POLITIK
Jokowi di Negara Hukum Yang Compang-Camping
Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pak Jokowi telah menulis jejak kepresidenannya dalam memimpin pelaksanaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Sebentar lagi Pak Jokowi akan kembali menulis jejak baru dalam memimpin pelaksanaan Undang-Uundang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Pak Jokowi akan menulisnya disepanjang garis pemerintahannya lima tahun yang akan datang. Semua yang telah ditulisnya sepanjang hampir lima tahun ini tersaji begitu telanjang. Semuanya dapat dilihat, dan dinilai. Juga dapat diberi warna setegas dan sejelas mungkin. Bagaimana Pak Jokowi melihat dan menilai? Bila mungkin, semua pelaksanan hukum yang telah ditulisnya sendiri, itu satu perkara. Itu juga perkara Pak Jokowi sendiri. Pentingkah Pak Jokowi mengetahui, menilai dan menimbang semua yang telah ditulis itu? Mungkin ya. Apakah penilaian itu membawa dirinya menyangkal kenyataan yang menyajikan pada level yang cukup terang. Bahwa tampilan pelaksanaan hukum selama hampir satu periode sejauh ini cukup buruk? Pak Jokowi bisa menyanggahnya. Andai Pak Jokowi menyanggah kenyataan saat ini, Pak Jokowi berpapasan dalam penilaian yang berbeda begitu dalam, antara dirinya dengan rakyat. Jelas tidak memungkinkan keduanya bertemu pada titik yang sama. Pak Jokowi, tidak mungkin diminta mengambil langkah manis mengubah, atau mewarnai pelaksanaan hukum dimasa akan datang dengan menyisipkan moralitas ke sisi-sisi intinya. Berubah Total Pak Jokowi, entah mengeluh atau justru mengungkapkan fakta tak terbantahkan. Telah menyatakan dalam sebuah kesempatan belum lama ini, bahwa perusahaan-perusahaan yang keluar dari Cina, tidak masuk ke Indonesia. Mereka pergi ke negara lain, sepperti Vietnam, Malaysia dan lainnya. Pada negeri-negeri itulah mereka menaruh uangnya. Sayangnya, Indonesia tak dilirik oleh mereka. Padahal Indonesia sekarang ini, dengan Pak Jokowi sebagai pemimpinnya, sangat membutuhkan uang. Apakah Indonesia sedang menerima atau sedang dihukum oleh kapitalis-kapitalis rakus tersebut? Sebagi akibat dari ketidakonsistenan menerapkan hukum di bidang investasi? Apakah ketidakkonsistenan itu menghasilkan birokrasi korup. Boleh jadi iya. Kapitalis disepanjang garis politik hukum barat, memang tak mengenal rugi. Mereka hanya dan harus terus untung. Untuk urusan untung, kelompok penghisap paling mematikan ini memang selalu begitu. Mereka meminta dengan cara yang khas kepada semua pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang menguntungkan mereka. Titik. Begitulah kelakuakan mereka di semua negara. Bila keinginannya tidak dipenuhi, mereka bakal menghukum dengan cara yang selalu tipikal. Tetapi menariknya, negara-negara yang sedang melarat selalu didapati meratapi kepergian mereka. Kelompok ini, tidak bisa diharapkan bicara tentang hal-ihwal kemanusiaan. Mereka juga tidak bisa diharapkan bicara hukum yang tak pilih kasih. Itu tidak bisa. Tidak usah menggelengkan kepala, karena kelompok ini tidak bakal terusik pemilu yang acak kadul. Juga tak usah meminta mereka bicara kematian ratusan petugas PPS pada pemilu yang menghasilkan Pak Jokowi sebagai presiden terpilih. Mustahil meminta kelompok ini mendesak Pak Jokowi mengusut tuntas peristiwa memilukan itu. Jangan bermimpi mereka menantikan peradilan atas kasus-kasus itu. Sudahlah, itu lain perkara. Perkara menjijikan dalam konteks negara hukum demokratis adalah orang gila. Orang yang tiba-tiba muncul dan berulah ditengah musim pemilu. Jijik karena, entah bagaimana, mereka tahu orang hendak ke masjid, menyerang dalam kadar sebagai orang gila. Orang gila tak bisa dihukum, tentu saja. Jadilah seperti cerita fiksi politik dan hukum gila-gilaan. Berlalu, hilang begitu saja. Kenyataan ini muncul di tengah semua orang memimpikan negara ini harus memperbaiki moralitas berhukum. Impian itu seharusnya membawa negara semakin muncul dengan jaminan berkelas untuk rakyat memperoleh rasa aman. Sial, entah bagaimana, malah tercipta lagi fenomena lain. Negara menjadi begitu sangat terampil dan energik melaksanaan hukum dalam Undang-Undang ITE. Padahal Undang-Undang ini cukup menyengsarakan. Betul jangan main fitnah. Sebab fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah itu juga pekerjaan orang-orang yang mati hatinya. Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Politik terus berproses dalam negara hukum demokratis. Dalam tampilan empiris yang berubah, dan beralih menjadi negara hukum tak lagi demokratis. Setidaknya menjadi compang-camping. Terminologi penghinaan juga menjadi begitu jamak. Pernyataan tidak simpati terhadap satu peristiwa, apalagi ada korbannya, bisa bermakna “fitnah.” Setelah difitnah, lalu datanglah derita untuknya. Akan diterkam dalam Undang-Undang ITE. Membuat dan menyebarkan sebuah vidio berisi peristiwa yang belum terang hukumnya, bisa juga menghasilkan derita. Didatangi oleh kekuasaan yang namanya Undang-Undang ITE. Tampilan empiris negara hukum semakin terasa tak demokratis. Mengkristal dengan laju yang tidak biasanya. Demonstran terlihat menjadi musuh hukum. Boleh jadi paling berbahaya. Demonstran main keras, hukum main keras. Demonstran mesti luka-luka dan maaf, mati. Itu yang terjadi pada demo tolak hasil pemilu Mei lalu dan demo tolak RUU KPK akhir September kemarin. Sangat Susah Konstitusi tidak berubah. Itu sudah jelas. Tetapi meja politik sedang berubah drastis. DPR tak lagi terbelah. PAN dan PKS, dua partai ini jelas tidak bakal bisa mengubahnya. Pengambilan posisi sebagai oposisi, tidak bakal membawa mereka menjadi penantang. PAN dan PKS, saya cukup percaya, tidak bakal bisa menggoda kawan sebelah untuk main keras secara konstitusi mengubah hukum yang tak demokratis menjadi demokratis. Itu sangat tidak mungkin bisa terjadi. Rintangan politik yangbukan hukum, melampaui modal yang mereka punyai. Berat meminta negara hukum tak demokratis berubah menjadi negara hukum demokratis lima tahun akan datang. Unifikasi di tubuh DPR, tak memungkinkannya. DPR suka atau tidak, juga telah terunifikasi dengan pemerintah. Pengawasan mau disuarakan dari jalan? Negara hukum demokratis sekalipun selalu kaya menyediakan dalam gudang tersembunyinya begitu banyak cara menjinakan. Untuk front negara hukum modern – negara kesejahteraan- yang juga digariskan dalam UUD 9145, rakyat baru saja dikagetkan dengan Inpres kenaikan iuran BPJS. Tidak bisa berkelit. Ada sanksi menyertainya. Peserta BPJS tidak bisa apa-apa. Harus tunduk. Nantinya kalaupun tarif dasar listrik meminta untuk disesuaikan, rakyat pun hanya bisa menggerutu. Tetapi harus capat-cepat berhenti menggerutu. Apalagi menuangkan gerutuannya ke medsos. Ingat, ada monster yang setiap saat bisa dipakai pemerintah untuk mengejar mereka yang bergerutu di medsos. Monster itu bernama Undang-Undang ITE. Atas nama negara hukum dimasa depan, hukum akan ditempatkan pada rangking teratas di meja kebijakan pengelolaan semua soal negara ini. Negara bisa saja selalu benar. Rakyat benar? Nanti dulu. Bisakah negara dengan hukum seperti itu berpacu dalam percaturan beradab dan bermartabat memanusiakan rakyat? Itu soal yang paling rumit. Negara hukum tak demokratis bisa lebih angkuh memproduksi diskriminasi. Membebek pada pluralisme dan toleransi konyol khas Amerika. Lalu apa? Seperti Amerika dan Barat di sepanjang front kampanye pluralisme dan toleransi. Langit dan cuaca sosial politik lima tahun mendatang mungkin didominasi saja oleh streotipe-streotipe yang busuk. Streotipe-satreotipe tersebut bisa berupa anti pluralism, intoleran, radikal dan sejenisnya. Gerak kompleks politik dan ekonomi, seperti dituliskan dalam sejarah negara ini di tahun 1966, tentu di tengah kerumitan. Akan membawa negara hukum semakin tak demokratis. Semakin compang-camping. Hukum pada saatnya nanti tampil dengan moralitas rendahan. Keadilan menjadi sangat khas. Seperti barang bagus yang susah untuk didapat rakyat. Tragisnya, kondisi ini menjadi hal yang biasa-biasa saja. Tersaji sebagai takdir politik yang tak dapat dielakan. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Arteria Pernah Mengaku Takut Disadap
