Darurat Ibu Pertiwi

Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts

Sementara itu Jenderal Soedirman terus bergerilya melawan agresi militer Belanda. Republik ini kini sedang menuju kedaruratan yang berbahaya, karena konstitusi sebagai komando sedang dibajak oleh para komandan.

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts

HARI ini kita memperingati Hari Ibu, sedangkan beberapa hari lalu, tanggal 19 Desember kita memperingati Hari Bela Negara saat Syafrudin Prawiranegara mendeklarasikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia karena RI jatuh akibat agresi militer ke dua Belanda 1948.

Kedua momen itu pada dasarnya sama, yaitu memperingati betapa negara, seperti ibu kita, perlu kita selamatkan dan bela sampai mati. Sejarah kemudian mencatat PM  Syafrudin Prawiranegara menampilkan dirinya sebagai negarawan par excellence, seperti para tokoh Masyumi lainnya. 

Peringatan ini relevan karena baik ibu maupun negara kita saat ini dalam keadaan menderita sehingga harus diselamatkan. Ibu harus kita bela karena sosoknya kini makin murung oleh pembangunan yang makin eksploitatif, sehingga menjadi ibu merupakan peran yang makin disepelekan oleh pemerintah dan kaum perempuan sendiri.

Ibu sebagai sosok utama dalam keluarga adalah tiang negara. Kehancuran ibu adalah kehancuran negara. Peminggiran peran ibu dimulai dari peminggiran peran keluarga.

Industrialisasi besar-besaran sejak 50 tahun silam telah mengerdilkan peran keluarga sebagai satuan edukatif sekaligus satuan produktif. Peran edukatif keluarga dirampas oleh persekolahan massal paksa, dan peran produktif keluarga dirampas oleh pabrik-pabrik.

Bahkan persekolahan massal dirancang sekedar untuk menyiapkan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal.

Persekolahan massal tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi untuk membangun jiwa merdeka sebagai syarat budaya bagi bangsa yang merdeka.

Persekolahan sebagai instrumen teknokratik itu dirancang gender-neutral, sehingga warga muda kehilangan konsep diri kelamin yang jelas. Juga akibat upah buruh murah, kepemimpinan keluarga oleh figur ayah melemah.

Akibatnya, LGBT secara perlahan tapi pasti merebak. Puncaknya timbul gaya hidup tanpa menikah, child-free life style di kawasan-kawasan urban. Tidak saja peran ibu sebagai sekolah yang pertama dan utama runtuh, runtuh pula peran ayah. Kita menyaksikan sebuah fatherless country in the making. Ini adalah resep bagi kehancuran negara ini.

Negara ini juga terus dihancurkan, bukan oleh agresi militer ala Belanda itu, tapi oleh perang proxy, melalui tafsir konstitusi yang manipulatif sejak Orde Lama, lalu Orde Baru, kemudian penggantian UUD 1945 oleh UUD 2002 sejak reformasi. UUD 1945 sebagai semacam aqad nikah para pendiri bangsa dibatalkan oleh para cucu pendiri bangsa yang durhaka.

Akibatnya, terjadi deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Visi tentang bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur secara sistematis digusur oleh visi para petugas partai, jika bukan boneka oligarki.

Pasar polity as public goods dimonopoli oleh para bandit, dan badut politik yang disokong oleh para bandar politik. Setiap pemilu hanya melahirkan kepiluan yang berkepanjangan.

Pada saat Bung Karno dan Bung Hatta menyerah, untuk mencegah korban yang makin banyak berjatuhan, Syafrudin Prawiranegara memutuskan untuk menyelamatkan Republik ini dari kekalahan dengan mendeklarasikan PDRI di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Sementara itu Jenderal Soedirman terus bergerilya melawan agresi militer Belanda. Republik ini kini sedang menuju kedaruratan yang berbahaya, karena konstitusi sebagai komando sedang dibajak oleh para komandan.

Konstitusi negara juga dipermainkan oleh para bandit dan badut politik untuk melanggengkan kekuasan dan cengkraman para bandar politik pemilik modal. Jabatan publik sebagai amanah kini diperebutkan, lalu dipertahankan dengan segala cara dan alasan tanpa rasa malu.

Bandara Juanda, 22 Desember 2022. (*)

319

Related Post