Doa Anies
Oleh Eep Saefulloh Fatah - Warga Negara Indonesia, tinggal di Tangerang Selatan, Banten
Ia beranjak dari kursi. Melangkah menuju podium. Lewat layar televisi saya lihat sosoknya bergerak. Merayap di kepala saya kecemasan.
Saya khawatir ia terjebak menjadikan podium itu sebagai tempat melemparkan banyak kritik keras pada keadaan yang tak bersahabat. Saya khawatir, ia terpanggang dan terpancing massa berjumlah besar dan makin melantangkan kritiknya untuk banyak lubang besar yang (bakal) ditinggalkan pemerintahan Presiden Jokowi.
Siapa saya hingga menyimpan cemas? Saya kawannya. Tak lebih dan tak kurang. Berbagi kecemasan antar-kawan adalah soal lumrah saja.
Siapa dia dan bergerak ke podium apa? Ini cerita tentang Anies Baswedan dan podium di acara Apel Siaga Perubahan Partai NasDem di Gelora Bung Karno, Minggu sore, 16 Juli 2023.
Saya mengenal Anies sebagai komunikator publik yang cakap. Salah satu yang tercakap. Tapi beberapa kali, belakangan ini, saya lihat Anies menghabiskan energi berlebihan untuk melontarkan banyak kritik terbuka untuk pemerintahan saat ini.
Mengeritik pemerintah baik-baik saja. Bahkan perlu. Tapi, secara instingtif saya merasa, jauh lebih baik bagi Anies untuk fokus pada apa yang hendak ia kerjakan.
Secara instingtif saya merasa peluangnya untuk memenangi Pilpres 2024 lebih terbuka dengan fokus memaknai “continuity and change” yang ia pidatokan saat menerima penunjukan Partai NasDem sebagai Calon Presiden, 3 Oktober 2022 lalu.
Yang saya maksudkan fokus, bukanlah bicara soal kesinambungan dan perubahan itu pada tataran gagasan-gagasan besar. Yang saya maksudkan memaknai itu adalah menegaskan komitmen-komitmen kerjanya yang konkret untuk warga, untuk rakyat, dalam kerangka kesinambungan dan perubahan.
Anies harus fokus pada yang ia tawarkan; bukan pada yang Presiden Jokowi abaikan. Anies boleh memberi pengantar berupa gagasan-gagasan besar, tapi daging utama komunikasinya harus berupa tawaran-tawaran konkret, jalan keluar bersahaja dari masalah-masalah warga sehari-hari.
Dengan begitu, ia bergerak ke tengah. Bagi Anies, kanan itu “hanya” titik berangkat; bukan arena utama bermain. Arena utamanya ada di tengah. Sukses Anies di 2024 — dengan asumsi bahwa ia berhasil lolos menjadi kandidat resmi di akhir November kelak — ditentukan seberapa berhasil ia menggarap dan menggalang para pemilih di tengah.
Dalam konteks itu, sibuk mengeritik pemerintahan Presiden Jokowi hanya menimbulkan dua masalah: Jalan di tempat di sisi Kanan (melayani hanya sekitar 30% persen atau kurang calon pemilih yang memang anti-Jokowi) dan tak membangun percakapan sehat untuk Pemilu 2024 (hanya menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk debat warganet yang terpancing kritik-kritiknya).
Karena itu sebagai kawannya saya cemas. Cemas bahwa Anies salah memanfaatkan panggung besar yang disediakan Surya Paloh dan Partai NasDem.
Tapi kecemasan saya bertepuk sebelah tangan. Kekhawatiran saya tak terbukti. Alih-alih memaki, Anies berdoa. Sebuah pilihan yang menurut saya, matang, cerdas dan sehat.
Berdoa adalah menghadapkan hamba tak berdaya dengan Tuhan Sang Maha Digdaya. Berdoa mewakili dua lapis fenomena sekaligus: Horizontal saat Sang Hamba menyapu lingkungan sekitarnya untuk menemukan bahan bagi doa-doanya, dan vertikal-transendental ketika Sang Hamba bersimpuh memohon pada Sang Maha Kuasa lagi Bijaksana. Sang Aziz dan Hakim.
Maka format doa adalah sebuah pilihan cerdas Anies sore itu. Dengan berdoa ia tak menempatkan dirinya berhadapan dengan Presiden Jokowi dan barisan di belakangnya. Ia menengadah ke Atas, ke tempat jauh di atas singasana kekuasaan Presiden dan siapapun. Maka semua yang dilontarkannya — tentang semua keadaan yang tak bersahabat, tentang masalah-masalah sehari-hari yang dihadapi nyaris semua orang saat ini, tentang lubang-lubang besar yang (bakal) ditinggalkan pemerintahan saat ini — berhamburan ke udara. Semuanya tak memercik ke wajah Presiden dan siapapun yang sedang pasang kuda-kuda bertahan vis a vis kritisisme publik hari-hari ini.
Doa yang dibacakan adalah percakapan privat Hamba dan Tuhannya yang di-publik-kan.
Dan bagian pengunci dari doa itu adalah beberapa penggal kata Anies di ujung pidatonya. Ketika kurang lebih ia mengatakan: Hai masalah! Silakan kau ada di sana. Kami punya Tuhan yang bisa memberi kami kekuatan untuk mengatasimu!
Berdoa juga pilihan yang cerdas dan dingin. Lewat doa setiap hamba bisa mengadu. Tentang apa saja. Tentang masalah seberat dan sesensitif apapun. Berdoa adalah pengakuan ketiadaan kekuasaan di hadapan Sang Pemilik Langit dan Bumi beserta segenap isinya.
Walhasil, ketika Anies menyebutkan berbagai masalah yang dihadapi rakyat — ketika ia menegaskan perkelahian banyak warga melawan keburukan-keburukan yang masih mengungkung hidupnya — siapapun tak berhak merasa disindir atau dinyinyiri. Dengan doa, pengakuan atas banyak masalah itu tak terjebak menjadi peluru-peluru yang ditembakkan ke kompetitor politik.
Doa membuatnya menjadi presentasi yang representatif — sebab ia mewakili suara-suara mereka yang mengamini.
Doa juga pilihan yang sehat. Melalui rangkaian kata demi kata yang disusun Anies dalam doanya, diam-diam ia sedang menguraikan daftar komitmen-komitmen kerja yang ia tawarkan buat Indonesia hari ini dan esok. Doa menjadi semacam — meminjam istilah baku Komisi Pemilihan Umum — “Visi-Misi-Program Kerja” yang disampaikan secara sangat personal, persuasif dan bersahabat.
Pendeknya, saya lega Anies tak menjadikan podiumnya untuk berteriak ke hadapan wajah kekuasaan. Saya lega, alih-alih, Anies melantunkan permohonan yang ia pantulkan ke Atas, ke Sang Maha Kuasa.
Hal lain yang saya saksikan sore itu adalah optimisme yang ditebar Anies. Optimisme bahwa ujian, tantangan, tekanan atau apapun akan bisa dilewati oleh mereka yang percaya pada kekuatannya, berbaik sangka pada pertolongan Tuhannya, dan tak pernah berhenti berikhtiar. Hari-hari ini kita perlu tebaran optimisme itu dari siapapun — dari Anies, dari Ganjar Pranowo, dari Prabowo Subianto, dan dari siapa saja termasuk Anda yang sedang menuntaskan membaca ini.
(Bintaro, 17 Juli 2023)