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Arteria Dahlan kembali "bikin ulah" dengan menyebut Prof. Emil Salim sebagai "sesat". Keruan saja, ucapannya itu mendapat hujatan netizen dengan menyebutnya "sombong" dan "tidak beradab". Nama politikus PDIP Arteria Dahlan mencuat pertama kali saat RDP Komisi III DPR dengan Jaksa Agung M. Prasetyo soal travel umroh bodong, Rabu (28/3/2018). “Yang dicari jangan kayak tadi bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak,” katanya. “Ini Kementerian Agama bangsat, Pak, semuanya, Pak!” lanjut Arteria dengan nada tinggi. Reaksi atas pernyataan Arteria yang memaki Kementerian Agama dengan ucapan “bangsat” itupun diterima Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. “Sejak sore tadi (kemarin) saya banyak sekali menerima ungkapan kemarahan dari jajaran Kemenag dari berbagai daerah atas adanya ungkapan tersebut,” ucapnya. Bahkan, ia sempat mempertanyakan kosakata bangsat oleh Arteria yang dialamatkan ke jajarannya. Lukman menyarankan Arteria untuk meminta maaf. “Saran saya, agar tak menimbulkan permasalahan yang makin rumit, sebaiknya yang bersangkutan bersedia menyampaikan permohonan maaf atas ungkapannya itu,” kata Lukman. Mengutip keterangan Lukman kepada detikcom, Kamis (28/3/2018), atas makian dari Arteria itu, Lukman mengaku menerima banyak pesan yang mengungkapkan kemarahan atas makian bangsat dari politikus PDIP tersebut. Lukman mempersilakan masyarakat menilai pengggunaan kosakata bangsat oleh Arteria pada pemerintah itu. “Silakan rakyat menilai sendiri pilihan kosakata yang digunakan oleh salah seorang wakilnya itu,” ujarnya. Reaksi datang dari Dewan Pengurus Wilayah Perkumpulan Guru Madrasah (DPW PGM) Indonesia Jabar. Melalui suratnya Nomor: 015/B/SEK DPW-PGM JBR/IV/2018, organisasi profesi guru Madrasah ini menyatakan keberatan dan tersinggung atas ucapan dari Arteria. “Ungkapan Saudara Arteria Dahlan tidak mencerminkan sikap, perilaku dan tutur kata yang mulia sebagai seorang anggota DPR RI yang seharusnya menjadi teladan masyarakat dan terhormat,” tulis Ketua Umum DPW PGM Indonesia Jabar H. Heri Purnama, MPd I. DPW PGM Indonesia Jabar meminta Arteria untuk menyampaikan secara terbuka di muka umum permintaan maaf kepada jajaran Kemenag dan semua lembaga binaan Kemenag di seluruh tanah air dan tidak mengulang kejadian yang sama. Arteria Dahlan adalah anggota DPR RI Fraksi PDIP asal Dapil VI Jatim. Lahir di Jakarta pada 7 Juli 1975, Arteria ini seorang pengacara dan pemilik Kantor Hukum Arteria Dahlan Lawyers. Arteria adalah Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDIP. Ia menangani perkara pilkada calon-calon dari PDIP, antara lain Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki pada Pilkada Jabar 2013, AA Ngurah Puspayoga dan Pilkada Bali 2013 serta Effendi Simbolon dan Djumiran Abdi pada Pilkada Sumut 2013. Arteria dilantik menjadi Pejabat Antar Waktu (PAW) DPR-RI periode 2014-2019 pada 23 Maret 2015 menggantikan Djarot Syaiful Hidayat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Pada masa kerja 2014-2019 Arteria duduk di Komisi II yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur & Reformasi Birokrasi dan Kepemiluan. Arteria meniti karirnya di bidang hukum. Jejak digital mencatat, Arteria aktif berorganisasi di asosiasi pengacara dan menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pengacara Indonesia (DPP SPI). Arteria juga aktif menjadi advokat di kasus-kasus dan organisasi yang sarat dengan konflik. Pada Pemilu Legislatif 2014, namanya tercatat sebagai salah satu dari sembilan caleg PDIP. Ia maju bersama Pramono Anung Wibowo, Djarot Saiful Hidayat, Eva Kusuma Sundari, Budi Yuwono, Rina Yuniarti, Erjik Bintoro, Marhaen Djumadi, dan Mistinah. Arteria Dahlan maju caleg PDIP Dapil Jatim VI. Saat itu, terdapat 9 kursi di dapil ini bakal diperebutkan 105 DPR RI. Dapil Jatim VI meliputi Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar. Arteria baru “terpilih” setelah Djarot Saiful Hidayat meninggalkan Senayan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahaja Purnama yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta “warisan” Jokowi. Dari 105 caleg di Dapil Jatim VI ini, 51 orang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Arteria, termasuk salah satu caleg yang bukan berasal dari Dapil Jatim VI. Berbeda dengan Djarot yang pernah menjabat Walikota Blitar. Sejak menjadi anggota DPR RI, Arteria mulai menunjukkan “sikap kritis” sebagai legislator. Salah satunya, mengkritisi institusi KPK ketika di-Pansus-kan pada 2017 lalu yang masa kerja Pansus Angket DPR atas KPK selesai pada 28 September 2017. Kompas.com menulis, di akhir masa kerja, Pansus Angket tak lagi mengkritisi institusi KPK sebagai lembaga penegak hukum. Pansus Angket KPK saat itu malah menuduh Ketua KPK Agus Rahardjo terindikasi korupsi. Menurut mereka, Agus diduga terlibat dalam kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Hal itu dikatakan dalam konferensi pers Pansus DPR di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (20/9/2017). “Kami temukan indikasi penyimpangan di internal LKPP yang saat itu pimpinannya adalah Agus Rahardjo,” ujar Arteria. Agus diduga terlibat korupsi pengadaan alat berat penunjang perbaikan jalan pada Dinas Bina Marga di Provinsi DKI Jakarta, pada 2015. Suara vokal Arteria Dahlan saat menjadi anggota Pansus KPK itulah yang membuat namanya “terkenal”. Terakhir, dengan bahasa “bangsat”, ia mengkritisi Kemenag terkait travel “umrah bodong”. Sayangnya, Arteria tidak berani bangsatin KPK. Mungkinkah Arteria takut pada KPK jika ia harus ucapkan kosakata “bangsat” pada lembaga antirasuah itu? Mengapa ia begitu gethol menolak kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK? Jejak digital mencatat, Arteria pernah mengaku takut disadap KPK. Mungkin karena latar belakangnya sebagai seorang pengacara itulah yang membuat perilaku dan bahasa Arteria terbiasa melontarkan umpatan seperti “bangsat”. Ketika RDP Arteria bisa bertindak layaknya hakim di pengadilan yang “mengadili” pejabat pemerintah. Kompas.com, Selasa (26/09/2017, 16:56 WIB) menulis “ketakutan” itu. Ia khawatir dengan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Arteria minta KPK bisa membeberkan secara gamblang prosedur dan mekanisme penyadapan yang dilakukan selama ini. Tidak sulit telusur latar belakang mengapa politisi PDIP Arteria Dahlan begitu gethol serang KPK dan terakhir, Prof. Emil Salim, mantan Menteri LH era Presiden Soeharto, dengan kata “sesat”. Dari jejak digital news, Arteria pernah mengaku takut disadap KPK! “Kapan instruksi sadap dilakukan, kapan memberikan alat sadap, alat sadap (itu) kan terbatas alatnya, kapan mereka melakukan penyadapan, terus atas dasar apa,” kata Arteria dalam rapat Komisi III DPR RI dengan KPK di Jakarta, Selasa (26/9/2017). Menurutnya, jika tidak dijelaskan secara detail, maka akan muncul anggapan bahwa seolah-olah ada penyadapan yang sah sebagaimana diatur Undang-undang dan penyadapan yang tidak sah. “Jangan sampai ini kita pikir ada penyadapan yang sah dan tidak sah,” kata politisi yang baru terpilih menjadi anggota DPR RI itu. Arteria mengaku takut menjadi korban penyadapan, jika benar ada penyadapan yang tidak sah. Apalagi KPK akhir-akhir gencar melakukan OTT. “Takut kita. Jangan-jangan saya disadap. Kita enggak tahu melalui yang tidak resmi (sah),” ujar Arteria. Selain dia, beberapa anggota Komisi III lainnya juga kembali menyoal kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK. Masalah penyadapan ini selalu dipermasalahkan dari waktu ke waktu. Berkali-kali pula KPK menyatakan bahwa penyadapan selama ini sah dan telah diaudit. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief sebelumnya merasa heran dengan sikap para anggota Dewan itu. Padahal, kata Laode, semua lembaga penegak hukum memiliki kewenangan penyadapan. Ia mengatakan, putusan MK atas Pasal 5 Undang-Undang ITE terkait penyadapan tidak serta-merta menghilangkan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Menurutnya, KPK tetap membutuhkan kewenangan penyadapan dalam memberantas korupsi. Sebab, lanjut Laode, kewenangan penyadapan seperti di KPK juga dimiliki oleh lembaga pemberantasan korupsi di hampir semua negara. Ia pun menegaskan, KPK selalu melakukan penyadapan sesuai dengan aturan yang berlaku. KPK juga tidak pernah menyebarkan hasil sadapan ke publik, kecuali yang terkait perkara dan didengarkan di pengadilan. Laode mengungkapkan, hasil penyadapan ini hanya berhubungan dengan kasus-kasus. Jadi, “Siapa yang mendengarkan ya hanya penyelidik dan penyidik KPK dan ketika disampaikan di pengadilan,” tegasnya. Jadi, jelas sekali, mengapa Arteria ikut andil “serang” KPK. Adakah yang disembunyikan Arteria sehingga “takut” disadap KPK? ***
Tentang Arteria Dahlan (PDIP): Bisa Jadi Dia...
