212: Injury Time Rezim Jokowi
Oleh: Yusuf Blegur
Eskalasi intimidasi, tekanan dan bahkan teror terhadap kekuatan Islam di Indonesia terus meningkat. Strategi melumpuhkan pemimpin-pemimpin Islam yang teguh dan istiqomah terhadap Al Quran dan sunah, menjadi prioritas dan mendesak untuk diprogram dan direalisasikan secara masif, sistematik dan terorganisir. Pemerintah yang di dalamnya kental dengan gerombolan anti Islam ini, tahu betul memanfaatkan umat Islam yang rapuh, tercerai-berai dan patron klain terhadap pemimpin-pemimpin agama. Seperti memuntahkan peluru dari pelbagai penjuru mata angin. Serangan brutal rezim kekuasaan mulai menggerogoti umat Islam. Satu persatu mulai dibidik, terutama mulai dari para ustadz, kyai hingga kalangan habaib. Kepemimpinan Islam dalam ranah struktural, kultural hingga barisan intelektual dan pro demokrasi mulai dilumpuhkan. Rezim sepertinya sangat paham dengan memasung Ulama, umat Islam bagai rangkaian gerbong tanpa lokomotif. Seperti apa yang disampaikan Kapolri Jenderal Sigit Sulistyo belum lama ini. "Kalau tidak bisa mengatur ekor, potong kepalanya. Narasi bersayap yang tepatnya mengarah ke umat Islam ketimbang pada pembenahan internal jajaran polri.
Sejarah selalu menunjukkan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa kekuatan Islam yang begitu radikal dan fundamental yang melahirkan kemerdekaan Indonesia. Namun sepanjang kemerdekaan itu berlangsung hingga kini. Islam tetap tidak pernah menikmati buah perjuangannya yang begitu besar dan tak ternilai. Selain tergusurnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Praktis penyimpangan awal dan dasar dalam balutan konsensus nasional. Hingga kini terus diikuti problematika dan kegagalan-kegagalan mewujudkan masyarakat adil makmur. Paling terdampak signifikan dari kerusakan sistem dan tata kelola negara adalah keberadaan umat Islam. Selain urung menikmati negara kesejahteraan, umat Islam seperti menjadi langganan dan abadi mengalami destruksi dan pendangkalan aqidah.
Melalui framing jahat dan penghancuran halus dengan narasi moderasi. Islam secara bertubi-tubi dan tak pernah berhenti, mengalami serangan dahsyat dari konspirasi peradaban gelap dunia. Secara global ataupun di Indonesia khusunya, Islam selalu menjadi korban dari kebencian dan peperangan yang dilakukan kaum kapitalis-komunis. Begitu luas dan bervariasi tuduhan dan fitnah terhadap umat Islam dari siapapun golongannya. Seperti maklumat visioner Al Quran yang menyebutnya kaum kafirun, munafikun dan fasikun. Semua produk pemikiran sesat yang sejatinya sama, bisa tampil dalam kemasan liberal, sekuler dan termasuk atheis. Aliran pemahaman yang menghilangkan keberadaan Tuhan dan menjadikan dunia beserta materi sebagai berhala. Mereka yang menyiram umat Islam dengan julukan intoleran, radikal, fundamental hingga teroris. Padahal merekalah sejatinya asal dan yang mengembangkan. Merekalah perangai setan berwujud orang-orang diluar Islam yang membuat kerusakan, tipu muslihat dan beragam makar di dunia. Peradaban menunjukkan penganiayaan bahkan mengarah genosida terhadap umat Islam tak bisa ditutup-tutupi dari kenyataan umat Islam di Irak, Mesir, Suriya, Uyghur China, Tibet dll., yang dilakukan non muslim.
Situasi Kritis dan Kekalahan Rezim
Rezim Jokowi saat ini boleh mengusung dada telah memiliki segalanya. Merasa kekuasaannya telah memiliki dan mengatur semua kehidupan rakyat. Apa yang kurang untuk menyatakan kekuatan absolutenya selain birokrasi, politisi dan militer termasuk intelektual sesat dan organiasasi massa yang melacur. Belum lagi ditambah sokongan dana dari para cukong yang mewakili negara-negara adidaya dan borjuasi korporasi. Rezim yang menyandang status pemerintahan boneka dan kumpulan oligarki ini. Seperti jumawa dan merasa angkuh dengan kekuasaannya yang mampu membawanya pada fase diktator dan otoriter. Rezim tiran yang represif dan bengis ini berhasil melumpuhkan kedaulatan rakyat. Pemerintahan yang sarat dipenuhi korupsi, kolusi dan nepotisme dalam setiap kebijakan dan bahkan pada mimpinya sekalipun.
Namun sedemikian besar dan kuat kekuasaan yang digenggamnya. Seiring waktu rezim Jokowi juga punya batasan. Tak ada pesta yang tak akan berakhir. Seperti kapitalisme betapapun kuatnya, ia akan sekarat dari dalam. Begitu juga dengan rezim Jokowi, yang didalamnya sudah saling lempar bola, menuding dan cakar-cakaran. Termasuk bola panas menteri BUMN Erick Tohir yang sudah menyeret-nyeret Jokowi dalam kasus sengkarut bisnis PCR. Pertengkaran di dalam lingkaran istana boneka itu bukan yang pertama dan terakhir mengiringi pemerintahan Jokowi. Termasuk pentolan relawan Joko Mania, Emanuel ebanezer yang menuntut hukuman mati bagi para menteri yang terlibat bisnis PCR. Tuntutan yang mengarah salah satunya pada Luhut Binsar panjaitan orang dekat Jokowi sekaligus presiden bayangan. Apapun motifnya relawan dan para buzzer, setidak menandai gontok-gontokan saling berebut pengaruh dan kue kekuasaan dari dalam sendiri.
