Anies, Berbahayakah Bagi Oligarki?

Seiring menguatnya dukungan rakyat yang menghendaki menjadi presiden, Anies dihadapkan pada realitas ada partai politik dan korporasi tertentu yang bersikukuh mengusung capresnya masing-masing. Anies pun ditantang untuk merasionalisasi demokrasi dan kontestasi pilpres yang bertendensi menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan terjebak pada dikotomi  capres oligarki dan  capres non-oligarki, demokrasi harus bisa melahirkan pemimipin yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI

KONSTELASI pileg dan pilpres 2024 semakin dinamis. Bursa capres semakin memanas. Tak hanya pejabat dan politisi yang menggeliat, korporasi juga disebut-sebut memainkan peranan penting dan dianggap piawai memenangkan seorang capres. Seperti keniscayaan, ada keyakinan publik tak ada capres yang tak didukung pengusaha. Tak ada urusan politik tanpa di dalamnya terlibat soal-soal ekonomi. Ekonomi dan politik bagaikan setali tiga uang, tak dapat berdiri sendiri, tak dapat berjalan masing-masing. Keduanya seperti matahari kembar, satu sumber atau sistem, meski pencahayaannya tersebar. Seperti itulah keberadaan capres dan korelasinya dengan eksistensi  pengusaha. 

Mengapa tidak?, karena   para pengusaha bermodal besar itu ingin mengamankan investasi, melanjutkan dan menyelesaikan proyek-proyek strategis. Melalui pemerintah,  penanaman modal mega proyek dan utang dari pengusaha yang melibatkan swasta, BUMN dan negara tertentu, tidak hanya terkait bisnis melainkan kontrak perjanjian internasional.

Perjanjian dan kerjasama tersebut erat kaitannya dengan keberadaan negara dan  potensi kekayaan di dalamnya. Dengan demikian, bukan hanya pada aspek bisnis semata, investasi dan proyek pembangunan itu memiliki konsekuensi hukum juga. Hal demikian itu tidak sebatas personal, tapi juga antar pemerintah dan negara.

Ada negara dengan sumber daya alam berlimpah tentunya mengundang minat dan kehadiran pengusaha atau investor. Hampir bisa dipastikan, terpilihnya seorang presiden di negara-negara belahan dunia, peran pengusaha yang menyokongnya menjadi sagat signifikan.

Pemilu langsung yang membuka ruang lebar bagi praktek-praktek kapitalisasi, mendorong proses demokrasi menjadi sangat komersil. Hampir setiap tahapannya mesti melewati kegiatan transaksional. Penyelenggaraan pemilu yang berbiaya besar, membuat kontestasi figur dalam pemilu baik pileg dan pilkada maupun pilpres juga membutuhkan biaya tinggi. Ada uang ada suara. Jangan harap bisa menjadi anggota legislatif, kepala daerah dan terlebih presiden jika tak punya uang fantastis.

Begitu besar pengelolaan anggaran negara oleh kepemimpinan dan birokrasi  dari hasil pemilu dan pilpres. Menjadi tak terhindarkan bagi seorang kandidat  khususnya capres membutuhkan kontribusi dunia usaha atau korporasi. Capres dan pengusaha  seperti sedang menjalin  hubungan simbiosis mutual. Capres butuh uang untuk terpilih menjadi presiden, pengusaha membutuhkan presiden untuk menghasilkan uang.

Lalu bagaimana dengan demokrasi yang hakiki, bagaimana proses kedaultan rakyat yang sesungguhnya dalam memilih pemimpinnya? Pemikiran itu seperti mustahil atau mimpi yang sulit diwujudkan. Sebagai negara yang menganut sistem kapitalisme liberal, Indonesia akan sulit mendapatkan pemimpin yang murni terbebas dari pseudo demokrasi. Hanya akan ada pemimpin boneka yang bekerja untuk kepentingan asing baik berupa state ataupun multi trans nasional. Presiden yang terpilih hanya jadi petugas yang bekerja menghisap kekayaan alam dan sumber-sumber daya ekonomi lain dari negaranya.