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kemarin tertunda berkomentar tentang Pak Arteria Dahlan. Gara-gara ada berita besar. Tentang Pak Wiranto. Arteria menghardik Pak Prof Emil Salim di acara Mata Najwa (9/10/2019). Dia tunjuk-tunjuk Pak Emil tanpa ragu sedikit pun. Tak ragu bahwa cara dia itu tidak menunjukkan akhlak seorang wakil rakyat. Nah, pagi ini mumpung ada waktu berkomentar tentang kegarangan Arteria. Mengapa Arteria menjadi tak sopan kepada Pak Emil? Mengapa politisi PDIP ini berperangai sombong? Ada hal-hal yang mungkin belum kita pahami tentang Arteria Dahlan. Pertama, bisa jadi dia menunjuk-nunjuk Pak Emil Salim sambil mengatakan pakar ekonomi itu sesat, karena dia sedang menjalankan misi rahasia untuk menghancurkan PDIP. Siapa tahu. Lho, kok disebut menghancurkan? Karena, kesombongan yang dipertontonkan oleh Arteria itu mendapat reaksi geleng-geleng kepala dari publik. Patut diduga dia sedang bersekongkol untuk membusukkan PDIP. Sikap Arteria yang angkuh itu bisa merugikan citra elektoral PDIP. Tapi, faktor ini mungkin tidak punya dasar yang kuat. Masa iya Banteng sejati mau menghancurkan partainya? Tak mungkinlah. Kedua. Kalau yang pertama tak mungkin, berarti Arteria memperlihatkan karakter aslinya: sombong, angkuh, arogan, dan sejenisnya. Jika ini benar, tentu bagus juga kita katakan kepada beliau bahwa piala kosombongan yang paling terkenal dalam sejarah manusia masih dipegang oleh fir’aun. Baik. Kalau misalnya Arteria tidak bermaksud mau menghancurkan PDIP dan tidak juga bermaksud menunjukkan kesombongan, terus apalagi? Ada yang ketiga. Boleh jadi dia sedang mencari perhatian pimpinan partainya. Barangkali saja Arteria mendapat info bahwa pimpinan PDIP diam-diam sedang melaksanakan tes kemampuan arogansi. Mungkin Arteria merasa sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk memamerkan kemampuan berdebat sangar dan angkuh di depan publik. Yang keempat, boleh jadi Arteria sedang stress karena utang atau karena hal yang lain. Jadi, kita tak tahu pasti apa penyebab Arteria tersulut dan begitu geram melihat Prof Emil Salim. Yang jelas, Pak Emil yang telah berusia 89 tahun masih tampak segar. Tak kelihatan stress. Tak tampak ada noda korupsi di wajah beliau. Mungkin inilah yang membuat Pak Emil lebih santai dalam berdiskusi. Sedangkan Arteria tampak garang. Cemberut. Siap menerkam. Dan sangat marah kepada Pak Emil yang ikut berjuang melawan sikap PDIP yang ingin melemahkan KPK. [] 11 Oktober 2019
Habis Manis Buzzer Dibuang
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Habis manis sepah dibuang. Begitulah jika orang makan tebu. Hanya manisnya saja yang diisap, sedangkan sepahnya dibuang. Makna ungkapan ini bisa macam-macam. Misalnya, dibuang setelah tidak dipakai lagi. Bisa juga diterjemahkan, disimpan pada saat diperlukan saja, dan dibuang jika tidak diperlukan lagi. Bisa juga dimaknai, selagi masih digunakan dirawat dengan baik, tetapi bila tidak dipergunakan lagi dicampakkan begitu saja. Begitulah nasib buzzer. Teranyar tentu saja buzzer Jokowi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut aktivitas para buzzer pendukung Presiden Joko Widodo saat ini merugikan presiden terpilih periode 2019-2024 itu. Dibilang habis manis sepah dibuang, karena buzzer itulah pasukan militan Jokowi di media sosial kala pemilihan presiden kemarin. Mereka rajin memproduksi hoaks dan menyerang lawan-lawan politik Jokowi. Kini Jokowi sudah menang. Ia merangkul kekuatan lawan. Sampai kini, para buzzer masih asyik menjalankan tugasnya. Mereka menggonggong pada saat Jokowi memutuskan menyetujui revisi UU KPK. Berbagai hoaks ditebar. Sampai pada akhirnya, Istana memandang permainan para buzzer sudah kelewatan. Mereka akan dibubarkan. Maknanya, alokasi anggaran untuk buzzer dihentikan. Suplai dana dari Istana ke buzzer ditutup. Dunia medsos tentu akan lebih tentram tanpa buzzer bayaran seperti itu. Maklum saja, gara-gara buzzer yang rajin menyebar hoaks, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah. Mereka mahir memutar balikkan fakta. Mereka juga berisik. Para buzzer sangat lihai mengelola fitnah dan kebohongan sebagai isu publik. Para tuyul modern ini sangat bersemangat mengotori ruang publik dengan fitnah dan pembodohan. Siapa Buzzer Istana Itu? Menarik, kesimpulan yang diambil tokoh pers Ilham Bintang dalam tulisannya berjudul “Ada Buzzer Istana Di ILC TVOne”, yang ditayangkan CeknRicek Rabu (9/10). Ilham menyorot aksi Ali Mochtar Ngabalin dalam acara ILC Selasa malam (8/10) itu. Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden ini dinilai begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain. Dia mendemonstrasikan politik “belah bambu”. Yang satu (pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, “diinjak” habis sampai rata dengan tanah. “Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot-repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?” tulisnya. Menurut Ilham, sebagai pejabat negara rasanya sangat tidak etis Ngabalin mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. “Paradoksal,” tegasnya. Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah terkutuk. Buzzer bertajuk Ngabalin versi Ilham Bintang, tentu berbeda dengan buzzer di dunia medsos. Buzzer berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Bisa juga dibilang kentongan. Alat tradisional tempo dulu yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat ada pengumuman atau berita penting. Buzzer, influencer atau rain maker maknanya tak jauh beda. Influncer adalah orang yang mampu mempengaruhi pengikut, sehingga memberikan efek buzz di media sosial. Hanya saja, menurut Dahnil Anzar Simanjuntak dalam ILC, buzzer menyebar informasi dan gagasan bukan orisinil dari pikirannya. Sementara influencer menyampaikan gagasan dari hasil murni pikirannya. Buzzer menyebar informasi hoaks dari mereka yang membayar. Soal bayar membayar ini dalam dunia buzzer, menurut juru bicara Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto ini, seperti pasar gelap. Namanya saja pasar gelap, hanya sedikit yang tahu. Namun semua itu bisa dinilai dari pola kerja mereka. Arahnya ke mana. Siapa yang menggerakkan. Singkat cerita, buzzer dalam makna negatif, adalah sekelompok orang yang dibayar untuk kepentingan politik tertentu dengan tugas membuat dan menyebar fitnah untuk menjatuhkan lawan politik. Buzzer boleh juga disamakan dengan pembunuh bayaran. Mereka membunuh menggunakan diksi-diksi yang kasar. Mereka menyerang orang-orang yang bersifat krisis. Mereka kelompok yang terorganisasi. Senjata Makan Tuan Pasukan medsos yang oleh Tempo disebutnya pendengung. Namun, belakangan kata “pendengung” oleh sebagian pegiat medsos dirasa terlalu lembut sehingga diganti “penggonggong”. Pendengung dan penggonggong bahkan pengembik, punya maksud sama. Fungsinya seperti makna buzzer: lonceng, bel atau alarm. Ngung … untuk pendengung. Gukguk .. untuk penggonggong. Mbik… untuk mengembik. Pendengung untung lebah. Penggongong untuk anjing. Pengembik untuk kambing. Silakan dipilih, mana yang enak saja. Toh, semua bikin berisik. Tak hanya para tetangga yang terkena dengungan, gonggongan dan embikan itu. Sang pemilik rupanya juga kena dampak yang sama. Ibaratnya, senjata makan tuan. Wajar saja jika Jokowi akan mengevaluasi keberadaan buzzer itu. "Buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah. Pemilu juga sudah selesai. (Gunakan) Bahasa-bahasa persaudaraan, kritik, sih, kritik tapi tidak harus dengan bahasa-bahasa yang kadang-kadang enggak enak juga didengar," ucap Moeldoko. Menurutnya, pada saat ini, para buzzer pendukung Jokowi justru melakukan cara-cara yang bisa merugikan pemerintahan Jokowi sendiri. Ia pun meminta buzzer-buzzer Presiden Jokowi di sosial media untuk tidak terus-menerus menyuarakan hal-hal yang justru bersifat destruktif. "Dalam situasi ini relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran. Yang diperlukan adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif," tergasnya. Merasa terdesak, belakangan para penggogong secara membabi buta menyerang pakar drone emprit Ismail Fahmi di Twitter. Serangan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Ismail Fahmi diserang karena dialah yang membocorkan asal hoaks oleh buzzer Jokowi. Ismail dengan teknologi drone emprit melakukan kerja secara profesional. Drone emprit membongkar kelakuan buzzer Jokowi ketika menyebarkan hoaks ambulans berisi batu dan bensin sampai grup whatsApp anak STM buatan oknum polisi. Mengundang Iba Pengakuan Moeldoko ini seperti membenarkan ulasan dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Keduanya membuat laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Ilmuan ini membeberkan bahwa pemerintah menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik. Pemerintah dan partai-partai politik juga memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot. Berdasarkan isinya, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Para buzzer, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp1 juta sampai Rp50 juta. Para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Sementara itu, Peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, menyebut pendapatan buzzer politik di media-media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR). “Buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari,” ujarnya seperti dikutip Antara, Maret lalu. Seorang koordinator buzzer, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Angka itu cukup menggiurkan di saat ekonomi sulit saat ini. Banyak penganggur terdidik yang terjerumus dalam dunia buzzer. Kini, buzzer Jokowi akan jadi korban PHK. Sepertinya menyedihkan. Mengundang iba. Padahal harusnya mereka ikut menikmati kemenangan Jokowi di periode kedua ini. "Kekuasaan periode kedua belum dimulai, tapi Buzzers sudah dibuang alias disingkirkan alias diapkir. BPJS naik 100%, Tarif ini tarif itu naik. Honor hilang. Gimana nasib para Buzzer, ya...? Ckckck kasihan," cuit Tengku Zulkarnain, Senin (7/10). Tentu saja cuit Tengku Zul itu hanya sindiran saja. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyarankan para buzzer untuk tetap aktif menjalankan tugasnya lantaran hal itu dirasa bisa mempengaruhi keputusan kakak pembina buzzer. "Serang terus sana sini, mana tahu kakak pembina berubah pikiran. Ya nggak?," imbuhnya. Tengku Zul, tidak menyebut siapa Kakak Pembina yang dimaksud. Namun di kalangan pegiat medsos sudah tahu sama tahu, yang dimaksud Kakak Pembina adalah Moeldoko. Jika benar begitu maka: buzzer menggonggong, kakak pembina berlalu. Biarlah begitu. Kini, adalah saat yang tepat untuk buzzer taubat. Dalam perspektif Islam, mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjingkannya adalah perbuatan keji yang diumpamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Bahkan perilaku fitnah disebut lebih keji dari pembunuhan.
Polemik Menuju Periode Kedua, Aman atau Lengser?
