Firli Bertaruh dengan Tuhan
Tuhan membuat kasus ini bergeser dari upaya keras mentersangkakan Anies, dibuat jadi berputar 180 derajat, menjadi persoalan Firli dengan internal KPK.
Oleh: Ady Amar - Kolumnis
Bertaruh dengan Tuhan, itu kenekatan tersendiri. Itu seperti menantang Tuhan dengan sembrono. Masuk kriteria jahil, meski ia bergelar dan punya kedudukan tinggi sekalipun. Ia jahil di mata Tuhan, dan pada saat yang sama Tuhan pun mengirim berita sebagai informasi tentang kejahilannya.
Semuanya lalu serasa terbuka. Orang lalu mengenalnya jahil dengan serentetan gelar negatif yang mengikuti, seperti bererotan. Tuhan murka lalu menyemburkan berita tentang keburukan perangai yang bersangkutan satu persatu, seperti dibuat berjilid.
Tuhan murka sejadinya, jika zalim terus dilesakkan pada seseorang yang tidak bersalah dibuat bersalah. Atau setidaknya digambarkan bersalah, karena merasa digdaya punya kekuatan kuasa mentersangkakan sesukanya.
Firli Bahuri ketua KPK seperti jadi agen menyeret mentersangkakan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pada kasus Formula E. Gelar perkara atau ekspos perkara kasus itu perlu sampai dilakukan 15 kali, untuk mencari mens rea adanya kebijakan salah Anies di sana. Ekspos perkara sebanyak itu belum pernah terjadi di KPK sebelum-sebelumnya.
Ekspos perkara di KPK yang terus-menerus digelar, itu upaya paksa menaikkan status Anies dari penyelidikan menjadi penyidikan. Konon ini yang diminta Firli, meski dengan tanpa menyebut siapa tersangkanya. Langkah di luar kepatutan yang biasa dilakukan di KPK.
Itu pun tidak berhasil. Permintaan Firli dan sebagian pimpinan KPK lainnya ditolak. Muncul gesekan di internal KPK. Semua lalu dibuat tahu kondisi internal KPK. Pemberhentian staf KPK yang punya integritas, lebih karena menolak menaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan.
Muncul perlawanan di internal KPK, khususnya dari unsur kepolisian, agar Brigjen Endar Priantoro, Direktur Penyelidikan yang diberhentikan dengan alasan masa tugasnya sudah berakhir, meski sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah memperpanjang masa penugasannya. Tapi tetap saja Endar diberhentikan dari KPK.
Beredar viral rekaman suara perdebatan antara Firli dengan pejabat KPK dari unsur kepolisian. Entah siapa pelaku penyebarnya, terdengar mereka walk out dari ruang pertemuan meninggalkan Firli sendirian. Sikap "berontak" pada pimpinan KPK, yang tidak pernah ditemui pada periode sebelumnya.
Tuhan membuat kasus ini bergeser dari upaya keras mentersangkakan Anies, dibuat jadi berputar 180 derajat, menjadi persoalan Firli dengan internal KPK.
Satu persatu muncul persoalan berkenaan dengan kebijakan Firli yang otoriter. Reaksi pejabat KPK dari unsur kepolisian melaporkan Firli pada Dewan Pengawas (Dewas) KPK, soal pemecatan Brigjen Endar Priantoro. Mereka minta sejawatnya bisa aktif lagi di KPK. Bahkan Brigjen Endar pun ikut pula melaporkan Firli ke Dewas. Suasana KPK menjadi keruh. Dan, Selasa (11 April 2023), Dewas pun menindaklanjuti dengan memeriksa Firli dan seluruh pimpinan KPK. Belum diumumkan keputusan apa yang diambil Dewas.
Mantan Ketua KPK Abraham Samad dan rekan lainnya, tampak di antaranya Bambang Widjoyanto, Saut Situmorang, Abdullah Hehamahua, Novel Baswedan, dan mantan pejabat KPK lain ikut demo mendesak pemecatan Firli Bahuri dari Ketua KPK. Mereka bersama para pendemo dari masyarakat sipil anti korupsi bersinergi, menyuarakan satu tuntutan: Pecat Firli.
Tampaknya skenario Tuhan tidak dicukupkan sampai di situ. Perlu diimunculkan pula hal lain, kasus yang dibuat Firli di masa lalu. Dan, itu soal membocorkan dokumen rahasia berkenaan kasus ESDM. Dibocorkannya dokumen rahasia itu, agar pihak bersangkutan (ESDM) bersiap menghadapi pemeriksaan yang akan dilakukan KPK. Jika benar itu dilakukan Firli, maka itu masuk perbuatan pidana.
Tidak menutup kemungkinan deretan suguhan persoalan Firli yang punya unsur pelanggaran lain akan dimunculkan satu persatu, bergerak dalam orkestrasi Tuhan untuk memperlihatkan digdaya kekuasaanNya: Kekuasaan Tuhan Maha Adil vis a vis melawan tirani kekuasaan zalim.
Skenario Tuhan memang dahsyat. Soal ini mestinya tidak perlu jadi perdebatan, apalagi coba diingkari, kecuali pada mereka yang buta hati, jumawa merasa kuat karena sokongan kekuasaan.
Analisa pun menyebut, laku Firli itu tidak berdiri sendiri. Mustahil Firli berani ugal-ugalan tanpa ada sokongan yang kuat. Istana disinyalir ada di balik manuver Firli. Seperti juga laku dari kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, yang coba "membegal" Partai Demokrat. Moeldoko mengajukan PK ke Mahkamah Agung (3 Maret 2023), tentang klaim keabsahan Partai Demokrat.
Kenekatan keduanya "bertaruh" itu dikarenakan sokongan istana. Sebuah upaya menjegal Anies Baswedan, agar gagal maju di Pilpres 2024. Dengan KPK mentersangkakan Anies, atau jika PK yang diajukan Moeldoko diterima MA, maka bisa dipastikan langkah Anies terhenti.
Namun di balik skenario jahat yang coba mengganjal Anies, Tuhan tidaklah diam. Tuhan merespons dengan memainkan skenarionya. Dari upaya jahat mentersangkakan Anies berbelok menjadi persoalan Firli, yang lalu dikeroyok secara bersamaan dari segala arah. Dibuat menjadi berbalik, Firli jadi "tersangka" yang lalu diadili ramai-ramai. Tuhan mampu menggerakkan semua itu dengan begitu indahnya, seolah gerakan ritmis tarian sufi yang rapih bergerak dalam langgam melawan ketidakadilan.
Bertaruh dengan Tuhan, itu laku konyol yang menghadirkan kehancuran, cepat atau lambat. Bertaruh dengan Tuhan, itu seperti mempertaruhkan semua kehormatan yang dimiliki, untuk pada saatnya tumbang berdegum keras, meski telah disokong kekuatan besar sekalipun.
Jika upaya mentersangkakan Anies terus dipaksakan, pada kasus Formula E, atau jika MA menerima PK Moeldoko untuk merebut Partai Demokrat, maka tidak mustahil konsekuensi lebih buruk lagi akan dimunculkan Tuhan, dan entah apa yang akan terjadi.
Peran istana memaksa mentersangkakan, atau menjegal Anies dengan cara-cara zalim, itu sama dengan kenekatan istana bertaruh dengan Tuhan. Jika itu diterus-teruskan, tidak mustahil kekuasaan rezim akan jatuh tersungkur, dan itu sulit bisa dibayangkan. Wallahu a'lam. (*)