Direksi Bank Mandiri Tidak Perlu “Jemawa lah”
Semua anak bangsa harus punya keresahan tinggi terhadap peristiwa blackout yang menimpa Bank Mandiri. Toh seandainya Bank Mandiri bangkrut atau bermasalah, para direksi dan karyawannya masih tetap menerima gaji yang tinggi dan besar. Bahkan, masih bisa terima bonus-bonus akhir tahun seperti tantiem, fasilitas kesehatan, dan sejumlah fasilitas lainnya.
Oleh Luqman Ibrahim Soemay
Jakarta, FNN - Kasus terjadinya blackout yang menimpa Bank Mandiri harus dijadikan pelajaran berharga untuk melakukan perbaikan ke dalam. Bukan sebaliknya mencari-cari celah sana-sini untuk menghindar dari kegagalan melindungi dana nasabah. Sebab bukan pihak-pihak dari eksternal yang membuat publik tidak percaya kepada Bank Mandiri.
Publik selama ini percaya terhadap Bank Mandiri. Sebaliknya, direksi Bank Mandiri sendiri yang mendorong publik, termasuk penulis untuk tidak percaya dengan Bank Mandiri sekarang. Buktinya, terjadinya balckout itulah sebagai contoh paling nyata.
Sebenarnya masih banyak kasus lain yang membuat publik menjadi tidak percaya. Semua akibat ulah dari internal Bank Mandiri sendiri. Cuma selama ini publik diam, karena mengganggap masih dalam batas-batas yang wajar. Namun begitu terjadi peristiwa blackout, maka sempurnalah perilaku internal Bank Mandiri membangun ketidakpercayaan publik tersebut.
Yang mungkin saja tidak disadari oleh direksi dan pengelola sekarang adalah membangun kembali kepercayaan publik kepada Bank Mandiri. Sebelumnya kepencayaan publik itu hancur berantakan sejak dari empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri. Keempat bank tersebut adalah Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor (Bank Exim), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Bumi Daya (BBD).
Empat bank BUMN tersebut adalah bank-bank dengan kategori hebat. Kehebatan dari empat bank asal Mandiri tersebut, bukan saja diakui di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sayangnya, harus berantakan, dan tidak dipercaya publik. Sejarah kelam masa lalu ini yang mungkin tidak diketahui dan dipelajari oleh direksi dan pengelola Bank Mandiri sekarang.
Salah satu sifat buruk yang penulis kenal dari direksi dan pengelola empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri tersebut adalah suka arogan, sombong, dan angkuh. Kebetulan saja penulis kenal dengan mereka. Direksinya merasa paling benar sendiri. Bahkan kadang-kadang menjadi pemilik kebenaran kalau bicara soal perbankan. Pokoknya pendapat orang lain itu salah saja.
Direksi keempat bank tersebut juga suka alergi terhadap kritik yang datang dari publik eksternal. Kalau ada kritik, maka itu dianggap sebagai upaya mendiskreditkan. Tujuannya untuk merusak kepercayaan masyarakat kepada Bank Mandiri. Hampir sama persis dengan keterangan Direksi Bank Mandiri yang disampaikan Corporate Secretary Rohan Hafas yang beredar di media sosial WhatsApp.
Malah Direksi Bank Mandiri sekarang menuduh kritik dari penulis merupakan upaya untuk mendiskreditkan pemerintah dan perekonomian Indonesia. Hampir sama persis juga dengan di era Orde Baru. Dulu, direksi empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri kalau dikritik, cara ngejawabnya gampang bangat. Misalnya, “ah kritik itu kan sebagai upaya untuk mendiskreditkan dan merusak kepercayaan masyarakat kepada bank”.
Selain itu, mantan direksi empat bank juga sukan bilang, “kritik itu sebagai upaya untuk merusak kepercayaan masyarakat kepada perekonomian nasional dan pemerintah yang sah”. Hampir sama persis dengan yang dulu penulis dengar dari mulut direksi keempat bank yang dimerger tersebut. Hanya bedanya, dulu itu di eranya Orde Baru. Sekarang eranya Orde Reformasi.
Sekadar mengingatkan saja bahwa mantan Direktur Utama Bapindo Towil Heryoto berakhir di penjara. Sementara Direktur Utama Bank Bumi Daya Syahrial juga mengalami nasib yang sama, di penjara. Terakhir mantan Dirut Bank Mandiri Edi C.W. Neloe. Hampir semuanya karena merasa paling benar sendiri dan alergi terhadap kritik dari publik. Ya mereka juga jemawa.
