Demi Bakti atau Ambisi?
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI
BUKAN hanya rezim yang tirani, bahkan kekuatan oposisi juga bisa distorsi. Koalisi Perubahan Untuk Persatuan, harus elegan menghadapi anasir haus kekuasaan.
Bukan hanya pada koalisi rezim kekuasaan yang tirani, iri dan dengki juga menyelimuti kekuatan oposisi. Seolah-olah punya hati dan nurani, geliat menyeru kebenaran dan keadilan tak luput menjadi kedok yang membungkus obsesi. Demi bakti atau sekedar memenuhi ambisi, semangat perubahan kini terancam menjadi halusinasi.
Dari pengamat dan akademisi, aktifis pergerakan, kader partai politik hingga tokoh nasional, semua terkesan merepresentasikan perjuangan ideologi. Menghembuskan angin kesadaran, meniupkan api perlawanan dan bahkan mewaqafkan dirinya dengan pengorbanan. Tapi apa lacur, yang terjadi tidak lebih dari mengabaikan dan mengalihkan nilai-nilai yang hakiki. Perjuangan tak lebih dari hasrat harta dan jabatan, pengabdian dimanipulasi dengan target kekuasaan. Kemaslahatan tak ubahnya angan-angan, kemudharatan terlanjur menjadi kenyataan.
Rakyat begitu mirisnya, entah karena terlalu percaya dan begitu tulusnya memberikan amanah, harus mengidap ketertindasan dan kesengsaraan. Pemimpin yang rakyat berikan mandat, gemar berbuat maksiat. Kebanyakan pejabat sekonyong-konyong menjadi bejat. Presiden dengan jajaran birokrat, ketua umum partai politik dan anggota dewan, ketika dituntut memenuhi keinginan rakyat seketika berubah menjadi psikopat. Membenci dan memusuhi rakyat, beringas dan brutal. Begitulah kekuasaan, lewat distorsi kebijakan politik, ekonomi dan hukum, rakyat terus dibiarkan kelojotan. Beras naik dan BBM naik diam-diam, seiring negara krodit karena pajak mencekik, kegemaran utang dan wabah korupsi di seluruh pelosok negeri.
Saat gemuruh perubahan dan upaya perbaikan menggejala hingga ke dalam pikiran dan sanubari rakyat, masih ada barisan oposisi yang sungkan dan enggan memberi keikhlasan. Begitu naif dan berlebihan memaksakan hanya diri dan kelompoknya yang mampu mengusung kebaikan. Eksistensialis dan eksibisionis, ingin tampil selalu di depan dan menguasai panggung pertunjukan kekuasaan. Selainnya, tak boleh ada yang lebih besar mendapatkan perhatian dan kesempatan. Angan-angan hidup di dunia dalam keleluasaan dan kenikmatan, membuat hampir penyelenggara negara dan irisannya lupa daratan. Bukan cuma pada kekuasaan, bahkan yang kritis dan oposan juga rentan menjadi sial dangkalan.
Ini bukan hanya soal SBY dan partai Demokrat menjadi julid saat putra mahkotanya AHY ditenggarai tak seiring sejalan dalam pembahasan kursi capres-cawapres berdampingan dengan Anies Baswedan. Ini juga terjadi hampir di semua kalangan oposisi yang selama ini getol menolak kebijakan kekuasaan dan cenderung anti pemerintahan. Meski dalam satu wadah kalangan aktifis, yang kritis dan optimis perubahan, faktanya kerap menyemburkan isu, intrik dan fitnah terhadap sesamanya. Terkadang seperti rezim juga, ingin melakukan pembunuhan karakter dan kriminalisasi kawan seperjuangannya sendiri. Oposisi juga masih manusia, masih sedikit terselip sifat hewaninya, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
Rakyat, sepertinya harus punya stamina yang extra, tahan lama tanpa batas waktu yang ditentukan. Karena sesungguhnya, yang ingin dan bergabung dalam semangat perubahan, belum bisa jujur ke dalam. Benar-benar ingin perubahan atau sekedar menumpang kendaraan kekuasaan. Tak ada sedikitpun ada ketulusan untuk memberikan peran kepemimpinan kepada yang berhak, yang layak dan memiliki kepantasan. Ragu dalam kebersamaan untuk meluruskan jalan dan menghadirkan keadilan. Masih ada saja yang terus memaksakan kehendak, masih buram dan samar-samar, berjuang demi bakti atau ambisi?.
Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu. (*)