AKBP Idham Azis Pernah Terkena Sanksi Karena Kasus Perjudian
Dikhawatirkan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air karena takut berhadapan dengan “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” punya hubungan kedekatan masa lalu dengan Kapolri. Kasian, pemerintahan Pak Jokowi juga dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi.
Oleh Nasrudin Joha
Jakarta, FNN – Pada tahun 2004, kalangan enternal polisi dan dunia perjudian di tanah air dibikin heboh. Penyebabnya Kapolri ketika itu Jendral Polisi Drs. Da’i Bachtiar marah besar. Akibatnya, Kapolri Da’i mencopot sejumlah perwira menengah polisi jabatannya masing-masing. Mereka yang dicopot dari jabatanya tersebut, umumnya bertugas di jajaran Polda Metro Jaya.
Para perwira menengah Polda Metro Jaya yang dicopot itu, dipindahkan ke polda-polda di daerah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah. Mereka ditempatkan di Papua, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Mereka dicopot dari jabatannya, karena danggap membiarkan perjudian marak dan telanjang mata terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Padahal perjudian dengan dalih apapapun adalah pelanggaran terhadap pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 303 KUHP ini di kalangan pelaku perjudian tanah air, sering disebut dengan “Pasal San Kong San. Bahasa cinanya San yang berarti angka tiga. Kong artinya angka nol atau kosong, dan San lagi tetap artinya tiga.
Akibatnya, Telegram Rahasia (TR) Kapolri Da’i Bachtiar untuk mencopot dan memindahkan sejumlah perwira menengah dari Polda Metro Jaya ke Indonesia Timur dan Indonesia Tengah itu, terkenal dengan nama “TR San Kong San”. Ada juga yang menyebutnya dengan TR 303. Yang lain menamakannya TR perjudian.
Satu diantara perwira menengah Polda Metro Jaya yang terkena atau ikut terdampak dari terbitnya “TR San Kong San” adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Drs. Idham Azis. Calon Kapolri pengganti Tito Karnavian ini dipindahkan Da'i Bachtiar ke Polda Sulawesi Tengah.
Jabatan Idham Azis ketika itu adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Sebelum menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat, Idham Azis menjabat Kasat Jatanras atau biasa disebut Kasatum. Organ di bawah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Kasatum Polda Metro Jaya ketika itu adalah penanggung jawab lapangan semua kegiatan perjudian dan prostitusi. Aturan bakunya, Kasatum harus memastikan tidak ada kegiatan perjudian dengan dalih apapun, dan dalam bentuk apapun yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Namun jika ada kegiatan perjudian secara terbuka, maka dipasatikan penyebabnya ada dua kemungkinan.
Kemungkinan Pertama, perjudian ketika itu memang marak, dan terbuka di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Siapapun bisa bermain judi dengan gampang dan bebas. Penulis sering ikut menyaksikan dan menemani teman yang bermain judi di beberapa tempat perjudian.
Namun bisa saja kegiatan perjudian berlangsung dengan bebas dan terbuka. Tetapi tanpa sepengetahuan Kasatum Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian di bawahnya. Artinya, perjuadian yang terjadi adalah ilegal atau liar. Sayangnya, para bandar judi tidak ditindak, sehingga membuat Kapolri Da’i Bachtiar harus marah besar.
Kemungkinan Kedua, perjudian memang berlansung, namun liar. Artinya, ada perjudian tanpa izin. Namun bisa saja perjudian tersebut hanya bisa berjalan dengan leluasa, karena sepengetahuan jajaran Kasatum Polda Metro Jaya. Artinya, ada yang tau sama taulah. Bahasa kerennya ada yang hengky pengky. Walaupun demikian, setiap saat mereka bisa juga ditangkap atau tempat judinya ditutup bila diperlukan .
Secara struktur, seharusnya AKBP Drs. Idham Aziz tidak perlu terkena sanksi atau terdampak “TR San Kong San”. Sebab jabatan Idham adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Wakapolres tidak memiliki kaitan komando langsung terhadap kegiatan perjudian di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat.
Kewenangan tersebut hanya ada pada Kapolres atau Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat. Palaksana lapangannya adalah Kanit Voice Control (VC). Bawahan dari Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat
Kapolri Jangan Tersandara
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang menjadi bandar perjudian di wilayah hukum Polda Metro Jaya didominasi oleh kelompok “Naga Sembilan”. Mereka juga yang sekarang mengontrol lebih dari separuh roda perputaran ekonomi nasional. “Naga Sembilan” pula yang mengendalikan separuh sistem hukum kita sekarang. Sayangnya, mereka tidak pernah berwujud atau nongol ke permukaan
Rasanya sangat sulit bagi siapapun untuk bisa menang di Polisi, Jaksa dan Pengadilan, jika berperkara dengan “Naga Sembilan”. Kekuasaan dan kekuatan hukum sebesar apapun, sepertinya tidak bisa untuk menghukum kedigjayaan “Naga Sembilan”. Apa jadinya bila Kapolri kita nanti adalah orang yang pernah bersentuhan dengan “Naga Sembilan”?
