Dampak Buruk Hasil Amandemen UUD 45
Oleh M.Hatta Taliwang - Aktivis
MPR sebagai rantai terkuat dalam sistem ketatanegaraan kita yang dibuat pendiri bangsa kini lumpuh dan dampaknya luar biasa terhadap kedaulatan rakyat.
MPR sesuai namanya adalah tempat tertinggi rakyat bermusyawarah melalui wakil / utusan yang dipilihnya.
Musyawarah itu bisa berkaitan dg siapa yg akan memimpin rakyat (menjadi Presiden), bermusyawarah tentang ke arah mana bangsa mau dibawa dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai cita-cita kita bersama (GBHN). Sekaligus juga MPR menilai prestasi dan kinerja Presiden untuk diminta pertanggung jawabannya setiap akhir masa jabatan. Bahkan dalam kewenangan tertentu sesuai rumus manajemen reward and punishment, MPR RI bisa memberi apresiasi dan penghargaan bila Presiden berprestasi dan berkinerja baik. Sebaliknya bisa juga memberi punishment baik berupa peringatan maupun pemberhentian bila Presiden tidak menjalankan tugas dg semestinya, atau melakukan korupsi, melakukan perbuatan tercela dan pengkhianatan.
Secara normatif hal-hal tersebut sudah diatur dalam UUD 45 18 Agustus 1945.
Masalah MPR RI Pasca Amandemen
Tidak menjadi Lembaga Tertinggi negara dengan dampaknya sebagai berikut :
Semua Lembaga Tinggi Negara (LTN) seperti Lembaga Kepresidenan, MA, BPK, DPR, DPD, MK, dll jadi "kerajaan" masing-masing.
Egocentrisme lembaga mengental.
MPR yang biasanya menurut UUD 45 18 Agustus 45 sebagai tempat mempertanggung jawabkan tugas di akhir jabatan tidak diperlukan. Sementara rakyat banyak tidak tahu apa kerja mereka, tahu-tahu setelah 5 tahun bubar jalan. Presiden yang memimpin 270-an juta rakyat cukup di-SK-kan oleh KPU dan selesai tugasnya tidak merasa perlu mempertanggung jawabkan prestasi dan kinerjanya di forum terhormat Majelis Permusyawaratan. Sistem ini tidak membangun rasa tanggungjawab hemat, apakah berhasil atau gagal. Tidak ada reward and punishment, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Presiden yang berakhir masa jabatannya. (Sementara Kepala Desa saja ada forum pertanggungan jawab masa akhir jabatannya)
Malahan bisa ikut Pilpres lagi kalau baru dalam masa jabatan pertama.
Menyerahkan penilaian prestasi dan kinerja Presiden ke publik atau rakyat dalam konteks demokrasi liberal yang dikendalikan pemilik modal adalah tidak bijaksana. Karena dengan kekuatan uang, kekuatan media massa mereka bisa kendalikan opini. Sehingga yang hitam bisa jadi putih dan seterusnya seperti dalam kasus Pilpres yang kita saksikan di masa Pilpres maupun Presiden sekarang di era reformasi.
MPR adalah tempat musyawarah tertinggi, tempat di mana Presiden, putra terbaik dan utama seharusnya dipilih berdasarkan perwakilan musyawarah dengan segala hikmah kebijksanaan dari para tokoh bangsa dari segala aliran, profesi, golongan, utusan daerah dll. Banyak yang mengkritik sistem perwakilan dan musyawarah ini , padahal ada partai yang mempraktekkan cara ini dan partainya sampai sekarang terus maju. Pergantian kepemimimpinannya tanpa gejolak, output partainya luar biasa. Sebuah ormas agama yang sudah mapan juga mempraktekkan cara perwakilan dan musyawarah mufakat dalam memilih pemimpinnya. Sampai sekarang ormas keagamaan tsb tetap stabil, maju dan outputnya luar biasa.
Hampir semua organisasi masyarakat termasuk parpol melakukan pemilihan kepemimpinannya dengan sistem perwakilan dan musyawarah mufakat. Tak ada yang meminta seluruh anggota yang punya kartu datang ke bilik suara untuk memilih ketumnya. Mengapa saat harus memilih Presiden dengan sistem Perwakilan Permuysawaratan sesuai Sila ke 4 Pancasila malah dianggap kuno dan tak demokratis lalu dicampakkan begitu saja?
