Fiqhud Dakwah M. Natsir: Wahyu Memanggil Fitrah, Fitrah Menghajatkan Wahyu
Catatan Yudi Imansah - Agamawan
Buku Fiqhud Da'wah adalah kumpulan tulisan M. Natsir yang awalnya berupa diktat-diktat yang dibagikan kepada para peserta kursus kader da'wah.
Salah satu di antara kader, yakni Saleh Umar Bajasut berinisiatif untuk menggali catatan-catatan diktat lalu ditelaah dan disusun kemudian dimintakan penyempurnaan kepada Bapak M. Natsir, sehingga tersusunlah menjadi sebuah buku.
Alhamdulillah saya telah membacanya. Di saat membaca saya merasakan betul bagaimana penuturan yang disajikan oleh Bapak M. Natsir mencerminkan penuturan dari seseorang yang tidak hanya berpengalaman dalam aktivitas da'wah, namun melampauinya, yakni sebuah penuturan dari jiwa, ruh kesadaran terdalam.
Sangat pantas melalui kursus kursus kader da'wah lahir para mubaligh bertalenta, dan mubaligh yang mampu mencurahkan segala potensinya lahir dan batin, jiwa dan raga, waktu dan tenaga, pikiran dan perasaan.
Para mubaligh yang mendedikasikan dirinya secara total, satu di antaranya adalah M. Imaduddin Abdurrahim. Beliaulah yang menghidupkan semangat da'wah kampus, di ITB, UNPAD, beberapa perguruan tinggi di Bandung. Ribuan kader HMI telah ia latih, para juru da'wah, baik di Indonesia, Malaysia, dan mancanegara lainnya. Menurut M. Imaduddin, beliau menggunakan buku ini.
Buku ini diawali dengan pembahasan tentang Fitrah, wahyu Ilahi, dan posisi akal. Al-Qur'an adalah himpunan dari wahyu yang merupakan tuntunan yang dihajatkan oleh fitrah manusia.
Mempertemukan fitrah manusia dengan wahyu Ilahi itulah tugas risalah para rasul atau saat ini berarti tugas para mubaligh.
Yang menjadi objek sasaran wahyu adalah qalbu yang memiliki instrumen sam'un, basharun. Kedua instrumen ini selanjutnya memgirimkan analisa kepada fu'ad atau akal untuk memahami suatu perkara, baik tentang kepastian, keteraturan, maupun nilai kebenaran.
Akal diawali dengan cara kerja sam'un, basharun, berikutnya ia akan memperhatikan alam sekitarnya, diri manusia sendiri (jasmani ruhani ) di mana ditemukan peraturan-peraturan " ayatullah", sebagai tanda-tanda dan bukti yang menunjukkan adanya Sang Khaliq.
Tidak hanya itu, akal pun menemukan adanya Rabb yang memelihara semua ciptaan Allah, lengkap dengan undang-undang-Nya yang disebut dengan " Sunatullah ". Kita perhatikan Qs Fusshilat 53,
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di segenap penjuru, dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?."
Lebih lanjut, proses kerja akal yang berirama menggetarkan jiwa menjadi sumber pertunjukan bagi panca indera dan pikiran yang dengan itu terlihatlah apa yang tampak sehari-hari menjadi sebuah hujjah yang melahirkan makna. Kita perhatikan Qs Al Ghasyiah 17-22.
"Maka tidakkah mereka memperhatikan unta bagaimana diciptakan? Dan langit bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka".
Berikutnya, akal dan qalbu mengajak panca indera untuk memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah dengan memperhatikan apa yang sering mereka lakukan, yakni " bibit yang ditebarkan ". Kita perhatikan Qs Al Waqiah 63-65,
" Pernahkan kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya? Sekiranya Kami kehendaki niscaya Kami hancurkan sampai lumat, maka kamu akan heran tercengang."
Selepas itu diajaknya akal manusia melihat kehadiran setiap elemen yang menjadi kesatuan ekosistem kerja atas proses tumbuhnya suatu tanaman, dengan memperhatikan hujan, kayu bakar.
Kita perhatikan Qs Al Waqiah 68-72.
"Pernahkan kamu perhatikan air yang kamu minum? kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Maka, pernahkah kamu memperhatikan api yang kamu nyalakan (dengan kayu)? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan?
Allah melalui ayat-ayat-Nya hendak memanjakan akal melalui teatrikal atau tontonan yang menyuguhkan kisah yang ada pada dirinya, peristiwa yang sudah menjadi kesehariannya (menyemai benih, air hujan, kayu bakar).
Tidak berhenti di sini, berikutnya Allah terus memanjakan akal dengan suguhan tentang awal penciptaan, di mana ini adalah kisah masa lalu, kisah sebelum diciptakannya manusia.
Silahkan buka Qs Al Anbiya -30-33.
Dengan empat ayat ini, Allah membukakan tabir di balik penciptaan yang kini ada; perjalanan waktu ke belakang beribu-ribu abad.
Rentang waktu yang cukup panjang itu menjadi terasa dekat atas penjelasan wahyu , terlebih lagi wahyu Allah tentang alam ini mampu menyodorkan kepenasaranan untuk mengungkap alam semesta yang dengan ini akan lahirlah beragam pengetahuan sebagai kreasi manusia dalam merespon berita yang ada di wahyu Ilahi.
Dari pengetahuan yang diusahakan oleh manusia sebagai pengungkapan rasa ingin tahu manusia atas alam, yang diinisiasi oleh wahyu.
Maka, kini kita menjadi tahu tentang bintang-bintang, matahari, bulan, dan ciptaan lainnya terus beredar dalam satu sistem yang penuh harmoni, tidak ada yang menyimpang dari garis edar masing-masing, semua berada dalam tatanan *Kesetimbangan* .
Tidak hanya alam yang mampu mengaktifkan kerja akal, Allah pada ayat lainnya menyodorkan kisah perjalanan manusia (Sejarah atau qasas). Allah di Qs Al Qalam ayat ke satu, secara jelas menyuruh kepada kita untuk memperhatikan apa yang mereka tuliskan.
Pesan dari seluruhnya mengenai bahasan wahyu, fitrah, dan akal adalah *kehadiran Al-Qur'an sebagai kitab kumpulan wahyu tidak memusuhi panca indera dan akal. Panca indera, akal, dan wahyu, berasal dari Khaliq yang satu dan ketiganya tidak ada pertentangan.
Mana yang tidak tercapai oleh panca indera dijemput oleh akal, mana yang tidak atau belum tercapai oleh akal dijangkaukan oleh wahyu . Dan wahyu dari ' Alimil Ghaibi Wasy-Syahadah, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang nyata ataupun yang tidak.
Saat saya membaca, yang terlintas dalam pikiran adalah bagaimana Bapak M. Natsir menjelaskan apa yang ada dalam diktatnya, karena seperti lazimnya sebuah diktat atau makalah biasanya akan dibedah atau diulas secara lengkap melalui sebuah metode penjelasan. (YI)