Salah ѕаtu jаnjіnya ketika bеrdеbаt dengan Prаbоwо dі Pіlрrеѕ kemarin аdаlаh menguatkan KPK. Jіkа Pеrррu tіdаk kunjung dіtеrbіtkаn, mаkа Jоkоwі mеngkhіаnаtі аmаnаt rаkуаt yang mеmіlіhnуа. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Terkait Revisi UU KPK, Presiden Joko Widodo hari-hari ini dalam posisi terjepit. Kabarnya, versi Ketum Partai NasDem Surya Paloh, sebenarnya Presiden Jokowi sepakat dengan Parpol Koalisi Jokowi, yakni menolak penerbitan Perppu KPK. Makanya, hingga hari ini, Presiden Jokowi belum juga menyatakan sikapnya, membatalkan rencana menerbitkan Perppu KPK atau melanjutkan UU KPK yang sudah ditetapkan DPR RI dengan berbagai resiko diantara keduanya bila bersikap. Sejumlah tokoh yang berjumpa Presiden Jokowi pada Kamis, 26 September 2019, lalu yang menggelar konferensi pers di Galeri Cemara, Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at (4/10/2019), misalnya. Melansir Tribunnews.com, Jum’at (4/10/2019), konferensi pers ini digelar untuk menyikapi kabar batal dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK oleh Presiden Jokowi. Sejumlah tokoh yang hadir dalam acara diskusi ini antara lain pakar hukum Bivitri Susanti, Prof DR Emil Salim, mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, mantan Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Slamet Rahardjo. Di sini, Prof Emil memberikan pemaparan terkait tujuan kegiatan acara. “Menyadari sejarah yang lampau, prestasi KPK yang gigih berjuang, kami merasa perjuangan ini harus diteruskan demi kebersihan aparat pemerintah dari korupsi,” katanya. Prof Emil menjelaskan bahwa undang-undang KPK yang telah diresmikan sifatnya memperlemah. Dan langkah itu terkait upaya pembatasan proses penyidikan dan penyadapan yang memang dimiliki oleh lembaga anti rasuah tersebut. Pelemahan tersebut dinilai berdampak signifikan bagi pekerjaan KPK. Karena itu, Prof Emil bersama tokoh yang hadir ini mendukung Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu KPK. “Kalau ini semua dibatasi, itu namanya KPK dikebiri. Karena itu, kami minta Presiden untuk terbitkan Perppu dan kami mendukung Presiden menolak UU KPK itu,” ujar Prof Emil. Indonesia Cоruрtіоn Watch (ICW) mengakui, angin ѕеgаr sempat dihembuskan Istana soal kabar Prеѕіdеn Jоkоwi akan ѕеgеrа mеnеrbіtkаn Pеrаturаn Pеmеrіntаh Pengganti Undаng-Undаng (Perppu) Revisi UU 30/2002 tentang KPK. Hingga detik іnі Pеrррu KPK belum dikeluarkan, Presiden ѕереrtіnуа masih mеnghіtung untung rugi dаn dіhаdарkаn раdа ѕіtuаѕі dіlеmаtіѕ seperti mаkаn buah ѕіmаlаkаmа bila betul-betul mеnеrbіtkаn Perppu. Pеnеlіtі ICW Kurnіа Rаmаdhаnа mеngіngаtkаn Jokowi, akan аdа еfеk уаng jauh lеbіh besar jіkа Perppu KPK іtu tidak segera dіtеrbіtkаn. Kurnіа mеnуеbut аdа delapan еfеk jika Jоkоwі tіdаk menerbitkan Pеrррu. Pеrtаmа, реnіndаkаn korupsi аkаn mеlаmbаt, kаrеnа рrоѕеѕnуа sekarang hаruѕ mеlаluі izin dаrі Dеwаn Pengawas,” ujаrnуа ѕааt kоnfеrеnѕі реrѕ di Kаntоr YLBHI, Jаkаrtа, seperti dilansir Uzonews.com, Minggu (6/10/2019). Kedua, KPK tak lаgі menjadi іnѕtіtuѕі utаmа penindakan kоruрѕі. Karena, KPK аkаn menjadi bagian dаrі pemerintah. Kеtіgа, jіkа Jokowi tidаk terbitkan Pеrррu mаkа аkаn mеmреrburuk сіtrа реmеrіntаhаn. “Mаѕа jabatan Jokowi-JK аkаn bеrаkhіr 14 hаrі lаgі. Seharusnya іtu memberikan lеgасу уаng baik dеngаn саrа tеrbіtkаn Perppu,” jelas Kurnіа. Keempat, adalah Jоkоwі ingkar jаnjі terhadap Nawacita yang ѕеlаmа ini dia gadang-gadang. Lаlu, Indеkѕ Prestasi Korupsi Indоnеѕіа аkаn stagnan аtаu turun ѕеhіnggа berakibat kераdа сіtrа реmеrіntаh di mаtа іntеrnаѕіоnаl jatuh. Kurnіа juga mеnjеlаѕkаn efek yang аkаn terjadi jika Jokowi rаgu mеngеluаrkаn Pеrррu mаkа Jokowi tеlаh mеnсіdеrаі реnghаrgааn Bung Hatta Anti-Corruption Awаrd (BHACA) уаng dіѕеmаtkаn kераdаnуа ѕааt mеnjаbаt ѕеbаgаі Walikоtа Surakarta раdа 2010. “Yаng paling utаmа jіkа ѕаmраі реlаntіkаn pada 20 Oktober mendatang, Pеrррu tidаk kunjung diterbitkan maka Jоkоwі tеlаh mеngkhіаnаtі аmаnаt reformasi, уаіtu memberantas KKN,” tеgаѕ Kurnіа. Salah ѕаtu jаnjіnya ketika bеrdеbаt dengan Prаbоwо dі Pіlрrеѕ kemarin аdаlаh menguatkan KPK. Jіkа Pеrррu tіdаk kunjung dіtеrbіtkаn, mаkа Jоkоwі mеngkhіаnаtі аmаnаt rаkуаt yang mеmіlіhnуа. Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, yang bikin Jokowi Andi Lao, antara dilema dan galau, soal Perppu batalin Revisi KPK, karena ada hal yang krusial secara politis. Bukan sekadar pro koruptor atau anti koruptor. Apapun motif di balik ide revisi KPK maupun terpilihnya Irjen Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru itu, implikasinya bukan soal berkomitmen dengan pemberantasan korupsi atau tidak. Tapi lebih politis lagi. Akibat revisi KPK dan terpilihnya Firli Bahuri, KPK selain ganti sistem, juga ganti formasi dan tentunya aktor kunci. Kalau sudah sampai sini, kesalahan ada pada kedua belah pihak. Bahwa KPK selama ini tidak pernah murni jadi alat pemberantasan korupsi. Kedua, KPK dibentuk lebih untuk penanganan OTT gratifikasi dan suap, ketimbang membangun strategi pencegahan korupsi yang didasarkan pada sistem politik yang koruptif di semua bidang. Akibat fokus pada gratifikasi dan bukannya memadamkan bara apinya, yaitu sistem politik yang koruptif dan melemahkan sistem kenegaraan, maka KPK kemudian jadi sistem berkumpulnya sebuah klik politik buat mengimbangi aktor-aktor politik di DPR dan Eksekutif. Sehingga dengan kerangka pemberantasan korupsi yang menyempit pada OTT gratifikasi dan suap, KPK jadi alat pukul buat melumpuhkan lawan politik yang bertabrakan agendanya dengan klik politik yang menguasai sistem dan password KPK selama ini. “Dan, korban utamanya adalah politisi DPR, DPD dan para menteri di pemerintahan Presiden Jokowi – Wapres Jusuf Kalla,” ungkap Hendrajit. Berkumpulnya para tokoh yang dimotori Gunawan Mohammad, Kuntoro Mangkusubroto, Arifin Panigoro, Eri Riana, merupakan cermin kegelisahan klan politik yang tergusur seturut munculnya revisi uu KPK dan naiknya Firli Cs. Pada tataran inilah, Jokowi jadi Andi Lao. Bukan soal ngeluarin Perppu. Di balik sistem KPK selama ini, ada kartel politik di luar lingkup DPR-MPR yang memegang grip Jokowi di balik layar. “Selain kubu para jenderal seperti Wiranto, SBY, Hendro, dan Luhut,” lanjutnya. Jika Jokowi terbitin Perppu, berarti Presiden bukan sekadar menghadapi DPR. Melainkan bakal menghadapi para skemator yang ingin mengubah sistem dan formasi KPK yang selama ini dikuasai klik yang para tokohnya bertemu Jokowi di Istana tempo hari. “Jalan keluarnya menurut saya, masyarakat harus ajukan skema baru di luar versi revisi atau versi klik KPK lama yang sebenarnya juga sarat kepentingan dan sudah bersenyawa dengan Istana sejak Luhut dan Teten Masduki di ring satu Jokowi,” ujar Hendrajit. Alternatifnya, menurut Hendrajit, pemberantasan korupsi harus terintegrasi ke dalam strategi untuk melumpuhkan musuh yang telah dan akan melemahkan sistem kenegaraan kita. Dan, “Strateginya bukan lagi menekankan pemberantasan, tapi pencegahan.” Bukan eradication, tapi prevention. Ketika musabab korupsi karena sistem politiknya yang memang koruptif, maka masalah pokok dari kejahatan korupsi bukan gratifikasi dan suap saja. Melainkan penyalahgunaan kekuasaan melalui mekanisme negara di dalam negara. Juga, merajalelanya tim siluman. Dan klan politik di balik KPK yang sekarang ini lagi gerah dan kejang kejang, selama ini juga tak membantu banyak. Sekaranglah momentum berbagai elemen masyarakat mengajukan skema dan skenario alternatif. Jokowi Lengser? Dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang berjudul “Perppu KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik”, LSI melaporkan temuannya perihal penurunan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi selama 5 tahun menjabat Presiden. LSI mencatat, tada 12 persen menyatakan sangat puas; 54,3 persen publik mengaku cukup puas dengan kinerja presiden, sisanya kurang puas dan tidak puas pada kinerja presiden. Selain itu LSI juga memaparkan tren kepuasan publik terhadap kinerja presiden. “Jokowi sudah 5 tahun menjadi presiden. Secara umum apakah sejauh ini Ibu/bapak sangat puas dengan kerja Presiden Jokowi?” demikian pertanyaan survei wawancara yang diajukan sebagaimana terlampir dalam keterangan tertulis rilis LSI, Minggu (6/10/2019). Dalam grafik disajikan, ada penurunan tren kepuasan publik dalam rentang waktu 8 bulan. Pada Maret 2019, ada 71 persen publik puas atas kinerja Jokowi. Tapi, pasca pilpres sampai Oktober ini tren kepuasan publik atas kinerja Jokowi justru turun menjadi 67 persen. Melihat kenyataan politik seperti itu, Jokowi harus segera mengambil pilihan dilematis. Jika Jokowi tak mau menerbitkan Perppu KPK, dia akan berhadapan dengan mahasiswa penolak UU KPK. Kalau terbitkan Perppu KPK, dia berhadapan dengan DPR. Kalau mau “aman”, tentunya Jokowi bisa memilih mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Tanda-tanda ini bisa dicermati dari pidato Presiden Jokowi saat HUT TNI ke-74 di Halim Perdana Kusuma, Sabtu (5/10/2019), lalu. “Pada kesempatan yang baik ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pejabat-pejabat dan perwira tinggi utama yang telah membantu periode kepemimpinan Presiden tahun 2014-2019. Terima kasih kepada Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla; kepada Menkopolhukam Bapak Tedjo Edhy Purdijatno, Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, dan Bapak Wiranto; kepada Menteri Pertahanan Bapak Ryamizard Ryacudu; Kepada Panglima TNI Bapak Moeldoko, Bapak Gatot Nurmantyo, dan Bapak Hadi Tjahjanto; kepada KASAD Bapak Mulyono dan Bapak Andika Perkasa; kepada KASAL Bapak Ade Supandi dan Bapak Siwi Sukma Aji; serta kepada KASAU Bapak Ida Bagus Putu Dunia, Bapak Agus Supriatna, dan Bapak Yuyu Sutisna.” Apakah pidato Jokowi itu isyarat pamitan bahwa dia akan memilih undur diri karena merasa sudah tidak mampu sebagai Presiden? Penulis adalah Wartawan Senior
