Bahlil Tukang Tipu, Proyek Rempang Belum Kantongi Amdal
Oleh Faisal Sallatalohy | Mahasiswa S3 Hukum Trisakti
DALAM konfrensi pers pada Senin 25 September lalu, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia menyatakan, proyek Rempang Eco-City telah mengantongi AMDAL.
Menurut Bahlil, AMDAL pembangunan Proyek Strategis Negara tersebut, memuat hasil analisis yang tidak merugikan lingkungan dan masyarakat setempat.
Dapat dipastikan, pernyataan Bahlil tersebut adalah sesat-menyesatkan. Tidak benar. Faktanya, beredar surat undangan BP Batam tentang penyusuan dokumen AMDAL proyek Rempang.
Surat undangan ini diterbitkan pada 27 September. Selang dua hari setelah Bahlil menyebar kalimar bohong "proyek Rempang sudah kantongi AMDAL".
Isi surat BP Batam menuliskan, penyusunan AMDAL proyek Rempang dilaksanakan pada 30 September. Berlokasi di kantor Camat Sambulang, Kecamatan Galang.
Kenyataan ini menunjukan, AMDAL proyek Rempang belum dilakukan. Artinya, Bahlil dengan sengaja telah melakukan penipuan publik untuk membenarkan arogansi kekuasaan merampas lahan warga. Memberi kesempatan kepada investor mengerjakan PSN di Rempang secara melawan hukum.
Sebelum menetapkan sebuah kawasan untuk pengembangan usaha, harus dilakukan study dan penelitian mengenai tingkat bahayanya. Study itu dilembagakan dalam bentuk AMDAL untuk menjaga lingkungan hidup berkelanjutan.
Penyusunan AMDAL harusnya melalui proses komunikasi dan konsultasi kepada masyarakat terdampak untuk mendengarkan pendapat dan tanggapan terkait rencana proyek.
Tapi kenyataannya, tanpa libatkan warga dan tanpa didahului penyusunan AMDAL, izin proyek telah diterbitkan serta proses penggusuran warga sudah dilakukan.
Perilaku otoriter kekuasaan ini jelas menabrak ketentuan dalam pasal 22 angka 5 UU Ciptaker:
"Penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan".
Bagaimana juga ceritanya izin investasi dikeluarkan, bahkan proses penggusuran sudah dilakukan tanpa ada kelengkapan dokumen AMDAL?
Perilaku otoriter pemerintah ini jelas terbaca sebagai perbuatan melawan hukum. Sebagaimana ketentuan Pasal 24 (ayat 1-6) UU Cipataker yang mewajibkan penyusuan dan pengujian dokumen AMDAL sebagai satu-satunya syarat ditetapkannya Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dijadikan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha.
Artinya, penerbitan izin investasi dan keputusan penggusuran yang dilakukan tanpa diawali penyusunan AMDAL oleh pemrakarsa dengan melibatkan warga terdampak adalah tindakan ilegal. Menegaskan Rempang Eco-City adalah proyek melawan hukum.
Apa gunanya juga pemerintah lewat BP Batam beelaku "konyol" menyusun AMDAL setelah eksekusi proyek berjalan?
Selain melanggar hukum, sungguh tak ada gunanya. Tidak diperlukan lagi. Proses pembuatannya tidak akan objektif lagi. Karena masyarakat adat sebagai pemilik ekologi tidak akan terlibat secara profesional dan proporsional.
Dapat dipastikan, penyusunan AMDAL lebih didominasi arogansi kepentingan bisnis dan politik dari pada pertimbangan perlindungan ekologi. Hakikatnya hanyalah untuk membenarkan penerbitan izin investasi dan keputusan penggusuran yang sudah dilakukan pemerintah.
Tapi di mata hukum, perilaku tersebut tercatat sebagai model pertanggung jawaban moral kekuasaan yang sangat tidak bermoral dan ilegal.
Kekuasaan ini memang mabuk investasi. Tidak peduli dengan lingkungan hidup. Tidak peduli dengan sejarah dan budaya 16 kampung tua yang audah eksis sejak ratusan tahun silam.
Terutama Bahlil "si tukang tipu yang munafik", hanya khawatir dengan investasi Tiongkok di Rempang. Dimana Bahlil memposisikan, sejarah dan peradaban masyarakat adat Melayu Islam lebih rendah dibanding investasi China.
Demi ambisi bisnis pengembangan ekosistem sollar panel (PLTS) China, TBS Group (milil Luhut), Adaro (milik keluarga Erick Tohir) dan Medco Group (milil group Salim dan keluarga Paniagoro), Bahlil dengan sengaja membohongi maayarakat Indonesia.
Pejabat pemerintah lainnya juga turut memberi pernyataan-pernyataan "bohong" terhadap Pulau Rempang yang bukannya menyelesaikan masalah justru menambah keresahan di masyarakat.
Hingga hari ini, warga tidak pernah diberikan informasi terkait dampak-dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat rencana pembangunan proyek Rempang.
Pemerintah hanya menyampaikan iming-iming lapangan pekerjaan, tapi tidak jujur menyampaikan berapa banyak mata pencaharian, sejarah, dan hal lain yang akan dihancurkan.
Shame On You....