingga, penguasa memiliki alasan untuk mencap 212 sebagai gerakan teroris. Mungkinkah melabel 212 sebagai teroris menjadi kenyataan? Bisa saja. Sebab, 212 akan terus membayangi ketidakmakpuan pemguasa dalam menegakkan keadilan. Ini sangat merisaukan mereka. Tapi, apakah masuk akal mengatakan 212 sebagai gerakan teroris? Inilah yang menjadi masalah. Sangat tak mungkin mengatakan 212 sebagai gerakan teroris. Sebab, 212 adalah representasi 80 juta pemilih Islam garis lurus. Anda pusing dengan 212? Tak perlu. Kalau Anda pusing, bisa-bisa Anda terpaksa mengatakan Indonesia ini adalah negara dengan 80 juta teroris. Menjadi konyol, bukan? Padahal, mereka hanya arus baru Islam politik. Arus yang jernih dan bening, insyaAllah.

Arus Deras Desakan Pembubaran FPI

Oleh Sugito Atmo Pawiro Jakarta, FNN - Media sosial diramaikan dengan perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua kelompok di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi yang gencar mendorong Presiden Jokowi untuk membubarkan Ormas Islam FPI berhadapan dengan kelompok di masyarakat yang menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Kita memahami bahwa pemerintahan Jokowi tidak sulit untuk membubarkan Ormas. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, memungkinkan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas tersebut memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Mendagri sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Namun demikian justru Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat. Secara yuridis sebenarnya ada ketegasan hukum di dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas dapat mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan dapat juga tidak mendaftarkan izinnya, tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak dapat melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tidak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya, tidak ada alasan yuridis yang kuat untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab. Pernyataan Presiden Jokowi dengan jelas menyatakan bahwa FPI dapat saja dibubarkan jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahanan. Massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tidak diperpanjang sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground (di bawah tanah)” dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) terhadap FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, kian tersudutkan tak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini yang kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyeruhkan pembubaran FPI dengan alasan bahwa di dalam Anggaran Dasar FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Provokasi yang Buta Literasi Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tidak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan ummat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Pondok Pesantren Al-Umm Ciputat dengan misi utama pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Jadi, sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya oleh karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.***

Prabowo Masuk Jantung Koalisi Jokowi, SBY Tidak Bersuara

