Dugaan Beli Suara Dalam Pemilihan Presidium KAHMI dan Forhati di Palu?
Oleh Kamaluddin Hamid - Pemerhati Sosial-Politik
BANYAK yang memuji sikap Korps Alumi Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang baru saja selesai menggelar musyawarah nasional (Munas) di Palu, Sulawesi Tengah. Organisasi mantan aktivis HMI ini berani tegas. Mereka memilih kehadiran Anies Baswedan di Munas dengan konsekuensi Presiden Jokowi batal hadir.
Jokowi dan Anies, menurut jadwal acara, bakal berada di satu ruangan. Jokowi seharusnya membuka Munas dan Anies sebagai salah seorang pembicara utama (keynote speaker).
Kata orang-orang yang tahu panggung belakang Munas, panitia pelaksana mendapat tekanan keras. Termasuk dari aparat intelijen, agar membatalkan kehadiran Anies demi kehadiran Jokowi. Tapi, panitia menolak tekanan itu. Mereka memilih Anies.
Tentang mengapa Jokowi tidak mau ada Anies di Munas, dikatakan bahwa Presiden tidak mau ambil risiko kalah pamor dengan Anies. Dan kenyataannya memang para peserta lebih senang Anies yang hadir.
Tersebarlah berita bagus untuk KAHMI. Bahwa KAHMI bukan organisasi sembarangan. Bukan kumpulan kaleng-kaleng. Mereka punya marwah, wibawa, dan tidak akan tunduk di bawah tekanan. Publik di luar Munas, bahkan yang mengikuti perkembangan dari jauh, sangat senang dengan pendirian KAHMI.
Sayangnya, di balik berita bagus ini ada pula berita yang sangat tidak enak. Sekaligus memalukan. Yaitu, dugaan kuat bahwa proses pemilihan pimpinan KAHMI di Palu ternoda oleh praktik beli suara.
Benarkah itu? Hanya Tuhan yang tahu pasti. Sejumlah orang yang kami tanyai di arena Munas memberikan jawaban yang afirmatif. Mengiyakan. Tetapi, ada satu-dua menjawab bahwa itu tak mungkin terjadi. Namun, yang satu-dua ini terkesan ingin melindungi KAHMI dari sangkaan jelek. Sesuatu yang sangat wajar, tentunya.
Ada catatan seseorang yang bernama Arianto, yang menyebut dirinya sebagai pengamat sosial, tentang dugaan main duit itu. Catatan orang ini tersebar di sejumlah grup WhatsApp (WA). Arianto antara lain menggambarkan bahwa sembilan orang yang terpilih menjadi presidium Majelis Nasional (MN) KAHMI di Palu sangat patut diduga membeli suara peserta. Arianto bahkan menduga harga satu suara antara 2.5 juta sampai 5 juta. Ini berarti seorang pemilik suara bisa mengumpulkan 22.5 juta yang didapat dari kesembilan orang presidium yang terpilih.
Catatan Arianto itu sangat vulgar. Dia berani menyebutkan nama-nama yang membagi-bagi uang. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa APD mentransfer uang kepada pemilih melalui “mobile banking” (online banking). Yang lainnya, seperti DKG dan SMN membayar dengan uang tunai. Hebatnya, kata Arianto, untuk DKG dan SMN ada pihak yang menjadi bandarnya. Yaitu para pejabat dari lembaga penting kepemiluan.
Yang juga diduga membayar dengan uang tunai untuk imbalan suara adalah HKD, RKP, RSG, dan para terpilih lainnya.
Bagaimana dengan pemilihan presidium Forhati? Sama saja. Patut juga diduga para peserta yang maju di pemilihan pimpinan kelompok alumni HMI-wati ini tak lepas dari beli suara.
Salah seorang yang mencalonkan diri untuk posisi presidium Forhati menceritakan pengalaman yang, kata dia, sangat memprihatinkan. Si calon didatangi langsung dan juga lewat komunikasi WA oleh sejumlah utusan wilayah dan daerah.
“Salah seorang peserta Munas tanpa basa-basi bertanya kepada saya, ‘Mbak ada uang berapa?’,” kata si calon. Pertanyaan ini maksudnya ada berapa uang si calon untuk pemenangan. Dia dongkol sekali mendengar pertanyaan seperti itu.
Ada yang minta kepada dia agar dibayarkan tiket pesawat pp, ada yang minta tiket pergi atau tiket pulang saja, dlsb. Si calon mengaku merasa malu sendiri.
Si calon mengatakan lagi, beberapa peserta mengirimkan detail rekening bank kepadanya lewat chat WA. Agar langsung ditransfer uang yang diminta.
Dia tidak melayani permintaan itu. Dia merasa sangat tak pantas cara-cara vulgar itu dilakukan oleh aktivis Islam.
Akhirnya si calon tidak mendapat suara besar. Para calon lain bisa mengumpulkan suara mendekati dua ratus atau bahkan jauh di atas dua ratus.
Si calon yang tersingkir itu merasa prihatin. Forhati bakal dipimpin oleh orang yang pernah menjadi narapidana korupsi/suap. Dia tidak menyebutkana siapa orang itu. Tapi, dari penelusuran di internet, kami termukan berita-berita tentang Wa Ode Nurhayati (meraih 195 suara) yang pernah divonis 6 tahun penjara dengan dakwaan suap anggaran Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) tiga kabupatean di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Menurut berita yang dimuat “merdekadotcom” itu, Wa Ode memiliki kekayaan yang tidak wajar. Dia tidak membuat laporan lengkap (LHKPN) ke KPK ketika dia duduk sebagai anggota DPR Komisi VII. Dia duduk sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Disebutkan di dalam dakwaan jaksa KPK bahwa antara Oktober 2010 hingga September 2011, Wa Ode melakukan transfer uang di bank Mandiri cabang DPR sebesar 50.5 miliar rupiah.
Wa Ode sekarang menjadi salah seorang presidium Forhati 2022-2077. Sesuai aturan pergiliran ketua, dia akan menjadi ketua presidium setelah Cut Mutia Ratna Dewi (meraih 244 suara) menyelesaikan masa jabatannya setahun ke depan.
Si calon presidium yang dimintai uang oleh peserta Munas Forhati di Palu sangat menyayangkan bahwa seorang mantan napi korupsi akan menduduki kursi ketua presidium organisasi yang menyandang sebutan “Islam” itu. Dia lebih sedih lagi karena, kelihatannya, semua orang di KAHMI dan Forhati merasa biasa-biasa saja dengan kondisi ini.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai “outlet” kekesalan si calon gagal. Ini semata bertujuan untuk mencolek nurani semua orang yang berada di HMI atau yang pernah ikut di HMI: apakah keadaan begini akan didiamkan saja?
Apakah kita semua akan membuang rasa malu dan rasa bersalah dari dalam diri kita agar tradisi “you punya uang berapa untuk menjadi ketua” atau tradisi “ini nomor rekening saya” bisa diadopsi menjadi standar organisasi?[]
Palu, 28 November 2022