Buzzer Kocar-kacir
Oleh: Ady Amar | Kolumnis
BAGAI anak ayam kehilangan induknya, setidaknya itu bisa dipakai menggambarkan kondisi para buzzer saat ini, yang kocar-kacir berjalan tak tentu arah. Jangan tanyakan siapa induk dari para buzzer itu, sulit bisa dilihat kasat mata. Tapi umum menyebut mereka dalam pengasuhan kakak pembina.
Biasa pula disebut buzzer istana, setidaknya mereka pernah diterima di istana, dan foto bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lalu mereka dikonotasikan bekerja untuk kepentingan rezim. Tentu kebenarannya sulit dibuktikan, seperti (maaf) kentut yang bentuknya tak tampak tapi tidak aroma menyengatnya. Tapi satu hal yang jelas, para buzzer bekerja mendegradasi sekenanya, siapa saja yang coba-coba berhadapan dengan kekuasaan.
Saat ini, kehadiran buzzer saling berbenturan satu dengan lainnya. Para buzzer terkesan tidak lagi bekerja kompak pada satu tujuan, seperti yang sudah digariskan. Saat ini para buzzer, seperti berjalan tanpa petunjuk. Tak lagi ada yang mengorkestrasi.
Tidak seperti sebelumnya, sasaran yang ditembak sudah jelas. Dan, itu Anies Baswedan, atau siapa saja yang bersinergi dengannya. Maka, Anies terus dipersekusi dengan amat jahat. Tidak sekadar menafikan karya Anies, tapi juga menilainya dengan serba berkebalikan. Anies dikesankan seperti tidak ada baik-baiknya. Dihinakan bahkan menyasar etnis, yang tidak semestinya boleh keluar dari mulut serigala sekalipun.
Para buzzer seakan bertugas bagai anjing penjaga tuannya, yang menggonggong setiap saat. Menggonggong pada mereka yang dianggap mengusik kekuasaan. Mereka secara serempak dan ramai-ramai seirama menghajar sasaran yang dianggap "berbahaya" mengusik kekuasaan.
Anies dipersekusi sejak ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka dalam 5 tahun seperti tiada hari tanpa "menghajar" Anies, seperti koor bersahutan. Anies dianggap pihak yang menghalangi bisnis para kartel yang acap tanpa aturan, atau melanggar aturan menjadi hal biasa sebelum era Anies sebagai kepala daerah. Langkah Anies menegakkan aturan dengan aturan, itu menakutkan mereka. Anies menutup Alexis--tempat prostitusi elit--yang seperti tak tersentuh hukum, itu dengan mudahnya. Sampai mencabut izin reklamasi pantai teluk Jakarta, yang dibangun tanpa IMB.
Anies melawan apa yang biasa disebut kelompok oligarki--penyebutan kartel sepertinya lebih tepat untuk mereka--dan dianggap mengganggu kemauan mereka yang biasa bekerja dengan pejabat sebelumnya, yang sarat dengan transaksi hengki pengki. Anies melabraknya dengan berpedoman pada penegakkan aturan yang ada. Dan, itu yang dipegangnya. Anies seperti tidak perduli jika harus berhadapan dengan kekuatan para kartel besar.
Karenanya, para buzzer seperti menjadi perlu dipelihara untuk terus menggonggongi Anies tiap saat. Anies menjadi semacam ancaman yang tidak boleh dibiarkan terus bergerak maju. Menyegerakan menghabisinya seperti jadi satu keharusan. Tapi Anies terus melenggang bekerja menyelesaikan janji-janji kampanyenya satu persatu, meski gangguan terus diterimanya. Tidak menyurutkannya yang terus bekerja dalam sunyi, menghasilkan legacy yang bisa dilihat. Satu diantaranya, Jakarta International Stadium (JIS), yang diakui sebagai salah satu lapangan sepak bola terbaik di dunia, tapi itu dilihat sepicing mata, karena itu hasil kerja Anies.
Mari kembali saja pada nasib buzzer yang bagai anak ayam kehilangan induknya.
Hari-hari ini kita melihat para buzzer yang tadinya berkawan erat, tapi tidak saat ini. Terjadi saling serang di antara mereka. Satu pihak tampak membela Ganjar Pranowo, bacapres yang diusung PDIP dan PPP, dan pihak lainnya membela Prabowo Subianto, bacapres yang diusung oleh Gerindra, PAN Golkar, dan Demokrat.
