DPR Sebaiknya Kibarkan Saja Bendera Putih

by M Rizal Fadillah

Jakarta FNN – Kamis (25/06). DPR sudah terlalu berat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Haliuan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Atmosfer politik yang ada tidak lagi mendukung DPR dan Pemerintah untuk menjadikan RUU ini sukses menjadi undang-undang.

Jika penundaan Pemerintah yang tidak jelas dasarnya tersebut berujung pada pembahasan juga, maka diprediksi sulit untuk DPR bisa bekerja dengan tenang, jernih dan lancar. Sebab aksi-aksi protes dan penolakan akan terus membarengi dan mengganggu kerja-kerja DPR di pembahsan RUU HIP ini. Karena RUU telah menjadi "bencana nasional" bagi masyarakat Indonesai, khsusnya umat Islam.

Jika dilanjuutkan, apapun resikonya, umat dipastikan akan berhadap-hadapan dengan DPR. Termasuk juga siap untuk beradu kuat dengan pemerintah. Masalah ini sudah menyangkut keyaninan mayoritas umat Islam dalam bernegara. Pancasila dan UUD konsensus tanggal 18 Agustus 1945 itulah yang paling top, paling pas dan paling cocok bagi bangsa Indonesia. Jangan aneh-aneh lagi. Tutup dan kunci rapat-rapat segalan bentuk pembicaraan lanjutan mengenai Pancasila dan UUD 1945.

Meski membahasakan kepada rakyat dengan kata "menunda", pemerintah juga nampaknya masih bingung. Sebab di satu sisi, desakan rakyat khususnya umat Islam untuk menghentikan segala proses lanjutan terhadap RUU HIP sangatlah kuat. Sementara di sisi lain, usulan dan gagasan awal RUU ini datang dari PDIP. Yang tak lain merupakan partainya pemerintah sendiri.

Sikap tegas pemerintah akan menyinggung "marwah" PDIP dan juga DPR. Untuk itu, sebaiknya DPR tak perlu ngotot dan melawan kemauan rakyat. Sinyal datri pemerintah ini agar dibaca dan diantisipasi oleh DPR, dengan segera menarik atau menghentikan RUU inisiatif. Opsi yang ditawarkan berupa revisi atau perbaikan, “sangat tidak sesuai aspirasi" rakyat. Bahkan cenderung DPR anggap tidak aspiratif.

Keinginan dan aspirasi publik hanya tiga, yaitu tolak, tarik lagi, dan hentikan pembahasan segala bentuk selanjutnya RUU HIP ini. Jangan sampai telah terpatri di hati rakyat bahwa RUU HIP yang beraroma Orde Lama, bahkan berbau amis komunisme tersebut dilajutkan lagi pembahsannya. Tuduhan terkuat adalah tanda kebangkitan PKI. Neo-PKI. Pahami pesan itu baik-baik.

Ada pembakaran bendera PKI pada aksi unjuk rasa tanggal 24 Juni di depan Gedung DPR-RI. Pengunjuk rasa bernyanyi dengan semangat "bakar, bakar, bakar PKI, bakar PKI sekarang juga". Aspirasi ini yang mesti didengar oleh para wakil rakyat di DPR. Tak juga perlu menuduh masyarakat yang anti PKI itu sebagai "kadrun". Kenyataan ini adalah realita dari perasaan politik rakyat yang mereaksi cara elit politik bermain dengan sangat licik, culas , busuk dan bau amis.

Uniknya, entah karena kecewa atas sikap pemerintah yang "lembek" dan cenderung "mengeles". Dampak dari seikap pemerintah yang hanya menyatakan "menunda pembahsan" atau karena ada akumulasi rasa jengkel dan tidak percaya kepada pemerintah, khususnya Presiden selama ini. Akibatnya, pada momen demonstrasi di DPR Rabu kemarin, lagu "perjuangan" dinyanyikan pula oleh pengunjuk rasa dengan antusias "turun, turun, turun Jokowi, turun Jokowi sekarang juga".

Meski bola RUU secara yuridis formal masih berada di tangan Pemerintah, karena belum ada yang "Surpres" yang dilayangkan kepada DPR, tetapi pidato Menko Polhukam Mahfud MD yang didampingi Menkumham Yasonna Laoly baru-baru ini telah memberi indikasi sikap Pemerintah. Oleh karenanya DPR sebenarnya sudah dapat mengambil sikap atau kebijakan strategis untuk menjawab aspirasi rakyat tersebut. DPR jangan lewatkan momentum ini untuk memulihkan kepercayaan rakyat

DPR sebaiknya mulai melakukan rapat Baleg maupun Fraksi-Fraksi untuk segera menentukan sikap. Hentikan RUU HIP dan tarik dari daftar program legislasi. Kembali perhatian pada agenda lain seperti pandemi covid 19 dan pemulihan keadaan. Jangan mengambangkan persoalan RUU HIP yang membuat gaduh dan resah rakyat tersebut.

Jika ini dianggap sebagai "pertempuran" untuk menggoalkan RUU HIP menjadi undang-undang, maka gempuran akan terus menguat. Sebaiknya DPR mundur saja. Mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Apalagi menyerah kepada rakyat itu lebih terhormat. Tidak bagus untuk memaksakan kehendak. Situasi berkaitan RUU HIP ini semakin rentan dan rawan. DPR menyerahlah.

Penulis adalah Penerhati Politik dan Kebangsaan

478

Related Post