Sayangnya sekarang sudah eranya reformasi. Namun direksi Bank Mandiri masih suka dan senang menggunakan pendekatan pola-pola zaman bahula Orde Baru. Kritik dan saran dari publik bukannya diterima sebagai bentuk rasa memiliki Bank Mandiri. Sebaliknya, kritik dianggap sebagai “upaya mendiskreditkan dan merusak kepencayaan masyarakat kepada Bank Mandiri”.
Kalau memang lupa dan tidak tahu, penulis mengingatkan direksi Bank Mandiri bahwa sebagai mantan direksi empat bank yang dimerger menajadi Bank Mandiri itu berakhir di penjara. Banknya juga bermasalah, sehingga dimerger menjadi Bank Mandiri. Salah satu penyebabnya mereka sombong, angkuh, dan arogan terhadap kritik publik. Namun itu wajar saja, karena mereka menjadi direksi bank di era Ode Baru.
Kalau sekarang direksi Bank Mandiri alergi terhadap kritik dari publik, mudah-mudahan saja tidak sedang membuat bank BUMN ini bernasib sama dengan empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri dulu. Untuk itu, direksi Bank Mandiri tidak perlu “jemawa lah”. Karena penyangga utama Orde Baru saja sudah berubah jauh bangat. Mereka dulu serba otoriter, sekarang sudah bisa menerima kritik dan masukan sebagai vitamin untuk perbaikan-perbaikan ke depan.
Pilar utama penyokong Orde Baru adalah TNI, Polri, Partai Golkar dan Bank Indonesia sudah sangat familiar dan terbuka menerima kritik publik. Keempat lembaga ini juga sangat aware terhadap kritik masyarakat. Anehnya, direksi Bank Mandiri malah sebaliknya. Nyatanya mata direksi Bank Mandiri, kritik itu adalah ”mendiskeditkan, merusak kepercayaan masyarakat terhadap Bank Mandiri, perekonomian nasional dan pemerintahan yang sah”. Luar biasa direksi Bank Mandiri ini.
Wajar juga kalau direksi Bank Mandiri masih menerapkan pola-pola warisan Orde Baru. Sebab dari direksi dan komisaris, termasuk Senior Vice President Bank Mandiri adalah orang-orang yang sama sekali tidak pernah berkeringat di reformasi 1998. Mereka tidak ikut menjatuhkan Soeharto dan Orde Baru dari singgasana 32 tahun kekuasaan. Bahkan sangat mungkin mereka menjadi bagian atau penikmat dari kekuasaan Orde Baru.
Direksi Bank Mandiri terdiri dari Direktur Utama Kartika Wirjiatmodjo, Wakil Direktur Utama Sulaiman Arif Arianto. Sedangkan jajaran Direktur adalah Royke Tumilar, Harry Gunadi, Ahamd Siddik Badrudin, Darmawan Junaidi, Alexandra Askandar, Agyus Dwi Handaya, Panji Irawan, Donsuwan Simatupang, Riduan dan Rico Usthavia Frans.
Pada jajaran komisaris, terdiri dari Komisaris Utama Hartadi Agus Sarwono, Wakil Komisaris Utama Imam Apriyanto Putro. Sedangkan jajaran Komisaris adalah Askolani, Bangun Sarwiro Kusmulyono, Goei Siauw Hong, Ardan Adiperdana, Makmur Kaliat, dan R. Widyo Pramono.
Pada 20 Juli 2019 lalu Bank Mandiri mengakui bahwa kesalahan sistem teknologi informasi telah menyebabkan perubahan saldo pada 1,5 juta rekening nasabah. Total nasabah Bank Mandiri saat ini ada 20 juta. Ada sekitar 2.600 nasabah yang saldonya bertambah. Namun jajaran Bank Mandiri tidak menjelaskan berapa banyak nasabah yang saldonya berkurang. Padahal kejadian ini adalah fakta dan peristiwa hukum yang terjadi akibat kesalahan dari pengelolanya.