Anies hadir tak ubahnya seorang pemimpin yang mampu melakukan "breaking ice" terhadap kebekuan dan distorsi implementasi demokrasi. Konon sejak berlakunya pemilu baik pileg dan pilpres langsung yang dimulai pada tahun 2004, maka kekuatan uang yang menjadi inti dan menentukan kelangsungan proses demokrasi.  Terutama pada pilpres dua periode terdahulu, menjadi pilpres yang paling buruk baik dari segi proses maupun hasilnya. Saat itu tak perlu pemimpin yang cakap dan memiliki integritas.  Tak penting pemimpin yang jujur dan adil serta memiliki sifat amanah. Hanya butuh uang berlimpah sebagai mesin politik dan alat pencitraan yang ampuh memenangkan pilres.

Belajar dari itu dan seiring kehendak rakyat.  Menghadapi pilpres 2024, Anies berusaha tampil mengubur pengalaman buruk dan performa usang seorang pemimpin. Anies tertantang mengikuti, melaksanakan dan berproses membangun demokrasi yang sehat dan berkeadaban. Anies hendaknya mampu menjawab kerinduan masyarakat bahwa demokrasi formal dan konstitusional masih bisa diselamatkan dan kedaulatan rakyat yang berlandaskan kemurnian Pancasila dan UUD 1945 yang asli,  secara perlahan namun pasti bisa diimplementasikan.

Sejalan dengan itu, bagaimana Anies menjawab keberadaan oligarki yang  berupa partai politik dan korporasi?. Sebagai pemimpin yang  in syaa Allah terpilih sebagai presiden pada pilpres 2024. Anies harus menjalankan sistem dan perform yang kapabel, kredibel dan akuntabel.  Partai politik dan korporasi menjadi bagian tak terpisahkan dari realitas demokrasi saat ini. Keduanya menjadi keniscayaan yang tak dapat dipisahkan dari mekanisme dan proses demokrasi yang sudah berlangsung lama. Penting dan mendesak untuk melakukan sinergi dan elaborasi yang strategis dengan kedua instrumen menentukan bagi hajat hidup orang banyak.

Hanya saja, sesuai visi kepemimpinan yang fokus dan tegas pada upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anies diyakini mampu menjadi supervisi dan peran penyeimbang bagi partai politik dan korporasi untuk bisa sama-sama berkontribusi mengupayakan secara maksimal  keberadaan negara kesejahteraan.  Peran partai politik dan dunia usaha harus terus digiring ke arah pembangunan negara dan manusia seutuhnya. Sejahtera lahirnya dan sejahtera batinnya, untuk itulah peran partai politik dan korporasi mutlak dibutuhkan.

Tanpa menegasikan aspek ekonomi yang vital,  fungsi sosial politik yang sehat dari partai politik menjadi begitu dibutuhkan rakyat negara dan bangsa. Pun sebaliknya, pembangunan basis ekonomi yang dilakukan korporasi tetap menjalin hubungan yang harmonis dan selaras serta ikut menopang pemerintah melakukan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan publik. Antara presiden atau pemerintah dengan partai politik dan khususnya korporasi tetap bisa berjalan equivalen hubungannya, terlepas dari job deskripsinya masing-masing. Ada kesetaraan dan saling menunjang di antara ketiga komponen penting dan strategis dalam tata kelola pemerintahan dan ketatanegaraan itu.

Oleh karena itu, seiring nilai-nilai universal dalam kepemimpinan Anies terhadap aspek khebinnekaan dan kemajemukan, semangat pluralitas dalam mayarakat yang heterogen, serta prinsip-prinsip dasar memobilisasi kesejahteraan umum.  Menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sesutu yang bukan mustahi atau sulit diwujudkan, jika ada rasa kebangsaan yang sama pada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Harus ada kesadaran makna dan kesadaran krisis pada semua entitas sosial politik yang ada. Termasuk berharap pada nasionalisme dan patriotisme dari partai politik dan korporasi. Jika ada pemikiran dan kesadaran spiritual yang seperti itu, rasanya sulit menempatkan Anies sebagai calon presiden yang dianggap mengganggu dan menjadi ancaman terhadap partai politik dan korporasi tertentu. In syaa Allah dan pastinya jika Anies presiden, Anies tidaklah sedikitpun dan sekalipun berbahaya bagi oligarki.

*) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.

Bekasi Kota Patriot, 12 Desember 2022/18 Jumadil Awal 1444 H.

627

Related Post