Joe Paloh
Oleh Dahlan Iskan Jakarta, FNN - Tulisan ini tertunda terus. Setiap kali akan muncul di DI’s Way tergeser oleh kejadian baru. Tapi Joe Biden kini hot kembali. Ditambah salaman Srimulat-nya Megawati. Maka --meski beberapa orang sudah dapat bocorannya-- kisah ini sayang dilewatkan: Mereka berpasangan secara serasi. Dua periode. Delapan tahun. Namun, begitu tidak menjabat, keduanya tidak pernah berhubungan. Via WA sekali pun. Itulah Barack Obama dan Joe Biden. Presiden ke-44 Amerika dan wakilnya. Masing-masing hanya memendam dugaan: kenapa mereka tidak bisa saling bertemu. Di awal bulan ketujuh masa pensiunnya, Joe duduk-duduk di dalam rumahnya. Yang halaman belakangnya khas rumah orang kaya Amerika: luas sekali. Dengan hamparan rumput dan pepohonan. Itu malam hari. Di luar sudah gelap. Khususnya di halaman belakang itu. Tapi Joe masih bisa melihat ada sesuatu yang mencurigakan. Ada korek api menyala. Di halaman belakang itu. Agak di kejauhan. Di balik pepohonan sana. Di Amerika berlaku peraturan: setelah pensiun enam bulan mantan wapres tidak lagi mendapat pengawalan. Karena itu Joe harus lebih waspada. Pun malam itu. Joe curiga. Mengapa ada orang di halaman belakang. Ia bergegas ke kamar tidurnya. Membuka laci di sebelah ranjangnya: ada senjata dan pistol di situ. Juga tersimpan medali tertinggi yang pernah diterimanya. Penghargaan dari negara. Ia ambil pistol itu. Ia slempitkan di balik jasnya. Ia ajak serta anjingnya. Ke halaman belakang. Jalannya pelan. Langkahnya hati-hati. Saat membeli pistol itu Joe ditegur istrinya: untuk apa? Kan sudah punya senjata? Waktu itu Joe tidak bisa menjawab. Malam inilah jawabnya. Begitu melewati pintu belakang Joe merasa aneh. Mencium bau rokok. Yang aromanya seperti pernah ia cium. Ia pun melewati beberapa pohon. Sambil berlindung di baliknya. Aroma rokok yang sama kian kuat. Kian dekat ke pohon itu kian keras aroma rokoknya. Kian kenal pula aroma rokok apakah itu. Dan siapa yang biasa mengisap rokok seperti itu. Barack Obama. Joe pun terbatuk kecil. Lalu menegurkan suaranya ke arah aroma itu. "Kok sekarang merokok lagi?" "Kalau lagi rindu sahabatnya saja." "Kenapa mencurigakan begini?" Barack hanya membisikkan jawabannya. Sangat rahasia. Intinya malam itu Barack ingin membisikkan kabar duka yang mencurigakan: teman baik Joe baru saja meninggal. Ditabrak Amtrak. Kereta api jurusan Delaware-Washington DC. Yang misterius: Di meja kerja korban ditemukan peta. Menunjuk ke alamat Joe. Ini bisa krusial. Korban ditengarai bunuh diri. Atau fly oleh obat bius. Atau dibunuh jaringan perdagangan narkotik. Atau ada motif politik. Pokoknya ia mati tidak wajar. "Joe, hati-hatilah. Anda bisa dikait-kaitkan." Apalagi, si korban memang kenal baik dengan Joe. Meskipun pekerjaan sang korban hanya kondektur Amtrak. Itu karena Joe selalu naik Amtrak. Belasan tahun. Joe adalah pelanggan setia Amtrak. Yakni saat Joe jadi anggota DPR. Selama 15 tahun. Jurusannya pun tetap. Jamnya tetap. Dari rumahnya di Delaware ke gedung DPR di Washington DC. Satu jam perjalanan. Nyaris tiap hari. Siapa pun di stasiun Delaware kenal Joe. Apalagi kondektur. Kelak, setelah Joe jadi wapres, stasiun itu diberi nama ”Stasiun Amtrak Joe Biden”. Setelah perokok itu pergi, Joe bertekad ingin menyelidiki sendiri: mengapa kondektur itu tewas. Toh ia sudah tidak banyak kesibukan. Rasanya tidak mungkin bunuh diri. Orangnya baik. Dan lagi sudah hampir pensiun dari Amtrak. Joe ingin merasakan jadi seperti detektif swasta. Ingin membongkar misteri kematian kondektur itu. Barack membantu sepenuhnya. Termasuk paspampres yang masih melekat mendampinginya. Yang untuk mantan presiden tidak ada batasan enam bulan. Keduanya pun terlibat lika-liku penyelidikan. Sampai menyamar tidur di motel murahan. Juga sampai ngebut. Untuk mengejar motor besar yang mencurigakan. Joe yang pegang kemudi. Sampai tergelincir ke sawah. Barack yang mendampingi. Singkat cerita, Joe berhasil. Pembunuhan itu terbongkar. Satu jaringan perdagangan obat bius terungkap. Salah satunya tokoh polisi di Delaware. Yang amat ia percaya. Di akhir cerita terjadi tembak-tembakan. Barack sampai tiarap di atas aspal. Si polisi jahat menembak Joe. Yang ditembak pun roboh. Tubuhnya ambruk ke tubuh Barack. Wah, Joe tertembak. Barack melihat sendiri peluru mengenai dadanya. Pasti Joe tewas. Begitu pikir Barack. Ternyata Joe tidak apa-apa. Justru sang polisi yang roboh. Joe sempat menembaknya lebih cepat. Lho tadi kan peluru mengenai dadanya. Kenapa tidak berdarah? Joe merogoh saku atas di bajunya. Mengeluarkan tanda jasa tertinggi yang ia kantongi. Medali itu penyok. Kena peluru. Hollywood banget. Kisah itu memang fiksi. 100 persen fiksi. Ditulis dalam wujud sebuah novel. Judulnya: Hope Never Dies. Yang baru selesai saya baca seminggu sebelum menulis ini. Itulah sebuah novel laris di Amerika. Penulisnya Anda sudah tahu: Andrew Shaffer. Penulis cerita film Hollywood ”Fifty Shades of Grey” itu. Yang di Indonesia sangat terkenal filmnya. Shaffer juga menulis buku lainnya seperti ”Yoga-Philosophy for Every One, Bending Mind and Body”. Saya nyaris tidak bisa berhenti membaca novel ”Hope” itu. Tokoh-tokohnya begitu akrab di benak kita. Karakter tokohnya pun mencerminkan karakter Barack yang kita kenal. Dengan intelektualitasnya. Dengan flamboyannya. Dengan humor-humor tingkat tingginya. Demikian juga karakter Joe yang kita kenal. Terasa sekali tercermin di novel itu. Juga dengan keseniorannya. Dan humor tingkat tingginya. Tercermin juga betapa serasi pasangan itu. Betapa sudah seperti keluarga. Meski yang satu kulit putih dan satunya kulit hitam. Di akhir cerita baru diungkap: mengapa keduanya tidak saling kontak selama enam bulan terakhir. Kata Joe pada Obama: saya tidak berani kontak, saya khawatir mengganggu Anda. Joe melihat Barack begitu sibuk keliling dunia. Bersama tokoh-tokoh muda. Barangkali Barack tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang tua seperti dirinya. ”Umur saya kan sudah 76 tahun.” Sedang Barack mengatakan kepada Joe begini: ”Joe, saya kira Engkau sengaja menjauhi saya. Saya jadi sungkan mengontak Anda.” Kok menjauhi? ”Siapa tahu Engkau akan mencalonkan diri sebagai presiden. Yang harus menghindari bayang-bayang Barack.” Sekali lagi itu novel. Fiksi. Yang ternyata benar hanyalah: Joe akhirnya memang mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk Pilpres 2020. Melawan incumbent Donald Trump. Tua lawan tua. Tapi kan tidak ada lagi istilah orang tua sekarang ini. Sejak Mahathir Mohamad terpilih sebagai perdana menteri Malaysia. Di umurnya yang 93 tahun saat itu. Saya membayangkan: kalau hubungan Pak SBY dan Bu Mega dibuat novel pasti akan laris manis pula. Ditambah pemain baru: Surya Paloh.(dahlan iskan) https://www.disway.id/r/674/joe-paloh
Buzzer Menggonggong, Kakak Pembina Berlalu
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Eksistensi buzzer pemerintah tengah digugat. Inilah untuk pertamakalinya keberadaan para penggonggong dipersoalkan secara serius oleh publik dan media. Termasuk sejumlah media yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah. Selama ini para penggonggong hidup bebas merdeka. Mereka bebas menebar kabar bohong, fitnah, dan membully oposisi dan kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Ada yang bersembunyi di ruang gelap digital, menggunakan akun palsu. Namun banyak pula yang tampil secara terbuka. Jangan pernah coba-coba mempersoalkan dan bersikap kritis terhadap pemerintah, apalagi Presiden Jokowi. Tak ada ampun, mereka akan menggonggong, menyalak, mengejar dan membully Anda sampai habis. Mereka tak pernah bisa dijamah. Tidak tersentuh hukum. Percuma saja melaporkan mereka. Dijamin kasusnya tidak akan berlanjut. Dengan posisinya sebagai pendukung rezim penguasa, mereka masuk dalam kelompok manusia istimewa. The Untouchable. Saat ini situasinya mulai sedikit berubah. Majalah Tempo mulai mempersoalkan keberadaan mereka yang dinilai bisa membahayakan demokrasi. Majalah ini juga secara tegas menuding mereka adalah pendukung Jokowi. Tugas mereka menyebarkan kabar bohong mempengaruhi opini publik dan sikap publik. Tujuan jangka pendeknya mengamankan kebijakan pemerintah. Laman tirto.id malah melangkah lebih jauh. Dengan memanfaatkan momentum keterlibatan unjukrasa pelajar STM, mereka menguak hubungan antara para buzzer dan aparat kepolisian. Para buzzer ini mencoba mengamplifikasi operasi pembusukan terhadap anak-anak STM sebagai unjukrasa bayaran. Namun melalui penelusuran reporter tirto.id, mereka mendapatkan fakta berbeda. Diduga sejumlah nomor yang terdapat dalam tangkapan layar (screenshoot) yang disebut-sebut sebagai group percakapan WhatsApp (WAG) anak STM, milik oknum polisi. Sudah tentu dugaan itu dibantah oleh Mabes Polri. Polisi malah mengaku sudah menangkap sejumlah orang yang disebut sebagai admin WAG tersebut. Mengetahui operasi manipulatifnya terbongkar, beberapa orang buzzer segera menghapus cuitannya. Namun jejak digital mereka sudah telanjur terekam. Bukan hanya kali ini tirto.id membongkar perilaku lancung para buzzer pendukung pemerintah. Pada aksi #GejayanMemanggil yang mendorong akasi mahasiswa besar-besaran di Indonesia, tirto.id malah menunjukkan sikap tegas. tirto.id menampilkan editorial “Kami Bersama #GejayanMemanggil.” Sikap itu mereka ambil sebagai reaksi dari aksi para buzzer membusukkan aksi #GejayanMemanggil . Para buzzer menyebut aksi ini ditungganggi oleh kelompok Islam radikal dan pengusung khilafah. Tekanan publik dan media terhadap para penggonggong ini kian keras. Dalam pekan ini beredar hasil penelitian perilaku buzzer hasil riset dua orang peneliti dari Universitas Oxford, Inggris. Judulnya : The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation. Ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Hasil penelitian di 70 negara termasuk Indonesia itu, menemukan bukti pemerintah menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat. Sudah Berlangsung Lama Kecurigaan bahwa para buzzer punya hubungan langsung dengan pusat kekuasaan, sesungguhnya sudah berlangsung lama. Keberadaan mereka yang tak tersentuh hukum, menunjukkan mereka sengaja dipelihara dan dilindungi. Rocky Gerung secara tidak langsung menyebut istana adalah pusat penyebaran hoax. Melalui akun @rockygerung dia menyebut pusat hoax nasional ada di Monas. Presiden Jokowi diketahui setidaknya pernah dua kali mengundang sejumlah orang yang disebut sebagai pegiat medsos ke istana. Pada 22 Juni 2017 dan kemudian sebulan kemudian pada tanggal 24 Agustus 2017. Pertemuan pada bulan Agustus berlangsung tertutup. Saat itu mereka hanya disebut sebagai pegiat medsos. Namun dilihat dari nama-nama yang hadir, mayoritas adalah pendukung Jokowi. Konfirmasi adanya hubungan istana dengan para buzzer ini pertamakali dibocorkan oleh situs seword.com yang dikenal sebagai pembela garis keras Jokowi. Melalui akun fanpage Facebook (2/5/2019) Seword membocorkan pertemuan puluhan orang buzzer dengan seseorang yang disebut sebagai “Kakak Pembina.” Seorang figur pengarah gerak para buzzer pendukung Jokowi. Seword menampilkan sejumlah orang yang tengah duduk disertai keterangan foto. Nama-nama yang disebut adalah: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Katakita, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Pepih Nugraha, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Eko Kuntadhi, Komik Kita, Komik Pinggiran, Habib Think, Salman Faris, dan Sewordcom. "Tim ini memang tak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini. Seperti halnya Avengers, setiap orang saling menjaga, menahan diri untuk tidak mengambil gambar. Tapi saya pikir momen ini sayang untuk tidak dibagikan dan diceritakan," demikian tulis Seword Siapa “Kakak Pembina” ini? Masih menjadi spekulasi media dan medsos. Kepala Staf Presiden Moeldoko membantah dirinya adalah “Kakak Pembina.” Moeldoko mengakui para buzzer ini adalah pendukung Jokowi. Namun keberadaan mereka saat ini mulai dirasakan mengganggu dan merugikan Jokowi. "Ya kita melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan. Jadi ya yang perlu dibangun emosi positif lah," kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (4/9). Bagi Jokowi, keberadaan buzzer ini seperti buah simalakama. Mereka sangat dibutuhkan, terutama menjelang dan selama pilpres, termasuk menjaga berbagai kebijakannya dari para pengeritik. Disisi lain keberadaan buzzer mulai sangat mengganggu, termasuk bagi kalangan pendukung Jokowi sendiri. Perilaku mereka tak terkendali. Seperti anjing penjaga, mereka akan menggonggong, menyalak, mengejar, dan meneror siapapun yang dianggap mengganggu tuannya. Gonggongan dan salakan mereka yang sangat keras, bukan hanya mengganggu orang lain, tapi juga sudah mulai mengganggu tuan mereka sendiri. Ada baiknya mumpung RUU KUHP ditunda pengesahannya, pemerintah dan DPR belajar dari Dewan Kota Saddle River. Dewan kota di wilayah Bergen, Negara Bagian New Jersey, AS itu baru saja meloloskan sebuah peraturan. Seorang pemilik akan dihukum bila gonggongan anjingnya menganggu tetangga. Hukumannya bisa didenda atau dihukum penjara. Melalui peraturan tersebut seekor anjing peliharaan dilarang menggonggong lebih dari 20 menit antara pukul 07.00 pagi hingga 22.00 malam. Atau lebih dari 15 menit antara pukul 22.00 malam hingga 07.00 pagi. Dalam KUHP yang baru akan sangat menarik dimasukkan pasal semacam itu. Seorang buzzer yang menggonggong secara berlebihan, tanpa mengenal waktu dan sangat mengganggu, maka si Kakak Pembina bisa didenda atau dihukum penjara. Dengan UU semacam itu diharapkan ada aturan dan tanggung jawab atas perilaku buzzer. Jangan sampai terjadi : BUZZER MENGGONGGONG, KAKAK PEMBINA BERLALU. End
Rekam Jejak Pimpinan Legislatif, Diduga Terlibat Korupsi-2
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sementara itu, mengutip CNNIndonesia.com, Jumat (23/03/2018 19:17 WIB), kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, menantang KPK untuk membuktikan keterlibatan Puan dan Pramono dalam kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Menurutnya, KPK memiliki penyidik dan penuntut umum untuk mencari bukti-bukti lainnya atas kesaksian Sernov. “Sekarang tugas KPK yang buktikan (keterlibatan Puan Maharani dan Pramono Anung), kan mereka ada penyidik dan penuntut umum,” katanya. Maqdir menyebut, kliennya sudah menyerahkan daftar nama para pihak yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi e-KTP kepada penyidik KPK maupun majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Bagaimana dengan Muhaimin Iskandar? Nama Ketum DPP PKB yang akrab dipanggil Imin ini muncul dalam persidangan kasus “kardus durian” yang diduga melibatkan Imin saat dia menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Seperti dilansir Tempo.co, Senin (6 Februari 2012 13:18 WIB), Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati, mengatakan fee sebesar Rp 1,5 miliar yang disetornya rencananya akan diberikan untuk Menakertrans Muhaimin Iskandar. “Katanya sih untuk Pak Menteri. Tapi apakah sampai untuk Menteri, saya enggak tahu,” kata Dharna saat bersaksi untuk terdakwa kasus suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), Dadong Irbarelawan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, (6/2/2012). Menurut Dharna, pada 24 Agustus 2011, ia dihubungi oleh Sekretaris Jenderal Direktorat Pengembangan dan Pembinaan Masyarakat Kawasan Transmigrasi (P2MKT) I Nyoman Suisnaya. Nyoman, yang sedang sibuk rapat, memintanya untuk berkomunikasi dengan Dadong selaku Kepala Bagian Evaluasi Program P2MKT soal commitment fee DPPID. Setelah itu, Dharna pun menyambangi Dadong di kantor Kemenakertrans Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itulah Dadong mengatakan kepadanya soal rencana pinjaman untuk keperluan Lebaran Muhaimin. Dharna mengaku sempat bingung saat itu karena semula mengira uang Rp 1,5 miliar statusnya adalah commitment fee, bukan pinjaman untuk Menteri. Ia pun kemudian menghubungi Dhani Nawawi, bekas Staf Khusus Presiden Abdurrahman Wahid, yang ia tahu kenal dekat dengan Muhaimin. Ia meminta Dhani untuk menanyakan langsung penjelasan Dadong ke Muhaimin. Dharna diciduk petugas KPK pada 25 Agustus 2011 setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar yang dibungkus kardus durian. Pada hari yang sama, KPK juga menangkap tangan Nyoman dan Dadong beserta kardus durian di kantor Kemenakertrans. Duit itu adalah bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor DPPID di 4 kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan Mimika. senilai Rp 73 miliar. Seperti halnya Imin, nama Azis Syamsudin sempat muncul dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait korupsi lainnya. Selain namanya disebut dalam kasus simulator SIM, Azis juga sempat diperiksa KPK terkait suap Dana Perimbangan. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (28/08/2018, 22:45 WIB), Ketua Badan Anggaran DPR Azis Syamsuddin dari Golkar dipanggil KPK untuk dimintai keterangan dalam penyidikan kasus suap usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan TA 2018. Usai diperiksa KPK, Aziz menuturkan, ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Amin Santono. Aziz keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 20.24 WIB. Kepada wartawan, ia menerangkan bahwa APBN-P 2018 tidak pernah diusulkan Pemerintah. Oleh sebab itu, kata Aziz, Banggar tak tahu menahu soal dana perimbangan keuangan daerah, terlebih korupsi di dalamnya. “APBN-P 2018 tidak pernah diusulkan Pemerintah, sehingga tidak pernah dibahas di badan anggaran,” ungkap Azis usai diperiksa KPK. Saat ditanya apakah ada pembagian fee atas pembahasan APBN-P 2018, Aziz enggan memberikan penjelasan. “Silakan tanya kepada penyidik ya,” kata mantan Ketua Banggar DPR ini. Selain Aziz, untuk kasus yang sama, KPK menjadwalkan pemeriksaan anggota DPR Komisi XI dari fraksi PAN I Gusti Agung Rai Wirajaya. Bagaimana dengan Rachmat Gobel? KPK memastikan, tidak tertutup kemungkinan untuk menyeret mantan Menteri Perdagangan ini dalam kasus suap rekomendasi penambahan kuota distribusi gula impor milik Bulog ke Sumatera Barat. Kasus kuota distribusi gula impor itumenyeret mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang saat itu masih sebagai tersangka. