Etiskah Presiden Mendukung Calon Presiden dan Menteri Meminta Presiden Mengumpulkan Koalisi Pemerintah?
Oleh Jacob Ereste - Kolumnis
SEUSAI Presiden Joko Widodo memberi kesan mendukung penuh penetapan Calon Presiden 2024 oleh DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri di Istana Cipanas, kini sensasi seksi Zulkifli Hassan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional yang direbut dari Amin Rais itu meminta Joko Widodo mengumpulkan koalisi pemerintah untuk membicarakan sesuatu yang maha penting, tentu saja. Karena yang harus melakukan itu adalah seorang Presiden yang tengah memangku jabatan resmi Presiden di Republik ini.
Tak jelas, etika seperti apa itu sesungguhnya, mulai dari seorang Presiden harus menunjukkan sikap dukungannya kepada calon kandidat tertentu, sehingga pertanyaan lair lainnya bisa bermunculan, seperti komentar dari seorang aktivis buruh di Banten. Sulaiman Salam, aktivis buruh yang juga tertarik dengan riak politik di tanah air -- karena sejujurnya dia pun mengaku sebagai pendukung Partai Buruh -- menduga sikap Presiden yang mengekspresikan secara terbuka dan vulgar dukungannya terhadap Ganjar Pranowo yang ingin melaku ke Calon Presiden tahun 2024 itu untuk memastikan kelak bila terpilih dia akan memperoleh jaminan untuk tidak diusik atau bahkan dinistakan setelah turun dari tampuk kekuasaannya.
Karena itu, dari sembelit psikologis ini sulit ditelisik etik seperti apa yang telah digunakan itu, sehingga seorang Presiden tidak mampu menjaga sikap netralitasnya untuk tidak pamer secara telanjang Ikhwal dukungannya terhadap calon presiden tertentu.
Demikian juga tentang sikap neranyak yang terkesan tidak sopan untuk kurang seorang Zulkifli Hasan yang meminta seorang Presiden untuk mengumpulkan peserta koalisi pemerintah, tanpa perlu bersoal tentang keperluannya untuk mengumpulkan koalisi pemerintah itu.
Artinya, dalam suasana politik yang semakin memanas dan panik sekarang ini, tata Krama dan etika tidak lagi penting ketimbang tujuan dari politik itu sendiri untuk mendapat atau bahkan merebut sesuatu agar posisi dan kedudukan secara politik tetap bisa bertengger di atas angin.
Secara nalar semua itu tidaklah menjadi soal yang serius. Setidaknya, dengan ekspresi terbuka memberi dukungan kepada seorang calon kandidat Presiden, agaknya justru tidak menguntungkan bagi yang bersangkutan. Tidak kecuali untuk yang memberi dukungan maupun terhadap pihak yang menerima dukungan itu. Sebab dalam telaah psikososial, justru calon Presiden yang didukung oleh Joko Widodo itu akan menerima kekalahan, sebab pihak yang serius ingin mensukseskan Pilpres adalah mereka yang sudah jengah dengan kepemimpinan Joko Widodo. Akibatnya, orang yang tidak mau mendukung Ganjar Pranowo itu sesungguhnya adalah mereka yang tidak menginginkan lagi adanya kebijakan maupun pengaruh Joko Widodo dalam tata pemerintahan di Indonesia berikutnya. Dengan kata lain, model pemerintahan Joko Widodo cukup sudah sampai 2024.
Soal permintaan Zulkifli Hasan -- bisa diartikan pula sebagai perintah itu -- sungguh terkesan tidak etis, apalagi hendak disetarakan dengan etik profetik yang lebih bersifat illahiyah. Akibatnya, mungkin model tata Krama seperti itu yang membuat banyak pihak kurang tertarik untuk berkecupak di habitat politik.
Banyak hal jadi terkesan bisa dihalalkan. Tak cuma tata Krama, tapi juga moral dan akhlak bisa mungkin diabaikan. Padahal, kehormatan dan kemuliaan itu hanya mungkin tersemai baik di taman peradaban yang ugahari. Tentu saja pertanyaan jelata serupa ini hanya layak dan patut dijawab oleh Joko Widodo dan Zulkifli Hasan sendiri. (*)