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapapun sudah tahu kalau Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah “pemilik” Presiden Joko Widodo. Siapapun juga tahu, Jokowi hanyalah “petugas” partai yang mendapat amanat sebagai Presiden RI yang “menang” Pilpres 2014 (dan 2019?). Padahal, sudah bukan rahasia lagi, pemenang kedua pilpres tersebut sejatinya Prabowo. Tapi, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu Prabowo harus menerima “kekalahan” ini. Dan, demi tetap utuhnya NKRI, Prabowo pun terpaksa legowo. Setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus tersebut langsung mengucapkan Selamat, kemudian bertandang ke Istana Bogor. Sebaliknya, Jokowi melakukan balasan sambang ke Prabowo. Sebelumnya, ketika Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wapres Terpilih pada Oktober 2014, Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa hadir di Gedung MPR. Hatta Rajasa adalah besan SBY. Selama ini tidak banyak yang tahu bahwa Hatta Rajasa sengaja disodorkan oleh SBY kepada Prabowo dengan tujuan untuk menggerus suara Prabowo di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, Ketum DPP PAN ini, dianggap mewakili Muhammadiyah. Namun, faktanya ternyata suara Prabowo-Hatta lebih unggul di atas Jokowi-JK saat Pilpres 2014. Fakta inilah yang kemudian “dimanipulasi” oleh KPU. Belakangan, Ketua KPU Husni Kamil Malik dirawat di RS Pusat Pertamina, dan meninggal dunia. Kabarnya, sebelum meninggal dunia di RSPP, Jakarta, Kamis (7/7/2016) sekitar pukul 21.30 WIB, Husni akan blak-blakan soal pencurangan Pilpres 2014 yang memenangkan Jokowi-JK. Semasa hidup, Husni pegang bukti pencurangan Pilpres 2014 itu. Sayangnya, saat itu tak ada upaya pihak keluarga untuk melakukan autopsi atas jenazah pria kelahiran Medan 18 Juli 1975. Padahal sebelumnya, suami Endang Mulyani tersebut sempat mengikuti buka bersama dan sempat tertawa-tawa. Suara ditutup! Husni tutup mata dalam usia relatif muda, 39 tahun. Tragis! Hingga kini penyebab kematian sebenarnya tidak terungkap. Lenyap! Tidak berbekas! Bagaimana Pilpres 2019 lalu? Konon, data lengkap perolehan suara sebenarnya dipegang seorang menteri. Apakah akhirnya “seorang menteri” ini akan membuka data pencurangan itu ke masyarakat, semuanya tergantung SBY yang selama ini menyokong Jokowi. Sebab, Kepala BIN Budi Gunawan sendiri tentunya juga pegang data dan bukti pencurangan. Pertemuan Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus yang diikuti BG dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Sabtu (13/7/2019) tentunya merupakan sinyal bahwa pertemuan tersebut “disaksikan” pejabat negara (BG dan Pramono Anung). Megawati? Megawati bakal menjadi penentu dilantik atau tidaknya Jokowi sebagai Presiden bersama Ma’ruf Amin sebagai Wapresnya. Itu jika Jokowi opsi rekonsiliasi dengan Prabowo dipilih Jokowi. Megawati akan meninggalkannya kalau Jokowi menolak itu. Jokowi bakal dihabisin Megawati yang siap bergabung dengan Prabowo dan memobilisasi anggota DPR dari PDIP untuk segera melakukan impeachment terhadap Presiden Jokowi terkait dengan berbagai masalah ekonomi maupun pelanggaran HAM. Perlu dicatat, imbas dari pertemuan Prabowo-Megawati di Teuku Umar yang juga diikuti oleh BG, Pramono Anung, Prananda Prabowo, Puan Maharani, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani tersebut, telah membuyarkan impian Koalisi Jokowi. Empat parpol Koalisi Jokowi pun mengadakan pertemuan atas prakarsa Nasdem (Surya Paloh dengan Golkar, PKB, dan PPP. Imbas dari pertemuan yang tidak melibatkan PDIP sebagai pengusung Jokowi membuat Megawati merubah arah politiknya. Jadi, Megawati membutuhkan Prabowo untuk mau bergabung membentuk Koalisi Baru: Megawati-Prabowo-PDIP-Gerindra. Jika Jokowi menerima format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo, maka Jokowi akan tetap menjadi Presiden RI 2019-2024. Di sinilah peran BG tampak. Dia berhasil mempertemukan Prabowo-Megawati. Sebenarnya Koalisi Jokowi itu sudah terpecah. Manuver Prabowo telah memporak-porandakan Koalisi Jokowi menyusul pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut. Posisi PKS yang langsung mengibarkan benderà #KamiOPOSISI adalah guna mengamankan/ mengumpulkan Relawan 02 supaya tidak terpecah semuanya sampai menunggu komando Prabowo selanjutnya yang kini sedang bermanuver di jantung 01. Target untuk membubarkan Koalisi Jokowi telah berhasil. Sehingga membuat Koalisi Jokowi saling menerkam, menyusul rebutan kursi menteri Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Prabowo sendiri sudah membubarkan Koalisi Adil Makmur pasca putusan MK. Hal Ini dilakukan Prabowo supaya memfokuskan dalam Satu Komando. Kalau mereka sudah terpecah, maka Prabowo lebih mudah melakukan dealing politik. Apalagi, sampai saat ini rakyat masih di belakang dan tetap berjuang bersama Prabowo. Sekarang ini pilihan ada di tangan Jokowi. Karena apabila tidak turut Megawati, bisa saja dia ditinggalkan dan Megawati bergabung dengan Prabowo. Apalagi, Jokowi sendiri, seperti kata Megawati, sering disebut sebagai “petugas” partai dan proxy SBY. Kalau Megawati bergabung dengan Prabowo, maka bisa jadi peta kekuasaan akan berubah, PDIP akan berbalik menyerang dan membantu dari balik layar membongkar kebusukan dan pencurangan Pilpres 2019. Jokowi sendiri sudah tahu masalah ini. Karena Megawati dan PDIP membutuhkan sandaran politik agar tetap di zona Aman. Inilah strategi politik Prabowo sebenarnya yang selama ini tak pernah disampaikan secara terbuka. Kita yang kurang paham akan langkah Prabowo pasti akan kecewa. Menteri Koalisi Presiden boleh tetap, tapi rezim dan kebijakan rezim bisa saja berubah. Itulah tujuan Prabowo mengapa menerima rekonsiliasi. Kalau melihat sejarahnya, Indonesia pernah mengalami hal seperti itu pada era Presiden Suharto 1967-1998. Semasa Orde Baru 1967-1987 pemerintahannya jadi anti Islam (pengaruh Jenderal Merah-CSIS-Cukong). Pada Orde Baru 1988-1998 Pak Harto mulai pro Islam (pengaruh Jenderal Hijau-CIDES-Pribumi). Sekarang ini rezim 2014-2019 sering disebut sebagai rezim proksi/boneka dengan SBY-Hendro Priyono-Luhut Binsar Panjaitan-CSIS-Cukong-China yang sangat anti Islam sebagai pengendali. Rezim 2019-2024 adalah rezim Jokowi-Prabowo-Megawati-Jusuf Kalla yang anti komunis jika rekonsiliasi terwujud. Semakin kokoh rekonsiliasi akan menghasilkan tindakan yang semakin tegas rezim penguasa kepada PKI, komunisme dan pendukungnya. PKI-Komunis ini berdasarkan hukum positif di Indonesia adalah Partai-paham terlarang. Era Bulan Madu Rezim Penguasa dengan Komunis sudah berakhir ketika Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dimulai dilakukan Jokowi-Prabowo. Pembubaran HUT Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-23 yang dilakukan Polri dan Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu contoh tindakan tegas terhadap organisasi yang disebut-sebut merupakan reinkarnasi dari ideologi komunis. Seleksi Capim KPK karena periodesasi pimpinan KPK 2015-2019 bakal berakhir. Seleksi Capim KPK untuk periode 2019-2023 diharapkan sekaligus dalam rangka pembersihan KPK dari orangnya SBY-Luhut-Hendro-CSIS yang telah merusak KPK selama belasan tahun. Partai Koalisi Jokowi tentu tetap dapat kursi kabinet, tapi jangan menuntut berlebihan. Harus disyukuri masih dapat kursi, mengingat fakta sebenarnya bahwa Prabowo yang menang pilpres dan seharusnya jadi presiden. Nasib SBY-Luhut-Hendro di era Jokowi ini mungkin akan sama dengan nasib Ali Murtopo, LB Moerdani, dan Sudjono Humardani di era Presiden Suharto. Mereka memusuhi Islam meminjam tangan Pak Harto. Dan, ditinggalkan Pak Harto ketika Pak Harto merangkul umat Islam. Luhut sendiri merasa paling berjasa pada Jokowi. Sekarang merasa ditinggalkan