Kerapuhan dan gentingnya pemerintahan Jokowi juga dipenuhi oleh banyaknya kegagalan pembangunan dan kinerja buruk para pembantu dan gerbong akomodasi politiknya. Selain tidak sedikit mangkraknya proyek infra struktur dan bangkrutnya BUMN strategis. Banjir Sintang Kalbar yang belum surut sebulan ini, seperti menyiratkan perilaku rezim yang suka merusak lingkungan dan ekosistem kehidupan mahkluk hidup. Negara juga terancam lilitan utang yang tak terbayar akibat manajemen ugal sang presiden. Kemunduran dan kegagalan kinerja seakan menyempurnakan rezim Jokowi yang kadung telah distempel rakyat dengan raja segala keburukan dan sebagai presiden yang tak pernah tepati janji.
Akan tetapi, dari buruknya performancenya dan berbahayanya rezim Jokowi menjaga kedaulatan NKRI dalam soal-soal ekonomi, politik, hukumuyyg dan keamanan. Sepertinya, ada yang jauh lebih beresiko. Lebih mengkhawatirkan dan berdampak fatal, tatkala Jokowi dan instrumen kekuasaannya memusuhi dan cenderung anti Islam. Hingga perkembangan terakhir setelah penangkapan Ustadz Dr. Farid Ahmad Okbah, Dr. Ahmad Zain An Nazah dan Ustadz Dr. anung Al-Hamat. Mereka yang menjadi bagian dari Ulama dan representasi umat Islam. Mendapat perlakuan yang tidak bermartabat dan tidak senonoh dari perilaku rezim Jokowi. Kekuasan Jokowi benar-benar merendahkan marwah para Ulama yang bisa berarti merendahkan para Nabi dan selanjutnya pada agama Islam secara keseluruhan. Apapun motif, alasan dan justifikasi pemerintah, di mata umat Islam telah usang dan tak berdasar. Terutama saat masih bernafsu mengumbar masalah terorisme dan atau stereotif lainya untuk mengeksploitasi dan menggembosi umat Islam.
Selain tingkat kejumudan yang akut dari umat Islam. Jualan isu dan sentimen keagamaan itu, justru malah membangkitkan emosi umat Islam. Gejolak psikis yang memungkinkan mendorong kemarahan dan perlawanan umat Islam. Sederet penistaan, kriminslisasi, bahkan pendangkalan aqidah terhadap pemimpin, umat dan agama Islam. Mungkin saja tidak meledak karena benteng shalat dan kesabaran umat Islam. Namun kali ini, seiring waktu umat Islam mulai melakukan refleksi, evaluasi dan kontemplasi. Boleh jadi berubah mewujud klimaks dari kesadaran krisis umat Islam. Terlebih waktu mendekat pada kalender tanggal 2 desember penghujung tahun ini. Sebagai flasback peristiwa 2-12-2016 yang monumental bagi gerakan Islam yang hakikatnya kehendak IIahi. Momentum ikonik dan bersejarah bagi umat Islam yang telah membuktikan kekuatan umat Islam di Indonesia. Oleh situasi dan keadaan, sepertinya akan memaksa terjadinya pengulangan sejarah itu. Apa yang dikenal dengan 212 itu, akan menjadi senjata efektif bagi umat Islam untuk mengembalikan kebaikan dan kebenaran bagi agama, negara dan bangsanya. Tentu saja kebalikan yang akan dirasa rezim Jokowi. Situasi dan kondisi itu jika sampai terjadi lagi. Tampaknya akan menjadi episode yang menentukan bagi keberadaan dan kesinambungan eksistensi pemerintahan Jokowi.
Bagi umat Islam sendiri, ini menjadi menarik. Selain merupakan titik balik. Upaya reunian 212 itu akan menjadi roh dan giroh kekuatan umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan selama ini. Bukan sekedar gerakan kultural, 212 juga akan mewujud sebagai kekuatan politik Islam yang selama ini tidur panjang dan mengalami mati suri.
Negara dan rakyat seakan menunggu, akankah kebangkitan Islam bukan sekedar utopi. Mampukah ukuwah Islamiyah hadir ditengah degradasi keagamaan selama ini?. Akankah resolusi jihad secara substansi dan esensi dapat mewujud melawan semua kedzoliman sebagai upaya menegakan amar maruf nahi mungkar pada kejahiliyahan zaman modern?.
Layaknya perjalanan sebuah episode, bukan tidak mungkin momentum 212 menjadi injury time bagi pemerintahan Jokowi. Sebuah pembuktian game, diantara kedigdayaan atau kekalahan sebuah rezim dari geliat rakyat. "There is point of no return" begitulah menggambarkan situasi dan kondisi yang berkembang. Bisa juga "blessing in disquise" bisa diambil bagi keduanya yang saling berhadap-hadapan, sembari berharap dan menunggu ketentuan Allah Subanahu wa ta'ala.
Wallahu a'lam bishawab.
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.