Berpikirlah Jernih Demokrat
Oleh Ady Amar - Kolumnis
SIKAP Partai Demokrat yang uring-uringan terus dipertontonkan elitnya. Layaknya berlomba antarelite menarasikan kemarahan pada peristiwa perjodohan Anies-Muhaimin, yang mestinya disikapi sebagai hal biasa dan tidak berlebihan.
Adalah hal biasa dalam politik jika perbedaan ditemukan setajam apa pun. Mestinya itu bisa di-create menjadi kekuatan tersendiri, yang akan menghasilkan setidaknya rasa simpati publik atas kedewasaan memaknai sebuah peristiwa politik.
Tapi sayang itu tidak dimaknai sebagai hal biasa, meski menyakitkan, sebagai jati diri partai yang bekerja untuk rakyat yang senantiasa memegang etika dalam berpolitik. Justru yang muncul sikap emosional berlebihan, kekanak-kanakan, yang tentu merugikan.
Kesan yang muncul lebih pada kepentingan Partai Demokrat, dan itu kegagalan AHY yang digadang-gadang sebagai Bacawapres pendamping Anies. Publik menangkap kesan kemarahan yang tak disudahi, itu semata kepentingan yang tak diakomodir.
Semula muncul kesan yang ingin dikesankan, bahwa Anies dan NasDem sebagai "pengkhianat", yang itu justru tak lagi dirasakan publik. Penghakiman publik pun luntur setelah Anies dan juga NasDem memberi klarifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Ditambah sikap tidak dewasa elit Demokrat dalam memaknai sebuah peristiwa.
Pilihan Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) sangat disayangkan. Bukan pilihan _genuine_ Demokrat untuk tetap bisa memakai rompi perubahan, jika nantinya mesti bergabung dengan salah satu kubu, Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo, yang identik pada "keberlanjutan" meneruskan kerja-kerja Presiden Jokowi.
Pupus sudah jargon dan pilihan politik Demokrat, yang selama ini memilih jalan oposan, berharap pada perubahan. Sulit bagi Demokrat untuk berkoalisi dengan partai yang memilih jalan berseberangan dengan semangat perubahan.
Jika tetap dipaksakan, dan itu sebagaimana elit-elitnya menyebut tak akan kembali berkoalisi dengan KPP. Publik menafsir, Demokrat bekerja hanya untuk kepentingan pragmatisnya semata. Dan, itu lantaran tidak diakomodirnya AHY sebagai Bacawapres.
Mestinya Demokrat move on menyudahi lolongan tangisannya, yang ditampakkan dengan menyerang Anies sebagai pengkhianat. Tidak jelas juga apa yang dikhianati Anies, kecuali Anies-NasDem dan juga PKS melihat Pilpres tidak dicukupkan bisa ikut dalam kontestasi, tapi memenangkan kontestasi. Memaksakan memasangkan Anies dengan AHY, yang punya irisan sama dengan Anies, itu menunjuk suara pemilih yang lemah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, maka perlu dicari alternatif pasangan yang paling pas untuk Anies.
Demokrat mestinya memahami semua itu sebagai strategi memenangkan kontestasi Pilpres, bukan dengan memaksakan kehendak pokoknya AHY, tanpa melihat opsi lain yang lebih rasional. Memaksakan kehendak tanpa melihat realita, itu irrasional.
Karenanya, strategi koalisi yang dijalani Demokrat berikutnya pun langkah "terpaksa" yang mau tidak mau harus dilakukan. Demokrat tidak punya nilai tawar lebih pada koalisi "berkelanjutan", kecuali sebagai penumpang yang tidak bisa menentukan arah koalisi.
Sekjen PDIP Hasto Kristianto, sudah memberi signal sebelum pertemuan dilakukan, bahwa Demokrat harus terlebih dulu menyatakan secara resmi dukungan pada Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden.
"Jadi diberikan dukungan terlebih dahulu, baru (pertemuan) secara formal, sehingga kerja sama ini akan kokoh karena didasari oleh kepentingan masa depan bangsa dan negara," ujar Hasto.
Gaya PDIP yang tidak memberi dialog awal pada Demokrat, sebelum memutuskan untuk berkoalisi, itu seperti langkah menekan sebagai syarat Demokrat bergabung dalam koalisi. PDIP menunjukkan superioritasnya yang tampak seakan tidak butuh dengan kehadiran Demokrat.
PDIP tidak lagi melihat Demokrat sebagai kekuatan yang diperhitungkan, seperti sebelum keluar dari KPP, yang perlu sampai AHY digoda-goda sebagai salah satu kandidat yang dipilih dalam Rakornas-nya, sebagai Bacawpres mendampingi Ganjar Pranowo.
Pun Demokrat jika lalu memilih berkoalisi dengan Prabowo dan kawan-kawannya (Koalisi Indonesia Maju), itu juga tidak lalu ada karpet merah dibentangkan untuknya, kecuali bisa jadi hanya janji-janji yang sulit direalisasikan. Tapi sepertinya itu sudah cukup buat Demokrat, yang tidak lagi memasang target AHY harus sebagai Bacawapres.
Demokrat sedang berpolitik dengan membawa kesulitannya sendiri, atau mencari kesulitan yang tak sepatutnya. Mengedepankan sikap emosional tanpa memikirkan kelanjutan langkahnya. Langkah yang nantinya juga akan berimbas pada suara elektoral calegnya.
Memaksakan Demokrat memilih tak kembali dalam "pelukan" KPP dengan mengusung Anies-Muhaimin, itu langkah salah yang sekadar menonjolkan egoisme SBY/AHY, tanpa memikirkan kelanjutan partai. Berpikirlah jernih Demokrat, waktu masih memungkinkan untuk bisa kembali bersama-sama memperjuangkan suara "perubahan". Rumah Demokrat sejatinya memang di KPP, tidak di tempat lainnya. Masih ada waktu untuk berpikir ulang dengan menekan egoisme, tentu untuk kebaikan dan masa depan AHY, dan Demokrat.**