Kejadian blackout ini adalah peristiwa hukum. Akibatnya, kepercayaan publik kepada Bank Mandiri bisa berkurang dengan sendirinya. Jadi, sebenarnya tidak butuh orang lain untuk meyakinkan publik. Sebab jajaran Mandiri sendiri telah berhasil meyakinkan publik bahwa sistem IT milik Bank Mandiri tidak menjamin kenyamanan uang para nasabah.
Kepercayaan nasabah dan publik itu tidak dibangun di atas banyak atau sedikitnya saldo nasabah yang berkurang atau bertambah. Satu saja saldo nasabah yang bertambah atau berkurang sudah membuat kepercayaan publik dan kepada Bank Mandiri bermasalah. Apalagi ini jutaan orang.
Nasabah Bank Mandiri tentu saja tidak pernah berharap saldo uangnya di Bank Mandiri ditambah atau dikurangi. Jadi, sebenarnya yang merecoki kepercayaan publik itu, ya jajaran direksi dan pengelola Bank Mandiri sendiri. Siapa penanggung jawab bidang IT Bank Mandiri?
Direksi Bank Mandiri juga perlu belajar dari skandal Asuransi Bumiputra dan Bank Century. Karena cara-cara pengelolaan yang tertutup dan alergi terhadap kritik, Bumiputra kejeblos jurang sebesar Rp 40 Triliun sekarang. Kalau sudah begini, apa cukup hanya dengan meminta tanggung jawab direksi Bumiputra? Direksi Bumiputra mungkin saja setiap saat bisa dijeblosin ke penjara. Namun apakah itu serta-merta bisa menyelesaikan masalah Rp 40 Triliun tersebut?
Begitu juga dengan skandal Bank Century di akhir pemerintahan SBY periode pertama. Skandal bank dengan nilai penjarahan Rp 6,7 Triliun tersebut, hampir saja membuat pemerintahan SBY tergelincir dari kekuasaan. Toh, masalahnya tidak selesai hanya dengan menjebloskan direksi dan pemiliknya Robert Tantular ke dalam penjara.
Sampai dengan akhir 2018, total aset Bank Mandiri adalah Rp 1.202,25 Triliun. Sementara itu total kewajiban atau liabilities Bank Mandiri mencapai Rp 941,95 Triliun atau setara dengan 78,34%. Artinya, Bank Mandiri harus kerja keras memelihara asetnya. Sebab dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 767,76 Triliun atau sekitar 63,86% berupa kredit kepada debitur.
Rasio aset likiut terhadap total aset pada 2018 juga turun menjadi 6,84% bila dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 13,26%. Dengan demikian, ada penurunan likuiditas Bank Mandiri. Resiko likuiditas yang meningkat juga berdampak terhadap ketidakmampuan Bank Mandiri memelihara kewajiban yang jatuh tempo.
Begitu juga dengan rasio total aset likuit terhadap pendanaan jangka pendek tahun 2018, yang turun drastis dari 8,19% menjadi 9,59%. Pada tahun 2017 rasio total aset likuit terhadap pendanaan jangka pendek sebesar 17,78%. Kenyataan ini menandakan adanya risiko likuiditas Bank Mandiri terhadap pendanaan jangka pendeknya.
Direksi Bank Mandiri tidak perlulah bapper. Tidak perlu juga jemawa terhadap kritik masyarakat. Berlajarlah yang banyak kepada TNI, Polri, Golkar dan Bank Indonesia, yang dikritik habis-habisan dengan sangat keras dan menusuk. Namun semua kritik itu diterima dengan lapang dada. Dianggap sebagai masukan atau warning untuk perbaikan ke depan.
Semua anak bangsa harus punya keresahan tinggi terhadap peristiwa blackout yang menimpa Bank Mandiri. Toh seandainya Bank Mandiri bangkrut atau bermasalah, para direksi dan karyawannya masih tetap menerima gaji yang tinggi dan besar ko. Bahkan masih bisa terima bonus-bonus akhir tahun seperti tantiem, fasilitas kesehatan dan sejumlah fasilitas lainnya dari Bank Mandiri.
Untuk itu direksi Bank Mandiri tidak perlu jemawa lah. Lebih baik belajar dari kejadian yang menimpa direksi empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri. Sebab mereka adalah bankir-bankir hebat di eranya dulu. Namun mereka tergelincir juga, karena jemawa terhadap kritik. Padahal penulis sudah sering mengingatkan mereka seperti ini. Semoga saja bermanfaat, aamiin aamiin dan aamiin.