Anies dan Antagonisme Penguasa
Tadi pagi dalam acara jalan sehat di Pangkep, Sulawesi Selatan tercatat dengan jumlah peserta yang mencapai ratusan ribu. Dan dipastikan dengan peserta gerak jalan tanpa amplop, tanpa tipu-tipu kemasan acara, mereka datang dengan sukarela.
Oleh: Tamsil Linrung , anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI
MEMANG hanya satu hari. Namun, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan relawannya di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) menyisakan residu politik berkepanjangan. Kontroversinya menggiring energi bangsa pada cekcok politik yang tidak perlu.
Di acara itu, Jokowi menyinggung rambut putih dan kerutan wajah sebagai ciri pemimpin yang memikirkan nasib rakyat. Publik menduga narasi itu ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Rambut putih memang salah satu ciri khas Ganjar.
Di waktu lain, Jokowi menetralisir opini publik. Jokowi menyebut Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga memiliki ciri-ciri yang identik dengan kriteria pemimpin yang memikirkan rakyat, sudah mulai ada rambut putih dan kerutan di wajah.
Dukungan terhadap dua bakal calon presiden (bacapres) itu mengundang banyak dugaan. Ada yang mengira Jokowi mendukung hanya salah satunya, ada pula yang menyangka Jokowi hendak memasangkan mereka berdua.
Juga membuka penafsiran lain. Bahwa Jokowi sengaja mengendors keduanya sebagai plan B, kalau-kalau wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan melalui penundaan Pemilu tidak berhasil. Kita tahu, penundaan Pemilu terus digaungkan beberapa tokoh politik. Belakangan bahkan semakin garang dan lantang.
Kesibukan Jokowi dalam urusan dukung-mendukung capres ini mengundang tanda tanya. Sebagai presiden dua periode, seharusnya Jokowi kalem saja, sebagaimana akhir jabatan periode kedua Presiden RI keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Saking sibuknya, sampai-sampai Jokowi dinilai gelisah dan bahkan menyimpan ketakutan di ujung jabatan. Kesan ini ditangkap pula oleh Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman), Immanuel Ebenezer. Juga oleh Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, jauh sebelumnya.
Apa yang ditakuti Jokowi? Immanuel mengaku tidak tahu pasti. Namun, Arbi punya pendapat. Arbi bilang Jokowi memperlihatkan rasa takut kalau tidak (lagi) menjadi presiden akan ditangkap atas sejumlah kasusnya.
Pendapat lain, Jokowi terobsesi mengamankan proyek infrastruktur yang digagasnya, seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dalam situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, segala hal tentu bisa berubah. Termasuk realisasi IKN Nusantara, siapa pun presidennya kelak.
Kegelisahan itu berpotensi memecah konsentrasi Jokowi sebagai presiden. Selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, Jokowi diharapkan fokus menjaga dan memastikan Pemilihan Umum berlangsung jujur, adil dan tepat waktu, bukan malah sibuk mengendors Ganjar atau Prabowo dan bersikap antipati terhadap calon lainnya, Anies Rasyid Baswedan.
Bila sikap itu ditampilkan terus-menerus, prasangka buruk publik tentang kecurangan Pemilu 2024 dipastikan semakin membesar. Apalagi, sejumlah peristiwa politik telah melekat di memori kolektif rakyat. Sebutlah kekhawatiran Soesilo Bambang Yudhoyono terkait potensi Pemilu tidak jujur dan tidak adil atau isu kriminalisasi Anies Baswedan.
Indikator
Adalah hak Jokowi mendukung Ganjar dan Prabowo. Namun, sebagai pemimpin bangsa, Jokowi harusnya tetap mengedepankan pendidikan politik kepada rakyat, bukan mempertontonkan politik gimik demi mengatrol calon yang didukung. Bagaimana mungkin uban dan kerutan wajah dikaitkan dengan pemimpin yang memikirkan nasib rakyat? Kata netizen, Mak Lampir juga punya!
Indikator terbaik menilai calon pemimpin adalah prestasi atau rekam jejak. Namun, berbicara soal ini, kita tahu, Anies-lah juaranya. Maka debat ke arah itu terpaksa dihindari. Kalau perlu, rekam jejak dihilangkan saja.
Penghilangan jejak Anies dicurigai muncul dari sepak terjang Penjabat Gubernur DKI Jakarta yang ditunjuk Jokowi, Heru Budi Hartono. Orang-orang Anies disingkirkan, sistem yang ia bentuk diganti dan bahkan sekadar tulisan nama Anies di dinding lapangan Ingub Klender saja, juga dihapus.
Di Aceh dan Riau, izin safari politik Anies dicabut. Pemerintah daerah punya alasan sendiri. Namun, publik tetap saja menaruh curiga, jangan-jangan peristiwa itu terkait dengan sentimen dan rasa takut penguasa terhadap Anies yang semakin popular. Di mana-mana, rakyat gegap gempita menyambut Anies.
Tadi pagi dalam acara jalan sehat di Pangkep, Sulawesi Selatan tercatat dengan jumlah peserta yang mencapai ratusan ribu. Dan dipastikan dengan peserta gerak jalan tanpa amplop, tanpa tipu-tipu kemasan acara, mereka datang dengan sukarela.
Getar antagonisme penguasa juga merambat di level elite. Relasi Jokowi dan Surya Paloh dinilai menuju titik terendah pascadeklarasi Anies oleh Partai Nasdem. Tak peduli sahabat, sindiran acapkali dilantunkan, sebagaimana penilaian pengamat saat acara ulang tahun Partai Golkar. Sementara ulang tahun Partai Nasdem sendiri tidak dihadiri Jokowi.
Sentimen kepada mereka yang mendukung Anies bukan terjadi jelang Pemilu saja. Jauh sebelumnya, di musim Pilkada DKI Jakarta silam, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir disebut dimusuhi Istana karena mendukung Anies Baswedan dan membantu aksi 212.
Kini, nama Sutrisno Bachir jarang terdengar. Padahal, ia salah satu kader unggulan dan mantan Ketua Umum PAN yang layak diberi jalan, selain Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tentunya. Keduanya pemimpin bertalenta. Maka ketika sejumlah kader PAN di daerah menginginkan Anies, bukan tidak mungkin salah satu di antaranya dapat menjadi pendamping Anies.
Demokrasi yang sehat seharusnya membuka ruang kesempatan yang sama kepada putra bangsa yang berpotensi. Seluruh tokoh politik nasional semestinya menjadi panutan dalam konteks itu, terlebih presiden sebagai pemimpin tertinggi. Jangan hanya karena berseberangan misi politik, mereka yang punya potensi lalu dianiaya secara tidak langsung.
Ayo Pak Presiden, bersama kita tinggalkan politik gimik dan gimik politik.
Ayo Pak Presiden, kita hidupkan persaingan gagasan, prestasi, dan rekam jejak sebagai indikator memilih pemimpin, agar rakyat dapat menjatuhkan pilihan secara rasional.*