Jokowi yang balik merangkul umat Islam melalui rekonsiliasi. Ini seperti Moerdani era Pak Harto. Tanpa kendali atas rezim mendatang dan KPK, kader-kader utama Demokrat akan jadi tersangka. Para pendiri Demokrat akan take-over kepemimpinan Demokrat dari SBY. Satu-satunya cara agar selamat adalah mengambil hati rakyat dengan berbuat baik melalui pengungkapan bukti hasil pilpres 2019. Perlu dicatat, konstelasi politik hari-hari ini, Demokrat-Agus Harimurty Yudhoyono tak akan masuk kabinet Jokowi-Ma’ruf, KPK akan dibersihkan dari orang-orang SBY-Luhut-CSIS. Apalagi, kasus-kasus korupsi yang melibatkan Cikeas (Century, SKK Migas, Hambalang, e-KTP dan lain-lain) sudah matang, tinggal dipetik. Hanya keajaiban yang bisa selamatkan Demokrat-Cikeas. SBY akan lebih simpatik di mata rakyat jika mau mengubah sikapnya terhadap pemilu 2019. Lebih baik SBY mengungkap semua bukti pemenang Pilpres 2019 adalah Prabowo. Itulah solusi bagi SBY, AHY, dan Demokrat agar tidak hancur pasca rekonsiliasi. Dijamin politik nasional makin lebih mencair. Itulah strategi “Kuda Troya” ala Prabowo! ***

Prabowo Setelah Dicerca Habis, Kini Dipuja Habis

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Lucu sekali. Campur mau muntah. Para tokoh dan buzzer 01 tidak lagi menjelek-jelekkan Prabowo dan Partai Gerindra. Sebelum 13 Juli 2019, Prabowo diejek dan diperolok-olok. Prabowo dipojokkan dan dihina. Ada saja yang menulis panjang atau sekadar status pendek tentang reputasi Prabowo. Prabowo disebut penculik. Disebut haus kekuasaan. Dikatakan tak layak memimpin karena keluarganya saja berantakan; mana mungkin memimpin negara. Prabowo disebut temparental. Tukang gebrak meja. Suka emosi. Dan seterusnya. Banyak lagi. Ada yang memyoroti lahan HGU yang sangat luas milik Prabowo. Karena itu, omong kosong dia berbicara soal rakyat miskin. Pokonya, para petinggi 01 habis-habisan mencela dan memojokkan Prabowo. Tidak ada sama sekali kebaikan Prabowo. Bahkan, sempat didengungkan bahwa Prabowo bisa ditangkap kalau dia begitu dan begini. Banyak buzzer 01 yang mengaitkan Prabowo dengan kerusuhan 21-22 Mei, menyusul pengumuman hasil pilpres oleh KPU. Prabowo maju ke MK pun dicerca. Dihina sampai kandas. Prabowo diejek sebagai “Presiden Kertanegara” (merujuk rumah Prabowo di Jalan Kertanegara). Sekarang, semua berubah total. Setelah pertemuan Jokowi-Prabowo di Lebak Bulus (13 Juli 2019) dan pertemuan Megawati-Prabowo di Jalan Teuku Umar (24 Juli 2019), semua berbalik. Prabowo dipuja dan dipuji. Label temparamental berganti negarawan. Sebutan tak becus berubah menjadi patriot. Prabowo menjadi “rising star” (bintang tanjak). Bagi 01. Dia disebut seorang nasionalis sejati. Hanya saja selama ini dia ditunggangi oleh kelompok Islam radikal. Sekarang Ketum Gerindra, bagi 01, berubah menjadi “New Prabowo”. Harapan baru untuk stabilitas nasional. Dia dirangkul dengan harga berapa pun. Kalau perlu dengan mengorbankan siapa saja di kubu 01 yang tak rela menerima Prabowo. Queen-maker 01, Bu Megawati, memberikan gestur yang sangat meyakinkan bagi Prabowo. Ada yang menduga, Bu Mega siap meneken “blank cheque” (cek tak berbatas) untuk Prabowo. Cek itu akan diisi sendiri oleh Prabowo. Terserah Prabowo berapa banyak porsi kekuasaan yang dia inginkan. Silakan ambil kursi apa saja yang dia mau. Tak perduli apakah Surya Palah akan cukur habis brewoknya atau tidak. Tak perduli juga apakah Cak Imin akan memimpin kudeta Nahdhiyyin atau kudeta apa saja. Dan, memang tak mungkin ada yang berani kudeta walaupun kursi kabinet mereka diganti dengan bangku warungan. Begitulah gambaran tentang sambutan yang diberikan kepada Prince of Hambalang, Prabowo Subianto. Pangeran yang akan menyelamatkan Indonesia dari krisis besar. “Mungkinkah begitu?” tanya seekor kelelawar kepada katak-katak yang sedang mabuk menyaksikan drama kontemporer karya grup teater BIG BIN. Pertanyaan yang naif. Katak yang tak mabuk saja, tak bakalan tahu jawabannya. Apatah lagi katak mabuk yang ditanya oleh kelelawar. Tak mungkin. Karena mereka sama-sama korban penipuan. (Penulis adalah wartawan senior)

