Berkas Dakwaan Terhadap Edy Mulyadi Seribu Halaman Seberat 10 kg, Rocky Gerung: Ini Baru "Big Data"
Jakarta, FNN - Wartawan senior Edy Mulyadi menjalani sidang perdana kasus Jin Buang Anak calon ibu kota negara (IKN) di PN Jakarta Pusat, Selasa (10/05)
Tebalnya berkas dakwaan yang mencapai 900 halaman dan berat diperkirakan 10 kg tersebut dinilai layak masuk MURI (Museum Rekor Indonesia). Bahkan pengacara Edy Mulyadi, Herman Kadir menganggap ini berkas terbesar dalam sejarah dunia litigasi selama dia menangani perkara.
Menanggapi hal itu pengamat politik Rocky Gerung menilai bahwa kasus ini dianggap berat padahal sesungguhnya sangat ringan.
"Ini namanya dakwaan berbasis big data. Ini kasus ringan, tapi diperlakukan seperti kasus besar. Yang dipersoalkan malah bagian yang bukan intinya yaitu dia mengucapkan jin buang anak," katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa (10/05)
Rocky menegaskan frasa Jin Buang Anak tersebut adalah dalam konteks pembangunan IKN, bukan mengolok olok orang.
"Dakwaan 1000 halaman itu isinya zonk. Dakwaan itu mustinya 1 pasal saja bahwa Anda melanggar kebebasan berbicara, titik," paparnya
Dakwaan yang berkualitas kata Rocky adalah dakwaan yang padat dan singkat.
"Ini dakwaan terlalu panjang tidak fokus dan muter-muter buat menyeret seseorang," tegasnya.
Dakwaan ini kata Rokcy artinya malah merusak lingkungan. Bayangkan 1000 halaman kertas itu berapa pohon yang ditebang untuk bahan baku kertas.
Rocky menegaskan, dari kasus Edy Mulyadi ini sesungguhnya kita akhirnya bisa mengolok-olok kekuasaan karena memaksakan dakwaan dengan menebang pohon untuk bikin ibu kota baru yang tentu merusak lingkungan.
Padahal yang diucapkan Edy justru ia ingin melindungi Kalimantan dari kerusakan lingkungan.
"Ini politik membalikkan keadaan hanya untuk memperoleh headline. Kelak media media bikin headline Edy Mulyadi bersalah," paparnya
Menurut Rocky, Edy sebagai jurnalis justru ingin membela hak orang Kalimantan, hak demokrasi dan hak terbebas dari kerusakan hutan. "Edy harusnya dibela bukan dipenjara," lanjutnya.
Lebih jauh Rocky menyarankan nanti Edy Mulyadi di persidangan bisa minta Kompas untuk menjadi saksi ahli karena Kompas bulan lalu membuat survei bahwa pemerintah lebih fokus ke IKN daripada kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat menganggap pemerintah tidak peduli pada kesulitan ekonomi dan hanya fokus ke IKN.
Rocky membaca tulisan Roberto Robert panelis ahli di majalah Tempo yang mengritik bahwa kemampuan kiita untuk mengevaluasi diri harus diutamakan.
"Jadi kasusnya ketika Tempo harus meminta maaf hanya karena membuat laporan yang menyudutkan korban. Sementara banyak media mainstream yang setiap hari mempromosikan intoleransi didiamkan saja dan dianggap sebagai upaya untuk melindungi keluasaan.
"Nah Edy Mulyadi justru melakukan kritik terhadap pembangunan IKN," tegasnya.
Diakui Rocky bahwa sinismenya Edy Mulyadi dalam melontarkan kritik memang tinggi sekali tetapi Edy Mulyadi mengkritik kebijakan.
"Itu intinya. Ini bagian dari pengadilan kebebasan berbicara," lanjutnya.
Edy Mulyadi menjalani persidangan atas tuduhan pencemaran dengan kalimat yang mengatakan bahwa Ibu Kota Negara (IKN) dibangun di tempat jin buang anak.
Rocky Gerung juga menyinggung soal buzzer yang berusaha membentengi istana dari kritik yang dilayangkan seseorang kepada pihak pemerintah.
“Ini betul-betul pengadilan absurd kalau kita sebut pengadilan yang diatur iya memang karena seribu halaman hanya untuk mempersoalkan satu frasa bahwa IKN itu adalah lokasi tempat jin buang anak," pungkasnya. (Ida, sws)