MPR RI seharusnya menjadi tempat kata akhir segala keputusan penting dikeluarkan. Di negara negara yang katanya demokrasi seperti Inggeris, Jepang, Thailand dll sedemokrasi apapun mereka, sebebas apapun mereka, kalau ada krisis politik di negara mereka, mereka kembali meminta kata akhir dari Raja/ Ratu/Kaisar.
Di Indonesia pasca reformasi, Presiden menabrak UU, melakukan kebohongan, keributan antar/internal Lembaga Negara (KPK vs Kepolisian, DPR vs KPK, Ribut di DPD RI dll) berlalu begitu saja tanpa kejelasan penyelesaian. Bahkan dalam kasus KPK berujung KPK dikuasai kepolisian. Saling menaklukkan, bahkan terjadi saling hujat, saling negasi di publik. Padahal masalah-masalah ini mestinya bisa diselesaikan di MPR jika MPR RI masih sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa mengeluarkan "Kata Akhir" tanpa bisa diperdebatkan lagi secara politik.
Sehingga dalam perspektif kami MPR RI bagaikan "Raja" dalam sistem ketatanegaraan kita. Karena memang dulu Nusantara yang bergabung ke dalam NKRI ini adalah terdiri dari raja dan sultan yang tentu saja punya pengalaman bernegara dan mengatur "negara" mereka masing masing, sehingga mempunyai pengalaman dan kearifan yang luhur.
Negara sebesar, seluas dan memiliki tingkat heterogen yang tinggi tak mungkin stabil bila diatur dengan cara cara liberal.
Ada pakar hukum tatanegara yang selalu membanggakan check and ballances dalam kekuasaan, sebagai argumen atas di turunkannya derajat MPR RI dari Lembaga Teringgi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara.
Karena check and ballances itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang dalam ekonomi disebut persaingan bebas.
Persaingan yang akan membentuk keseimbangan, padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan. Kita saksikan bagaimana lembaga legislatif bisa dilumpuhkan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perppu No 2/2020 yang menyunat hak budget DPR soal anggaran Covid.
Juga dengan banyak Ketum Partai tersandera karena kasus korupsi dll maka anggota DPR ikut tersandera. Sehingga banyak kepentingan rakyat terabaikan.UU lahir sesuka Eksekutif. Lalu dimana check and balances yg dibanggakan olen pembela UUD 2002 itu?
UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and ballances. Atas dasar itulah membagi cabang cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing masing cabang kekuasaan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa ? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata (Salamuddin Daeng).
Perhatikan prilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi . Ribut demi negara atau ribut demi diri dan kelompoknya?
Jadi buat apa saling menyeimbangkan (ballances) sementara yang diperlukan bangsa ini meningkatkan produktivitas, perbaikan dan kemajuan bangsa dlm bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, kehormatan bangsa (penghargaan internasional) dll.
Sebagai akibat dari tidak berfungsinya MPR seperti sekarang maka peran musyawarah itu diambil alih oleh oligarki pemodal dan oligarki politik atau dalam bahasa sehari-hari mereka adalah beberapa ketum partai dan beberapa taipan. Mereka yang "bermusyawarah" menentukan siapa capres, kemana arah bangsa dan ke mana bisnis mau diarahkan. Rakyat cuma jadi penonton atau supporter tanpa tahu arah nasib mereka. Situasi di mana rakyat tak berdaulat begini akan merusak hari depan rakyat Indonesia.
Sistem itu seperti mobil, kalau ada masalah direm atau kopling maka mobil itu bermasalah. Bisa berbahaya buat keselamatan penumpang. Sehebat apapun supir, bila mobilnya punya masalah sistemik, maka supir tak berdaya.
Dalam perspektif kami, Indonesia bermasalah dengan sistem ketatanegaraannya. Masalah leadership itu masalah tersendiri.
Dampak dari masalah sistem UUD kita antara lain membuat output bangsa/negara kita terus menurun. Hampir semua negara yang dulu sejajar di Asia Timur dan Tenggara telah meninggalkan kita dalam banyak hal. Bahkan Vietnam yang merdeka 30 tahun belakangan dari Indonesia, telah mengejar kita. Malaysia yang dulu banyak belajar dari Indonesia sudah jauh meninggalkan kita dalam banyak hal.
Apakah situasi itu tak menyadarkan kita?
Karena itu hemat kami menjadi sangat urgen kita menata UUD termasuk didalamnya menata MPR RI. (BERSAMBUNG)