Poros Megawati-Prabowo Akhiri Petualangan Trio Wekwek : Hendro, Luhut & Gories

Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Pertemuan Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus menandai babak baru garis politik Jokowi. Dari Lebak Bulus dilanjutkan dengan pertemuan Teuku Umar antara Megawati dengan Prabowo. Dua pertemuan ini menandai lahirnya poros politik baru yang tidak lagi mengandalkan trio Abdullah Mahmud Hendropriyono, Luhut Binsan Pandjaitan dan Gories Mere. Saya namakan saja mereka bertiga dengan sebutan “Trio Wekwek”. Trio Wekwek selama ini menjadi arsitek utama garis politik dan kebijakan Jokowi, khususnya dalam lima tahun terakhir. Garis politik yang sengaja, bahkan terang-terangan membenturkan pemerintah Jokowi dengan kelompok Islam kanan atau yang bukan Nahdatul Ulama (NU). Trio Wekwek yang selama ini selalu dan selalu memframing wajah Islam Indonesia identik dengan Islam terorisme, Islam radikalisme dan Islam intoleransi. Mencermati para aktor yang terlibat di pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus dan Teuku Umar, yaitu Kepala BIN Budi Gunawan dan Seskab Pramono Anung, Puan Maharani, Prananda Prabowo dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, maka dipastikan Poros Teuku Umar yang menjadi arsitek utama dua pertemuan tersebut. Shohibul hajatnya adalah Teuku Umar, sebutan untuk kediaman Megawati. Tentu saja peran yang dimainkan Budi Gunawan dan Pramono Anung adalah melaksanakan perintah Megawati Soekarnoputri. Alhamdulillaah tugas dari Ketua Umum PDIP tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, bahkan meraih sukses besar. Prabowo mau dan bersedia berunding dengan Jokowi, namun hanya melalui satu pintu, yaitu Jalan Teuku Umar. Tidak lagi melalui Trio Wekwek. Publik, khususnya pendukung Prabowo belum lupa. Hanya berselang tiga hari setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden 17 April 2019, Luhut menawarkan diri bertemu Prabowo. Luhut mengklaim diri sebagai utusan khusus Jokowi. Hasilnya tentu sudah bisa ditebak. Tanpa perlu pikir panjang, Luhut ditolak Prabowo dan semua pendukungnya. Sebuah sikap yang menunjukkan ketidaksukaan, bahkan mungkin juga kebencian dari pendukung Prabowo yang sudah di ubun-ubun kepada Luhut. Sebuah lompatan politik penting telah diraih Jokowi dari terobosan di Stasiun MRT, Lebak Bulus. Meskipun demikian, harus diakui pertemuan tersebut tidak serta-merta dapat mengubah sikap para pendukung Prabowo di akar rumput. Sikap pendukung Prabowo, terutama emak-emak militan tetap tidak bisa menerima kemenangan Jokowi sebagai Presiden 2019. Mereka beranggapan kemenangan yang didapat Jokowi melalui kecurangan yang massif, sistematis, dan terencana. Pertemuan yang diakhiri makan-makan Sate Senayan ini dilanjutkan pertemuan Megawati dengan Prabowo di Jalan Teuku Umar. Dua kali pertemuan antara Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati cukup memberikan angin segar bagi Jokowi. Paling kurang, untuk lima tahun ke depan. Saat dilantik sebagai Presiden Indonesia periode kedua tanggal 20 Oktober 2019 nanti, Prabowo diharapkan bisa hadir dan memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Sejak pertemuan politik