Siapa pelaku binis negeri ini atau investor asing yang berani berperkara secara hukum melawan anggota kelompok “Naga Sembilan”? Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan iklim usaha dan investasi di tanah air. Paling kurang selama satu tahun tiga bulan ke depan. Selama kurun waktu Idham Azis menjabat sebagai Kapolri.
Kita tidak ingin Kapala Polisi Indonesia disandra oleh para pengusaha hitam. Jangan juga sampai Kapolri kita dikendalikan oleh kelompok “Naga Sebilan”. Kapolri, siapapun orangnya harus terbebas dari pengaruh mavioso. Sebab kalau sampai Kapolri punya beban masa lalu dengan para mavioso perjudian dan prostitusi, maka itu pertanda buruk. Kasian sekali perjalanan bangsa ini untuk lima belas bulan ke depan.
Dikhawatirkan kalangan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air, hanya karena takut berhadapan dengan kelompok “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” mempunyai kedekatan hubungan di masa lalu dengan Kapolri. Kasian juga bagi pemerintahan Pak Jokowi, karena dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi.
Padahal Indonesia sekarang membutuhkan investasi dalam yang jumlah sangat besar. Indonesia butuh invetasi, baik dari dalam negeri maupun asing. Tujuannya, untuk bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% setiap tahun. Untuk itu, dibutuhkan pejabat bidang hukum yang lumayan-lumayan bersihlah.
Semua neraca dan indikator ekonomi Indonesia sekarang ini merah. Defisit neraca perdagangan merah sangat besar. Bahkan defisinya terbesar sepanjang Indonesia, sejak merdeka tahun 1945. Nilai defisitnya antara U$ 8-9 miliar dollar. Selain itu, neraca pembayaran juga merah. Begitu pula dengan necara penerimaan dari pajak, yang juga merah.
Semua indikator ekonomi Indonesia yang lemah dan merah tersebut, telah mendorong Pak Jokwi harus melakukan kompromi politik dengan rivalmya Prabowo Subianto. Tujuannya, agar tercipta iklim politik yang kondusif. Targat akhirnya adalah masuknya investasi, terutama dari luar negeri dalam jumlah yang besar, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% setiap tahun.
Namun keinginan yang mulia tersebut, ternyata belum cukup Pak Jokowi. Masih dibutuhkan pejabat di bidang hukum yang tidak punya rekam jejak masa lalu dengan pengusaha hitam. Mereka adalah para penguasa yang dulu mengendalikan bisnis perjudian dan prostitusi. Tentu saja mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Apalagi marasa memiliki kedekatan emosional dengan Kapolri nantinya.
Jika pejabat bidang hukum punya jejak masa lalu dengan para mavioso dan pengusaha hitam, dikhawatirkan akan menyulitkan Pak Jokowi dalam merealisasikan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Kecuali jika pada periode kedua ini, Pak Jokowi tidak lagi mengutamakan pelaksanaan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”.
Pak Jokowi, ketika “TR San Kong San” tersebut keluar dulu, sangat mungkin Pak Jokowi tidak mengetahuinya. Karena tahun 2004 Pak Jokowi baru mulai perisiapan menjadi Walikota Solo periode pertama. Mungkin juga Pak Jokowi sedang sibuk-sibuknya mengurus modrenisasi Pasar Kliwer Solo.
Pak Jokowi baru masuk Jakarta tahun 2012, untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Kebetulan saja ketika itu, penulis adalah wartawan senior dari Majalah Hukum dan Politik. Semoga fakta dan informasi ini bermanfaat bagi pimpinan dan anggota Komisi III DPR. Sebab mulai Rabu besok ini Komisi III DPR melakukan rangkain uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Polisi Drs. Idham Azis sebagai calon Kapolri
Terakhir, tulisan ini bukanlah karena adanya kebencian atau suka dan tidak suka penulis kepada pribadi Komjen Polisi Drs. Idham Azis untuk menjadi Kapolri. Bukan juga sebagai upaya untuk menghalangi atau menjegal Idham Azis menjadi Kapolri,
Tulisan ini hanya sebagai sumbangan kecil dari pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai anak bangsa. Hanya karena masih punya kepedulian kepada bangsa dan negara. Tulisan ini juga sebagai bentuk kecil dari cinta penulis kepada bangsa.
Menurut penulis, bangsa ini sedang tidak aman secara ekonomi dan hukum. Berdosa sekali kalau penulis tidak meyampaikan fakta ini kepada publik. Kepada Pak Jokowi dan Komisi III DPR. Paling kurang, mudah-mudahan saja ketika menjadi Kapolri nantinya, Jendral Polisi Drs. Idham Azis lebih hati-hati dalam memimpin intitusi kepolisin. Insya Allaah, Amin amin amin
Penulis adalah Wartawan Senior