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, pihaknya sedang mempelajari peran Rachmat Gobel. Menurut Saut, penyidik KPK tidak perlu dituntun dalam menelusuri pihak-pihak lain untuk dimintai keterangannya. Meski demikian, untuk saat ini, sambung Saut, pihaknya belum mengagendakan pemeriksaan Rachmat Gobel sebagai saksi tersangka Irman Gusman. Jika penyidik merasa perlu meminta keterangan Rachmat Gobel, KPK akan melakukan pemanggilan. Sebelumnya, saat diperiksa KPK untuk kedua kalinya, Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti menyatakan, Bulog hanya mengikuti perintah Mendag yang saat itu dijabat Rachmat Gobel. Perintah itu untuk mendistribusikan stok gula yang ada ke semua wilayah yang mengalami harga ekstrem. “Sesuai perintah dari Mendag, stok gula yang ada agar didistribusikan ke semua wilayah yang mengalami harga ekstrem,” ujarnya. “Sehingga saya ingin simpulkan, satu, tak ada kuota. Dua, kita akan kirim ke semua wilayah yang ada kenaikan ektremnya. Salah satunya Padang,” ungkap Djarot usai diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Memi, istri Dirut CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Susanto di gedung KPK, Rabu (12/10/2016). Jika penyidik merasa perlu meminta keterangan Rachmat Gobel, KPK akan melakukan pemanggilan. “Masih dipelajari sejauh mana perannya. (Pemanggilan sebagai saksi), kita belum sampai ke situ,” lanjut Saut. Menurut Saut, “Tapi penyidik biasanya paham untuk pendalaman pihak mana yang dimintai keterangannya,” tuturnya saat dihubungi wartawan, seperdi dilansir berbagai media, Jumat malam (14/10/2016). Secara terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati menilai, kasus Irman bisa menjadi pintu masuk untuk menguak dugaan adanya permainan dalam kuota impor di Kementerian Perdagangan (Kemendag). “Dimungkinkan pengembangan ke arah sana nanti,” ujar Yuyuk. Jika dibutuhkan, penyidik KPK bakal meminta data-data yang dibutuhkan dari Kemendag. “Kalau data-data itu dibutuhkan, penyidik bisa diminta. Penyidik punya beberapa sumber data juga untuk memperkuat pengusutan kasus,” lanjut Yuyuk. Sandera Politik Meski Ketua MPR dan Pimpinan DPR tersebut hanya sebatas dimintai keterangan sebagai saksi – bahkan nama Puan Maharani hanya disebut tanpa dimintai keterangan – pengalaman KPK selama ini, mereka berpeluang menjadi tersangka juga akhirnya. Diseretnya Setya Novanto adalah salah satu contoh bagaimana KPK yang sebelumnya hanya dijadikan saksi atas tersangka dan terdakwa lainnya, akhirnya KPK menetapkan Setnov juga sebagai tersangka/terdakwa hingga divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta. Contoh teranyar adalah mantan Menpora Imam Nahrawi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/7/2019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan oleh KPK. Baru sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Semula Imam hanya dijadikan sebagai saksi atas tersangka/terdakwa lainnya. Akankah nasib serupa juga bakal menimpa Ketua MPR dan Pimpinan DPR yang belum lama dilantik? Yang jelas, mereka kini telah menjadi “sandera politik” untuk mencapai tujuan yang kita semua tidak tahu ending-nya bagaimana nanti. Meski di luaran masih terjadi kontroversi terkait Revisi UU KPK, nasib mereka masih tetap di tangan KPK dan Presiden yang bakal dilantik, 20 Oktober 2019. (Selesai) ***
Rekam Jejak Pimpinan Legislatif, Diduga Terlibat Korupsi-1
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Demokrasi reformasi telah melahirkan pucuk pemimpin negara seperti Joko Widodo dari PDIP dengan para pembela militannya, Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Hendropriyono, para jenderal Orde Baru dari Golkar dan derivasinya. “Termasuk, para relawannya seperti Pemuda Pancasila dan FKPPI yang menjadi kekuatan sipil Orba,” tulis Advokat Subagyo. Juga pucuk pimpinan seperti Bambang Soesatyo dari Golkar dan La Nyalla Matalitti dari PP yang pindah-pidah partai. “Serta Puan Maharani dari PDIP. Jadi, boleh dikata ini adalah rezim persekutuan Reformasi dan Orba. Tapi warna Orba lebih dominan. Andai Widji Thukul dan Marsinah kembali hidup, mereka akan memimpin kaum tua tak berdaya seperti saya untuk melawan!” Ungkapan Advokat Senior dari Surabaya itu setidaknya bisa dianggap “mewakili” uneg-uneg rakyat kecil yang merasa tak puas dengan drama kolosal pemilihan pimpinan DPR, DPD, dan MPR. Apalagi, rekam jejak mereka sulit dihapus dalam ingatan. Terlebih lagi, beberapa media mainstream yang pernah menulis beritanya ternyata masih bisa di-searching, meski ada pula yang hilang dari tayangan berita. Para pimpinan legislatif yang baru dilantik periode 2019-2024 itu berpotensi menjadi Tersangka Korupsi. DPR RI Periode 2019-2024 Dipimpin Para Tersangka Koruptor. Puan Maharani: Kasus E-KTP; Muhaimin Iskandar: Kasus Uang di Kardus Durian; Azis Syamsuddin: Kasus Suap Dana Perimbangan Daerah; Rachmat Gobel: Kasus Korupsi Irman Gusman. Demikian meme yang beredar di grup medsos maupun WA belakangan ini. Bahkan, Ketua MPR Bambang Soesatyo yang dalam periode sebelumnya menjabat Ketua DPR pun tidak luput dari sorotan, meski sudah dibantahnya berkali-kali. Bagaimana dengan La Nyalla Mahmud Mattalitti yang terpilih menjadi Ketua DPD RI 2019-2024? La Nyalla dari daerah pemilihan Jawa Timur itu terpilih lewat voting. Sebanyak 134 dari 136 anggota DPD hadir memilih mantan Ketua KADIN Jatim ini. Ia mengalahkan pelawak Oni Suwarman, anggota DPD Dapil Jawa Barat. Bagi Oni, menjadi senator di Senayan kali ini adalah untuk kedua kalinya. Perolehan suaranya yang terbesar di seluruh Indonesia. Pada pemilihan anggota DPD RI 2014-2019, Oni meraup sebanyak 2.167.485 suara. Dalam pileg kali ini suaranya melonjak tajam dengan kenaikan 100 persen, yakni 4.132.681 suara. La Nyalla hanya memperoleh 2.267.058 suara. Memang raihan suara di dapil, bukanlah syarat untuk menjadi pimpinan DPD. Untuk sampai di posisi itu harus memiliki kapabilitas, kemampuan lobi, dan jaringan yang baik. Mungkin di sinilah “kelebihan” La Nyalla dibandingkan Oni. Rekam Digital Rekam digital news dari Ketua MPR Bambang Soesetyo dan Pimpinan DPR terkait dugaan terlibat korupsi memang sulit dihilangkan. Ketua DPR Puan Maharani, dan tiga Wakil Ketua DPR (Muhaimin Iskandar, Azis Syamsuddin, Rachmat Gobel). Tempo.co, Senin (15 Januari 2018 09:59 WIB) menulis Rekam Jejak Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kasus-Kasus Korupsi yang dilantik sebagai Ketua DPR RI, Senin (15/1/2018), memiliki beberapa catatan tentang pemberantasan korupsi. Berikut adalah rekam jejak Bambang Soesatyo: Korupsi Simulator KemudiBeberapa kali diperiksa KPK untuk kasus korupsi simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada 2013. Ia membantah terlibat. Menekan SaksiBersama sejumlah anggota DPR lain disebut menekan koleganya, Miryam S. Haryani, agar tidak berterus terang dalam pemeriksaan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik. Bambang membantah. Pansus KPKSalah satu penggagas Panitia Angket KPK pada Mei 2017. Ia mengatakan hanya melaksanakan tugas partai. Saksi E-KTPPada 20 Desember 2017, KPK memanggilnya sebagai saksi kasus korupsi e-KTP untuk tersangka Anang Sudihardja. Bambang absen. Revisi UU KPKMendukung revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dinilai banyak pihak memangkas beberapa kewenangan lembaga itu. “Menunjuk Bambang yang juga duduk sebagai anggota pansus angket sangat bertolak belakang dengan keinginan Golkar untuk keluar dari pansus hak angket,” kata aktivis ICW, Donal Fariz, dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (15/1/2018). Berikut tiga catatan ICW terkait Bambang Soesatyo:• Bambang Soesatyo pernah disebut oleh Miryam S. Haryani bahwa telah menekannya agar tidak mengakui pembagian uang dalam kasus e-KTP.• Kesaksian itu kemudian dicabut oleh Miryam dan menjadi cikal bakal penggunaan Hak Angket DPR untuk KPK.