stasiun MRT Lebak Bulus, tampak Trio Wekwek tidak dilibatkan. Sebuah keputusan politik yang sangat jitu dan tepat sasaran. Sebab bila Trio Wekwek atau salah satu saja yang dilibatkan, dan biasanya Luhut yang paling sibuk untuk menyodorkan diri maju ke depan, maka hampir dipastikan pertemuan tersebut tidak pernah terjadi. Pasti gagal dan gagal lagi. Mengetahui tingginya kebencian pendukung Prabowo kepada Trio Wekwek inilah yang mendorong Megawati perintahkan Budi Gunawan melakukan segala cara dan upaya, dengan kerahasiaan tingkat tinggi. Targetnya bisa ketemu langsung dengan Prabowo. Setelah ketemu, bujuk Prabowo agar mau bergabung dengan pemerintah Jokowi. Tawarkan saja cek kosong kepada Prabowo. Jokowi dan Megawati membiarkan Prabowo sendiri yang mengisi berapa nilai ceknya yang pantas. Sayangnya, cek kosong itu bukan dalam bentuk duit. Tawaran memberikan cek kosong kepada Prabowo untuk saat ini cukup ampuh meredam Prabowo. Termasuk teman-teman Prabowo di koalisi adil makmur, PKS, dan PAN. Buktinya Amin Rais yang terkenal sangat keras menentang rekonsiliasi dengan Jokowi, belakngan mulai melunak setelah ketemu Prabowo. Sikap melunaknya Amin Rais ini dengan membuat pernyataan “Kita akan mengawasi Jokowi dan Ma’ruf Amin liman tahun ke depan” Bersatunya koalisi Jokowi-Megawat dengan Prabowo ini tentu saja tidak dikehendaki Trio Wekwek. Mereka pasti tidak nyaman dengan keberadaan Prabowo di koalisi Jokowi-Megawati. Buktinya, sampai sekarang Trio Wekwek masih membisu seribu bahasa. Trio Wekwek tak berkomentar apapun tentang pertemuan Stasion MRT Lebak Bulus dan Teuku Umar. Lambat tapi pasti, peran Trio Wekwek akan digantikan Prabowo dengan teman-temannya. Paling kurang dalam mengelola pemerintahan lima tahun ke depan, Jokowi punya tambahan teman untuk didengar pendapatnya. Petualangan Trio Wekwek selama ini dengan membenturkan Jokowi dengan Islam kanan cukup membuat posisi Jokowi tidak aman. Bahkan hampir saja terjungkal. Trio Wekwek sebenarnya tidak punya posisi tawar publik. Mereka bertiga tidak punya basis politik yang kuat dibandingkan dengan Prabowo. Hendroprijono misalnya, hanya berasal dari partai politik kecil PKPI yang tidak lolos parliamentary threshold. Hendro tidak punya kursi setengah pun di DPR. Ambisi politik Hendro, selain mengamankan urusan bisnis pribadinya, selalu berupaya dengan segala cara mendorong-dorong anak dan menantu untuk menjadi pejabat negara. Diaz Hendroprijono kini jadi Staf Khusus Presiden. Menantu Jendral TNI Andika Perkasa digadang-gadang sampai jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Kelakuan Hendro ini hanya beda-beda tipis dengan Soesila Bambang Yudhoyono. SBY sekarang ini sebagian besar hidupnya hanya diabdikan untuk memperjuangkan dua putranya Edhi Baskoro dan Agus Harimurti bisa menjadi menteri. SBY sekarang rela kehilangan nama besar sebagai negarawan, asalkan anaknya Ibas dan Agus bisa jadi pejabat negara. Bedanya dengan Hendro, SBY punya Partai Demokrat, dan punya kursi DPR. Sedangkan Luhut cuma pendatang di Golkar. Luhut tidak punya kaki di akar rumput Partai Golkar. Kerjanya hanya memonopoli semua lini bisnis. Caranya dengan menakut-nakuti pejabat level bawah. Mulai dari Dirjen, Gubernur, Bupati, eselon dua, tiga dan empat di kementerian. Luhut sangat berambisi memposisikan dirinya sebagai orang kaya sepuluh besar di negeri ini. Untuk itu, semua proyek mutlak harus melibatkan perusahaan Luhut, baik langsung maupun hanya vehicle. Kepuasan Luhut lainnya adalah menempatkan orang-orang Batak menjadi pejabat negara dan bisnis di semua lini pemerintahan dan usaha. Mereka menempati posisi-posisi penting di eselon