Bayi Silver, Kreativitas Biadab Dipertontonkan
Oleh Ady Amar *)
Anakmu bukanlah milikmu
mereka adalah putra-putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri. -- Kahlil Gibran.
Bayi-bayi yang terlahir itu tanpa bisa memilih orangtua mana yang dikehendaki. Lahir ke dunia tanpa punya pilihan menentukan siapa bapak dan ibunya. Tidak pula bisa memilih etnis apa, warna kulit, hidung mancung, rambut ikal dan pilihan-pilihan manusiawi lainnya. Bayi itu menerima saja tanpa punya pilihan, meski orangtua yang dihadirkan gembel sekalipun.
Hidup pada pilihan-pilihan, itu tidak dikenal di kehidupan bayi-bayi yang terlahir. Justru hidup itu tanpa pilihan buatnya, pasrah dihadirkan padanya orangtua dengan kasta apa saja, yang ia tidak mungkin bisa menolaknya.
Bahkan bayi yang terlahir pun tidak mampu protes atas kelahiran yang tidak sewajarnya. Kelahiran yang tidak dimulai dengan hubungan suami istri yang diikat oleh ikatan pernikahan. Ia tidak punya pengetahuan untuk menanyakan kehadirannya itu sah atau tidak.
Maka dimulailah kehidupan bayi-bayi itu sejak awal ia dihadirkan ke dunia hari ke hari dan bulan ke bulan sampai ia memasuki masa kanak-kanak dan seterusnya. Maka bayi-bayi yang bertumbuh itu mulai mengenal dunia sebenarnya. Mengenal dengan benar orangtuanya.
Jika orangtuanya itu baik, maka bayi itu tumbuh selayaknya. Mendapat hak hidup dan pendidikan sesuai kondisi yang ada. Tapi jika orangtuanya bermental gembel, maka kehidupannya akan ditularkan pada anak-anaknya. Semacam mata rantai kemiskinan yang tak hendak disudahi. Ini semacam lingkaran setan yang tak putus.
Bayi Silver Mengenaskan
Hidup makin sulit, ekonomi makin morat-marit di kalangan menengah ke bawah, makin tampak nyata. Indeks kemiskinan makin merosot. Pengangguran karena rasionalisasi pada perusahaan di mana-mana--nama lain dari pemutusan hubungan kerja--makin hadir dengan jumlah yang tidak kecil. Uang pesangon hanya untuk makan dengan keluarga seadanya, hanya cukup untuk 2-3 bulan saja.
Tidak berupaya memojokkan kalangan menengah ke bawah, tapi ini fenomena yang ada, tentu tidak semata perihal ekonomi tapi juga pengetahuan yang dimiliki terbatas, itu biasanya anaknya bejibun. Sedikitnya punya 4 anak. Membuat anak itu bagi mereka seperti tamasya. Bahkan ada yang tiap tahun suara bayi dihadirkan di rumah petak dengan luas terbatas. Pemandangan itu sepertinya sudah jamak.
Maka di beberapa kota besar karena himpitan ekonomi, sudah hal umum jika mudah ditemui persewaan bayi, dari mulai umur tiga bulan sampai setahunan. Tarif sewanya Rp 20 ribu sehari. Disewakan untuk mengemis di sembarang tempat, dan bayi-bayi yang digendongnya itu bagian dari pemancing rasa iba pengguna jalan yang melihatnya.
Di terik matahari, debu jalanan, dan bahkan di malam hari dengan angin menggigil bayi-bayi itu digendong tanpa bisa memberontak. Hanya tangisan lirih, tanpa tahu makna protes tangisannya.
Fenomena bayi-bayi yang disewakan itu mestinya bisa diakhiri dengan sanksi yang keras, baik bagi yang menyewakan maupun si penyewa. Tampaknya itu seolah jadi pembiaran dan negara tidak benar-benar hadir untuk mengakhiri praktik eksploitasi pada bayi-bayi yang tak berdosa. Dan sampailah pada peristiwa biadab sesungguhnya...
Kabar yang disampaikan pengguna jalan yang melihat seseorang perempuan yang mengecat seluruh tubuh dan rambutnya dengan cairan silver. Fenomena ini sudah semarak di mana-mana, di kota/kabupaten Jawa khususnya. Tapi dominan laki-laki yang melakukannya, dengan tubuh tanpa baju, yang sekujur tubuh dan rambutnya dicat warna silver. Lalu muncul julukan "manusia silver". Saat pandemi Covid-19, manusia silver ini muncul di mana-mana bak jamur di musim hujan.
Perempuan silver malam hari itu, menggendong bayi 10 bulan, yang juga sekujur tubuh bayi itu dilumuri cat silver, menjadi viral karena diberitakan seseorang yang kebetulan melihatnya. Itu di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel).
Ini tentu bukan semata eksploitasi terhadap bayi itu, tapi bagian dari kreativitas biadab untuk mencari sedikit uang dengan mengorbankan bayi tak berdosa itu. Bayi mungil dengan kulit yang masih sensitif itu harus dilumuri cat silver. Bagaimana rasa panas yang ditimbulkannya, dan pastilah iritasi pada kulit yang dimunculkan. Peristiwa tragis, hilangnya rasa kemanusiaan beradab.
Bayi-bayi itu lahir tidak bertanya siapa bapakku, siapa ibuku. Ia pun tidak protes meski orangtuanya gembel sekalipun. Tapi melihat bayi-bayi yang dilecehkan itu, rasa kemanusiaanku, juga Anda pastilah, menyalak marah... Tapi pada siapa kata marah bisa ditumpahkan... Negeri ini tampak tidak hadir pada belahan penderitaan kemiskinan rakyatnya.
Oh negeriku... Semuanya bereaksi sesaat, ramai-ramai bereaksi, kemudian hening membisu, menganggap kehadiran bayi silver itu hal biasa, seperti bukan lagi perbuatan biadab. (*)
*) Kolumnis