DNA Anies Itu Lebih PKS Ketimbang NasDem, Jangan Coba-coba Menihilkan
Oleh Ady Amar - Kolumnis
DEKLARASI pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, dilakukan sepekan lalu di Surabaya, Sabtu (2 Sepetember). Deklarasi dicukupkan dengan 2 partai, Nasdem dan PKB. Kenapa dengan PKS, ke mana PKS berlabuh, begitu banyak pihak bertanya. Spekulasi pun muncul.
NasDem yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), membuat kesepakatan diam-diam dengan PKB tanpa menyertakan anggota koalisi lainnya, PKS dan Demokrat. Karenanya, Demokrat marah besar, dan memilih meninggalkan KPP.
PKS memang belum memutuskan langkahnya, apakah tetap di KPP atau mencari opsi lain. Saat deklarasi itu dilakukan tidak persis tahu apakah PKS diajak, atau sengaja diikutkan pada terminal berikutnya sebagai penumpang baru. Namun, sekalipun saat itu PKS diajak, tentu tidak bisa seketika memutuskan. Di PKS, semua akan diputuskan lewat Majelis Syura.
Agaknya itu yang membuat PKS "ditinggal" NasDem, yang memilih mendeklarasikan Anies-Muhaimin tanpa PKS. Sikap NasDem itu seakan tidak perlu memahami kondisi partai koalisi lainnya. Memilih deklarasi perlu disegerakan, NasDem pastilah punya alasan tersendiri. Pilihan pragmatis, bahwa 2 partai sudah cukup mengusung Anies, karena belum tahu arah PKS akan ke mana saat diputuskan Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres-nya.
Satu hal yang tak perlu disangsikan, bahwa DNA PKS itu ya Anies Baswedan. Jadi tak mungkin Anies tertukar atau bisa ditukar dengan yang lain. Itu mustahil. Anies itu bagi PKS seperti garis takdir. Jalan PKS seperti jalan mengiringi perjalanan Anies, yang dimulai dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Coba-coba menihilkan PKS, itu langkah aneh yang kontraproduktif.
Satu hal lain yang patut diapresiasi dari PKS adalah kemampuannya mendengar suara konstituennya dengan baik. Tidak seperti partai lain, yang hanya mementingkan kepentingan sesaat elitnya dengan mendukung kandidat capres yang jauh dari pilihan konstituennya.
Sikap PKS yang menunggu keputusan Majelis Syura, itu diatur dalam konstitusinya. Mestinya itu dihargai selayaknya. Tidak disikapi dengan narasi ketus yang sempat terucap dari Wakil Ketua NasDem, Ahmad Ali, "NasDem siap terima konsekuensi jika PKS cabut dukungan dari Anies."
Narasi tidak produktif, tidak bersahabat, narasi yang bisa ditafsir dengan berharap PKS tidak bergabung dalam koalisi KPP versi baru.
Sikap NasDem itu juga bisa diartikan sebagai sikap merasa cukup dengan hanya menggandeng PKB. Suara NasDem dan PKB memang melampaui batas _parliament threshold_ yang 20 persen, atau 115 kursi. Jumlah kursi NasDem dan PKB jika dijumlahkan 117 kursi.
Sikap NasDem ini juga lagi-lagi bisa disebut sebagai upaya balas dendam, itu setelah sekian lama dikunci oleh partai koalisi lainnya, khususnya Demokrat. Terkunci oleh opsi Bacawapres adalah AHY. NasDem tak berkutik, dan hanya mengulur-ulur waktu deklarasi Bacawapres pasangan Anies Baswedan. NasDem dibuat serba sulit apalagi dengan "ancaman" Demokrat akan mencari opsi lain, dan itu artinya meninggalkan KPP.
Sampai waktunya tiba, kunci itu jebol dengan sendirinya seiring hadirnya PKB. Demokrat meninggalkan KPP. Maka, deklarasi Anies-Muhaimin dibuat secepat kilat. PKS seakan "ditinggalkan" padahal DNA Anies itu lebih pada PKS ketimbang NasDem, itu yang mesti disadari elit NasDem untuk tidak bermain-main dengan politik picisan, yang itu akan merugikan Anies untuk memenangi kontestasi Pilpres 2024.
Bersyukur elit PKS tak terpancing manuver politisi NasDem yang coba memainkan psikologis bahkan harga diri PKS dengan memanaskan suasana, berharap PKS mencari opsi lain. PKS tak terpancing, dan menyatakan tetap akan bersama Anies Baswedan. Jika belum melakukan Deklarasi Anies bersama Muhaimin, itu semata prosedur organisasi yang perlu dijalani. Semua akan ditentukan oleh Majelis Syura, dan sepertinya tidak lama lagi Deklarasi PKS akan dilakukan. Sabar kata kuncinya.**