satu, dua, tiga dan empat di sejumlah kementerian. Lihat di KPK, dua orang komisoner dari Batak Kristen, yaitu Basariah Panjaitan dan Saur Situmorang. Selain itu, Luhut juga banyak menaruh orang-orang Batak di direksi dan komisaris BUMN. Selain itu mereka bertebaran juga di sejumlah perusahaan konglomerat swasta. Begitu juga dengan pejabat negara setingkat menteri. Lihat saja, Kerpala Badan Saiber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Hinsa Siburian. Merskipun tidak punya kemampuan dan pengetahuan apa-apa tentang siber, namun Luhut berusaha dengan segala cara meperjuangkan Hinsa Siburian menjadi kepala BSSN. Begitu juga dengan anak mantunya Mayjen TNI Maruli Simanjuntak. Maruli sekarang menjabat Komandan Pasukan Pengmanan Presiden (Dan Paspampres). Maruli yang berasal dari lulusan Akademi Militer 1992 menjadi orang pertama yang menggapai bintang dua di pundaknya. Sayangnya, yang diperjuangkan Luhut hanya terbatas orang-orang Batak Kristen atau HKBP. Rupanya hanya sebatas itu ambisi besar anak emasnya Jendral TNI (Purn) L.B Moerdani ini. Luhut juga menjadi arsitek utama masuknya tenaga kerja asing Cina ke Indonesia. Modusnya adalah pembukaan investasi kawasan ekonomi khusus. Mau lihat buktinya. Datang dan lihat pembangunan smelter untuk pengolahan nikel di beberapa daerah, seperti di Pomala Sulawesi Tengah, Konawe Sulawesi Tenggara dan Obi Maluku Utara. Dipastikan hampir 90% tenaga kerja di tiga perusahaan pemurnian nikel ini berasal dari Cina. Lain lagi dengan petualangan Komjen Polisi (Purn.) Gories Mere. Pensiunan polisi bintang tiga ini hobinya membuat penangkaran atau memproduksi teroris. Misi utamanya, mencitrakan Islam yang identik dengan kekerasan atau pembunuhan atas nama perang jihad dan sejenisnya. Untuk menciptakan horor ini, Gories tidak sendirian. Mentornya Brigjen Polisi (Purn.) Surya Dharma. Yuniornya adalah Irjen Pol. (Purn) Bakto Suprapto, Irjen Pol. Carlo Tewu, Deputi di Menkopolhukam, Irjen Pol. Petrus Golosse, sekarang Kapolda Bali, Brigjen Pol. Martinus Hukom, sekarang Wakadensus 88 Polri dan Brigjen Rahmat Wibowo, sekarang Direktur Tipid Siber Bareskrim Polri. Gories mewakili Amerika, Inggris, Asutralia dan Yahudi di Indonesia Publik negeri ini belom lupa dengan ngopi-ngopi Gories dengan pelaku bom Bali Amroji di Mall Plaza Senayan. Hanya Gories yang punya kesaktian bisa jalan-jalan dengan terhukum teroris untuk shoping dan ngopi-ngopi di mall. Padahal ketika itu Gories menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Gories dulu juga suka jalan-jalan di luar penjara dengan ratu ekstasi Zarima Mirafsur. Hobi bersama Trio Wekwek adalah mencitrakan horor tentang Islam kanan. Misalnya Islam kanan itu dekat dengan teroris, radikal, dan intoleransi. Selain itu, Islam kanan juga diidentikkan dengan kekerasan. Prilaku Trio Wekwek ini tentu berlawanan dengan garis politik koalisi Jokowi-Megawati yang selalu berusaha bisa bergandengan dengan Islam kanan. Megawati juga sangat berkeinginan mendorong Islam kanan agar lebih ke tengah. Megawati ingin mencontoi Bung Karno yang berangkulan mesra dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti di awal kemerdekaan. Bung Karno sangat dekat dengan Muhammad Natsir, Mohammad Roem dan Syafrudin Prawiranegara. Kondisi politik tiga tahun terakhir yang renggang dengan Islam kanan, mendorong Megawati untuk memperbaikinya. Apalagi menghadapi suksesi kepemimpinan di PDIP yang kemungkinan jatuh ke Puan Maharani atau Prananda Prabowo di tahun 2024 nanti. Sayangnya inilah yang sekarang renggang akibat ulah petualangan politik Trio Wekwek. End. Foto: medaninside, law-justice.co, darma henwa tbk.