• Bambang Soesatyo juga beberapa kali diperiksa KPK dalam kasus korupsi simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada 2013.Bambang yang punya kekayaan senilai Rp 62 miliar itu diduga terlibat kasus simulator SIM seperti diungkap Ketua Panitia Lelang Pengadaan Alat Uji Kemudi SIM di Korlantas Polri AKBP Teddy Kurniawan. Melansir Kompas.com, Selasa (28/05/2013, 20:46 WIB), dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Teddy juga menyampaikan ada empat kardus berisi uang yang diantarkannya kepada angora DPR, khususnya kelompok Banggar DPR. Teddy menyebut nama Anggota Komisi III DPR selain Nazaruddin yang juga menerima dana tersebut, yakni Bambang Soesatyo (Golkar), Aziz Syamsuddin (Golkar), Desmond J. Mahesa (Gerindra), dan Herman Heri (PDIP). Sebelumnya, Teddy dalam persidangan juga menuding Bambang hadir dalam pertemuan di sebuah restoran Jepang, di kawasan Senayan, Jakarta. Menurutnya, semua yang dituduhkan tidak memiliki dasar hukum dan ia siap memberikan penjelasan. “Itu kan bukan hal baru dan semua sudah saya bantah di hadapan penyidik saat menjadi saksi di KPK beberapa waktu yang lalu,” kata Bambang, Selasa (28/5/2013) sore. Ia mengaku tak hadir dan meminta KPK memutar CCTV di tempat pertemuan dalam sidang berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua DPR?Seperti halnya Ketua MPR Bambang Soesetyo, Ketua DPR Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR (Muhaimin Iskandar, Azis Syamsuddin, dan Rachmat Gobel) memiliki rekam digital terkait tindak pidana korupsi selama menjabat. Puan Maharani yang memiliki harta kekayaan Rp 363,79 miliar Berdasarkan pengumuman LHKPN pada situs https://elhkpn.kpk.go.id itu melaporkan harta kekayaannya pada 30 Maret 2019, disebut-sebut terciprat uang haram kasus e-KTP. Dalam sidang kasus e-KTP, Setya Novanto menyebut, ada uang hasil korupsi yang mengalir kepada dua politisi PDIP, yakni Puan Maharani dan Pramono Anung. Menurutnya, keduanya masing-masing mendapatkan 500.000 dollar Amerika Serikat. “Bu Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP, dan Pramono Anung adalah 500.000 dollar AS. Itu keterangan Made Oka,” kata Setya Novanto kepada majelis hakim saat diperiksa sebagai terdakwa, seperti dikutip Kompas.com, Jum’at (23/03/2018, 14:40 WIB). Menurut Novanto, suatu ketika pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Made Oka Masagung datang ke kediamannya. Oka menyampaikan, ia sudah menyerahkan uang kepada anggota DPR.“Saya tanya, 'Wah untuk siapa?'. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, ada Andi untuk Puan Maharani 500.000 dan Pramono 500.000,” kata Novanto. Disebutkan, nama Pramono dan Puan diketahui tidak termasuk dalam daftar penerima aliran dana korupsi e-KTP yang disusun jaksa KPK dalam dakwaan. Keduanya juga belum pernah diperiksa sebagai saksi oleh KPK.Pramono sendiri membantah tudingan itu. Saat proyek e-KTP bergulir, ia memang menjabat Wakil Ketua DPR. Namun, jabatannya itu tidak berkaitan dengan Komisi II yang membahas proyek e-KTP. (Bersambung)***
Kerak Demokrasi Bernama Buzzer
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Berita demonstrasi mahasiswa dan anak-anak STM sudah redup. Namun di media sosial orang masih meributkan tentang kotornya tingkah buzzer pemerintah. Gonggongan mereka sudah dianggap merusak demokrasi. Ulah kaum bayaran yang membela habis-habisan kebijakan Jokowi itu membuat sang presiden menjadi anti-kritik. Mereka menyebarkan kabar tentang ambulans berlogo pemerintah DKI Jakarta yang berisi batu saat unjuk rasa pelajar Sekolah Menengah Atas. Mereka juga mengolok-olok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang mereka perangi sejak pemilihan Gubernur DKI 2017. Belakangan, polisi menyatakan kabar batu dalam ambulans itu itu tidak benar. Para buzzer juga menyebarkan agitasi bahwa KPK dikuasai kelompok agama garis keras yang mereka sebut Taliban. Mereka menyebut Novel Baswedan, penyidik yang dikenal gigih mengusut pelbagai kasus korupsi jumbo, sebagai antek khilafah. Ketika timbul dukungan kepada KPK, mereka menyerang para pendukung itu dengan memberi mereka label pendukung khilafah. Para buzzer ini menggiring opini terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK sebagai sosok yang akan membersihkan KPK dari Taliban. Buzzer telah menjadi kerak dalam demokrasi. Tempo menyebut para buzzer ini adalah produk gagal dari era kebebasan berpendapat. Memanfaatkan kemampuan menulis dan fanatisme pembacanya, mereka mengemas kabar bohong sedemikian rupa sehingga terlihat benar. Para buzzer itu sebagian adalah eks wartawan. Buzzer, Influencer atau Rain Maker Makna buzzer harusnya baik-baik saja. Hanya saja, sejak para penggonggong itu berulah, kelewatan membela junjungannya, buzzer berubah menjadi berkonotasi negatif. “Ih amit-amit, ada buzzer,” ujar seseorang dengan melengoskan wajahnya. Buzzer berasal dari Bahasa Unggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Bisa juga dibilang kentongan. Ya, alat tradisional tempo dulu yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat ada pengumuman atau berita penting. Buzzer, influencer atau rain maker maknanya tak jauh beda. Influncer adalah orang yang mampu mempengaruhi follower, sehingga memberikan efek buzz di media sosial. Seorang buzzer bisa diartikan orang yang mempromosikan, mengiklankan dan mengkampanyekan orang, produk, dan jasa. Itu makna netralnya. Positif. Pada Pilpres kemarin masing-masing pasangan capres cawapres terindikasi “memelihara” buzzer. Walau tak sedikit juga buzzer relawan yang tidak terkait dengan jaringan buzzer bayaran. Ada yang menjadi buzzer karena sekadar ingin menunjukkan pilihannya saja. Mereka ini tak dibayar oleh siapa pun. Pilpres sudah selesai. Pemenangnya sudah jelas. Joko Widodo dan Prabowo Subianto sudah cipika-cipiki. Makan sate bersama. Prabowo juga sudah sowan ke rumah Megawati Soekarnoputri. Mereka makan nasi goreng bersama. Siapa jagoan siapa pencundang tak lagi dipersoalkan. Tapi jangan salah. Pekerjaan buzzer tak lantas habis. Mereka masih berisik. Lalu, siapa yang membiayai mereka? Indikasinya cukup terang benderang. Istana di balik mereka. Kakak Pembina Pengendali itu mereka sebut sebagai Kakak Pembina. Ada yang menyebut sang kakak itu adalah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Simpul mereka ada di mana-mana, termasuk di kepolisian. Pada saat demo mahasiswa melanda negeri ini, mereka saling berkoordinasi. Beberapa kali mereka saling “kopi darat”. Tentu saja Moeldoko membantah perihal itu. Ia tertawa saat wartawan menyebut dirinya sebagai Kakak Pembina Buzzer, "Yang mana lagi, saya belum pernah baca itu." Hanya saja, dia mengakui buzzer-buzzer tersebut dulunya adalah relawan dan pendukung fanatik. Hanya saja, menurutnya, buzzer itu tidak dalam satu komando. Tidak dalam satu kendali. “Masing-masing punya inisiatif, para buzzer tidak ingin idolanya diserang, disakiti, akhirnya bereaksi," katanya, Kamis (3/10). Moeldoko boleh saja bilang begitu. Sah-sah saja. Itu tidak salah. Buzzer yang punya akses ke Istana memang tidak banyak. Pada 24 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo mengundang mereka dengan label pegiat medsos. Mereka dijamu makan siang oleh Presiden. Kala itu, pertemuan digelar tak lama usai kepolisian menangkap kelompok Saracen. Polisi menggambarkan Saracen sebagai kelompok yang berbahaya karena kerap menyebarkan konten hoaks di media sosial. Belakangan, Saracen tidak terbukti ada. Ada yang menduga ini kelompok bikinan saja. Nah, sebagian dari buzzer yang diundang Istana itu kini masih aktif menjadi pemukul kentongan. Mereka menggerakkan buzzer pada lapis bawah. Sebagai gambaran, “industri buzzer” politik memiliki tiga aktor utama, Mereka memiliki peran masing-masing. Aktor pertama adalah pengguna. Kedua, perantara antara user dan buzzer. Posisi ini biasanya digawangi agensi. Di tingkatan paling bawah adalah buzzer. Lazimnya buzzer bekerja secara individu bisa pula berkelompok di bawah kepemimpinan koordinator. Ketika sudah menjadi buzzer, mereka akan berada dalam satu grup obrolan. Di sini, peran masing-masing diatur. Segala materi dibagikan. Suplai bahan dari pemerintah. Setelah itu buzz … bahan-bahan yang sudah diolah itu diposting ke medsos. Para penggonggong punya hubungan kuat dengan penguasa dan aparat negara. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan profil pihak yang dianggap sebagai lawan, seperti kartu tanda penduduk, nomor telepon, bahkan jenis telepon seluler yang digunakan. Dukungan pemerintah kepada buzzer pun terlihat dengan pemberangusan akun-akun yang punya sikap berbeda, yang dituding menyebarkan kabar bohong. Kolaborasi para buzzer dengan aparat negara ini pada akhirnya memperkuat kartel kekuasaan yang memberangus kebebasan berpendapat dan berbicara. Akun Palsu Pengerahan buzzer oleh pemerintah Indonesia itu sempat diulas dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Laporan itu bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Keduanya membeberkan bahwa pemerintah menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik. Pemerintah dan partai-partai politik juga memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot. Berdasarkan isinya, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Para buzzer, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp1 juta sampai Rp50 juta. Para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Sementara itu, Peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, menyebut pendapatan buzzer politik di media-media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR). “Buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari,” ujarnya seperti dikutip Antara, Maret lalu. Seorang koordinator buzzer, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Buzzer yang direkrut pemerintah tentu saja dibayar dengan menggunakan APBN atau sumber-sumber lain yang tidak jelas. Hanya saja, untuk membuktikan itu bukan pekerjaan mudah. Pastinya, daya rusak para buzzer ini sungguh dahsyat. End