𝐒𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐊𝐨𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤, 𝐖𝐡𝐚𝐭 𝐍𝐞𝐱𝐭?
Oleh To𝐧𝐲 𝐑𝐨𝐬𝐲𝐢𝐝 - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
BAGI banyak orang, sukses terbentuknya Koalisi Perubahan itu mengejutkan. Tapi, bagi mereka yang akrab dengan teori sejarah, saya lebih suka menyebutnya "teori keniscayaan", pasti tidak ikut terkejut. Sebab, semua itu bisa dianalisa. Saya belajar teori ini dari dialektika sejarah Marx. Teorinya makro, tapi bisa kita pakai untuk kasus yang lebih mikro.
Dalam teori keniscayaan historis (ini istilah yang saya suka) bisa kita analisis bahwa setiap kelompok ditentukan oleh kebutuhan obyektifnya. Bukan berdasarkan suka tidak suka (like and dislike). Ada satu pilihan yang tidak bisa dihindari kecuali mengharuskan untuk dipilih. Inilah rekayasa Tuhan, kata para agamawan.
Mari kita bedah. Nasdem, di bawah kepemimpinan Surya Paloh dengan operator Ahmad Ali sebagai Waketum, memiliki karakter untuk selalu terdepan dalam membuat keputusan politik. Nasdem menemukan Anies yang dianggap paling potensial memimpin Indonesia 10 tahun kedepan. Potensial dalam pengertian pragmatis dan idealis. Punya kemampuan dan potensial menang. Maka, tahun 2019 pasca pilpres, infonya Nasdem sudah punya rencana untuk deklarasikan Anies di akhir tahun 2022. Rencana itu terealisasi.
Demokrat, tidak ada pilihan lain kecuali tetap berada di Koalisi Perubahan. Ke PDIP, sulit nyambung. Perlu effort terlalu besar dan menguras energi. Ke Gerindra-PKB, ada histori yang membuat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sering tidak satu frekuensi dengan Prabowo. Ke KIB, capresnya belum ada. Sebagai pendatang baru akan dijadikan anggota kelas dua. Alias tidak punya bergaining power yang kuat. Juga tidak menguntungkan bagi Demokrat karena identitas sebagai partai oposisi akan seketika lenyap dan tidak bisa dikapitalisasi untuk kampanye.
Sementara PKS memang partai oposisi. 10 tahun konsisten menolak bergabung dengan koalisi pemerintahan, apapun dan berapa tawarannya. Tidak ada pilihan yang rasional bagi PKS kecuali mendukung capres yang dijadikan icon oposisi, yaitu Anies Baswedan. PKS juga disandera oleh konstituennya yang lebih dari 80 persen mendukung Anies.
Ini juga akan berlaku buat PPP dan PAN. Dua partai ini akan "bunuh diri" jika tidak ikut mengusung Anies. Sebab, mayoritas konstituen dari dua partai ini adalah pendukung Anies. Tinggal bagaimana keduanya dapat alasan dan timing yang tepat untuk menyatakan dukungan ke Anies tanpa harus berhadap-hadapan dengan istana.
Pada akhirnya nanti, istana juga akan melunak jika gelombang dukungan kepada Koalisi Perubahan mampu mengantarkan Anies selangkah lebih dekat dalam meraih kemenangan di pilpres 2024.
Setelah Koalisi Perubahan terbentuk, tugas selanjutnya adalah pertama, bagaimana konsolidasi tiga partai dengan para simpul relawan Anies mampu menciptakan kerja-kerja politik yang lebih produktif dan efektif di setiap daerah.
Kedua, bagaimana Koalisi Perubahan mampu menjadi magnet bagi partai-partai lain untuk ikut bergabung. Koalisi Perubahan mesti membuka diri untuk bergabungnya parpol dari KIB jika KIB tidak mendapatkan pasangan capresnya. Begitu juga dengan Gerindra dan PKB jika keduanya tidak ada titik temu.
Membuka diri artinya Koalisi Perubahan mesti mau berbagi peran dan menyiapkan posisi kepada calon-calon parpol yang memungkinkan diajak bergabung.
Bertambahnya jumlah anggota Koalisi Perubahan, ini akan lebih memudahkan dan mengefektifkan koalisi ini untuk memenangkan kontestasi pilpres 2024.
Saat ini, Anies Baswedan menjadi magnet yang paling menarik diantara kandidat-kandidat lain. Tinggal bagaimana mengkapitalisasinya untuk menjadi gelombang kekuatan yang lebih besar lagi dalam memenangkan pilpres 2024.
Bogor, 31 Januari 2024