Bedanya Ego Nasionalis dan Waras Nasionalis
Mereka yang berani meributkan pernyataan Rizal Ramli itu, sebagai pertanda bahwa mereka masih merasa sebagai Warga Negara Cina. Bukan Warga Negara Indonesia. Sehingga lebih baik disuruh pulang kampung saja ke negaranya. Jangan lagi hanya mudik (yang artinya kembali lagi ke Indonesia). Terbukti sekarang orang Cina yang seakan-akan menjadi warga negara itu, tidak tahu berterima-kasih di sini.
By Hans Suta Widhya
Jakarta FNN – Senin (27/04). Baru saja dituding SARA. Rizal Ramli yang begitu lugas mengkritik Cina (sesuai bahasa Indonesia, bukan China) seperti di ILC TVOne, sehari kemudian ia menetralisir tuduhan yang gencar disampaikan oleh netizen. Menurut pengamat Ekonomi yang sempat beberapa kali jadi menteri ini, bahwa yang dikritik itu Negara China, bukan Etnis Tionghoa. Lah?
Inilah bedanya Ego Nasionalis yang dimiliki oleh seorang Rizal Ramli. Beda sekali dengan Waras Nasionalis yang melekat pada diri Ki Gendeng Pamungkas (KGP). KGP sejak tahun 1972, sudah kobarkan semangat Waras Nasionalisme. Waras Nasionalis yang menurut KGP, sama-sekali tidak mempunyai kepentingan kekuasaan atau ambisi murahan lainnya.
Mengapa Rizal Ramli mundur atau kendur dengan ucapan awalnya sebagai Waras Nasionalisme itu? Padahal itu adalah sikap kesadaran sebagai Tuan Rumah di Bumi Nusantara ini? Jujur, saya jadi mempertanyakan sikap Rizal Ramli yang ambigu itu.
Seharusnya dengan pernyataan itu, Rizal Ramli tidak perlu menguatiri banyak Warga Negara Keturunan (WNI) keturunan yang merasa tersinggung dan menganggap bahwa pernyataan RR tersebut adalah rasis. Sebab sejatinya tidak ada yang rasis dari pernyataan tersebut.
Menurut saya, puncak nasionalis itu ya Rasis. Sehingga menjadi aneh, bila ada seorang pribumi yang mengritik Cina, tetapi kok ada warga keturunan di sini, yang sudah nyata-nyata menjadi warga negara kita, menjadi panas hatinya setiap kita bilang Cina atau RRC. Lucunya, mereka yang protes, saya duga sebagai pihak yang suka dan getol bicara tentang Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan sebagainya.
Mereka yang berani meributkan pernyataan Rizal Ramli itu, sebagai pertanda bahwa mereka masih merasa sebagai Warga Negara Cina. Bukan Warga Negara Indonesia. Sehingga lebih baik disuruh pulang kampung saja ke negaranya. Jangan lagi hanya mudik (yang artinya kembali lagi ke Indonesia). Terbukti sekarang orang Cina yang seakan-akan menjadi warga negara itu, tidak tahu berterima-kasih di sini.
Ada pepatah Minang mengatakan "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung". Ternyata pepatah ini tidak berlaku bagi orang Cina sekarang tinggal dan menjadi warga negara di Indonesia. Mentang-mentang sudah 200 tahun tinggal di sini, merasa ini negaranya juga.
Pada tahun 1908 dan 1928 saja perwakilan mereka tidak ada yang ikut dalam merintis kemerdekaan bangsa nagara ini. Pantas saja Sukanto Tanoto pernah menyatakan bahwa “Indonesia hanya Ayah angkat atau ayah tiri. Sedangkan Republik Rakyat Cina sebagai ayah kandungnya”.
KGP dengan Gerakan Front Pribumi yang dipimpinnya, menghimbau kepada seluruh pribumi agar pahami karakter orang-orang cina yang ada di tanah air ini. Mereka meski sudah jadi Bangsa Indonesia, tapi ternyata jiwanya tidak ikut mengakui. Mereka cuma hanya sekedar di bibir saja. Juga numpang hidup disini untuk mencari kekayaan semata.
“Bila saja saya yang dipercaya menjadi Presiden bangsa Indonesia, maka keberadaan para cina-cina di sini akan diberlakukan status Warga Tamu (WT) di ujung kanan atas KTP mereka. Itu maknanya mereka Warga Tamu. Bukan pribumi asli, "ujar Ki Gendeng Pamungkas.
Bila ucapan Rizal Ramli dituduh rasis dan tidak benar, maka orang cina yang ada saat ini dianggap tidak tahu berterima-kasih kepada pejuang, pendiri dan pemilik negeri ini. Andai kita suruh mereka pulang ke negara asalnya, mereka pasti merengek tidak mau pulang kampung. Karena mereka sudah keenakan mengeksplorasi kekayaan alam di sini. Mereka dibantu oleh pribumi-pribumi sampah yang bangga menjadi babu untuk cina.
Penulis, Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Tranparansi Informasi Publik (KUTIP)