Anies Baswedan bacapres yang diusung NasDem, PKB, dan PKS, sementara luput dari sasaran buzzer, dan tampak paling siap berkontestasi dalam Pilpres 2024. Meski sebelumnya bersama partai pendukungnya, terutama NasDem, diganjal di sana-sini, tapi justru Anies yang paling awal menentukan pasangan sebagai bacawapresnya--Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar--sedang yang lain masih bersikutat dengan kerepotannya sendiri dalam menentukan siapa bacawapresnya, baik yang mendampingi Ganjar maupun Prabowo.
Ganjar dan Prabowo seperti terkunci oleh "restu" Presiden Jokowi. Tidak mampu menentukan sendiri bacawapres di antara anggota partai koalisi, atau pihak di luar partai yang disepakati bersama. Semua dibuat serba menanti kepastian, yang dibuat serba tak pasti. Baik Ganjar maupun Prabowo berebut endorse Jokowi, yang akan cawe-cawe menentukan siapa yang pantas menjadi penggantinya.
Ganjar dan Prabowo berebut endorse Jokowi, yang tak menentu akan diberikan pada siapa di antara keduanya. Keduanya menganggap merasa paling dipilih Jokowi. Semua jadi tidak menentu, entah oleh sebab apa. Ini pula yang menyebabkan para buzzer kesulitan menerjemahkan ke mana arah pilihan Jokowi diberikan. Satu pihak melihat arah Jokowi ke Ganjar, tapi satu pihak melihat arahnya sepertinya ke Prabowo.
Dan, itu yang memunculkan keberpihakan para buzzer, bekerja untuk Ganjar di satu pihak, dan pihak lainnya bekerja untuk Prabowo. Sampai muncul buzzer kebablasan, seperti Alifurrahman Asyari (Seword TV) yang "menghantam" mengarah pada Prabowo, soal benar tidaknya sampai saat ini tetap jadi perdebatan publik. Ada yang mempercayai, tapi ada pula yang tidak mempercayai. Katanya, merujuk pada Prabowo meski tak menyebut nama, menampar dan mencekik wakil menteri pertanian (Wamentan), Harvick Hasnul Qolbi, menjelang rapat kabinet terbatas. Tambahnya, kabar itu ia dapatkan dari sumber terpercaya.
Alifurrahman kena batunya, buzzer yang tadinya khusus menghajar Anies, lalu belakangan menghajar Prabowo. Kabar itu lalu diperkuat oleh buzzer gaek Rudi S. Kamri dalam Kanal Anak Bangsa TV miliknya, yang tampil dengan meyakinkan, menyebut bahwa berita Prabowo nampar dan cekik Wamentan itu terkonfirmasi kebenarannya, bahkan sampai menyebut Presiden Jokowi sampai murka melihat insiden itu.
Sanggahan demi sanggahan muncul, termasuk sanggahan dari Kementerian Pertanian dan Jokowi sendiri. Alifurrahman dan Rudi S. Kamri seperti terjebak atau dijebak entah oleh siapa, tapi yang jelas ia bagai anak ayam yang tercecer dari induknya. Mulai dilayangkan laporan pada kepolisian oleh pihak Prabowo pada Alifurrahman, sepantasnya juga pada Rudi S. Kamri, meski ia lalu men-takedown video yang dibuatnya.
Perang antarbuzzer yang tadinya saling berkawan, itu pecah saling menyerang. Tampak mana buzzer yang berdiri "membela" Ganjar, dan mana yang "membela" Prabowo. Semua saling menyerang, jika kesempatan dimungkinkan. Sekali lagi, para buzzer dibuat tidak menentu oleh siapa yang akan di-endorse Jokowi. Berimbas buzzer kocar-kacir tak menentu mesti bergerak ke arah mana.
Gerak buzzer menjadi tidak sebebas dulu lagi saat menggebuk Anies, yang tanpa perlu takut dijerat hukum. Kisah Alifurrahman, dan juga Rudi S. Kamri, tidak tahu akan berakhir seperti apa. Tapi pada saatnya peran para buzzer, itu akan diorkestrasi kembali menggebuk Anies Baswedan, dan menggebuk juga pasangannya, Muhaimin Iskandar. Kapan saatnya, saat semua kepentingan bisa diakomodir, Ganjar dan Prabowo, dalam satu perahu... Wallahu a'lam. **