Fitnah Baliho Menyambar Anies
Oleh Ady Amar
MEMASANG baliho besar-besar di seantero negeri dengan pesan heroik, di tengah masyarakat sedang susah karena dampak pandemi Covid-19 amat tidak efektif. Beragam pesan indah pada baliho itu justru disikapi negatif.
Pemasangan baliho tokoh-tokoh politik itu meski dibungkus seolah menyemangati rakyat, tapi itu terbaca ingin mendongkrak nilai jual tokoh bersangkutan di 2024. Rakyat sudah sedikit faham, bisa membaca itu semua dengan baik.
Rakyat tidak butuh disemangati dengan jargon-jargon heroik, yang itu tidak membuat kehidupan menjadi lebih baik. Tidak berpengaruh sedikitpun buat rakyat. Rakyat butuh perutnya terisi cukup dengan makanan sekadarnya. Maka, kehadiran baliho-baliho itu justru menyesakkan dada.
Kemunculan baliho-baliho itu ciri dari ketidakpekaan tokoh bersangkutan terhadap kehidupan masyarakat yang terdampak pandemi. "Mending uangnya buat beli sembako dan disebar pada masyarakat yang kurang beruntung", itu pernyataan hari-hari ini yang keluar dari mulut mereka yang kesulitan hidup.
Proyek menyebar baliho itu bukan proyek murah. Entah berapa puluh miliar, atau bahkan ratus miliar rupiah uang digelontorkan dalam pembuatan baliho-baliho di seluruh nusantara itu. Tampaknya proyek mahal itu tidak melalui pemikiran matang, terkesan serba mendadak dan mengharap hasil elektabilitas akan terdongkrak naik. Ternyata berkebalikan dari harapan, bahkan jadi bahan umpatan berbagai kalangan.
Hasil berbagai lembaga survei politik pun membuktikan, bahwa baliho-baliho itu tidak menambah naiknya elektabilitas yang bersangkutan. Masih dikisaran angka persentase belum memadai untuk dijagokan dalam perhelatan Pilpres 2024. Bahkan dalam urutan 10 besar kandidat berbagai lembaga survei, posisinya ada di nomor bontot.
Tampaknya Puan Maharani (Ketua DPR RI) dan Airlangga Hartarto (Ketum Golkar) bisa disebut paling banyak sebaran balihonya, bahkan paling semarak. Semacam jor-joran berharap menaikkan elektabilitas, meski yang didapat tidak sebagaimana yang diharap. Sedang uang yang digelontorkan tidak kecil.
Fitnah Baliho
Bagi Puan Maharani, Airlangga Hartarto dan ketua umum partai politik lainnya, yang juga ikutan latah memasang baliho, tentu tidak mempermasalahkan modal tidak sedikit yang dikeluarkan. Semua bisa ditutup oleh partainya. Puan memang bukan ketua umum partai, tapi ia anak dari Ibu Megawati Soekaroputri, yang ketua umum PDIP. Bahkan Puan itu yang digadang-gadang PDIP untuk maju Pilpres 2024.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, juga Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, adalah pimpinan daerah yang elektabilitas hasil surveinya, dari berbagai lembaga survei, setidaknya ada diurutan 3 besar, khususnya Anies dan Ganjar.
Para kepala daerah itu, khususnya Anies Baswedan, sulit ditemui wajahnya menghias pada baliho atau banner di sebaran wilayah yang dipimpinnya. Tampang dan jargonnya tidak perlu dipampangkan pada baliho, itu tidak jadi pilihannya. Anies, khususnya, lebih konsen pada kerja terukur memenuhi janji-janji kampanyenya saat mengikuti pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Maka pemenuhan janji kampanye itu yang terus diikhtiarkan, "Maju Kotanya Bahagia Warganya", tidak menjadi sekadar jargon, tapi itu hal yang dirasakan warga Jakarta setelah dipimpin Anies Baswedan. Dan juga dirasakan penduduk luar Jakarta, yang mengunjungi dan melihat perubahan wajah Jakarta yang lebih ramah, baik bagi pengguna jalan kaki, para pesepeda, jembatan penyeberangan orang yang cantik gemerlap, transportasi yang terintegral, dan taman-taman bunga di sana-sini menyegarkan mata memandang.
Karena kerja terukurnya, itu yang menyebabkan namanya tidak perlu dikerek tinggi-tinggi pada baliho. Tidak diperlukan bantuan baliho untuk mendongkrak elektabilitasnya. Secara alami ekektabilitas itu naik dengan sendirinya, dan itu atas kerja dan karya yang disajikan.
Tapi tentu ada juga kelompok yang tidak bisa melihat perubahan Jakarta di tangan Anies, dan itu hal wajar. Mereka yang sementara ini belum bisa melihatnya, bahkan cenderung mencari kekurangan, meski tidak ditemukan, itu juga hal yang wajar. Mungkin mereka ada di barisan yang belum dapat "hidayah", sehingga tidak mampu melihat sebuah perubahan yang terang benderang. Terpenting mereka tidak buat hal-hal di luar kepatutan.
Cara-cara tidak baik tidak seharusnya dilakukan, apalagi dengan cara memfitnah segala. Itu tampak dengan munculnya baliho Anies Baswedan di beberapa titik kota Jakarta. Tidak jelas siapa yang memasang. Tapi yang jelas publik faham, pemasangan baliho itu bukan dari pihak Anies. Lalu siapa, dan apa maksudnya?
Siapa yang memasang, pastilah manusia, tapi tentang siapa lebih lanjut dan apalagi motivasinya, tidak persis tahu. Bisa jadi pemasangnya itu ingin menyamakan Anies dengan tokoh-tokoh politik lainnya, dan itu agar menggerus simpati masyarakat atasnya. Lalu seperti biasanya akan disusul sepaket dengan lembaga survei abal-abal, yang mengeluarkan liris hasil surveinya pasca bertebarannya baliho Anies Baswedan, yang tidak mustahil hasil survei akan menempatkan Anies pada posisi melorot. Anies tidak lagi bertengger di posisi 1 atau 2, sebagaimana hasil survei sebelumnya.
Segala cara dilakukan untuk membunuh karakter Anies, dan itu upaya untuk mengganjalnya. Setelah umpatan dan fitnah para buzzer yang dialamatkan padanya tidak berhasil, maka fitnah baliho mulai dicobakan. Itu cara sama dengan media berbeda, seolah mampu menghina nalar publik yang dianggap mudah menyerap apa saja yang dimunculkan. Fitnah baliho pada Anies, itu langkah kasar yang mudah tertebak. Janganlah model begini diterus-teruskan, mubazir... (*)
*) Kolumnis